FB

FB


Ads

Rabu, 27 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 085

Kian Bu tertegun. Ular itu dapat mengelak dan sabetannya luput! Padahal, sabetan rantingnya tadi belum tentu dapat dielakkan oleh seorang ahli silat umum saja! Dan kini, seperti dapat terbang saja, tubuh ular itu menggeliat dan ternyata dia sudah membalik dan menyerang lagi ke arah muka Kian Bu.

“Ehhh!” seru pemuda itu dan ketika ular itu lewat di dekat mukanya yang dia condongkan ke belakang untuk mengelak, dia mencium bau harum yang amis.

Ular itu berbisa dan berbahaya sekali! Akan tetapi kini wanita tadi sudah menyambut kembali ularnya yang seperti burung bisa terbang itu, lalu kakinya meloncat dan dalam sekelebatan saja wanita itu telah lenyap dari tempat itu.

Kian Bu merasa penasaran, juga dia cepat mempergunakan gerakan Sin-coan-in, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tahu-tahu sudah jauh sekali dan dia mengejar dengan Ilmu Jouw-sang-huiteng ke arah timur. Siang In memandang bengong. Dia hanya melihat dua orang itu berkelebat dan lenyap, kemudian di timur dia hanya melihat dua titik putih seperti bintang jatuh, lalu lenyap?

Siang In menarik napas panjang, penuh kekaguman. Dia tadi dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas, akan tetapi dia tidak pernah dapat melihat wajah Siluman Kecil. Sudah dua kali dia bertemu dengan pendekar sakti yang terkenal sekali itu, namun kedua kalinya dia tidak berkesempatan untuk berkenalan, bahkan melihat wajahnya pun belum, atau sedikitnya tidak jelas sama sekali karena dilihatnya dari samping, itu pun masih tertutup sebagian oleh rambut putih.

Siang In muncul dari tempat sembunyinya dan menghampiri tempat bekas pertempuran tadi. Dilihatnya api unggun telah padam, akan tetapi dua paha kijang masih berada di situ, ditusuk bambu dan sudah matang. Melihat paha kijang, perutnya menjadi lapar lagi dan tanpa mempedulikan siapa yang memiliki daging paha kijang itu, dia lalu mengambil dua paha itu dan mulai menggerogotinya. Sedap sekali!

Kiranya Siluman Kecil itu pandai memanggang paha kijang, pikirnya. Diberi bumbu pula dan diberi garam. Bukan main! Siang In cepat membawa dua buah paha kijang yang sudah matang itu kembali ke dalam hutan. Dengan lahap dia makan daging itu. Sudah habis sepotong, dia mulai dengan yang ke dua, akan tetapi kini kelahapannya berkurang.

Daging paha itu besar dan menghabiskan sepotong pun sudah kenyang. Akhirnya dia tidak mampu menghabiskan paha ke dua dan melemparkannya ke samping. Perutnya kenyang dan tenaga pulih, akan tetapi rasa kenyang itu menimbulkan kantuk sehingga tak lama kemudian Siang In sudah tertidur pulas di bawah pohon!

Sementara itu, Kian Bu yang melakukan pengejaran, menjadi penasaran bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita itu amat hebat larinya, memiliki ginkang yang mencapai tingkat sempurna sehingga dia sendiri tertinggal jauh dan sebentar saja bayangan wanita itu sudah lenyap dan dia berdiri termangu-mangu karena tidak tahu ke arah mana larinya bayangan yang lenyap itu.

Dia merasa menyesal sekali. Betapapun cepat larinya wanita itu, kalau dia mengejarnya di waktu siang, tentu dia akan tahu ke arah mana larinya. Kini, hanya sinar bulan remang-remang saja yang membantunya maka dia kehilangan jejak.

Dia hanya ingin mendapat kepastian dari wanita itu apakah benar wanita itu murid ibu angkatnya. Akan tetapi dia segera teringat. Bukankah wanita itu tadi meninggalkannya ketika mendengar jerit wanita dari jauh itu? Dan jerit itu datang dari arah lereng bukit di depan. Teringat akan ini, Kian Bu melanjutkan larinya menuju ke bukit yang nampak remang-remang di depan.

Setelah tiba di lereng bukit itu, kembali Kian Bu menjadi bingung. Dia memperhatikan dan mendengarkan, namun tidak terdengar suara apa pun. Akhirnya, dengan untung-untungan dia memasuki sebuah hutan kecil. Bulan bersinar sepenuhnya tanpa terhalang mega sehingga sinarnya cukup terang juga.

