FB

FB


Ads

Rabu, 27 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 088

“Kau harus menyebut aku enci (kakak perempuan).”

“Hehhh....? Tapi.... tapi aku lebih tua daripada engkau....! Usiaku sudah dua puluh tahun lebih, dan engkau paling banyak delapan belas....“

“Tujuh belas!” potong Hwee Li dengan cepat.

“Nah, baru tujuh belas malah!”

“Hemmm, baru permintaan sedemikian saja engkau sudah banyak cerewet. Katakan saja engkau tidak mau! Apalagi untuk membayar hutang nyawa segala....!” Hwee Li bersungut-sungut dan memalingkan muka dari pemuda itu.

“Ah, tentu saja aku mau. Enci Hwee Li, jangan marah. Aku akan menyebutmu enci, cici, kakak ataukah enso (kakak ipar)....?”

“Ihhh! Tak tahu malu!”

Hwee Li membentak dan mukanya berubah merah sekali, akan tetapi karena sinar bulan juga mengandung warna kemerahan, maka perubahan warna muka ini tidak dapat kentara.

Sebaliknya, Kian Bu termenung dan hatinya terharu, dia tidak mau menggoda lagi. Jelaslah bahwa permintaan dara ini membuktikan bahwa dara ini benar-benar mencinta kakaknya! Dia merasa girang dan terharu. Ah, derita batin kakaknya tentu akan terobati kalau kakaknya memperoleh dara cantik jelita dan lincah jenaka ini sebagai kekasih dan calon isteri!

“Maafkan aku, Enci Hwee Li, aku berjanji tidak akan menyebutmu so-so lagi....“

Hwee Li menoleh dan matanya yang indah itu melotot.
“Berjanji tidak akan menyebut akan tetapi terus-menerus mengulang! Kau menantang, ya?”

“Eh, oh.... tidak...., maafkan. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan ketika mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih kepadaku. Engkau sudah berkali-kali menolongku, kalau sekarang mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih, bukankah itu artinya mengejekku?”

“Huh, kau tidak tahu. Apakah kau kira aku begitu ceroboh dan usil untuk mempertaruhkan nyawaku menolongmu kalau hal itu tidak penting bagiku?”

“Maksudmu....?”

“Bukan aku yang menolongmu, melainkan engkaulah yang telah membebaskan aku dari kurungan benteng itu. Aku adalah seorang tawanan pula di sana, mengertikah engkau?”

Tentu saja Kian Bu menjadi terkejut bukan main. Tadi dia mendengar bahwa dara jelita ini adalah tunangan dari Pangeran Nepal itu, dan sekarang mengaku sebagai tawanan.

“Tawanan? Bukankah ayahmu juga berada di sana? Kalau Hek-tiauw Lo-mo menjadi pembantu pangeran itu, mana mungkin engkau menjadi tawanan?”

“Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahku, melainkan musuh besarku!”

“Ehhhhh....?” Kian Bu memandang dengan mata terbelalak.

“Dia.... dia bahkan musuh yang telah membunuh ibuku....“ Hwee Li menunduk, hatinya berduka teringat akan riwayatnya itu.

“Ahhh....! Kalau begitu kionghi (selamat) kepadamu, Enci!”

Dan Kian Bu benar-benar telah bangkit berdiri dan memberi selamat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk di depan dara itu.

Hwee Li meloncat berdiri.
“Engkau.... engkau manusia kejam! Engkau siluman liar!”

Dan tiba-tiba dara itu telah menerjang dan menyerang Kian Bu dengan hebatnya! Begitu menyerang, tangannya meluncur menotok ke arah jalan darah di leher Kian Bu, sedangkan kakinya yang kecil itu cepat sekali menyusul dengan tendangan yang juga merupakan totokan dengan ujung sepatu mengarah lambung!

“Eh.... plakkk! Ohhh.... plekkk!”

Kian Bu terhuyung-huyung ke belakang karena dia menangkis tanpa mengerahkan sinkangnya sehingga dia terdorong oleh tenaga totokan dan tendangan itu. Dengan penasaran dan marah karena serangannya yang tiba-tiba dan amat cepat itu dapat ditangkis, bahkan tangan dan kakinya terasa nyeri, Hwee Li telah menerjang lagi, seperti seekor naga mengamuk saja. Namun sekali ini Kian Bu telah siap, dan dengan mudah pemuda ini terus-menerus mengelak.

