FB

FB


Ads

Rabu, 27 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 089

“Nyesssss....!”

Kian Bu terkejut bukan main. Hawa pukulannya yang mengandung hawa panas itu seperti terjun ke dalam air dingin saja rasanya, seperti api yang disiram air dingin. Nampak asap hitam mengepul di antara mereka ketika kedua pukulan itu bertemu dan Kian Bu merasa betapa hawa pukulan Hwi-yang Sin-ciang itu membalik, seperti seekor naga yang kembali ke gua karena takut bertemu lawan yang kuat!

Namun, pemuda ini sudah menguasai sinkang dari Pulau Es itu dengan sempurna, maka dia dapat menyimpan kembali hawa itu tanpa melukai dirinya sendiri. Dia melihat tubuh kakek bermuka tengkorak itu juga tergoyang, berarti bahwa hawa pukulan kakek itu pun membalik.

Maka dia merasa penasaran. Siluman Kecil ini belum mau mempergunakan pukulan gabungan Im dan Yang dari Pulau Es yang dilatihnya atas petunjuk Kim Sim Nikouw, karena pukulannya itu dianggapnya terlalu berbahaya sehingga membahayakan nyawa lawan, padahal dia tidak mau membunuh lawan ini.

Bahkan dia sekarang merasa ngeri sendiri mengingat betapa pukulan gabungannya yang amat hebat itu hampir saja menewaskan kakaknya sendiri, maka diam-diam dia berjanji di dalam hatinya bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak mau mengeluarkan pukulan gabungan itu.

Kini, melihat betapa Hwi-yang Sin-ciang dapat ditangkis lawan dan tidak berhasil, dia lalu mengganti sinkangnya menjadi Swat-im Sin-kang dan dia lalu memukul lagi, sekali ini dengan pukulan hawa dingin, yaitu Swat-im Sin-ciang. Serangkum angin yang mengandung hawa dingin melebihi salju menyambar ke depan. Kakek itu memandang tajam.

“Bagus....!”

Hek-hwa Lo-kwi berseru girang dan seperti juga tadi, dia telah menggerakkan kedua tangan mendorong ke depan. Serangkum angin dahsyat didahului sinar putih bergulung-gulung menyambar serangan Kian Bu itu. Kembali kakek itu menggunakan ilmu pukulannya yang sakti, yaitu Pek-hiat-hoat-lek.

Kembali dua macam hawa pukulan sakti bertemu di udara.
“Cesssss....!”

Dan sekali lagi nampak asap mengepul, akan tetapi asap itu tidak hitam seperti tadi, melainkan berupa uap putih. Seperti juga tadi, Kian Bu merasa betapa hawa sakti yang dipergunakannya membalik, membuat tubuh atasnya bergoyang. Akan tetapi dia melihat Hek-hwa Lo-kwi terhuyung ke belakang beberapa langkah. Dia sudah merasa girang ketika dengan heran dia melihat kakek itu meloncat bangun sambil tertawa girang. Mendadak Kian Bu berteriak,

“Celaka....!” dan dia pun terhuyung.

Kepalanya terasa pening dan matanya berkunang, dadanya terasa gatal-gatal dan sesak! Tahulah dia bahwa dia telah terkena racun yang amat hebat.

Memang itulah kelihaian Pek-hiat-hoat-lek! Ketika tadi Kian Bu menggunakan Hwi-yang Sin-ciang untuk menyerang, kakek itu menangkis dengan ilmunya yang mujijat, yang mengandung racun amat hebat. Dia sudah merasa penasaran dan heran melihat pemuda itu tidak apa-apa, akan tetapi dia segera tahu bahwa pemuda itu tadi menggunakan inti tenaga panas, maka tentu hawa beracun dari pukulannya telah terbakar dan buyar oleh hawa panas itu. Ketika pemuda itu kini memukul kembali dengan penggunaan tenaga dingin, dia merasa girang dan menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dan sekali ini dia berhasil!