Tiba-tiba dia melihat tubuh lima orang berserakan di atas tanah, di depan sana. Dia teringat betapa wanita lihai tadi sedang mencari-cari lima orang laki-laki yang bergolok panjang. Jangan-jangan....! Dia cepat berlari menghampiri dengan penuh kewaspadaan.

Ketika dia tiba di tempat itu, dia mengerutkan alisnya. Di situ nampak mayat seorang wanita muda yang cantik dan empat orang laki-laki tinggi besar yang kelihatan kasar dan bengis wajah mereka. Akan tetapi empat orang laki-laki itu tewas dalam keadaan mengerikan. Mereka rebah dengan pakaian hancur dan tubuh penuh luka-luka berjalur-jalur merah, seolah-olah seluruh tubuh mereka disayat-sayat dengan pisau tajam!

Kian Bu teringat akan hudtim yang mempunyai bulu-bulu putih halus itu dan dia merasa ngeri. Betapa kejamnya wanita itu, agaknya dalam kemarahan dan kebencian yang amat hebat, wanita itu telah mencambuki empat orang laki-laki ini dengan bulu-bulu kebutannya yang kalau digerakkan dengan tenaga sinkang hebat tentu berubah menjadi benda yang amat menyeramkan, dapat dipakai seperti puluhan buah pedang tajam yang menyayat-nyayat kulit daging!

Dengan perasaan muak Kian Bu lalu mendekati mayat wanita muda cantik yang agaknya masih utuh tubuhnya itu. Akan tetapi ketika dia mendekat, memandang jelas, dia lalu membuang muka dan mengutuk. Wanita itu setengah telanjang dan dari keadaan tubuhnya yang berlepotan darah, Kian Bu dapat menduga bahwa wanita muda ini tentu telah menjadi korban perkosaan yang amat keji dan buas!

Tiba-tiba, bagaikan seekor kijang melompat tubuh Kian Bu melesat ke kiri dan di lain saat dia telah menyambar tengkuk seorang laki-laki dan melemparkannya ke atas tanah, di dekat mayat-mayat itu. Kiranya tadi dia mendengar ada gerakan di kiri dan cepat dia menyambar, dan ternyata di tempat itu terdapat seorang laki-laki yang bersembunyi.

Laki-laki ini tubuhnya juga sudah tersayat-sayat, pakainya robek-robek dan mukanya membayangkan ketakutan sampai bola matanya berputaran memandang ke kanan kiri, kemudian dia bangkit berlutut dan mengangguk-angguk ke depan kaki Kian Bu sambil mengeluarkan suara seperti orang menangis,

”.... ampunnn.... ampunkan saya....” Tubuhnya menggigil.

“Siapa kau?” Kian Bu membentak dengan suara bengis.

“Saya.... saya.... bernama Giam Hok.... harap Taihiap sudi mengampuni saya....“ orang itu meratap. “Harap Taihiap sudi menolong dan menyelamatkan saya.... nama Taihiap sudah terkenal di seluruh kang-ouw.... harap lindungi saya dari.... dari iblis betina itu.... hu-huuhhh....”






Kian Bu mengerutkan alisnya. Orang ini telah mengenalnya sebagai Siluman Kecil. Memang namanya banyak dikenal di kalangan dunia hitam! Dan dia melihat wajah orang ini mirip dengan wajah empat orang laki-laki yang sudah tewas di situ. Maka teringatlah dia akan lima orang saudara she Giam yang terkenal di wilayah selatan.

“Hemmm, apakah engkau dan empat orang ini adalah Ngo Giam-lo-ong dari selatan yang tersohor itu?”

Orang itu mengangguk-angguk. Lalu dia memandang ke arah mayat empat orang saudaranya itu dan menangis mengguguk. Kian Bu meraba dagunnya dan mengerutkan alisnya. Dia sudah mendengar akan nama Ngo Giam-lo-ong (Lima Dewa Maut) ini. Bukan tergolong manusia-manusia yang baik, bahkan sering kali mengandalkan kekerasan, memaksakan kehendak sendiri dan berlaku sewenang-wenang. Maka dia pun tertarik sekali. Siapakah pembunuh empat di antara mereka? Wanita cantik itukah? Dan mengapa?

