FB

FB


Ads

Rabu, 27 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 087

Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya terlalu marah demi mendengar ucapan Kian Bu itu sehingga mereka tidak mendengar suara yang keluar dari tenggorokan jenderal itu, karena dalam waktu yang bersamaan mereka pun sudah mengeluarkan suara menggereng marah.

Namun, Pangeran Liong Bian Cu benar-benar amat cerdik. Dia dapat menekan kemarahannya, memberi isyarat dengan tangan kepada para pembantunya agar jangan turun tangan lebih dulu, kemudian dia merangkap kedua tangan di depan dada, menghadapi Kian Bu dan berkata sambil tersenyum,

“Hebat sekali! Sicu masih muda, sudah mengangkat nama besar, dan ternyata memiliki jiwa pahlawan pula! Kalau Sicu berkeberatan untuk datang sebagai sahabat kami, lalu kami harus menganggap Sicu datang ini sebagai apakah?”

Diam-diam Kian Bu kagum juga atas ketenangan pangeran itu. Bahkan para pembantu pangeran itu sudah memandang kepadanya dengan marah, akan tetapi sang pangeran ini sendiri sama sekali tidak kelihatan marah! Dia pun balas menjura dengan hormat dan berkata halus.

“Maaf, Pangeran. Memang kedatanganku ini lancang dan untuk itu aku mohon maaf. Aku datang bukan sebagai musuh dan bukan pula sebagai sahabat, melainkan sebagai seorang yang mendengar adanya hal yang tidak semestinya dan karenanya terpaksa aku datang untuk minta kepada pangeran agar suka membereskan yang tidak semestinya itu.”

“Hemmm, Sicu mendengar apakah?”

“Bahwa Pangeran telah menawan seorang wanita yang bernama Syanti Dewi, maka aku minta agar Pangeran suka membebaskan dia!” katanya dengan suara tegas.

“Ahhh....!” terdengar suara bentakan marah dan sang pangeran menoleh.

Yang membentak itu adalah Mohinta sendiri, putera panglima tua di Bhutan. Seperti kita ketahui, Mohinta dan para pembantunya telah tiba di dalam benteng itu dan menjadi sekutu Pangeran Nepal itu pula. Sang pangeran lalu tersenyum dan berkata kepada Kian Bu,

“Sicu, perkenalkanlah, inilah dia Saudara Mohinta, panglima muda dari Bhutan yang bertanggung jawab atas keselamatan Puteri Syanti Dewi. Lebih baik dialah yang menjawab permintaanmu tadi, karena dia lebih berhak.”

Mohinta lalu melangkah maju menghadapi Kian Bu yang memandang kepadanya dengan penuh perhatian.

“Siluman Kecil, tahukah engkau siapa adanya nama yang kau sebutkan tadi?” tanya Mohinta dengan marah.

“Syanti Dewi? Dia adalah Puteri Bhutan....“ jawab Kian Bu.

“Nah, dia adalah Puteri Bhutan dan junjungan kami! Pada saat ini, akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Puteri. Beliau berada di sini sebagai tamu agung, bagaimana engkau berani menuduh yang bukan-bukan? Hak apakah yang ada padamu untuk menguruskan diri beliau?”

Tentu saja Kian Bu merasa terdesak. Kalau benar orang ini adalah tokoh Bhutan, tentu saja dia tidak berhak mencampuri. Akan tetapi, dia tentu saja tidak mau mengalah secara mudah.

“Aku adalah seorang sahabat baiknya. Bukan aku tidak percaya, akan tetapi aku baru yakin akan kebenaran ucapanmu itu kalau aku sudah dapat berhadapan dan bicara dengan dia sendiri. Persilakan dia keluar dan bicara sendiri denganku.”

“Keparat! Kau kira dia wanita macam apa, mudah saja diajak bicara oleh segala macam orang sepertimu?”

