FB

FB


Ads

Jumat, 29 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 093

“Bagus! Dan kau pandai menari-nari. Hayo kau menari yang baik!” kembali suara Siang In terdengar penuh wibawa dan sepasang matanya yang lebar itu memandang seperti mengeluarkan sinar berpengaruh yang menundukkan Kian Lee.

“Tidak.... tidak....!”

Kian Lee berusaha melawan, akan tetapi kaki tangannya sudah bergerak sendiri dan dia menari-nari! Berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari!

“Heiii, menari yang baik! Engkau pandai menari dan seorang penari tidak boleh bersungut-sungut, harus tersenyum! Menari dan tersenyumlah kau!”

Kian Lee tidak dapat membantah. Dia terus menari-nari dan kini mulutnya tersenyum, dan Siang In menonton sambil berdiri bertolak pinggang, akan tetapi sepasang matanya makin lama makin kehilangan kekuatannya karena mata itu kini mulai terbelalak keheranan ketika dia melihat betapa wajah itu mengingatkan dia akan wajah seorang pemuda yang selama ini selalu terbayang di lubuk hatinya, pemuda yang dicari-carinya selama ini, pemuda yang.... dibencinya akan tetapi juga yang tak pernah dapat dilupakannya, yaitu Suma Kian Bu!

Setelah pemuda ini menari dan tersenyum, dia melihat persamaan antara mereka, terutama pada sinar matanya! Dan karena Siang In tidak mencurahkan seluruh perhatian dan kekuatan sihirnya, muka Kian Lee yang meronta-ronta dalam batin itu berhasil melepaskan diri. Dia mengeluh, terhuyung dan menutupi muka dengan kedua tangannya,

“Aihhh.... Suma Kian Lee.... sekali ini kau dibikin malu oleh seorang anak-anak....”

Mendengar ini, Siang In terkejut bukan main. Suma Kian Lee! Tentu saja masih saudara dari Suma Kian Bu, pemuda yang dicari-carinya! Dia terkejut dan juga menyesal mengapa dia tadi terburu nafsu mempermainkan pemuda ini dengan sihirnya.

“Ah.... kau.... kau bernama Suma Kian Lee....?” katanya agak gagap.

Kian Lee menggoyang-goyang kepalanya mengusir kepeningan, kemudian memejamkan mata untuk mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Barulah dia membuka mata menghadapi dara itu, alisnya berkerut karena dia teringat betapa tadi dia dipermainkan sehingga dia terpaksa menari-nari seperti orang gila tanpa dia mampu mencegahnya karena dia sudah terperangkap ke dalam kekuatan sihir yang hebat.

“Hemmm, engkau seorang nona yang amat aneh. Kita tidak pernah saling bermusuhan, akan tetapi engkau tega mempermainkan aku seperti itu. Memang aku Suma Kian Lee, dan siapakah engkau, Nona?”

“Apakah engkau kakak dari Suma Kian Bu?”

Wajah Kian Lee berseri seketika,
“Ah, jadi engkau sudah mengenal adikku itu? Tahukah kau di mana dia sekarang?”

Siang In kecewa. Tadinya dia mengharapkan bahwa pertemuannya dengan saudara Kian Bu akan dapat membawa dia bertemu dengan Kian Bu, kiranya orang ini malah bertanya kepadanya di mana adanya Kian Bu! Dia menggeleng kepala.

“Aku tidak tahu dia berada di mana. Aku.... aku sedang mencari Puteri Syanti Dewi yang diculik orang dan kabarnya dibawa ke sekitar daerah ini.”

Kian Lee makin tertarik dan memandang lebih tajam penuh selidik. Dipandang seperti itu oleh pemuda yang bersikap halus dan amat tampan ini, Siang In merasa malu sendiri dan teringat akan kenakalannya tadi, kedua pipinya menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya.

“Nona, engkau mengenal pula Puteri Syanti Dewi?”

“Mengenal? Dia sahabat baikku, kami sudah seperti saudara saja. Sayang dia sampai dapat lolos dari penjagaanku!”

“Kalau engkau sudah mengenal Kian Bu, dan menjadi sahabat baik Syanti Dewi, berarti engkau seorang sahabatku pula. Siapakah namamu, Nona?”

“Aku Teng Siang In.”

Kian Lee mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.
“Teng Siang In....? Siang In....?” Tiba-tiba wajahnya berseru ketika dia mengangkat muka memandang wajah nona itu. “Ah, tahu aku sekarang! Bukankah engkau murid See-thian Hoat-su? Kian Bu pernah bercerita tentang dirimu kepadaku!”