“Eh, nanti dulu.... wah, Enci.... eh, Ciciku yang baik.... tahan dulu....!” Melihat Hwee Li terus menyerang, tiba-tiba tubuh Kian Bu melesat jauh dan lenyap!

Hwee Li termangu-mangu, dan merasa heran, lalu bersungut-sungut,
“Tak tahu aturan, adik macam apa dia itu! Orang menceritakan ibunya dibunuh orang malah memberi selamat!”

“Wah, engkau salah sangka, Enci Hwee Li....“

Tiba-tiba Hwee Li membalikkan tubuhnya dan kiranya pemuda berambut putih itu telah berdiri di belakangnya! Kian Bu cepat mengangkat kedua tangan ke atas, tanda takluk dan tergesa-gesa menyambung ucapannya sebelum dara yang galak itu sampai menyerangnya lagi,

“Dengarkan dulu! Aku memberi selamat kepadamu bukan untuk itu, melainkan mendengar bahwa engkau bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo! Sejak dahulu pun aku sudah tidak percaya, masa iblis jelek menakutkan macam Hek-tiauw Lomo bisa mempunyai seorang anak yang cantik molek dan manis jelita seperti engkau....“

“Wah, engkau memang seorang adik yang bejat moralnya!”

“Lhoh, kenapa lagi?”






“Engkau memuji-muji kecantikan cicimu, hemmm, ada maksud kotor apa di dalam hatimu?”

Kian Bu tersenyum.
“Aihhh, segala yang kuucapkan ternyata kau anggap salah saja. Sudahlah aku minta maaf. Aku tadi memberi selamat saking girang hatiku mendengar bahwa engkau bukanlah puteri Hek-tiauw Lo-mo, maka aku memberi selamat dan saking girang hatiku sampai aku tadi lupa bahwa ibumu telah terbunuh oleh iblis itu! Hemmm, jangan khawatir, aku akan membantumu membalaskan dendam orang tuamu itu, Enci Hwee Li. Lalu...., siapakah orang tuamu, kalau aku boleh bertanya?”

Akan tetapi Hwee Li sudah duduk lagi dan tidak menjawab, hanya menunduk. Keadaan menjadi sunyi, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kian Bu memang merasa girang, karena kalau dara ini bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo, berarti dara ini makin pantas menjadi jodoh kakaknya.

Betapapun cantiknya dan baiknya, kalau dia ini puteri Hek-tiauw Lo-mo, wah, agak sukar juga karena setidaknya, orang tua mereka di Pulau Es tentu tidak akan sudi berbesan dengan iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, melihat Hwee Li tidak menjawab pertanyaannya tentang orang tuanya, dia pun tidak berani mendesak, karena dia mengira bahwa tentu dara itu masih merasa berduka atas kematian orang tuanya di tangan Hek-tiauw Lo-mo.

Di lain fihak, Hwee Li juga tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia menyuruh Kian Bu menyebutnya enci karena memang dia merasa bahwa pemuda ini adalah adik Kian Lee, maka sudah sepantasnya menyebut enci, bukan enso (kakak ipar) karena memang belum waktunya! Dan kini, sukar baginya untuk mengaku bahwa dia adalah keturunan mendiang Kim Bouw Sin, panglima di perbatasan yang pernah menjadi pemberontak itu!

Bagaimanakah keluarga Suma akan memandangnya kalau mereka mendengar bahwa dia adalah keturunan pemberontak Kim Bouw Sin? Padahal, dia tahu bahwa keluarga Pulau Es adalah keluarga pahlawan, bahkan ibu Kian Bu Siluman Kecil ini adalah seorang puteri istana kaisar! Maka, dia tidak berani mengaku di depan Kian Bu siapa adanya orang tuanya yang sesungguhnya.

Melihat Hwee Li menunduk seperti orang berduka itu, Kian Bu mengira bahwa dara itu teringat akan orang tuanya, maka dia lalu mengalihkan percakapan.