“Siapa yang melakukan pembunuhan terhadap empat orang saudaramu?” tiba-tiba dia bertanya, suaranya bengis penuh wibawa sehingga orang yang sudah habis nyalinya karena takut terhadap orang yang membunuh saudara-saudaranya itu dan kini makin jerih setelah mengenal Siluman Kecil, menjadi makin ketakutan dan menggigil seluruh tubuhnya.

“Yang membunuh adalah.... dia.... Bu-eng-kui....”

Kian Bu mengerutkan alisnya. Dia belum pernah mendengar nama julukan Bu-eng-kui (Setan Tanpa Bayangan) itu. Akan tetapi julukan itu memang tepat bagi wanita yang memiliki gerakan sedemikian gesitnya itu.

“Dia seorang wanita?”

“Begitulah.... yang saya dengar....“

Orang yang bernama Giam Hok itu menjawab ketakutan.

“Dan namanya Ouw Yan Hui?”

“Saya mendengar kabar bahwa dia she Ouw.... akan tetapi tidak tahu jelas....“

“Apa artinya kata-katamu ini?” Kian Bu membentak marah. “Saudara-saudaramu ini jelas dibunuh orang, dan melihat keadaan tubuhmu, agaknya engkau pun nyaris tewas pula, dan sekarang kau bilang hanya mendengar kabar, apakah engkau tidak melihat pembunuh-pembunuh saudaramu ini?”

“Dia.... dia bergerak seperti setan hampir tak dapat saya lihat.... bayangan berkelebat kadang-kadang ada kadang-kadang tidak dan yang terdengar hanya bunyi bersuitan sinar putih bergulung-gulung dan kami.... kami sudah disayat-sayat.... baiknya dia menyangka saya telah mati pula dan dia melesat pergi. Saya.... saya masih hidup dan cepat bersembunyi sampai Taihiap datang tadi.“

“Dan bagaimana kau dapat menduga bahwa dia itu yang berjuluk Bu-eng-kui dan she Ouw?” Kian Bu mendesak lagi.

“Kami.... saya.... telah lama mendengar akan Bu-eng-kui yang amat kejam dan mengerikan itu.... dan bahwa dia she Ouw.... hidup di Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Tapi saya belum pernah bertemu dengan dia....“

“Kau belum pernah bertemu dengan dia, dan tadi pun tidak dapat kau melihat wajahnya, akan tetapi bagaimana kau tahu dia itu Bu-eng-kui Ouw Yan Hui?”

“Karena.... sebelum berkelebat pergi, saya pura-pura menggeletak mati, dia mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata: Bu-eng-kui tidak dapat mengampuni segala cacing busuk!”

Kian Bu mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu wanita yang menyerang tadi itulah yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan ini. Bu-eng-kui Ouw Yan Hui, murid dari ibu angkatnya, berarti masih sucinya sendiri! Hemmm, seorang pembenci pria yang amat kejam dan ganas!

“Mengapa kalian berlima diserangnya? Hayo katakan, mengapa?”

“Kami.... kami tidak melakukan kesalahan, kami tidak pernah bermusuhan dengan dia...., entah mengapa, dia datang-datang menyerang dengan ganas, seperti setan yang tidak kelihatan, kami tidak diberi kesempatan untuk bicara....“

“Jangan membohong! Atau aku akan menyempurnakan perbuatannya atas dirimu yang masih belum selesai itu! Hayo katakan, siapa mayat wanita muda itu?”

“Dia.... dia....“

“Hayo katakan, siapa dia dan bagaimana dia mati?” Kian Bu menghardik.

“Dia adalah tawanan kami....“

“Hemmm, jahanam-jahanam busuk kalian ini! Dan kalian telah memperkosanya sampai mati, ya?”

Orang itu mengangkat muka dan memandang kepada wajah yang tampan namun menyeramkan karena dikurung rambut putih itu, terutama sekali sepasang mata yang seperti mata naga itu amat menakutkan hatinya. Dia mendengar bahwa Siluman Kecil adalah seorang pendekar sakti yang suka mengampuni orang, bahkan banyak orang golongan hitam yang tunduk kepadanya.

Mendengar nama julukan “siluman” itu, tentu pendekar sakti ini juga seorang dari golongan hitam, maka Giam Hok dengan terus terang mengakui, karena menganggap bahwa hal itu tentu tidak aneh bagi pendengaran seorang tokoh kaum sesat seperti Siluman Kecil.