Wajah itu menjadi makin merah dan makin cantik saja. Siang In melangkah maju mendekati Kian Lee, bertanya mendesak,

“Benarkah? Apa saja yang diceritakannya tentang diriku kepadamu?”

Kian Lee menggeleng kepala.
“Tidak banyak, hanya bahwa engkau dan encimu yang bernama.... ah, lupa lagi aku....”

“Mendiang Enci Siang Hwa?”

“Benar, Siang Hwa yang menurut Kian Bu tewas di perahu. Katanya bahwa engkau dan encimu adalah keturunan atau anak-anak dari mendiang Yok-sin, ahli pengobatan yang amat terkenal di lembah Pek-thouw-san, dan bahwa engkau kemudian menjadi murid See-thian Hoatsu. Ah, pantas saja engkau pandai ilmu silat, ahli dalam ilmu sihir, dan tentu engkau seorang ahli pengobatan pula, Nona.” Kian Lee memandang penuh kagum. “Engkau masih begini muda sudah amat pandai, sungguh mengagumkan.”

Wajah yang tadinya berseri amat cantiknya mendengar pujian itu, tiba-tiba saja berubah sama sekali menjadi bersungut-sungut, seperti langit yang tadinya cerah tiba-tiba tertutup mendung. Luar biasa sekali cepatnya perubahan pada wajah dara ini, menunjukkan bahwa keadaan hatinya juga mudah sekali berubah.

Dara seperti ini mudah marah, mudah gembira, mudah berduka dan mudah bersuka, akan tetapi biarpun bersungut-sungut, tidak pernah kehilangan kemanisan wajahnya yang memang cantik rupawan. Dan pada dasarnya dara ini berwatak jenaka dan periang, sehingga bersungut-sungut pun hanya sebentar saja, seperti angin lalu.

“Pandai apanya? Kalau tidak ada engkau yang datang menolong, tentu aku yang kau puji-puji pandai ini sudah menjadi mayat!” Dia termenung lalu melanjutkan, “Dua orang itu ternyata lihai sekali!”

Kian Lee lalu teringat kepada dua orang yang tadi mengeroyok dara ini.
“Ah, siapakah mereka, Nona? Dan mengapa pula kau berkelahi dengan mereka?”






Kembali terjadi perubahan pada wajah cantik itu. Kalau tadi bersungut-sungut menunjukkan kekesalan hatinya, kini berubah marah dan sepasang mata yang indah itu seperti memancarkan cahaya berapi yang panas, yang ditujukan kepada Kian Lee, dan suaranya nyaring dan marah,

“Aih, kalau tidak ada engkau yang lancang turun tangan menggangguku, tentu sekarang juga aku sudah berhasil membekuk mereka Hemmm, kalau tidak teringat betapa tadi engkau menyelamatkan nyawaku, tentu kau sudah kuanggap musuh dan kuserang mati-matian! Engkau ini memang seorang aneh, membikin aku bingung apa yang harus kulakukan terhadap dirimu!”

Kian Lee adalah seorang pemuda pendiam yang biasanya tidak suka banyak bicara, akan tetapi menghadapi seorang dara seperti ini, yang memiliki kepribadian amat menarik, yang berubah-ubah sikapnya, penuh daya hidup dan semangat, mau tidak mau dia terseret juga.

“Apa maksudmu?” tanyanya.

“Mengingat kau tadi menggagalkan usahaku yang hampir berhasil menangkap dua orang penculik itu, sepatutnya kau kubunuh, akan tetapi mengingat kau telah menyelamatkan nyawaku, tidak mungkin aku memusuhimu.”

Kian Lee tersenyum, akan tetapi dia kurang memperhatikan semua kata-kata yang seperti kanak-kanak itu karena dia teringat akan penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, maka dia berkata,

“Nona Siang In....“

“Sudahlah, kalau kau tidak menganggap aku sahabat, lebih baik aku pergi saja....“ dan tiba-tiba Siang In membalikkan tubuhnya, mengempit payungnya dan berjalan pergi.

Lenggangnya yang wajar tidak dibuat-buat itu menonjolkan keindahan tubuhnya karena dia berjalan seperti orang menari-nari saja layaknya!

Tentu saja Kian Lee menjadi bengong dan ketika sadar bahwa dara itu benar-benar meninggalkannya, dia cepat melompat dan mengejar, lalu berdiri menghadang di depan dara itu dengan pandang mata penuh keheranan.