“Enci Hwee Li, jadi engkau telah ditahan secara paksa di dalam benteng itu? Akan tetapi aku mendengar bahwa engkau.... eh, engkau adalah tunangan pangeran itu!”

“Tidak sudi! Dia memaksa aku menjadi tunangannya, dia dan iblis tua bangka itu dan para pembantunya. Akan tetapi, siapa sudi menjadi isterinya?”

“Eh, kenapa? Bukankah pangeran itu gagah dan tampan, seorang pangeran kerajaan pula?”

“Tampan? Dia me.... memuakkan....!”

Hwee Li teringat betapa dia pernah diciumi oleh pangeran itu dalam keadaan tak dapat menghindar.

“Terutama.... hidungnya! Dan matanya! Seperti burung hantu.... ihhh, menjijikkan!” Dan Hwee Li meludah karena dia teringat akan ciuman-ciuman dahulu itu.

Kian Bu tidak mau mengukur isi hati dara itu lagi. Hatinya girang karena selain dara ini ternyata bukan puteri dari iblis Pulau Neraka itu, juga ternyata Hwee Li bukanlah tunangan pangeran dari Nepal itu, melainkan dipaksa sebagai tunangannya. Sekarang tahulah dia mengapa Hwee Li menolongnya.

Memang benar pengakuan dara ini tadi bahwa Hwee Li bukan semata-mata menolongnya, melainkan juga hendak menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri dari dalam benteng. Dan memang perhitungan dara itu amat cerdik. Karena “membiarkan” dirinya ditawan dan dijadikan sandera oleh Kian Bu, maka biarpun tokoh-tokoh lain tidak peduli, namun pangeran itu ternyata merasa khawatir akan keselamatan tunangannya dan membiarkan Kian Bu lolos membawa Hwee Li.

“Kalau begitu, Enci Hwee Li, apakah engkau tidak akan kembali ke sana setelah berhasil lolos bersamaku?” Akhirnya Kian Bu bertanya.

“Kembali ke sana? Apakah engkau gila? Terang aku tidak akan kembali ke sana, akan tetapi.... aku terpaksa harus kembali ke sana.”

“Ehhh? Engkau memang aneh, Enci.” Kian Bu memandang heran. “Setelah berhasil lolos, mengapa hendak kembali lagi ke sana? Katanya engkau membenci sang pangeran?”

“Hushhh, aku bukan hendak kembali untuk dia. Pertama-tama, aku harus berhasil membalaskan sakit hati ibuku terhadap ibliss tua bangka dari Pulau Neraka itu.“

“Hemmm, tidak mudah! Dia lihai sekai!.”

“Takut apa? Dengan adanya engkau di sampingku yang membantuku, apakah kau kira aku tidak mampu membekuk batang lehernya?”

“Aku....? Ah, akan tetapi.... belum tentu aku akan kembali ke sana.”

Hwee Li meloncat bangun, berdiri dan menghadapi Kian Bu dengan kedua tangan menekan pinggangnya yang ramping. Dia membanting kaki kanannya dua kali, tanda bahwa dia merasa kesal dan marah.

“Engkau ini seorang adik macam apa? Engkau harus kembali ke sana bersamaku, membantu aku!”

Terlalu sekali bocah ini, pikirnya. Belum apa-apa saja lagaknya sudah begini memerintah dan memaksa. Bagaimana kalau kelak benar-benar menjadi kakak iparku? Wah, kakaknya, Kian Lee harus bekerja keras untuk menundukkan si liar ini!

“Bagaimana kalau aku tidak.... sanggup?”

Dia tidak jadi mengatakan tidak mau, khawatir nona itu akah marah-marah dan menyerangnya lagi seperti tadi. Betapapun juga, dia tidak dapat lupa bahwa nona ini pernah menyelamatkan nyawa kakaknya ketika menolongnya mencarikan jamur mujijat itu, kemudian telah menyelamatkan nyawanya sendiri ketika dia tertawan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu tadi.

“Engkau harus sanggup dan engkau harus mau!” jawab Hwee Li. “Tanpa kuminta sekalipun engkau pasti akan kembali ke sana!”