Mohinta mendamprat dan dia sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya untuk menghantam muka Siluman Kecil. Pemuda rambut putih ini diam saja, sama sekali tidak mengelak, akan tetapi ketika kepalan tangan Mohinta sudah dekat sekali dengan mukanya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis.

“Krekkk!”

“Aughhh....!”

Mohinta terpelanting dan memegangi lengan kanannya yang patah tulangnya! Para pembantunya maju dengan senjata terhunus, akan tetapi Pangeran Liong Bian Cu yang tersenyum menyaksikan semua itu mengangkat tangan membentak mereka agar mundur.

“Aku tahu orang macam apa adanya Puteri Syanti Dewi. Dia seorang wanita yang bijaksana agung dan berbudi mulia, tidak seperti engkau manusia rendah yang sombong!”

Kian Bu membentak ke arah Mohinta yang sudah dibantu orang-orangnya untuk bangkit berdiri.
“Mengingat bahwa engkau adalah orang Bhutan, maka aku memandang nama Puteri Syanti Dewi mengampuni nyawamu.”

Gerakan Kian Bu tadi cepat bukan main, akan tetapi tidak mengejutkan para tokoh yang hadir karena mereka semua tahu bahwa kepandaian Mohinta masih jauh terlalu rendah untuk menyerang seorang tokoh seperti Siluman Kecil.

Pangeran Liong Bian Cu tertawa lagi.
“Hebat sepak terjangmu, Sicu. Akan tetapi harus kau ketahui bahwa urusan Puteri Bhutan tentu saja kita harus tunduk kepada peraturan Bhutan dan di sini yang berkuasa mengenai hal itu adalah Panglima Mohinta. Selain itu, apakah masih ada keperluan lain yang mendorong kedatanganmu ini?”

“Selain menuntut agar Syanti Dewi dibebaskan, juga aku menuntut agar keluarga Kao yang ditawan di sini, dibebaskan semua!”

Kembali semua orang terkejut. Alangkah beraninya pemuda ini! Akan tetapi sang pangeran tersenyum saja, lalu berkata tidak acuh,

“Engkau menduga yang bukan-bukan, Sicu. Puteri Syanti Dewi dari Bhutan merupakan tamu agung kami yang dikawal oleh Panglima Mohinta sendiri, sedangkan keluarga Kao juga merupakan keluarga yang menjadi tamu kami, bahkan minta perlindungan kami dari pengejaran pasukan istana yang memusuhi mereka.”

“Hemmm, aku tidak percaya! Biar aku menemui mereka dan bertanya sendiri!”

“Sikapmu terlalu keras dan engkau terlalu tidak mempercayai orang, Sicu. Persoalan keluarga Kao sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kao-goanswe, maka biarlah dia saja yang menghadapimu dan menjawabmu.”

Begitu mendengar ucapan sang pangeran, Jenderal Kao yang tadinya menyelinap di antara para pasukan, kini melangkah maju dua tindak dan berkata, suaranya lantang akan tetapi matanya memandang kosong, tidak menatap wajah Kian Bu,

“Siluman Kecil, harap kau jangan mencampuri urusan kami sekeluarga Kao!”






Setelah berkata demikian, dia mundur lagi dan berdiri di antara para perajurit dengan muka menunduk, kelihatan berduka sekali. Kian Bu merasa heran bukan main. Timbul keraguan apakah benar orang tua itu adalah jenderal gagah perkasa yang pernah dikenalnya itu? Ataukah hanya orang yang mirip mukanya? Sikapnya demikian aneh dan jelas bahwa orang itu bertindak bukan atas kemauan sendiri, melainkan terpaksa atau tertekan. Benar-benar hatinya merasa tidak puas sekali.

Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Betapapun juga, dia harus membenarkan bahwa Puteri Bhutan tidak bisa dijumpakan kepada seorang laki-laki asing, dan dalam hal itu tentu saja Panglima Butan yang mengawalnya mempunyai hak penuh untuk menolak permintaannya. Mengenai keluarga Kao, kalau Jenderal Kao Liang sendiri sudah mengatakan demikian, dia dapat berbuat apakah? Dia merasa ragu-ragu, bingung, memandang ke kanan kiri seperti hendak menanyakan pendapat orang lain, kemudian dia mengangkat kedua bahunya dan berkata,

“Ahhh.... kalau begitu, kehadiranku tidak dibutuhkan orang lagi. Biarlah aku pergi saja....”

Dia melangkah pergi, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu melangkah maju dan memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada.

“Sicu, setelah semua urusan beres, maka biarlah dalam kesempatan ini kami mengundang Sicu untuk duduk di dalam dan bercakap-cakap sebagai seorang tamu yang terhormat.”

Kian Bu menahan langkah kakinya. Tentu saja di dalam hatinya dia merasa tidak sudi untuk bersahabat dengan pangeran asing yang mungkin bersekutu dengan fihak pemberontak ini, akan tetapi dia teringat akan Syanti Dewi. Hatinya bimbang ragu, ingin dia bertemu dengan puteri itu dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa puteri itu selamat, mendengar dengan telinganya keterangan dari mulut puteri itu sendiri bahwa sang puteri tidak terancam bahaya.

Kalau dia menerima undangan Pangeran Nepal ini, mungkin saja dia memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan Syanti Dewi, akan tetapi kalau dia memenuhi undangan itu, bukankah berarti bahwa dia telah menerima kebaikan dari seorang musuh negara?

Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar suara nyaring bening,
“Tangkap dia....!”

“Eh, mau apa kau?” Terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo.

Kian Bu menoleh dan dia melihat seorang dara cantik jelita berpakaian sutera serba hitam, dipegangi lengan kirinya oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dara itu meronta dan menudingkan telunjuknya ke arah Kian Bu sambil berseru,

“Tangkap dia! Pangeran, dia adalah mata-mata kerajaan! Dia adalah Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti, dia masih cucu dari kaisar sendiri! Karena itu, dia tentulah mata-mata kerajaan, maka harus ditangkap!”

Kian Bu tertegun mengenal dara itu yang bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo. Mendengar seruan puterinya ini, Hek-tiauw Lo-mo juga menjadi girang dan melepaskan pegangan tangannya. Dia sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang golok gergaji di tangan kanan.

Kini Kian Bu menggerakkan kepala sehingga rambut putihnya semua terbang ke belakang kepalanya dan mukanya yang tampan nampak. Hek-tiauw Lo-mo segera mengenal wajah ini dan dia pun terkejut. Kiranya putera Pendekar Super Sakti yang dikenal orang sebagai pendekar aneh yang berjuluk Siluman Kecil!

“Benar-benar dia putera Majikan Pulau Es!” teriaknya sambil menerjang ke depan. “Tangkap mata-mata musuh!”

Mendengar ini, Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main. Kalau benar bahwa Siluman Kecil adalah putera Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, cucu kaisar sendiri, maka jelaslah bahwa kehadirannya ini berbahaya bukan main!

“Tangkap dia!” perintahnya sambil melangkah mundur ke tempat aman.

Sementara itu, Hwee Li sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya, menghantam dada Kian Bu yang masih keheranan itu dengan tangan kanan. Pemuda ini tentu saja merasa amat heran melihat sikap Hwee Li. Gadis ini jelas mencinta kakaknya dan ketika membantunya mencari obat, Hwee Li bersikap manis kepadanya. Kenapa sekarang gadis ini membuka rahasianya sehingga dia terancam bahaya? Dia cepat mengelak dan hendak balas mendorong, ketika dia mendengar bisikan gadis. itu,

“.... kau tangkaplah aku....!”

“Wuuuttttt....!”