“Nona Siang In.... mengapa kau...., apa salahku?”

“Kau tadi berkata bahwa karena mengenal adikmu dan karena aku sahabat baik dari Puteri Syanti Dewi, maka kau menganggap aku sebagai sahabatmu, akan tetapi kau menyebutku nona-nona segala macam! Sebutan nona membuat aku merasa berhadapan dengan orang asing, dan terhadap seorang asing aku tidak sudi banyak bicara lagi!” Dan dara itu sudah mau melangkah pergi lagi saja.

Hampir saja Kian Lee menggaruk-garuk kepalanya karena merasa kewalahan menghadapi dara ini.

“Habis, aku harus menyebutmu apakah?”

“Namaku Siang In, tanpa nona-nonaan bagi seorang sahabat. Engkau tentu lebih tua dariku, tentu saja tidak harus menyebut enci.”

“Ah, baiklah Adik Siang In. Maafkan aku.”

Wajah yang tadinya keruh dan marah itu tiba-tiba menjadi cerah berseri dan dara itu lalu duduk di atas sebuah batu yang terdapat tidak jauh dari situ.

“Nah, sekarang katakanlah, engkau mau bicara apa tadi?”

“Bicara apa.?”

Kian Lee menjadi bingung karena sikap dara itu benar-benar mengocoknya, membuat dia lupa lagi akan apa yang sedang hendak dikatakannya tadi.

“Bukankah kau tadi ingin mengatakan sesuatu kepadaku? Carilah sampai kau teringat, kalau tidak, aku bisa mati karena penasaran dan ingin tahu apa yang akan kau katakan tadi!”

Kian Lee mengerutkan alisnya, duduk di atas rumput di depan dara itu dan mengingat-ingat. Celaka, kalau orang sedang terlupa akan sesuatu, makin diingat akan makin sulit untuk dapat teringat. Melihat pemuda itu demikian tersiksa karena mengingat-ingat hal yang sudah lupa sama sekali, Siang In merasa tidak tega.

“Eh, kau sudah makan?” tiba-tiba dia bertanya.

Kian Lee terkejut, memandang bengong.
“Makan....?” tanyanya bingung.

Siang In tersenyum, manis sekali, dan mengangguk.
“Ya, makan. Kalau belum, aku dapat menyediakan nasi dan masakan-masakan yang paling lezat untukmu, dalam sekejap mata saja.“

“Ah, jangan main-main, Adik Siang In. Di dalam hutan seperti ini mana mungkin engkau bisa membeli.... ah, ataukah engkau barangkali hendak menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan masakan?”

Siang In mengangguk, masih tersenyum.
“Apa sukarnya? Bukankah ayahmu juga Pendekar Siluman yang merupakan ahli sihir nomor satu di dunia ini? Apa sukarnya menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan masakan lezat?”

“Hemmm, jangan coba mengelabuhi aku, In-moi (Adik In). Biarpun mungkin bisa, akan tetapi nasi dan masakan jadi-jadian itu tidak mungkin dapat dimakan sampai mengenyangkan perut.”

“Akan tetapi aku bisa! Dan aku tanggung kau akan menikmatinya dan perutmu akan kenyang, Lee-koko!”

“Aku tidak percaya,”

“Tidak percaya? Nah, kau boleh tutup mata sebentar!”

Sambil tersenyum seperti melayani seorang anak kecil main-main, Kian Lee memejamkan matanya. Dengan telinganya dia dapat menangkap dara itu bergerak, melesat pergi dari situ dan tak lama kemudian kembali lagi, melakukan gerakan-gerakan lalu terdengar dara itu berkata,

“Nah, sudah jadi! Bukalah matamu, Lee-ko!”

Sambil tersenyum Kian Lee membuka matanya dan dia terbelalak! Di depannya, di atas rumput, terhampar nasi dan beberapa macam masakan sedap yang diletakkan di atas daun pembungkus, masih mengepul hangat-hangat!

“Nah, silakan makan!” kata Siang In tersenyum. “Aku sih sudah makan kenyang tadi.”

Kian Lee mengerahkan sinkangnya, mengerahkan kekuatan batin untuk membuyarkan sihir itu, akan tetapi nasi dan masakan itu masih ada saja di situ, tidak mau lenyap. Dan bau sedap masakan itu meremas-remas perutnya yang lapar, maka tanpa banyak pikir lagi dia lalu mulai makan. Bukan main lezatnya!