“Eh, bagaimana engkau begitu pasti, Enci....?” Kian Bu terheran.

“Karena ketahuilah bahwa keluarga Jenderal Kao Liang juga menjadi tawanan di tempat itu. Dia sendiri, isterinya, puteranya, cucu-cucunya dan keluarganya. Aku tahu bahwa engkau tentu akan mencoba untuk menolong mereka.”

Kian Bu menunduk dan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa kecewa sekali kalau dia mengingat akan jenderal yang dulu amat dikagumi dan dihormatinya itu. Masih berkumandang di telinganya betapa jenderal itu sendiri menolak ketika dia menuntut pembebasan keluarga jenderal itu, apalagi melihat kenyataan kemudian betapa jenderal itu benar-benar telah menjadi pembantu pangeran dari Nepal, seorang musuh negara! Maka dia menggeleng kepalanya.

“Tidak, aku tidak akan mencampuri urusan Jenderal Kao....“

“Akan tetapi dia melakukan semua itu karena terpaksa, Kian Bu!” Hwee Li berkata dan kini dia telah duduk kembali. “Jangan kau mengira bahwa Jenderal Kao telah menjadi seorang pengkhianat! Keluarganya ditawan dan semua diancam akan disiksa di depan matanya kalau dia tidak menurut, kalau dia tidak mau membangun benteng itu.”

“Huh, laki-laki macam apa itu? Seorang gagah tidak akan mementingkan diri sendiri dan keluarganya. Untuk menyelamatkan keluarga lalu menjual diri kepada musuh negara hanya dapat dilakukan oleh orang yang lemah dan pengecut.”

“Akan tetapi dia tidak berkhianat! Dia hanya berjanji untuk membangun benteng dan memimpin pertahanan di benteng itu, dia tidak berjanji untuk menyerang kerajaan. Dia terpaksa, Kian Bu, siapa orangnya yang dapat bertahan melihat keluarganya terancam bahaya maut dan siksaan? Selain itu, di sana masih ada seorang lain yang ditahan dan yang pasti akan kau coba selamatkan. Dia adalah Bibi Syanti Dewi!”

“Bibi....? Kau menyebutnya bibi?” Kian Bu bertanya heran.

“Tentu saja! Habis disuruh menyebut apa?”

“Dia usianya tidak berselisih banyak denganmu.”

“Dasar kau yang tolol! Apakah sebutan orang itu tergantung dari usianya? Andaikata dia lebih muda daripada aku sekalipun, tetap saja aku menyebut bibi kepadanya. Dia adalah kakak angkat dari guruku, habis suruh aku menyebut apa kepadanya?”

Kian Bu makin terheran dan juga bingung. Bocah ini adalah murid dari Ceng Ceng, dan Ceng Ceng adalah seorang keponakannya, puteri dari mendiang kakak tirinya! Ceng Ceng sendiri menyebut paman kepadanya, jadi semestinya Hwee Li yang menjadi murid Ceng Ceng ini harus menyebutnya susiok-kong (paman kakek guru)!

Akan tetapi, malah dia diharuskan menyebut enci kepada dara ini yang masih terhitung murid cucu keponakannya! Dan bagaimana kalau kakaknya sampai berjodoh dengan dara ini? Bukankah hal itu berarti menikah dengan cucu keponakan sendiri? Dan anak mereka kelak? Bukankah anak itu masih cucu buyut keponakan? Wah, dia menjadi bingung sendiri. Persetan segala macam sebutan-sebutan itu!

“Bagaimana, Kian Bu. Engkau tentu akan menyelamatkannya, bukan? Tadi engkau mati-matian datang seorang diri memasuki benteng untuk menolong Bibi Syanti....“

Kian Bu menggeleng kepala.
“Sekarang tidak perlu lagi. Dia adalah Puteri Bhutan, dan di sana terdapat Panglima Bhutan yang tentu saja berhak untuk melindunginya. Dan kalau dia berada di sana sebagai tamu....“

“Wah, engkau ini berjuluk Siluman Kecil, namamu menggemparkan seluruh dunia, eh, kiranya hanya seorang bocah yang bodoh belaka! Siapa bilang Bibi Syanti menjadi tamu? Dia pun diculik oleh kakek Gitananda dan menjadi tawanan di sana. Memang si Mohinta yang tak tahu malu itu tadinya hendak minta dibebaskannya Bibi Syanti Dewi, akan tetapi pengkhianat hina-dina itu malah bersekutu dengan pangeran blo’on itu....”