“Kami berlima memang sedang bersenang-senang dengan tawanan kami, sudah menjadi hak kami untuk menikmati gadis yang menjadi tawanan kami ketika dia datang dan....“

“Desssss....! Aughhh....!”

Tubuh Giam Hok terpental dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Kian Bu berdiri dengan alis berkerut. Dia tadi menendang tubuh di depannya itu saking muak dan marahnya.

“Jahanam busuk kau!” katanya dan cepat dia menghampiri mayat gadis itu, memondongnya dan membawanya pergi dari tempat itu, tidak mempedulikannya lagi Giam Hok yang mengaduh-aduh dan berkelojotan.

Tendangan itu bukan dimaksudkan untuk membunuh dan orang ini tidak mati, akan tetapi karena dia telah terluka berat oleh sayatan kebutan Bu-eng-kui, kini ditambah dengan tendangan Kian Bu, tentu saja dia menjadi tiga perempat mati!

Setelah mengubur jenazah itu dengan sederhana di dalam hutan, Kian Bu lalu kembali ke tempat tadi untuk mencari paha kijang yang telah dipanggangnya. Akan tetapi, betapapun dia mencari, dua paha kijang itu telah lenyap! Dia menjadi heran sekali, juga penasaran dan bersungut-sungut. Perutnya lapar sekali dan paha-paha kijang tadi kelihatan amat enak! Apakah digondol binatang hutan? Agaknya tidak mungkin, karena binatang liar tentu tidak doyan makanan daging yang sudah dipanggang itu. Dia lalu memasuki hutan dengan maksud mencari kijang lain atau kelinci.

Tak lama kemudian, dia sudah berdiri memandangi gadis cantik yang tidur berbantalkan buntalan pakaian. Bukan hanya gadis cantik yang tidur nyenyak itu yang menarik perhatiannya, melainkan sepotong paha kijang yang tinggal separuh dan yang berada di atas rumput.

“Sialan....!”

Kian Bu menggeleng-geleng kepalanya. Cuaca yang terlalu gelap membuat dia tidak mengenal wajah gadis yang tidur nyenyak itu, maka dia pun lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat tanpa mengeluarkan suara sehingga tidak mengganggu Siang In yang masih tidur nyenyak.

Sambil berjalan, dia teringat kepada gadis setengah telanjang yang telah mati karena diperkosa dan yang tadi mayatnya telah dia kubur. Dia teringat akan pakaian dalam gadis itu yang koyak-koyak dan kini teringatlah dia bahwa gadis itu bukanlah bangsa Han, setidaknya bukan pakaian gadis Han-lah yang dipakainya itu.

Timbul keinginan tahunya. Dari manakah lima orang itu memperoleh gadis asing yang diperkosanya dan tewas tadi? Cepat dia kembali ke bukit yang ditinggalkan. Fajar telah menyingsing dan cuaca telah mulai terang ketika dia tiba di tempat tadi.

Dilihatnya Giam Hok sedang mengubur jenazah empat orang saudaranya dengan susah-payah dan sambil menangis. Diam-diam Kian Bu merasa kasihan juga. Betapapun jahatnya orang ini telah menerima hukuman yang amat berat. Bayangkan saja! Tadinya dia berlima dengan saudaranya, terkenal di dunia kang-ouw sebagai Lima Dewa Maut dari selatan, dan kini dalam waktu semalam saja, empat orang saudaranya telah tewas semua dalam keadaan mengerikan, dia sendiri pun luka-luka dan kini dia mengubur jenazah empat orang saudaranya itu sambil menangis sedih!

Setelah Giam Hok selesai menguruk lubang kuburan empat orang saudaranya, Kian Bu muncul. Melihat Kian Bu, Giam Hok cepat bangkit berdiri dan kini timbul keberaniannya. Dia bertolak pinggang dan berkata,

“Siluman Kecil adalah nama yang bergema di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar sakti yang suka memberi kesempatan kepada para anggauta golongan hitam. Akan tetapi kalau sekarang telah berubah dan hendak membunuh aku, marilah, jangan kepalang. Memang aku pun tidak mempunyai harapan lagi, lebih baik menyusul saudara-saudaraku.”