Memang dalam hal tenaga sinkang dia masih kalah setingkat oleh Kian Bu, akan tetapi pemuda Pulau Es ini tidak tahu bahwa ketika tangan saktinya membalik, tenaga itu sudah mengandung racun dari Pek-hiat-hoat-lek! Kalau tadi hawa beracun itu terbakar oleh panasnya Hwi-yang Sin-kang, kini hawa beracun itu malah menjadi kuat terbawa oleh Swat-im Sin-kang yang kembali dan otomatis tertarik ke dalam tubuh dan melukai dadanya!

Hek-hwa Lo-kwi maklum bahwa pukulannya yang beracun itu telah melukai lawan, maka sambil tertawa dia lalu menubruk maju dengan pukulan-pukulan itu yang dilakukan dengan bertubi-tubi. Memang hebat sekali ilmu mujijat ini. Angin berpusing-pusing dan sinar putih bergulung-gulung mengejar Kian Bu.

Akan tetapi pemuda itu pun sudah menjadi marah. Cepat tubuhnya berkelebatan dan dia sudah menggunakan Ilmu Sin-ho-coan-in yang membuat tubuhnya seperti kilat menyambar-nyambar saja, mencelat ke sana-sini sampai tak dapat diikuti oleh pandang mata saking cepatnya. Hek-hwa Lo-kwi terkejut dan menjadi bingun, namun dia terus mengejar.

Kian Bu tidak mengerahkan lweekang untuk melakukan pukulan mautnya, yaitu penggabungan Yang-kang dan Im-kang itu, karena dadanya telah terluka dan terkena hawa beracun. Kalau dia mengerahkan lweekang terlalu kuat, maka tentu racun itu akan menjalar dan lukanya akan menjadi parah. Maka kini dia mengandalkan kecepatannya dan berusaha untuk menotok lawan. Namun, dia harus berlaku hati-hati dan gerakannya menjadi kurang gesit karenanya, tidak seperti biasa, sungguhpun kecepatan itu masih membuat Hek-hwa Lo-kwi menjadi bingung.

“Dia sudah terluka! Lo-mo, hayo cepat bantu aku. Sialan kau!” Hek-hwa Lo-kwi berteriak-teriak.

Hek-tiauw Lo-mo tentu saja melihat hal itu. Diam-diam dia juga merasa girang dan kagum terhadap kelihaian ilmu pukulan kawan yang tidak disukainya itu. Maka dia lalu menubruk Hwee Li yang sejak tadi hanya dikejar-kejar dan di desaknya itu. Hwee Li tidak dapat mengelak, lalu menyambut dengan tendangan dan pukulan.

“Dukkk!”

Tendangan kakinya mengenai perut bekas ayahnya, akan tetapi tendangan itu membalik dan kakinya terasa nyeri. Cepat dia meloncat ke belakang, kedua tangannya diayun ke depan dan sinar-sinar hitam menyambar ke arah muka dan dada Hek-tiauw Lo-mo.

Itulah “senjata” tanah dan pasir yang telah berubah menjadi senjata beracun itu. Dia memang menanti saat baik dan kinilah saatnya. Bukan hanya karena dia telah terdesak, akan tetapi juga melihat Hek-tiauw Lo-mo menubruknya sambil tertawa dan kelihatan lengah.

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya. Diserang secara mendadak seperti itu, dia tidak menjadi gugup, bahkan suara ketawanya tidak berhenti, dia hanya menggerakkan kedua lengan yang tadinya hendak menubruk itu, kini digerakkan cepat sehingga ujung kedua lengan bajunya yang lebar itu bergerak seperti bendera berkibar dari mana menyambar angin yang keras dan senjata rahasia hitam yang lembut terdiri dari tanah dan pasir itu tentu saja menjadi buyar dan tertiup ke kanan kiri.






Sebelum Hwee Li dapat mengelak, dia telah kena ditendang lututnya dan jatuh terpelanting. Sebuah totokan kilat menyusul dan gadis itu tidak mampu bergerak lagi, hanya memaki-maki kalang-kabut,

“Iblis tua bangka keparat! Anjing babi monyet tua mau mampus!”