Perut lapar bertemu nasi dan masakan hangat tentu saja lezat! Dan dara itu sudah menyulap pula seguci air jernih dari saku jubahnya. Kian Lee makan sampai kenyang dan setelah minum, dia mengusap bibirnya dan perutnya, memandang dara itu dan tersenyum.

“Hebat.... engkau memang hebat. Kiranya kau benar-benar telah menyediakan makanan ini.... ah, sekarang aku teringat apa yang akan kukatakan kepadamu!”

Siang In tertawa geli, terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya manis dan agak genit, akan tetapi menarik hati sekali.

“Tentu saja! Kalau pikiran kosong, maka segala sesuatu akan teringat. Kalau pikiran dikerjakan, hal yang terlupa mana mungkin dapat teringat? Pikiran penuh dengan kenangan dan ingatan, sampai penuh sesak dan bertumpuk-tumpuk. Nah, sekarang katakan, apa yang akan kau bicarakan tadi?”

“Aku mau bicara tentang Syanti Dewi. Bukankah engkau kehilangan dia di dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu di puncak Naga Api yang menjadi sarang Liong-sim-pang?”

Siang In meloncat bangun dan wajahnya berseri.
“Engkau tahu? Di mana dia sekarang?”

“Tenanglah dan dengarkan ceritaku. Yang melarikan Syanti Dewi dari puncak Naga Api itu bukan lain adalah See-thian Hoat-su....“

“Eh, guruku?” Dara itu berteriak.

“Benar, akan tetapi puteri itu telah diculik orang lagi dari tangan gurumu di pantai Po-hai.“

“Di Gua Tengkorak?”

“Benar, aku mendengar semua itu dari Nyonya Kao Kok Cu....“

“Siapakah Nyonya Kao Kok Cu itu?”

“Dia masih adik angkat dari Puteri Syanti Dewi sendiri.”

“Ah, Enci Ceng Ceng? Aku sudah banyak mendengar namanya yang sering disebut-sebut dan diceritakan oleh Syanti Dewi! Lalu bagaimana?”

Kian Lee lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, betapa Ceng Ceng bertempur melawan See-thian Hoat-su di Gua Tengkorak karena salah sangka sehingga dalam pertempuran itu, mereka tidak tahu betapa Syanti Dewi diculik orang lain.

Mendengar ini, Siang In mengepal tinjunya.
“Ah, celaka! Sudah terdapat, lepas lagi! Dia belum bertemu, puteri itu juga lenyap dan kini ditambah dua orang penculik itu! Wah, perjalananku penuh dengan soal-soal yang meruwetkan pikiran!”

“Apa maksudmu? Siapa dia yang belum bertemu itu?”

Tiba-tiba wajah Siang In menjadi merah. Tentu saja dia tidak mau bicara tentang Kian Bu yang dicari-carinya hanya karena ingin bertanya mengapa dulu pemuda itu, lima enam tahun yang lalu, telah.... menciumnya. Bicara tentang itu kepada kakak dari Kian Bu, tentu saja tidak mungkin! Maka dia cepat menjawab,

“Sayang bahwa dua orang penculik tadi telah dapat meloloskan diri. Aku kasihan sekali kalau mengingat akan nasib anak Laki-laki yang mereka culik.”

“Laki-laki dan wanita tadi, yang mengeroyokmu, mereka tadi penculik? Dan ada anak laki-laki yang mereka culik?” Kian Lee tertarik sekali.

Siang In mengangguk. Setelah bercakap-cakap agak lama, nampaklah oleh dia perbedaan yang besar antara Kian Bu dan Kian Lee. Dia masih ingat benar kepada Suma Kian Bu biarpun sudah enam tahun dia tidak jumpa dengan pemuda itu. Kian Bu yang tampan itu wajahnya agak lonjong, matanya tajam dan kocak, wataknya keras namun dia dapat menjadi seorang yang periang, jenaka dan suka mengeluarkan kata-kata yang menyindir atau menggoda, pandai memuji dan wajahnya selalu berseri gembira.

Sebaliknya, Kian Lee ini biarpun juga memiliki wajah yang amat tampan, namun bentuk mukanya bulat, matanya lebar dan juga tajam sekali, akan tetapi pandang matanya penuh kesungguhan, serius, tenang seperti air telaga yang dalam, gerak-geriknya halus, penuh kesabaran dan agaknya tidak banyak bicara. Hanya pada sepasang mata mereka dan tarikan dagu mereka yang penuh kejantanan itulah terletak persamaannya dan karena yang dua ini merupakan ciri-ciri khas mereka, maka pada pertemuan pertama nampak benar persamaan di antara mereka.