Dorongannya diperlemah, namun tetap saja tubuh Hwee Li terdorong ke belakang dan tentu akan terjengkang dan terbanting kalau saja dia tidak berjungkir-balik ke belakang dengan amat lincahnya.

Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo telah menyerang Kian Bu dengan golok gergajinya dari depan, sedangkan dari kiri Hek-hwa Lo-kwi telah menyerangnya dengan tangannya yang kini berubah hitam sampai ke siku, tanda bahwa tangan itu mengerahkan tenaga mujijat yang mengandung racun berbahaya sekali.

Namun Kian Bu cepat bergerak dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini, dengan mudahnya dia dapat menghindarkan diri dari dua serangan maut itu. Akan tetapi, ke manapun dia meloncat, dia selalu dipapaki serangan dari semua orang yang telah mengepungnya.

Di sebelah dalam kepungan itu, dia dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda, Hwee Li, Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hai-liong-ong Ciok Gu To, tokoh-tokoh Kui-liong-pang dan para pembantu Mohinta, sedangkan di sebelah luarnya dia dikepung oleh puluhan orang anak buah pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang!

Dengan demikian, betapapun dia melesat ke sana-sini, tetap saja dia tidak mampu lolos dari kepungan itu. Akan tetapi, yang membuat Kian Bu makin bingung dan ragu adalah sikap Hwee Li dan bisikan dara itu tadi! Dia tidak mengerti dan menjadi ragu-ragu apalagi melihat betapa dara itu terus mendesaknya, bahkan menjadi penyerang terdepan seolah-olah dara itu amat benci kepadanya dan hendak mengadu nyawa!

Akan tetapi, tentu saja dia tidak tega melukainya, maka gerakan Kian Bu menjadi kurang gesit dan ketika akhirnya dia berhasil merobohkan lima enam orang pengeroyoknya, tiba-tiba sinar hitam yang amat lebar menimpanya dan tahu-tahu dia telah tertangkap oleh jala hitam tipis yang dilepas oleh Hek-tiauw Lo-mo.

Kian Bu meronta, namun jala itu memang aneh sekali sifatnya. Amat lemas dan halus tipis sekali sehingga dapat dikepal dalam genggaman tangan, akan tetapi uletnya melebihi baja dan mempunyai sifat mengkerut sehingga kalau yang terperangkap itu meronta, malah makin ketat melibat!

Tiba-tiba Hwee Li menubruknya.
“Mampuslah kau, mata-mata hina-dina!” bentaknya dan kini semua orang pengepung berteriak-teriak girang melihat pemuda itu telah tertawan.

Dan di antara bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan ini, Kian Bu mendengar suara Hwee Li yang halus sekali,

“....tolol, cepat tangkap aku, jadikan sandera....!”

Kini mengertilah pendekar muda yang sakti itu. Kiranya sejak tadi Hwee Li menunjukkan jalan keluar yang amat cerdik. Akan tetapi apa gunanya menangkap Hwee Li? Bukankah gadis itu sendiri agaknya tidak leluasa bergerak, buktinya tadi dicurigai ayahnya sendiri dan ditangkap lengannya? Dalam keadaan yang berbahaya itu, dia tidak mau banyak membantah, ketika melihat Hwee Li menghantam ke arah kepalanya dengan kepalan tangan kanan, menghantam sekuatnya, dia sengaja menerimanya dengan bahunya.

“Desss....!” Tubuh Kian Bu terguling-guling di dalam gulungan jala itu.

“Ha-ha-ha, bagus Hwee Li anakku, bagus! Hantam dia sampai mampus!”

Hek-tiauw Lo-mo tertawa sambil memegangi ujung tali jala. Tadinya Hwee Li terkejut melihat betapa Kian Bu sengaja menerima hantamannya dengan bahu, akan tetapi dara ini memang cerdik sekali, maka dia segera mengerti akan maksud Kian Bu.