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo hanya tertawa dan kini tiba-tiba dia menubruk ke samping, menyerang Kian Bu sambil mencabut keluar dua senjatanya yang hebat, yaitu golok gergaji di tangan kanan dan jala hitam itu dikepalnya di tangan kiri.

Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher pemuda itu. Namun, tubuh Kian Bu berkelebat lenyap dan biarpun kini dia dikeroyok oleh dua orang kakek yang amat lihai itu, namun mereka berdua tidak pernah dapat memukul atau membacoknya. Tubuhnya berkelebatan terlalu cepat, dan tempat itu luas sekali sehingga leluasalah bagi Kian Bu untuk memainkan ilmunya yang berdasarkan ginkang sempurna itu.

Akan tetapi, setelah kini dikeroyok dua, tipislah harapannya untuk dapat merobohkan dua orang lawannya. Dia sama sekali tidak berani mengerahkan sinkang terlalu kuat, padahal kalau hanya mengandalkan ilmu silat biasa saja, sukarlah merobohkan dua orang raksasa ini. Dan rasa gatal dan sesak di dadanya makin menghebat, apalagi melihat betapa Hwee Li telah roboh tertotok, hatinya menjadi agak gelisah dan hal ini makin mengacaukan gerakannya!

Hampir saja dia kena disabet golok Hek-tiauw Lo-mo ketika dia melirik Hwee Li, maka dia cepat melempar diri ke belakang dan kini dia tidak mau membagi perhatiannya. Sebetulnya, kalau dia mau pergi dan melarikan diri, dengan mengandalkan ilmu Sin-ho-coan-in, dengan mudah dia dapat meninggalkan dua orang kakek itu dan mereka tidak mungkin dapat mengejar larinya, biar mereka itu menunggang garuda sekalipun. Akan tetapi, dia tidak bisa meninggalkan Hwee Li. Maka kini Kian Bu mencari kesempatan untuk dapat menolong Hwee Li dan membawanya pergi dari situ secepatnya.

Akan tetapi, dua orang kakek itu adalah tokoh-tokoh besar yang selain lihai ilmu mereka, juga amat cerdik.

“Ha-ha-ha, Lo-mo, dia sudah terluka, jangan sampai dia melarikan anakmu yang puthauw (tidak berbakti) itu!” kata Hek-hwa Lo-kwi dan setelah berkata demikian, dia menyerang lagi dengan pukulan beracunnya.

Untuk ke sekian kalinya, Kian Bu tidak berani menangkis dan hanya mengelak. Hek-hwa Lo-kwi lalu mengeluarkan sebotol benda cair berwarna kuning dan menuangkan benda cair itu di sekeliling tubuh Hwee li yang rebah. Nampak asap mengepul dan tanah yang terkena benda cair itu mendidih!

Melihat ini, agaknya Hek-tiauw Lomo tidak mau kalah. Dia mengeluarkan segenggam paku berwarna hijau dari saku jubahnya yang lebar, lalu sekali tangannya bergerak, paku-paku itu menancap di sekeliling tempat Hwee Li rebah dan anehnya, paku-paku itu menancap berdiri dengan ujungnya yang runcing di atas sehingga siapapun yang akan menolong Hwee Li harus melalui asap beracun dan juga paku-paku beracun itu.

Kian Bu menjadi makin khawatir. Kalau tidak dihalangi oleh dua orang ini, tentu saja dia tidak merasa berat untuk mengeluarkan Hwee Li dari kurungan asap dan paku itu. Merobohkan mereka sementara ini tidak mungkin karena dia tidak dapat mengerahkan lweekangnya yang terlalu kuat. Melarikan diri tanpa membawa Hwee Li juga dia tidak mau melakukannya, maka dia menjadi serba salah!

Tiba-tiba terdengar suara parau,
“Benarkah katamu bahwa dia itu Siluman Kecil?”

Pertanyaan parau ini dijawab oleh suara merdu seorang gadis,
“Mana bisa keliru, Suhu? Teecu mengenalnya dengan baik.”