“Kakak Suma Kian Lee, apakah engkau tidak suka bersendau-gurau?”

“Hahhh?”

Tentu saja Kian Lee terkejut, heran dan bengong. Dengan sungguh-sungguh dia amat tertarik dan bertanya tentang penculik-penculik dan anak yang diculik, jawabannya malah pertanyaan seperti itu yang sama sekali tak pernah diduga-duganya!

“Bersendau-gurau....?”

“Ya, sukakah engkau bersendau-gurau dan bergembira, berguyon-guyon, Lee-ko?”

Kian Lee tidak tahu bagaimana harus menjawab, akan tetapi agar tidak menimbulkan kecewa orang, dia mengangguk, lalu berkata,

“In-moi, ceritakanlah bagaimana kau tahu bahwa dua orang lawanmu yang lihai tadi menculik seorang anak laki-laki.”

Sikap dan suara Kian Lee demikian berwibawa sehingga diam-diam Siang In menjadi jerih! Pemuda ini benar-benar menyeramkan. Begitu tampan, begitu halus, akan tetapi entah mengapa, wibawanya besar sekali dan di dalam sikap diamnya itu nampak kekuatan yang menggiriskan hati.

“Hanya kebetulan saja aku bertemu dengan mereka ketika mereka memasuki rumah makan tadi bersama seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima enam tahun. Sikap mereka terhadap anak itu mencurigakan dan wanita itu mengaku anak itu sebagai puteranya, padahal aku tahu benar bahwa dia itu masih perawan....“

“Hemmm, bagaimana kau tahu akan hal itu kalau engkau baru pertama kali bertemu dengan dia?”

“Tentang dia masih perawan atau bukan? Huh, itu adalah rahasia wanita!”

Tiba-tiba wajah Kian Lee menjadi merah dan dia menyimpangkan percakapan tentang perawan atau bukan itu.

“Lalu bagaimana, selanjutnya?”

“Mereka merasakan kecurigaanku agaknya, buktinya wanita itu pergi membawa anak itu dan meninggalkan si pria sendirian membeli masakan dan nasi, setelah dia keluar dari restoran, aku lalu membayanginya....“

“Hemmm, jadi masakan yang kumakan tadi adalah miliknya yang dibelinya dari restoran?”

Siang In terkekeh. Suara kekeh “hihi-hik” yang keluar dari tenggorokannya itu merdu sekali.
“Akan tetapi lezat, kan?”

Kian Lee terpaksa tersenyum, mengangguk dan berkata,
“Lanjutkanlah ceritamu.”

“Wanita itu sudah menanti di sini, aku ketahuan dan dikeroyok. Anak itu entah mereka sembunyikan di mana. Melihat omongan diantara mereka dalam bahasa Mongol yang kumengerti, jelas bahwa anak itu sudah pasti mereka culik, entah anak siapa.”

“Anak laki-laki....? Berusia lima enam tahun....? Ah, jangan-jangan anaknya!”

Kian Lee teringat dan mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan memandang ke arah larinya dua orang itu tadi.

“Anaknya? Anak siapa, Koko?”

“Anak Ceng Ceng! Anaknya pun diculik orang, laki-laki dan usianya juga lima tahun!”

“Ahhh....! Mungkin sekali!” Siang In kini bersikap sungguh-sungguh. “Kulihat anak itu bukan anak sembarangan, biarpun baru berusia lima tahun akan tetapi telah memperlihatkan sikap yang tegas dan penuh keberanian.”

“Dan melihat betapa dua orang itu memang lihai, agaknya tidak salah mereka itulah yang menculik anak Kao Kok Cu. Aku harus mengejar mereka!” kata Kian Lee.

“Lee-ko, aku ikut!”

Siang In berseru ketika melihat pemuda itu melesat pergi dengan kecepatan kilat. Biarpun Siang In telah mengerahkan ginkangnya, tetap saja dia tertinggal agak jauh maka dia berteriak-teriak mernanggil pemuda itu, repot membawa payungnya yang dibawa lari cepat sekali.

Terpaksa Kian Lee memperlambat larinya sehingga akhirnya Siang In dapat menyusulnya. Dara itu memandang kagum. Bukan main hebatnya pemuda ini, pikirnya, akan tetapi ketika teringat bahwa pemuda ini adalah kakak dari Kian Bu, dan putera dari Pendekar Super Sakti, dia merasa girang dan bangga.