Pemuda itu membiarkan dirinya terpukul agar tidak ada orang yang akan mencurigainya nanti. Maka cepat dia menubruk dan memukul lagi. Benar saja dugaannya, sekali ini Kian Bu mengulur tangannya dan menangkap pergelangan tangannya, terus secepat kilat jari tangan pemuda itu menotok jalan darah thian-hu-hiat dan seketika dia menjadi lemas.

“Ayah...., tolong....“ Hwee Li berteriak lirih dengan tubuh lemas dan lengannya masih dipegang oleh Kian Bu.

“Keparat, lepaskan anakku!”

Hek-tiauw Lo-mo mendekati dengan golok gergaji di tangan, juga Hek-hwa Lo-kwi dan lain-lain tokoh yang berkumpul di situ melangkah maju.

“Berhenti! Mundur semua atau gadis ini akan kubunuh lebih dulu!”

Kian Bu menghardik dan jari tangannya telah terjulur keluar dari celah-celah jala itu, menempel di tengkuk Hwee Li. Hek-tiauw Lo-mo dan semua orang terkejut, maklum bahwa sekali menggerakkan jari tangannya, pemuda itu memang akan dapat menewaskan Hwee Li tanpa ada yang akan sanggup menolongnya karena jari tangan itu telah menempel di jalan darah yang mematikan. Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia lalu menerjang maju dengan goloknya.

“Keparat! Kalau engkau berani membunuh anakku, maka aku akan menyiksamu dan akan mencincang tubuhmu!”

Agaknya dia tidak peduli akan ancaman terhadap anaknya itu dan masih hendak melanjutkan serangannya. Tentu saja Kian Bu menjadi bingung sekali dan mulai menyesal akan akal yang digunakan oleh Hwee Li, yang ternyata seperti telah disangsikannya tadi, telah gagal. Orang macam Hek-tiauw Lo-mo yang berwatak seperti iblis itu mana mempunyai rasa sayang kepada anak sendiri? Dia sudah berniat melepaskan Hwee Li dan sedapat mungkin mempertahankan nyawanya ketika tiba-tiba terdengar seruan berwibawa.

“Locianpwe, tahan dulu!”

Hek-tiauw Lo-mo menahan gerakan goloknya dan melangkah mundur. Baru teringat dia bahwa hampir saja dia membahayakan nyawa anaknya. Dia sendiri memang tidak peduli apakah Hwee Li akan mati atau hidup, akan tetapi dia lupa bahwa tentu saja ada orang yang amat mempedulikan hal itu, dan orang ini tentu saja adalah Pangeran Liong Bian Cu yang amat mencinta Hwee Li!

Kini pangeran itu muncul dan memandang kepada Kian Bu yang masih tertawan dalam jala dan yang memegang lengan Hwee Li yang tertotok lemas dan menempelkan jari tangannya di tengkuk dara itu. Dia memandang penuh kekhawatiran, lalu berkata dengan gagap,

“Suma-sicu, harap kau suka melepaskan dia.”

Hwee Li menoleh ke arah pangeran itu dan berkata lirih,
“Lekas...., lekas.... Pangeran.... kenapa kau tidak cepat menolong tunanganmu ini....? Lekas.... ahhhhh....“

Mengertilah kini Kian Bu. Kiranya Hwee Li adalah tunangan pangeran berhidung betet ini! Hatinya menjadi girang. Memang Hwee Li merupakan seorang sandera yang amat berharga. Akan tetapi di samping kegirangan hatinya, juga timbul keheranan. Kalau Hwee Li menjadi tunangan pangeran itu, mengapa Hwee Li bersikap begini dan agaknya hendak menolongnya? Dia tidak mengerti, akan tetapi dia pun tidak mau banyak pusing memikirkan hal itu.

“Mudah saja melepaskan dia, Pangeran, akan tetapi aku pun berhak minta dibebaskan pula,” katanya.

“Tentu saja! Kau lepaskanlah tunanganku itu, dan kami akan membebaskanmu.”