Kian Bu yang sedang berloncatan ke sana-sini menghindarkan terjangan dua orang itu, cepat melirik. Dia melihat seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bermuka hitam dan berpakaian sederhana berwarna hitam pula, telah berdiri di situ bersama seorang gadis cantik yang pakaiannya serba merah muda, di punggungnya membawa sebatang pedang yang dihias ronce merah tua. Dia segera mengenal gadis itu yang bukan lain adalah Ang-siocia, gadis maling yang pernah mencuri pusaka-pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin itu!

Tentu saja Kian Bu sama sekali tidak pernah mimpi bahwa gadis ini, yang dikenalnya sebagai Ang-siocia, sesungguhnya bukan lain adalah Kang Swi yang pernah menemaninya dalam perjalanan menuju ke Ho-nan, si kongcu royal itu, dan juga gadis inilah nenek penjual sepatu yang telah mencuri uangnya sekantung!

“Hemmm, aneh....!” kata kakek bermuka hitam itu yang bukan lain adalah Hek-sin Touw-ong si Raja Maling Sakti Hitam, guru dari Ang-siocia yang bernama Kang Swi Hwa itu. “Gerakannya demikian hebat dan lincah, dua orang iblis tua ini sama sekali tidak akan mampu memukulnya roboh. Hebat bukan main, akan tetapi mengapa dia tidak balas menyerang?”

Setelah menonton pertempuran itu, Hek-sin Touw-ong berkata dengan heran. Dia melihat gerakan pemuda berambut putih itu memang luar biasa sekali. Dia sendiri yang di juluki Raja Maling dan memiliki ginkang yang cukup tinggi, menjadi silau menyaksikan gerakan yang secepat itu.

Akan tetapi mengapa pemuda itu tidak balas menyerang, padahal kalau pemuda itu menggunakan lweekang dan balas menyerang, mengandalkan kecepatan gerakannya, dua orang kakek itu mana mampu mengelak atau menangkis? Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kian Bu telah menderita luka dan keracunan di dadanya, juga dia tidak tahu bahwa kecepatan Kian Bu itu belum sepenuhnya, baru tiga perempat bagian saja karena gerakannya sudah menjadi berkurang kecepatannya karena lukanya.

“Suhu, tentu ada sebabnya dia tidak dapat membalas. Dan lihat gadis itu.... ah, dia agaknya terluka, tidak mampu bergerak.... dan dia dikurung asap aneh dan paku-paku hijau.” Kang Swi Hwa mendekati Hwee Li.

“Awas, Hwa-ji, jangan kau menyentuh paku atau terlalu dekat dengan asap itu!” gurunya memperingatkan karena dia merasa curiga.

Hwee Li juga melihat munculnya dua orang ini. Dia tidak mengenal mereka, akan tetapi dari sikap mereka, dia dapat menduga bahwa mereka, terutama kakek itu, tentu memiliki kepandaian. Dan melihat sikap mereka, agaknya mereka itu bukan orang-orang jahat dan bukan pula sekutu dua orang iblis tua itu.

“Heiii, kalian ini apakah orang-orang pengecut, ataukah orang-orang jahat yang menjadi kaki tangan dua orang kakek iblis jahanam ini?” tanya Hwee Li dengan suara lantang.

Kakek itu mengerutkan alisnya dan Swi Hwa yang juga berwatak galak lalu mendamprat,
“Kau ini bocah bermulut lancang dan rusak! Rasakan saja sekarang, memang sudah pantas sekali kalau kau mengalami nasib seperti itu. Huh! Mengatakan orang pengecut dan jahat! Manusia seperti engkau ini yang agaknya jahat dan pengecut!”

“Swi Hwa, jangan sembrono dan jangan layani orang!” gurunya memperingatkan, karena dia masih kagum sekali terhadap gerakan orang muda yang telah lama dia kenal namanya sebagai Siluman Kecil itu.

“Kalau kalian bukan pengecut dan bukan orang jahat, mengapa tidak lekas membantu dia yang dikeroyok oleh dua orang iblis tua bangka itu? Mereka hendak memperkosa aku dan dia itu telah membelaku, kalau kalian diam saja berarti kalian membantu dua iblis jahat itu!” Hwee Li berkata lagi.