“Eh, kok ada pangeran blo'on segala?”

“Maksudku, pangeran hidung kakatua itu. Mohinta bersekutu, menjadi kaki tangan Pangeran Nepal dan mereka berjanji untuk menggunakan Bibi Syanti sebagai sandera untuk menundukkan Kerajaan Bhutan! Dan kelak Mohinta dijanjikan akan dikawinkan dengan Bibi Syanti Dewi.... Coba, apa kau rela?”

“Ahhh....!”

Kian Bu meloncat berdiri dan mengepal tinjunya, mukanya menjadi merah sekali tanda bahwa Siluman Kecil ini marah bukan main. Mereka berani mempermainkan Syanti Dewi? Berarti harus berhadapan dengan dia!

Melihat pemuda itu termenung dan mengepal tinju, kelihatan marah sekali, Hwee Li memandangnya dan tiba-tiba sepasang matanya memandang sayu.

“Kian Bu.... dia.... dia.... Bibi Syanti Dewi....“

Dia tidak melanjutkan kata-katanya ketika Kian Bu cepat menoleh kepadanya, lalu menunduk. Ketika berada di dalam benteng, antara dia dan Syanti Dewi terdapat hubungan yang amat akrab dan di dalam percakapan yang penuh kepercayaan, Syanti Dewi pernah menceritakan semua pengalamannya, betapa Kian Bu menderita karena terpaksa ditolak cintanya dan betapa puteri itu merasa kasihan dan berdosa terhadap pemuda Pulau Es yang amat baik itu, betapa sang puteri tidak dapat membalas cintanya karena sang puteri telah mencinta orang lain!

Ketika Hwee Li bertanya siapa adanya orang lain itu, sang puteri tidak mau menjelaskan. Kini Hwee Li melihat sendiri betapa Kian Bu masih mencinta puteri yang menolak cintanya itu, dan dia merasa kasihan, tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

“Dia kenapa....?” Kian Bu mendesak bertanya, suaranya agak gemetar.

“Dia.... harus ditolong, kalau tidak, bukan hanya Bibi Syanti Dewi yang akan celaka, dipaksa menikah dengan Mohinta itu, bahkan kerajaan ayahnya tentu akan celaka akibat pemberontakan Mohinta yang dibantu oleh Pangeran Nepal.”

“Ha-ha-ha-ha, lihat Lo-mo, anakmu itu sungguh tak tahu malu!”

Tiba-tiba terdengar suara orang dari atas. Kian Bu cepat memandang ke atas, demikian pula Hwee Li dan di langit yang sudah mulai remang-remang menanti datangnya fajar itu nampak seekor burung garuda besar yang ditunggangi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi!

“Tutup mulutmu yang berbau busuk, Lo-kwi, atau kugampar kau sampai jatuh ke bawah!”

Hek-tiauw Lo-mo membentak. Burung garuda itu menukik turun dan dengan cepat dua orang kakek itu sudah meloncat ke atas tanah di depan Kian Bu, sedangkan garuda itu sudah terbang lagi ke atas.

“Hemmm, begini sajakah Siluman Kecil yang terkenal hebat itu?” Hek-hwa Lo-kwi mengejek sambil menghadapi Kian Bu. “Ternyata, hanya seorang hina yang tidak dapat memegang janjinya sendiri!”

“Huh, manusia dari Pulau Es mana bisa dipercaya omongannya?”

Hek-tiauw Lo-mo menyambung sambil menyeringai penuh kebencian. Bagi bekas tokoh Pulau Neraka ini, segala yang berbau Pulau Es amat dibencinya. Dan biarpun dia tahu bahwa putera Pendekar Super Sakti ini memiliki kepandaian hebat, bahkan telah berjuluk Siluman Kecil yang menggemparkan namanya di sepanjang lembah Huang-ho, namun dia tidak merasa takut.