“Larimu seperti kijang saja cepatnya....!” katanya terengah-engah.

Kian Lee yang sedang merasa tegang mengingat bahwa mungkin anak yang diculik orang itu benar anak Ceng Ceng, tidak melayani sendau-gurau itu dan berkata,

“Mari kita cepat mengejar mereka.”

Dengan teliti mereka mencari dan menyelidiki dan akhirnya mereka mendapatkan keterangan dari penduduk dusun yang mereka temui bahwa Laki-laki dan wanita baju hijau yang membawa anak Laki-laki itu menuju ke lembah Huang-ho.

Mereka terus mengejar dan jejak itu membawa mereka ke lembah, yaitu sarang dari perkumpulan Kui-liong-pang yang kini telah menjadi benteng yang kuat dari Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu dari Nepal yang menyusun kekuatan di tempat itu, bekerja sama dengan gubernur dari Ho-nan!

Di depan telah diceritakan sedikit tentang dua orang laki-laki dan wanita yang menculik Kao Cin Liong, yaitu putera dari Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan Ceng Ceng. Laki-laki berkulit putih bule yang bernama Liong Tek Hwi itu adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong dari seorang selirnya yang berasal dari daerah Rusia selatan, seorang gadis cantik yang dipersembahkan kepada Pangeran. Liong Bin Ong yang pada waktu itu masih berkuasa sebagai saudara dari kaisar.

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Pangeran Liong Bin Ong dan pangeran Liong Khi Ong, dua orang pangeran tua yang menjadi saudara dari Kaisar Kang Hsi itu mengadakan pemberontakan, dibantu oleh panglima-panglima pemberontak, di antaranya yang paling terkenal adalah Panglima Kim Bouw Sin yang tadinya menjadi pembantu dan tangan kanan Jenderal Kao Liang.

Akan tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan dan Pangeran Liong Bin Ong tewas di dalam istananya sendiri oleh mendiang Han Wi Kong, suami dari Puteri Milana yang merasa penasaran karena pangeran pemberontak itu terlepas dari hukuman karena kaisar terlalu lunak kepadanya. Sedangkan Pangeran Liong Khi Ong tewas dalam perang oleh Ang Tek Hoat.

Demikian, Pangeran Liong Bin Ong meninggalkan seorang putera dari selir berkulit putih itu dan putera ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi yang selamat dari kematian kareha pada waktu itu dia telah berada bersama gurunya. Guru pemuda berdarah campuran ini adalah seorang nenek yang amat sakti, yang terkenal dengan julukan Kim-mouw Nio-nio, seorang nenek yang juga merupakan peranakan barat, rambutnya pirang dan matanya biru.

Kim-mouw Nio-nio ini merupakan datuk di sebelah barat di luar Tembok Besar. Dia memiliki kesaktian yang amat hebat, akan tetapi telah belasan tahun dia tidak mau keluar dari tempat pertapaannya di luar Tembok Besar dan hanya menyembunyikan diri karena dia sudah merasa muak dengan segala urusan dunia yang akibatnya lebih banyak mendatangkan kesengsaraan daripada kebahagiaan.

Liong Tek Hwi menjadi murid nenek ini dan dikasihi karena ada persamaan darah antara nenek Kim-mouw Nio-nio dan Liong Tek Hwi. Dan selain Liong Tek Hwi, juga nenek ini mempunyai seorang murid wanita, yaitu Kim Cui Yan. Juga murid wanita ini bukanlah sembarangan orang. Dia adalah anak dari Panglima Kim Bouw Sin, panglima yang memberontak karena bujukan dua orang Pangeran Liong itu, yang akhirnya tewas karena pemberontakannya.

Seluruh keluarga Panglima Kim Bouw Sin binasa, kecuali Kim Cui Yan yang pada waktu itu tidak berada di rumah. Setelah Kim Cui Yan ikut bersama Kim-mouw Nio-nio sebagai muridnya, maka anak ini, seperti juga Liong Tek Hwi, menerima gemblengan dari nenek itu dan memiliki kepandaian yang hebat pula. Bahkan nenek itu telah menurunkan ilmu pukulan yang diciptakannya di tempat pertapaannya, yaitu Ilmu Pukulan Swat-lian Sin-ciang yang mengandung tenaga dingin yang dapat membikin beku keringat lawan!