“Hemmm, kau bocah bermulut jahat ini memang sepatutnya mengalami nasib seperti itu! Aku malah ingin menontonnya!” Kang Swi Hwa balas membentak.

“Wah, kau perempuan cabul....!” Hwee Li memaki dan kehabisan akal. Lalu dia berkata kepada Hek-sin Touw-ong, “Orang tua yang baik, aku melihat engkau bukan orang lemah, apakah kau tidak berani menghadapi Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu?”

“Apa? Mereka itu adalah....“

“Benar, Suhu. Kakek yang mukanya seperti tengkorak itu adalah ketua dari Kui-liong-pang di lembah. Dialah Hek-hwa Lo-kwi yang kini menjadi kaki tangan Pangeran Nepal itu. Dan gadis berpakaian hitam galak itu bukan lain adalah puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka, maka jangan dipercaya omongannya. Mana mungkin Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi ayahnya sendiri itu hendak memperkosanya?” kata Kang Swi Hwa.

Seperti kita ketahui, ketika diadakan pertemuan para tokoh kang-ouw, Swi Hwa atau Ang-siocia ini juga hadir mewakili gurunya yang tidak berkenan hadir. Dan di dalam pertemuan di lembah itu, dia juga bertemu dengan Hwee Li yang mewakili ayahnya yang juga tidak dapat hadir.

“Aihhh, kiranya engkau si maling betina itu? Wah, celaka, kiranya kalian ini maling-maling besar dan kecil, tentu cocok sekali dengan iblis-iblis itu! Mampuslah kalian dimakan api neraka!”

Hwee Li memaki-maki dan putus harapan. Baru sekarang dia mengenal Ang-siocia. Kalau gadis itu datang bersama gurunya yang dikenalnya sebagai maling tua atau raja maling itu, dan yang dulu datang menghadiri pertemuan di lembah, tentu mereka ini juga menjadi anak buah dari pangeran pula!

Akan tetapi, Hek-sin Touw-ong sudah mencegah muridnya membuka mulut lagi. Dia merasa amat heran. Memang aneh yang dia hadapi ini. Muridnya tidak mungkin bisa keliru. Gadis itu jelas ditotok orang. Sepantasnya, kalau gadis itu benar puteri dari Hek-tiauw Lo-mo yang mainkan golok gergaji secara lihai itu, tidak mungkin gadis itu dirobohkan oleh ayahnya sendiri, apalagi hendak diperkosa seperti yang diceritakan oleh gadis baju hitam itu. Jadi, tentu pemuda rambut putih itulah yang telah menotoknya. Dan kalau pemuda rambut putih itu yang menotok dan hendak memperkosanya, barulah benar dan masuk di akal.

Akan tetapi, dia mengenal nama Siluman Kecil sebagai seorang pendekar besar yang amat terkenal, masa sekarang ternyata hanyalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang rendah saja?

“Ha, apakah Lote ini Hek-sin Touw-ong?”

Tiba-tiba Hek-hwa Lo-kwi yang merasa penasaran karena dia dan Hek-tiauw Lo-mo sampai sekarang belum juga mampu merobohkan Kian Bu, berkata.

“Kebetulan sekali, marilah bantu kami menangkap Siluman Kecil ini yang berani melarikan tunangan Pangeran Liong Bian Cu. Mari bantu kami merobohkan dia dan membawa kembali tunangan pangeran itu ke lembah!”

“Tunangan pangeran....?” Kang Swi Hwa berkata lirih penuh keheranan, lalu dia mengangguk-angguk. “Ahhh, kiranya dia telah diangkat menjadi tunangan pangeran. Cocok sekali!”

“Cocok hidungmu!” Hwee Li membentak dan matanya melotot. “Boleh kau gantikan saja kalau kau sudah ingin sekali menjadi kekasihnya. Kalau aku sih tidak sudi!”

Kang Swi Hwa tidak menjawab. Seperti juga gurunya, dia bingung menghadapi keadaan yang serba runyam dan bertentangan itu. Gadis itu tunangan pangeran, puteri Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi kini tertawan dan tertotok, dan gadis itu malah membantu Siluman Kecil agaknya.

