FB

FB


Ads

Jumat, 29 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 091

Mendengar nama ini, Kian Bu mengerutkan alisnya. Kenapa dia merasa seperti tidak asing dengan nama itu? Seolah-olah nama itu sudah dikenalnya benar, padahal dia tahu betul bahwa baru satu kali saja dia bertemu dengan Ang-siocia ini, yaitu ketika gadis ini mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin. Ketika itu, dia mengira bahwa nona ini she Ang, tidak tahunya, sebutan “Ang” itu bukan she, melainkan berarti merah dan tentu karena nona ini selalu memakai pakaian berwarna merah.

“Enci Swi Hwa ini lihai sekali, dan gurunya lebih lagi. Di benteng itu terdapat banyak sekali orang pandai dan berbahaya, maka bantuan Enci Swi Hwa dan gurunya amatlah baik dan menguntungkan bagi kita. Kenapa engkau menolak?”

“Aku percaya bahwa mereka ini lihai sekali, akan tetapi....“ dia memandang kepada Swi Hwa dan ada sinar tidak senang menyorot dari pandang mata pendekar itu.

Swi Hwa tersenyum dan menjura kepada Kian Bu, katanya halus,
“Ah, tentu Taihiap masih mendendam karena uangnya pernah kuambil dahulu itu, ya? Ketahuilah, Taihiap, aku mengambil uangmu karena ingin memperkenalkan engkau kepada Suhu. Nah, ini uangmu itu, lengkap dengan kantungnya, kukembalikan kepadamu disertai ucapan maaf sebesarnya!”

Seperti bermain sulap saja, sekali merogoh sakunya, Swi Hwa telah mengeluarkan sebuah pundi-pundi berisi uang dan menyerahkannya kepada Kian Bu.

“Tidak ada satu sen pun berkurang, Taihiap!”

Kian Bu mengenal pundi-pundi uangnya dan dia terkejut, juga terheran. Jadi, kiranya kantung uangnya dahulu itu pun dicuri oleh gadis maling ini? Bukan main! Bagaimana hal itu dapat dilakukannya padahal dia sama sekali tidak pernah merasa bertemu dengan nona ini dalam perjalanan? Sambil melongo, diterimanya kantung itu dan dia lalu berkata,

“Terima kasih, Nona. Memang ini pundi-pundi uangku. Akan tetapi bukan soal kecil inilah yang membuat aku meragu, akan tetapi....“

Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong menjura kepada Siluman Kecil dan berkata,
“Taihiap, muridku yang jahat ini pernah bercerita bahwa dia telah mengambil pusaka-pusaka dari dalam rumah Sin-siauw Seng-jin mendahului Taihiap, tentu hal itu yang membuat Taihiap meragu, bukan?”

Hati Kian Bu terasa tidak enak, akan tetapi dia mengangguk.
“Muridmu telah mengundang aku untuk berkunjung ke pantai Po-hai, akan tetapi kebetulan kita bertemu di sini.” Kian Bu mengingatkan tantangan Ang-siocia.

“Harap Taihiap sudi melupakan urusan itu karena ketahuilah bahwa kitab-kitab pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua itu dan diambil oleh muridku yang bodoh adalah kitab-kitab palsu. Dan tentang undangan muridku, biarlah di sini aku mintakan maaf kepada Taihiap....“

Dia menjura dan Kian Bu cepat-cepat mengangkat tangan membangunkan orang tua itu. Dia sudah menduganya demikian, maka diam-diam dia mentertawakan Ang-siocia yang memperoleh kitab-kitab palsu.

“Sudahlah, urusan yang lalu biarlah lalu karena semua itu hanya urusan kecil saja. Aku merasa girang bahwa kita sekarang bertemu sebagai sahabat. Akan tetapi, urusan kami di dalam benteng ini adalah amat berbahaya, maka sungguh tidak enak kalau sampai membuat Jiwi ikut-ikut terancam bahaya.”

“Aku ada rencana yang baik sekali!” Tiba-tiba Swi Hwa berkata dengan sinar mata bercahaya. “Kalau rencanaku dijalankan, bukan saja kita dapat memasuki benteng itu seperti masuk ke dalam rumah sendiri, akan tetapi juga agaknya mudah saja menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri Bhutan itu tanpa ada bahaya dan tanpa pertempuran!”