“Hemmm, kedudukan kalian adalah jauh lebih kuat, maka sepatutnyalah kalau aku yang lebih dulu minta dibebaskan, baru kemudian aku akan membebaskan Nona ini.”

“Kau.... kau tidak percaya kepada omonganku?” Pangeran Liong Bian Cu membentak marah, akan tetapi dia lalu menarik napas panjang, dan berkata kepada Hek-tiauw Lo-mo, “Lacianpwe, harap kau suka melepaskan jalamu itu dan biarkan dia bebas.”

Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut, memandang kepada Kian Bu dengan mata lebar dan melotot penuh kemarahan, akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan beberapa kali gerakan, jala yang menyelimuti tubuh Kian Bu itu ditariknya terlepas. Memang jala itu merupakan senjata yang amat aneh, tali pengikatnya berada di tangan kakek ini maka dia dapat menggerakkan jala itu sesuka hatinya.

Kian Bu bangkit berdiri dan masih memegang pergelangan tangan Hwee Li. Dia mengangguk kepada pangeran itu dan berkata,

“Biarlah sekarang aku pergi saja dan nanti setelah tiba di luar daerah ini aku pasti akan membebaskan tunanganmu ini, Pangeran.”

Tanpa menanti jawaban, Kian Bu lalu memondong tubuh Hwee Li, kemudian meloncat dengan kecepatan seperti terbang saja keluar dari tempat itu. Hek-tiauw Lo-mo bergerak hendak mengejar, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi, akan tetapi pangeran itu mengangkat tangan mencegah mereka, lalu berkata lirih,

“Jangan ceroboh, Adinda Hwee Li berada dalam kekuasaannya!”

“Ah, tapi siluman itu! Bagaimana kalau dia tidak membebaskan Hwee Li?” Hek-tiauw Lo-mo berkata dengan alis berkerut.

“Kita harus membayangi dia!” Hek-hwa Lo-kwi juga mengangguk-angguk.

Sang pangeran menjadi bingung, dia berjalan hilir-mudik dengan kedua tangan di belakang pinggulnya, wajahnya agak pucat. Dia amat mencinta Hwee Li dan kini kekasihnya itu terancam bahaya tanpa dia berani mengerahkan orang-orangnya karena kekasihnya itu berada dalam ancaman seorang musuh yang amat lihai.

“Kenapa tidak menggunakan garuda saja....?” Tiba-tiba Gitananda berkata.

“Ah, benar! Hanya dengan cara itu Ji-wi Locianpwe dapat membayanginya dan menjaga keselamatan Adinda Hwee Li!”

Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan wajahnya berseri.
“Kenapa aku melupakan garuda itu?” Dia mencela diri sendiri. “Lo-kwi, hayo kau bantu aku menghadapi Siluman Kecil!”

Hek-hwa Lo-kwi sejak dahulu memang selalu tidak mau mengalah terhadap Hek-tiauw Lo-mo, maka kini mendengar ajakan itu, dia membuang muka.

“Urusan anakmu sendiri, kenapa kau hendak merepotkan orang lain? Katakan saja engkau tidak berani menghadapi siluman itu sendirian saja!”

“Siapa tidak berani? Biar ditambah engkau sekalipun, aku tidak takut!” Hek-tiauw Lo-mo menghardik.

Melihat dua orang pembantunya yang kukoai (aneh wataknya) itu mulai cekcok sendiri, Pangeran Liong Bian Cu cepat berkata,

“Harap Hek-hwa locianpwe suka membantu Hek-tiauw Locianpwe menyelamatkan Adinda Hwee Li.”

Barulah dua orang kakek iblis itu tidak berani banyak ribut lagi dan tak lama kemudian mereka telah menunggang di atas punggung burung garuda besar itu yang mulai mengibaskan sayapnya dan terbang ke atas, memasuki udara yang gelap.