Melihat betapa guru dan murid itu bengong saja, memandang kepadanya dan kepada pertempuran itu seperti orang-orang tolol, Hwee Li menjadi mendongkol sekali. Melihat betapa kakek bermuka hitam itu tidak melayani ajakan Hek-hwa Lo-kwi, timbul harapannya dan dia lalu berkata nyaring,

“Hek-sin Touw-ong, biarpun julukanmu Raja Maling, kulihat engkau tidak sejahat muridmu itu. Ketahuilah bahwa aku dipaksa dan ditawan di lembah oleh pangeran brengsek dari Nepal itu yang dibantu oleh anjing-anjing tua termasuk Hek-tiauw Lo-mo ayah palsu dan bukan ayahku itu. Aku dapat diloloskan oleh Siluman Kecil, akan tetapi dikejar dan.... entah mengapa, dia agaknya belum juga mampu merobohkan dua ekor anjing tua bangka itu. Maka, kalau engkau masih mengaku sebagai orang tua yang gagah, yang pantas kusebut locianpwe, harap kau suka membantunya. Lekaslah, Locianpwe!”

“Ha-ha, kita adalah orang segolongan, kalau membantu Pangeran Nepal tentu kelak kita akan memperoleh kedudukan besar. Mari bantu kami menangkap Siluman Kecil yang sombong ini, Hek-sin Toauw-ong!” kata pula Hek-hwa Lo-kwi.

“Swi Hwa, kau bebaskan totokannya, akan tetapi hati-hati, jangan menginjak paku dan jangan menyedot asap itu!” tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata dan dia lalu meloncat ke dalam gelanggang pertempuran, tangan kirinya mengirim serangan dengan tangan dimiringkan seperti pedang dan menyambar ke arah Hek-hwa Lo-kwi.

Si muka tengkorak ini terkejut dan marah sekali melihat si Raja Maling itu ternyata malah membantu Siluman Kecil. Dia cepat menggerakkan tangan untuk menangkis dan mengelak:

“Srattt!”
Dan ujung lengan bajunya putus seperti terbabat pedang yang amat tajam!

“Ahhh....!”

Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main. Kiranya maling tua ini memiliki ilmu pukulan yang demikian hebatnya. Teringatlah dia akan kepandaian murid raja maling ini, yang pernah mendemonstrasikan Ilmu Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok). Kalau murid perempuan itu memperlihatkan ilmu itu menggunakan pedang, kini si raja maling ini menggunakan tangan seperti pedang!

Dia balas menyerang dan karena Hek-sin Touw-ong juga maklum akan kelihaian ketua Kui-liong-pang ini, maka dia pun cepat mengelak dan balas menyerang. Segera terjadi pertempuran hebat, saling menyerang antara dua orang kakek ini.

Masuknya Hek-sin Touw-ong ke dalam pertempuran ini benar-benar amat menolong Kian Bu. Tentu saja dia tidak akan dapat dirobohkan oleh dua orang lawannya, akan tetapi dia pun sama sekali tidak mungkin dapat merobohkan mereka berdua tanpa mengerahkan sinkang.

Kini, setelah Hek-hwa Lo-kwi meninggalkannya dan dia hanya menghadapi Hek-tiauw Lo-mo seorang, Kian Bu mempercepat gerakannya sehingga Hek-tiauw Lo-mo menjadi bingung. Dia seperti seekor biruang besar yang menghadapi seekor lebah, dia menyerang ke sekelilingnya dan lebah itu beterbangan mengelilinginya. Beberapa kali jala hitamnya menyambar di antara sinar goloknya yang bergulung-gulung, namun tak pernah berhasil karena gerakan Kian Bu terlalu cepat. Tiba-tiba Kian Bu yang mendapat kesempatan meloncat ke belakang tubuh kakek itu mengulurkan tangan dan menotok tengkuk Hek-tiauw Lo-mo.

“Dukkk....!”