Hwee Li sudah merasa girang sekali mendengar ini.
“Bagaimana rencanamu itu, Enci?”

“Engkau lihat dua orang kakek itu, Adik Hwee Li? Nah, biarkan mereka itu membawa Taihiap ini dan engkau pulang ke dalam benteng sebagai tawanan, bukankah dengan begitu mudah saja bagi kalian untuk memasuki benteng?”

“Ahhh....!”

Kian Bu sampai mengeluarkan seruan saking kaget dan herannya. Dia, memandang gadis pakaian merah itu dengan alis berkerut. Sudah gilakah gadis ini, pikirnya.

Juga Hwee Li yang biasanya cerdik itu, memandang terbelalak kepada Swi Hwa.
“Enci, jangan main-main....!”

Swi Hwa tertawa geli.
“Siapa main-main, adikku sayang? Apakah kau mempunyai cara yang lebih baik daripada itu? Bayangkan saja. Dua orang kakek ini menunggang garuda itu membawa kalian berdua sebagai tawanan. Nah, siapa yang akan menghalangi mereka di dalam benteng?”

“Tapi.... tapi, itu rencana gila! Susah-susah kita tangkap, lalu kini kau mengusulkan agar kita melepaskan dua orang iblis itu dan membiarkan mereka menangkap kami berdua?” Hwee Li sudah mulai marah karena merasa dipermainkan.

Akan tetapi jawaban Swi Hwa mengusir kemarahannya dan membuat dia makin terheran-heran, demikian pula Kian Bu.

“Siapa suruh kau membebaskan mereka, adikku? Biarkan mereka digerogoti semut-semut merah! Aku belum gila menyuruh kau membebaskan dia.”






“Eh, bagaimana kau ini? Tadi kau katakan....“

Swi Hwa lalu mendekati dan merangkul Hwee Li, berkata lirih berbisik-bisik agar tidak terdengar oleh dua orang kakek iblis yang hanya kelihatan kepalanya saja di atas tanah itu dan yang memandang ke arah mereka dengan mata melotot.

“....aku dan Suhu yang menyamar sebagai mereka dan membawa kalian ke dalam benteng....“

Kian Bu terkejut. Sungguh permainan yang amat berbahaya! Menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi? Mungkin Hek-sin Touw-ong dapat menyamar sebagai salah satu di antara mereka, akan tetapi nona itu?

“Ah, mana bisa hal itu dilakukan? Sebelum kita memasuki benteng, tentu Ji-wi telah ketahuan dan kalau Ji-wi mengalami celaka, kami akan merasa tidak enak sekali,” katanya.

Juga Hwee Li tidak dapat menerima rencana itu.
“Enci Swi Hwa, harap jangan kau main-main. Kita bukan menghadapi sekumpulan anak-anak kecil yang mudah kau permainkan dengan penyamaran. Kita bukan sedang bermain di atas panggung sandiwara....“

“Wah, wah! Kalian memandang rendah kepandaian guruku, ya?”

Swi Hwa berdiri sambil bertolak pinggang dan kelihatan marah. Gurunya lalu menyentuh lengannya, memandang penuh teguran dan Swi Hwa menurunkan kedua tangannya kembali dan membuang sikapnya yang marah.

“Apa yang dikatakan oleh muridku ini memang benar. Akal itu memang amat baik dan kami kira kami dapat melakukan penyamaran itu sebaik-baiknya.”

“Suhu, mereka tentu tidak percaya. Lebih baik kita buktikan. Mari kita bersembunyi di sana sebentar, Suhu.”

Gadis berpakaian merah itu lalu menarik tangan gurunya, diajak pergi ke belakang semak-semak belukar tak jauh dari situ sambil membawa buntalannya yang agak besar. Hwee Li hanya saling pandang dengan Kian Bu, terheran-heran dan tidak percaya, akan tetapi juga tertarik sekali.

Tempat guru dan murid itu menyelinap lenyap adalah semak-semak belukar yang menyambung dengan pohon-pohon. Tak lama kemudian, terdengarlah dari sebelah kiri, dari balik pohon-pohon, suara seorang nenek-nenek yang agak gemetar menawarkan dagangannya,

“Sepatuuuuu.... sepatu rumpuuuuut....! Barang baik harga murah lekas.... beliiiii....!”