Pernah dia menyaksikan kepandaian pemuda ini ketika jaman pemberontakan dua orang Pangeran Liong beberapa tahun yang lalu dan dia merasa masih sanggup menandinginya. Apalagi kini ada Hek-hwa Lo-kwi yang membantunya. Tentu saja dia belum tahu tentang kemajuan Kian Bu yang telah memperoleh ilmu mujijat itu.

“He, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua ekor anjing tua bangka tak tahu malu!” tiba-tiba Hwee Li membentak sehingga Kian Bu merasa tidak enak sendiri.

Bocah ini memaki ayahnya dengan sebutan anjing tua bangka tak tahu malu. Biarpun Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya sendiri, biarpun mungkin saja telah membunuh orang tua Hwee Li, namun harus diakui bahwa semenjak kecil Hwee Li dirawat dan dididiknya, maka makian itu sungguh terlalu kasar dan tidak enak didengar.

“Kalian jangan menuduh orang sembarangan saja, ya? Orang gagah seperti dia ini mana bisa disamakan dengan raksasa-raksasa biadab macam kalian yang mengingkari janji dan bersikap khianat? Dia telah memegang janjinya, dia telah membebaskan aku seperti yang dijanjikan kepada pangeran brengsek itu! Hanya akulah yang tidak mau kembali ke sana. Tahukah kalian?”

Dasar Hek-tiauw Lo-mo memang seorang kasar yang sama sekali tidak mempunyai perasaan halus, maka makian-makian yang dilontarkan oleh mulut Hwee Li kepadanya itu sama sekali tidak membekas. Dia hanya tertawa bergelak. Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi yang tidak pernah merasa suka kepada rekannya ini segera membentak,

“Lo-mo, perlu apa banyak cerewet lagi? Hayo kita bunuh bocah siluman ini dan seret anakmu pulang ke benteng!”

Setelah berkata demikian, Hek-hwa Lo-kwi sudah menggosok-gosok kedua tangannya dan aneh sekali, seketika seluruh tubuhnya menjadi putih seperti kapur. Itulah ilmunya yang baru, yang dilatihnya di Lembah bersama para pengikutnya, yaitu sisa-sisa anak buahnya yang masih hidup ketika dia dahulu menjadi ketua Lembah Bunga Hitam (baca Kisah Sepasang Rajawali).

Ilmunya ini dia namakan Pek-hiat-hoat-lek (Ilmu Sihir Darah Putih), ilmu pukulan yang mengandung hawa mujijat dan racun yang amat berbahaya. Selama berbulan-bulan dia menanam diri di dalam rumah tempurung, diikuti oleh para anak buah bekas perkumpulan Lembah Bunga Hitam yang sudah tinggi ilmunya. Akan tetapi tentu saja para anak buahnya itu tidak dapat mencapai tingkat tinggi yang dicapai oleh Hek-hwa Lo-kwi ini.

“Biar kau hajar Siluman Kecil yang sombong itu Lo-kwi. Di benteng aku pernah menangkap dia, sekarang tunjukkanlah kepandaianmu, hendak kulihat apakah kau juga mampu menangkapnya, biar aku yang membekuk batang leher betina liar ini!”

Hek-tiauw Lo-mo memang licik sekali wataknya. Memang benar ketika Kian Bu berada di dalam benteng, dia berhasil menangkap pemuda itu menggunakan senjata jalanya yang istimewa, akan tetapi hal itu hanya dapat terjadi karena Kian Bu menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai. Kalau berhadapan satu lawan satu, jangan harap bekas ketua Pulau Neraka ini akan mampu menangkap Kian Bu! Kini, dia sengaja mengejek Hek-hwa Lo-kwi, dan dia sendiri sudah maju menubruk Hwee Li.

Di dalam lubuk hatinya, Hwee Li merasa amat membenci kakek yang pernah menjadi ayahnya ini. Orang ini adalah musuh besarnya, yang telah memperkosa ibu kandungnya sampai mati! Maka, kini melihat bahwa dia tidak mendapat jalan lain kecuali melawan, dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan diam-diam dia telah mempersiapkan dirinya.