Tubuh Hek-tiauw Lomo terguling, akan tetapi karena Kian Bu tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga dalam totokannya tadi, kakek raksasa itu tidak lumpuh sama sekali, hanya sebagian saja dan dia masih berusaha memulihkan jalan darahnya. Kian Bu cepat menyusulkan sekali totokan lagi dan robohlah kakek itu dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi!

Sementara itu, Kang Swi Hwa sudah mendekati tempat Hwee Li rebah. Nona ini boleh jadi lihai dalam ilmu silat, terutama sekali dalam ilmu mencopet dan ilmu penyamaran, akan tetapi tentang racun, pengertiannya baru kelas nol. Maka dia menghampiri lingkaran asap dan barisan paku hijau itu dengan ragu-ragu. Jangan menginjak paku dan jangan menyedot asap itu, pesan gurunya.

Dengan hati-hati sekali Swi Hwa menghampiri lingkaran itu. Melihat bahwa lingkaran asap dan paku-paku itu hanya memisahkan tempat dara pakaian hitam itu rebah dengan tempat dia berdiri sejauh kurang lebih tiga meter saja, maka dia lalu menggunakan ginkangnya dan melompat melewati lingkaran asap dan paku yang berjajar.

Hwee Li melihat itu semua dan tersenyum. Mampuslah, pikirnya! Akan tetapi dia, diam saja. Dara ini semenjak kecil dirawat dan dididik oleh seorang manusia ganas dan kejam macam Hek-tiauw Lo-mo, maka tentu saja dia pun mempunyai watak yang ganas dan tidak mengenal kasihan, sungguhpun sering pula timbul sifat-sifat baiknya yang banyak tertutup oleh pendidikan Hek-tiauw Lo-mo.

Apalagi setelah dia ikut bersama gurunya yang baru, yaitu Ceng Ceng, sering kali dia menerima teguran-teguran dan petunjuk-petunjuk, juga dia melihat sifat-sifat dan watak-watak Ceng Ceng dan suaminya sebagai pendekar-pendekar besar yang gagah perkasa, maka banyak kegagahan yang menular pula kepadanya. Akan tetapi kadang-kadang, timbul keganasannya yang dia bawa dari Pulau Neraka, apalagi kalau dia sedang marah. Dan saat itu dia memang sedang marah. Dia ditotok orang, tak mampu bergerak, lalu muncul gadis baju merah yang menggemaskan hatinya.

Swi Hwa berhasil meloncat ke dekat Hwee Li. Dia mencium sesuatu yang aneh dan kepalanya merasa agak pening, akan tetapi dia tidak tahu sebabnya.

“Bocah galak, akhirnya toh engkau membutuhkan pertolonganku....“ kata Swi Hwa akan tetapi begitu dia bicara, rasa pening di kepalanya bertambah.

Hwee Li menjebikan bibirnya yang merah.
“Huh, siapa membutuhkan pertolonganmu? Kau lihat saja, bukan aku yang membutuhkan pertolonganmu, melainkan engkaulah yang akan mampus kalau tidak ada aku yang menolongmu!”

Tentu saja Swi Hwa menjadi marah. Ingin dia menampar muka yang cantik itu. Akan tetapi gurunya telah memerintahkan dia untuk membebaskan totokan yang membuat gadis baju hitam ini tak dapat bergerak. Dia tidak berani membangkang terhadap perintah gurunya. Pula, dia kini tahu bahwa gadis ini ternyata bukanlah anak Hek-tiauw Lo-mo, bukan sekutu si pangeran bahkan dipaksa untuk menjadi isteri pangeran itu. Malah gadis ini ditolong oleh Siluman Kecil! Hal ini sedikit banyak membuat dia mengiri juga.

“Huh, manusia macam engkau ini mana pantas ditolong orang?” dia bersungut-sungut akan tetapi kembali kepalanya seperti dihantam orang rasanya kalau dia bicara.

Maka dia tidak mau bicara lagi dan cepat dia menggerakkan tangan hendak membebaskan totokan yang melumpuhkan Hwee Li.

“Nanti dulu!” kata Hwee Li. “Totokan ini dilakukan oleh Hek-tiauw Lo-mo, orang macam engkau mana mampu membuyarkannya? Hayo kau totok jalan darah in-thai-hiat. Yang keras, karena ilmu totok iblis tua itu adalah Su-sat-jiu, tidak mudah dibuyarkan!”