“Eh? Di dalam tempat sunyi seperti ini ada orang jualan sepatu rumput?” tanya Hwee Li dan dia memandang heran kepada seorang nenek yang datang terbongkok-bongkok membawa beberapa buah sepatu rumput.

Akan tetapi Kian Bu memandang kepada nenek itu dan mukanya berubah.
“Dia....? Dia.... adalah nenek itu....!”

Teringatlah dia akan nenek penjual sepatu rumput di daerah Ho-nan itu. Jantungnya berdebar. Nenek ini yang dituduhnya mengambil uangnya sekantung. Dan uang itu tadi dikembalikan oleh Ang-siocia!

“Kau kenapa, Kian Bu? Kau kenal dia....?” Hwee Li bertanya.

Akan tetapi Kian Bu yang masih bingung itu memandang dan selagi dia hendak lari menghampiri, nenek itu telah lenyap di balik semak-semak!

Melihat sikap Kian Bu, Hwee Li makin heran.
“Kian Bu, siapakah nenek-nenek itu tadi?”

Akan tetapi yang ditanya hanya memandang bengong ke arah semak-semak. Jadi gadis berpakaian merah itukah kiranya yang menyamar sebagai nenek-nenek itu dahulu? Bukan main! Dan dia sudah bicara dengan nenek itu berhadapan sampai cukup lama, namun dia sama sekali tidak tahu, bahkan uangnya sekantong pun dicurinya atau dicopetnya tanpa dia merasa. Benar-benar hebat gadis itu. Hebat ilmu penyamarannya, juga hebat ilmu copetnya!

“Hai, bukankah itu engkau, Twako? Apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak saling jumpa!”

Kian Bu terkejut dan menoleh ke kanan, juga Hwee Li memandang. Dia melihat seorang pemuda tampan yang bersikap gembira sekali keluar dari pohon sebelah kanan, sikapnya jelas telah lama mengenal Kian Bu.

“Eh, kau di sini, Kang-kongcu....?” kata Kian Bu.

Tentu saja dia mengenal Kang Swi, pemuda royal yang menjadi teman seperjalanannya menuju ke Ho-nan tempo hari. Akan tetapi, pemuda itu sudah menyelinap pergi lagi.

“Tunggu, Kang-kongcu....!”

Kian Bu hendak menghampiri dan tiba-tiba dia tersentak kaget bukan main ketika teringat akan nama itu. Kang Swi! Dan Ang-siocia bernama Kang Swi Hwa! Ah, pantas saja tadi ketika Ang-siocia memperkenalkan diri sebagai Kang Swi Hwa kepada Hwee Li, dia merasa seperti mengenal baik nama itu. Kang Swi dan Kang Swi Hwa! Kiranya satu orang! Dia makin kagum dan terheran.

Nona itu ternyata telah menyamar sebagai nenek-nenek penjual sepatu, kemudian menyamar sebagai pemuda Kang Swi tanpa dia ketahui sama sekali! Penyamaran sebagai nenek penjual sepatu yang mencopet uangnya itu sudah hebat, akan tetapi penyamarannya sebagai pemuda Kang Swi lebih hebat pula!

Dia telah berhari-hari melakukan perjalanan bersama “pemuda” itu, melihat Kang Swi memasuki sayembara, sampai pertempuran yang terjadi ketika mereka bertempur memperebutkan Pangeran Yung Hwa. Dan sama sekali dia tidak tahu bahwa “pemuda” itu adalah Ang-siocia pula yang menyamar. Pantas saja ketika mereka kehabisan kamar penginapan, “pemuda” itu tidak mau tidur sekamar dengan dia!

Hwee Li masih bingung.
“Eh, Kian Bu, siapakah nenek-nenek penjual sepatu itu tadi? Dan siapa pula pemuda yang menegurmu tadi? Agaknya engkau mengenal mereka, akan tetapi begitu muncul dan melihatmu, mereka terus pergi.”

Wajah Kian Bu menjadi merah. Dia merasa malu sendiri mengapa dia sampai dapat dipermainkan oleh gadis itu!

“Mereka.... mereka tadi adalah penyamaran Nona itu....“

“Enci Swi Hwa? Ah, benarkah?” Hwee Li tertegun, akan tetapi pada saat itu, dari arah belakangnya terdengar suara tertawa.

Hwee Li hampir menjerit mendengar suara ketawa bekas ayahnya itu. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan terbelalak memandang kakek raksasa yang berdiri di depannya.