Selama beberapa tahun dia sedikit banyak telah menerima ilmu-ilmu tentang racun dari gurunya. Dia maklum bahwa kalau mempergunakan ilmu silat, tentu saja dia tidak akan mampu melawan bekas ayahnya ini. Ular-ularnya telah dirampas oleh mereka ketika dia menjadi tawanan di dalam benteng, juga semua senjata rahasia telah dirampas orang. Dia pun tidak memegang senjata apa-apa, maka begitu melihat Hek-tiauw Lo-mo menubruk, dia cepat menghindarkan diri, meloncat jauh ke kiri dan tangannya menyambar tanah di bawah kakinya. Kini kedua tangannya mengepal segenggam tanah bercampur pasir dan dia telah mengerahkan sinkangnya.

Di dalam kepalan tangannya, tanah dan pasir itu berubah menjadi hitam dan telah mengandung racun yang amat hebat! Itulah satu di antara ilmu racun yang diterima dari gurunya. Gurunya adalah Ceng Ceng atau Nyonya Kao Kok Cu, murid mendiang Ban-tok Mo-li si Iblis Betina Selaksa Racun! Dan memang dia berguru kepada Ceng Ceng hanya untuk mempelajari tentang racun seperti telah dijanjikan oleh gurunya itu (baca Kisah Sepasang Rajawali).

Melihat tubrukannya dihindarkan oleh dara itu, Hek-tiauw Lo-mo tertawa. Tugasnya jauh lebih ringan daripada tugas Hek-hwa Lo-kwi yang harus menghadapi Siluman Kecil seorang diri, maka dia pun tidak mau tergesa-gesa. Dia hendak membiarkan dulu Hek-hwa Lo-kwi setengah mati menghadapi lawan tangguh itu, dan dia akan seenaknya saja menangkap bekas anaknya ini yang dianggapnya merupakan pekerjaan mudah. Nanti kalau temannya yang dibencinya itu sudah benar-benar membutuhkan bantuan, barulah dia akan merobohkan Hwee Li dan membantunya.

“Heh-heh, bocah kurang ajar, kau kira dapat melepaskan diri dariku? Kalau tidak mengingat pangeran, tentu aku sudah menelanjangimu dan mempermainkanmu seperti aku mempermainkan ibumu dahulu, baru kulobangi kepalamu! Ha-ha-ha!”

Hampir Hwee Li menjerit saking marah dan bencinya mendengar kata-kata itu, akan tetapi dia menahan kemarahannya, dia menggerakkan kaki berputar-putar dan mundur-mundur menjauhi lawan, akan tetapi sepasang matanya mengincar tajam, mencari kesempatan kalau lawan lengah akan diserangnya dengan “senjata” istimewa di dalam genggaman kedua tangannya itu.

Sementara itu, Hek-hwa Lo-kwi juga sudah mulai menyerang Kian Bu. Dengan suara melengking nyaring, dia telah bergerak ke depan, kedua tangannya mengeluarkan suara seperti angin puyuh mengamuk, dan dari kedua telapak tangannya itu menyambar bau wengur yang mengeluarkan sinar putih.

Kian Bu terkejut. Hebat ilmu pukulan itu, pikirnya. Ada serangkum hawa yang amat tajam dan berbau wengur menyambar. Dia maklum bahwa bukan hanya hawa itu yang dapat melukai orang, akan tetapi juga bau itu dapat merobohkan lawan karena mengandung racun berbahaya. Namun, dia sudah cepat mengelak dan membalas dengan pukulan dari samping, dengan telapak tangan didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang.

Tenaga berhawa panas membakar ini menyambar dari samping ke arah tubuh Hek-hwa Lo-kwi. Demikian cepat gerakan Kian Bu sehingga pukulan itu tidak mungkin dapat dielakkan lawan lagi. Satu-satunya jalan bagi lawan hanyalah menangkis dan hal ini pun dilakukan oleh Hek-hwa Lo-kwi tanpa ragu-ragu lagi. Dia membalik ke kiri menghadapi pemuda itu dan menggerakkan kedua tangannya ke depan untuk menyambut pukulan Kian Bu. Serangkum angin dahsyat menyambar dan segulung sinar putih nampak, bertemu dengan hawa pukulan Kian Bu yang tidak kelihatan itu.