Pangeran Liong Bian Cu lalu memerintahkan kakek Gitananda untuk memimpin sepasukan pengawal melakukan pengejaran jalan darat, dan Jenderal Kao mendapat tugas menjaga benteng dengan ketat agar jangan sampai dapat diselundupi musuh lagi.

Dengan pengerahan tenaga dan kepandaiannya, bagaikan terbang cepatnya Kian Bu melarikan diri keluar dari benteng melalui pintu gerbang tanpa ada yang mencoba untuk menghalanginya.

Para penjaganya yang sudah menerima perintah itu hanya memandang dengan bengong melihat pemuda itu berlari cepat memondong tubuh dara tunangan pangeran itu keluar dari pintu gerbang dan menghilang di dalam gelap. Hwee Li sendiri memejamkan mata karena ngeri.

Dia sudah biasa menunggang garuda yang terbang tinggi di angkasa dan juga cepat sekali, akan tetapi kini berada dalam pondongan pemuda rambut putih ini yang berlari tidak lumrah cepatnya, dia merasa ngeri juga.

Setelah jauh meninggalkan lembah itu dan tiba di padang rumput yang sunyi, yang diterangi oleh sinar bulan sepotong dan dibantu oleh bintang-bintang di langit, barulah Kian Bu membebaskan totokan yang membuat tubuh Hwee Li lemas tadi, dan menurunkannya dari pondongan. Kemudian dia menjura kepada dara itu sambil berkata,

“Nona, sekali lagi engkau telah menolongku, kalau dulu engkau menolongku mencarikan obat untuk kakakku, kini engkau malah menolong aku dan membebaskan aku dari cengkeraman maut. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas budimu yang besar itu.”

”Siapa berterima kasih kepada siapa? Akulah yang harus berterima kasih kepadamu,” kata Hwee Li.

“Tidak, engkau yang telah melepas budi besar kepadaku, Nona, dua kali malah, dan yang terakhir ini sungguh engkau telah menyelamatkan aku dari cengkeraman maut. Aku berhutang nyawa kepadamu.”

“Hi-hik, berhutang nyawa? Lalu kapan kau akan membayar hutangmu itu?”

Kian Bu gelagapan, akan tetapi memang pada dasarnya dia adalah seorang pemuda yang berwatak gembira, maka kini bertemu dengan seorang dara lincah seperti Hwee Li, kumat kembali wataknya itu.

“Ah, biarlah aku akan selalu membayangimu dan menanti saat baik. Kalau engkau terancam bahaya maut, aku akan menolongmu sehingga dengan demikian aku akan dapat membayar hutangmu itu.”

“Hemmm....”

Hwee Li lalu duduk di atas rumput. Indah sekali suasana di padang rumput itu. Angin malam semilir menggerakkan ujung-ujung rumput yang seperti air laut sedang bergelombang lembut. Bau sedap harum rumput bercampur tanah mendatangkan rasa nyaman dan membuat orang ingin menarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya. Sinar bulan lembut menyentuh mesra. Semuanya nampak serba lembut, tidak ada kekerasan yang terbawa dalam sinar matahari siang.

“Kau benar-benar ingin membalas budi kepadaku?”

“Benar! Sungguh, Nona, hanya aku tidak tahu dengan cara bagaimana aku harus membalas kebaikan hatimu dan budi yang telah berkali-kali kau lepaskan kepadaku itu.”

“Kalau ada sebuah permintaanku, benar engkau mau memenuhinya?”

“Benar, pasti akan kupenuhi permintaanmu itu, asal dapat membalas budimu dengan itu.”

“Nah, mulai sekarang, jangan lagi menyebut nona kepadaku.”

“Ehhh....?” Kian Bu melongo. Masa hanya sedemikian sederhana permintaannya? Dan apa maksudnya? Apakah dia harus menyebut namanya saja? Namanya Hwee Li, nama yang indah dan enak diucapakan. “Lalu.... menyebut apa?” tanyanya, ragu.