“Ha-ha-ha, anakku Hwee Li yang cantik manis, anakku sayang, marilah engkau ikut ayahmu kembali ke Pulau Neraka....!”

“Tidak, tidak....! Engkau bukan ayahku! Engkau.... heeeee?”

Hwee Li teringat, memutar tubuhnya dan melihat betapa kepala Hek-tiauw Lo-mo masih berada di tempat yang tadi, di mana dia menguburkan tubuh kakek itu bersama kakek Hek-hwa Lo-kwi sampai ke leher! Cepat dia membalik dan memandang lagi, akan tetapi jelas bahwa Hek-tiauw Lo-mo benar-benar berdiri di depannya! Bulu tengkuknya meremang dan dia menjerit,

“Kau iblis tua bangka! Kau setan....!” Dan dia bergerak hendak menyerang. Akan tetapi, Kian Bu memegang tangannya dan menahannya.

“Nanti dulu, Enci Hwee Li. Lihat dulu baik-baik siapa dia....“

“Ha-ha-ha, anak durhaka kau! Hendak melawan ayah sendiri? Berani engkau melawan Hek-tiauw Lo-mo? Ha-ha-ha!”

Dan kini raksasa itu tertawa, nampak giginya yang bertaring dan tangan kanannya sudah mencabut golok gergajinya, sedangkan tangan kirinya memegang jala hitam tipis.

“Sudah kulihat, dia memang iblis tua itu!” Hwee Li berkata sambil memandang terbelalak kepada raksasa di depannya.

“Ehhh, Lo-mo, mengapa banyak membuang waktu? Kita tangkap dua bocah ini dan kita seret ke depan Pangeran Liong Bian Cu, bukankah kita akan memperoleh hadiah yang amat besar dan kedudukan tinggi kelak? Ha-ha-ha, mari kita tangkap mereka!”

Hwee Li terkejut memandang kakek bermuka tengkorak yang baru muncul. Hek-hwi Lo-kwi! Tidak salah lagi. Dia cepat menoleh dan melihat betapa kepala Hek-hwa Lo-kwi masih nampak di sana! Bagaimana dua orang kakek iblis ini mampu membebaskan diri sedangkan kepalanya masih kelihatan di sana? Dia makin bingung dan kini hanya dapat memandang dengan mata terbelalak seperti melihat setan di tengah hari!

“Ha-ha-ha, Lo-kwi. Lihat, bukankah anakku ini sekarang sudah besar dan cantik sekali? Pantas Pangeran Nepal itu sampai terkentut-kentut kegilaan kepadanya. Ha-ha-ha!” Hek-tiauw Lo-mo berkata lagi.

Tiba-tiba Kian Bu menjura kepada dua orang kakek itu sambil berkata,
“Kepandaian menyamar dari Locianpwe dan Nona sungguh membuat saya merasa kagum dan takluk!”

Mendengar ini, baru Hwee Li sadar. Akan tetapi dia masih belum percaya dan ketika Hek-tiauw Lo-mo melangkah dekat, dia otomatis mundur-mundur karena jerih.

“Hi-hik, Adik Hwee Li, apakah sekarang engkau merasa takut kepadaku? Sikapmu ini amat menyenangkan, Adik Hwee Li. Nah, apakah sekarang engkau percaya akan kemampuan Encimu ini dan Suhu?”

“Kau.... kau.... Enci Swi Hwa....!”

Kini barulah Hwee Li percaya setelah mendengar suara gadis itu. Akan tetapi dia masih terheran-heran bukan main. Kang Swi Hwa adalah seorang gadis cantik yang tingginya hampir sama dengan dia. Bagaimana sekarang telah mengubah diri menjadi seorang kakek raksasa yang tinggi itu? Dengan berindap-indap dia menghampiri Hek-tiauw Lo-mo palsu itu dan meneliti. Memang serupa! Bahkan wajah yang seperti raksasa bertaring itupun sama. Tubuhnya tinggi besar pun serupa. Kulitnya kehitaman juga sama. Hanya kini nampak olehnya betapa tangan Hek-tiauw Lo-mo palsu ini terlalu kecil, tidak sebesar tangan bekas ayahnya, sungguhpun aneh sekali, tangan Swi Hwa yang tadinya berkulit halus itu kini menjadi kasar sekali. Dia makin terheran-heran, berjalan mengelilingi Hek-tiauw Lo-mo palsu itu seperti seorang pedagang sapi sedang memeriksa seekor sapi yang hendak dibelinya.