Sikap dan kata-kata Hwee Li benar-benar membuat Swi Hwa menjadi mendongkol bukan main. Bocah ini benar-benar sombong, pikirnya. Akan tetapi karena dia tentu akan makin diejek dan makin dipermainkan kalau dia gagal membuyarkan totokannya, maka dia lalu menotok dengan pengerahan lweekangnya ke arah jalan darah in-thai-hiat di punggung Hwee Li.

“Dukkk....!”

Totokan itu keras sekali, membuat punggung Hwee Li terasa sakit akan tetapi segera dapat bergerak lagi. Akan tetapi sebaliknya, Swi Hwa mengeluh dan roboh terguling dalam keadaan pingsan!

Hwee Li bangkit berdiri, mengurut-urut lengan dan kakinya yang terasa kaku sambil memandang kepada Swi Hwa dengan senyum mengejek. Tiba-tiba terdengar seruan Hek-sin Touw-ong,

“Hei, apa yang terjadi dengan Swi Hwa?” Dia hendak melompati lingkaran asap itu, akan tetapi Hwee Li cepat mencegahnya dengan teriakan, “Touw-ong, jangan meloncat ke sini! Dia juga keracunan setelah meloncat ke sini, biar aku membawanya keluar!”

Kiranya Hek-hwa Lo-kwi juga sudah dapat dirobohkan dengan totokan. Ketika Kian Bu tadi berhasil merobohkan Hek-tiauw Lo-mo, dia melihat betapa pertempuran antara Hek-hwa Lo-kwi dan Raja Maling itu masih berlangsung dengan amat hebatnya. Si Raja Maling itu memang lihai sekali. Ilmu Kiam-to Sinciang membuat kedua tangannya seperti golok dan pedang, bahkan hawa pukulannya saja telah berubah menjadi seperti sinar pedang yang mampu merobohkan lawan tangguh.

Sebaliknya, Hek-hwa Lo-kwi juga mengeluarkan ilmunya yang mujijat itu, Pek-hiat-hoat-lek yang telah berhasil membuat Kian Bu terluka dan keracunan. Kian Bu mengkhawatirkan keselamatan si Raja Maling, mengingat akan jahatnya Ilmu Pukulan Darah Putih itu, maka dia cepat meloncat dan mempergunakan kecepatannya untuk menotok jalan darah di tengkuk Hek-hwa Lo-kwi. Kakek itu mengeluh dan terpelanting, dan saat itu dipergunakan oleh Hek-sin Touw-ong untuk menyusulkan totokannya sendiri yang dilakukan dengan kekuatan penuh sehingga Hek-hwa Lo-kwi roboh dan pingsan.

Mendengar ucapan Hwee Li, Hek-sin Touw-ong terkejut dan ragu-ragu.
“Harap turut saja kata-katanya, Locianpwe, dia memang ahli dalam hal racun,” kata Kian Bu dan dia sendiri pun cepat duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya untuk mengumpulkan hawa murni dan melawan hawa beracun yang melukai dadanya.

Hwee Li mengempit tubuh Swi Hwa, menggunakan saputangan untuk menutupi mulut dan hidung gadis baju merah itu dengan mengikatkan saputangan di depan muka gadis itu, kemudian dia melompat keluar melalui atas lingkaran asap yang mulai mengecil dan padam itu.

Akan tetapi, begitu dia melihat Kian Bu duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya, Hwee Li terkejut dan dia melepaskan tubuh Swi Hwa yang masih pingsan itu ke atas tanah dan tergopoh-gopoh dia menghampiri Kian Bu tanpa mempedulikan lagi kepada Swi Hwa. Tentu saja Hek-sin Touw-ong menjadi bingung dan sibuk memeriksa dan mencoba membuat sadar muridnya yang pingsan itu.

“Kian Bu, kau.... kau kenapa? Apakah kau terluka?” Hwee Li berlutut di dekat Kian Bu dan bertanya dengan penuh kekhawatiran.