“Bagaimana, Adik Hwee Li? Apakah masih ada kekurangannya?”

Hwee Li berhadapan dengan Swi Hwa dan memegang tangannya, akan tetapi cepat dilepasnya kembali dengan jijik. Orang ini terlalu mirip Hek-tiauw Lo-mo sehingga menimbulkan jijik kepadanya.

“Bagus sekali, Enci. Sayang ada satu perbedaan menyolok.”

“Tanganku terlalu kecil?”

“Bukan itu saja, terutama sekali.... baunya!”

“Baunya?”

“Ya, kau tadi berbau sedap harum, sekarang pun masih harum. Padahal, seingatku bau iblis tua itu amat apek!”

“Ha-ha-ha, Lo-mo, agaknya engkau tadi habis mandi minyak wangi, maka baumu menjadi harum! Hati-hati, lebih baik kau hilangkan bau harum itu dengan menggosok rambutmu dengan bunga tahi ayam!”

Terdengar Hek-hwa Lo-kwi berkata. Hwee Li bergidik. Kakek ini memang Hek-hwa Lo-kwi, sedikit pun tiada bedanya! Maka kagumlah dia. Kagum bukan main dan dia pun menjura.

“Hek-sin Touw-ong, aku benar-benar kagum sekali. Kalian memang hebat!”

Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa kini menanggalkan aksi mereka dan bicara dengan suara mereka sendiri.

”Nah, setelah kalian percaya, marilah kalian membiarkan kami berdua membawa kalian ke dalam benteng sebagai tawanan. Dengan cara ini, tentu akan mudah untuk mengelabuhi mereka, dan terbuka kesempatan kita untuk menolong mereka yang ditawan,” kata Hek-sin Touw-ong.

“Nanti dulu, Locianpwe. Aku masih penasaran....“ Kian Bu kini memandang kepada Hek-tiauw Lo-mo palsu alias Swi Hwa itu. “Jadi kalau begitu nenek penjual sepatu itu....“

“Akulah yang menyamar, Taihiap. Maafkan aku, kalau tidak begitu, mana bisa aku mencopet kantung uangmu?”

Kata Swi Hwa sambil tertawa. Lucu sekali melihat raksasa Hek-tiauw Lo-mo bersikap seperti itu dan mengeluarkan suara begitu merdu.

“Dan.... Kang-kongcu itu....?”

“Hi-hik, maaf bahwa aku telah mempermainkanmu, Taihiap. Akulah Kang Swi aku memang sedang bertualang mencari pengalaman, maka mendengar tentang sayembara itu aku ingin memasuki dan meluaskan pengetahuan.”

“Akan tetapi.... kau telah membantu Gubernur Ho-nan, Nona, dan tahukah engkau bahwa gubernur itu adalah seorang pengkhianat yang agaknya bersekutu dengan Pangeran Nepal?”

Hek-tiauw Lo-mo palsu itu mengangguk-angguk.
“Tadinya aku tidak tahu apa-apa. Tahuku hanya aku telah diterima menjadi pengawal dan tentu saja aku bertindak sebagai pengawal. Setelah aku tahu duduknya perkara, terus saja aku meninggalkan Ho-nan. Tak sudi aku menjadi kaki tangan pengkhianat dan pemberontak.”

Kian Bu mengangguk-angguk dengan hati lega.
“Kalau begitu baiklah, mari kita berangkat.”

“Akan tetapi tidak mungkin menunggang garuda kalau berempat,” kata Hwee Li. “Terlalu berat bagi garuda dan juga punggungnya tidak dapat menampung empat orang. Pula, kalau garuda kembali ke sana tentu akan sukar bagi kita untuk meloloskan diri kalau-kalau ada bahaya mengancam, maka biarlah kita jalan kaki saja dan biarkan garudaku terbang di atas benteng agar dia siap kalau sewaktu-waktu kupanggil.”

Semua orang setuju dan Hwee Li lalu membisiki telinga garuda yang dipanggilnya turun, kemudian menepuk lehernya. Garuda itu terbang ke angkasa dan empat orang itu berangkat meninggalkan tempat itu.

**** 091 ****