Kian Bu menarik napas panjang, lalu melangkah dekat. Jantung Giam Hok sudah berdebar keras. Dia maklum akan kelihaian iblis berambut putih ini, maka biarpun dia menantang maut, tidak urung jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi Kian Bu tidak menggerakkan tangan, melainkan menunduk, menutupi muka dengan rambut putihnya dan dari celah-celah rambut itu sepasang matanya yang mencorong tajam itu mengerling.

“Giam Hok loheng,” katanya ramah. “Jangan mengira yang bukan-bukan. Biarpun engkau memang sudah layak dibunuh sepuluh kali, akan tetapi aku bukanlah seorang yang haus darah.”

“Kalau begitu, mengapa Taihiap datang lagi menemui saya?”

Sikap Giam Hok berubah. Ucapan seorang seperti pendekar ini tentu saja dapat dipercaya, maka timbul lagi harapannya untuk hidup.

“Aku datang hanya untuk bertanya kepadamu asal-usul wanita yang tewas tadi. Dari manakah engkau memperolehnya atau menawannya?”

Tiba-tiba sikap Giam Hok menjadi berubah lagi, dan dia kelihatan takut sekali. Dia menoleh ke kanan kiri dan seolah-olah ingin melarikan diri. Melihat ini, Kian Bu menjadi heran dan tertarik.

“Giam-loheng, jangan takut. Ceritakan sebenarnya. Dari mana kalian memperoleh dia? Kulihat dia bukan seperti orang sini.” Dia berhenti sebentar dan menyambung, “Dia seperti orang dari.... Bhutan. Benarkah?”

Memang keadaan pakaian wanita itulah yang amat menarik perhatian Kian Bu. Pakaian itu mengingatkan dia kepada Puteri Syanti Dewi! Karena itulah maka dia sampai mau menemui lagi orang she Giam itu.

Akan tetapi Giam Hok menggeleng kepala.
“Saya tidak tahu.... hanya dia.... dia itu sesungguhnya adalah seorang di antara dayang-dayang yang melayani ehhh....“ Kembali Giam Hok berhenti dan memandang ke kanan kiri, ketakutan.

“Orang she Giam!” Kian Bu membentak tak sabar lagi. “Selagi ada aku di sini, yang engkau takuti siapa lagikah?”

Giam Hok menjadi makin gugup, akan tetapi setelah menelan ludah beberapa kali, dia dapat berkata dengan muka pucat,

“Dia adalah seorang di antara dayang-dayang yang melayani Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal.”

Kian Bu terkejut. Dia pernah bertemu dengan koksu dari Nepal, kakek botak yang amat lihai itu dan kini dia mendengar tentang Pangeran Nepal yang dayangnya tadi ditawan dan diperkosa sampai mati oleh lima orang iblis she Giam itu. Pantas saja pakaiannya mirip dengan pakaian Syanti Dewi, karena memang negera Nepal hampir sama dengan negara Bhutan, merupakan negeri-negeri tetangga di sebelah barat, di Pegunungan Himalaya.

“Hei, bagaimana kalian bisa memperoleh seorang dayang Pangeran Nepal?” tanyanya, tertarik.

Giam Hok menarik napas panjang dan berkata,
“Itulah yang menjadi gara-gara sampai empat orang saudaraku tewas semua.”

Lalu dia bercerita dengan suara sedih,
“Kami berlima mendengar bahwa Pangeran Nepal kini berada di lembah Huang-ho, di sarang Kui-liong-pang dan kami mendengar bahwa pangeran itu royal sekali terhadap orang-orang kang-ouw yang suka bersahabat dengan dia. Kami lalu mengunjungi lembah itu dan memang benar Pangeran Liong itu mengumpulkan banyak orang pandai, bahkan kabarnya hendak membangun lembah itu menjadi benteng yang amat kuat. Akan tetapi sungguh menggemaskan, terhadap kami lima orang Giam-lo-ong dia memandang rendah dan kami diberi pekerjaan mengepalai orang-orang yang menggali parit untuk dibangun sebagai dasar dari tembok benteng. Kami merasa penasaran akan tetapi tidak berani membantah karena pangeran itu selain sakti juga dibantu oleh banyak orang-orang yang luar biasa tinggi kepandaiannya.

Maka kami bersikap sabar, sampai kami mendapat kesempatan melarikan diri sambil membawa seorang dayang cantik dari pangeran itu yang kami anggap sebagai hadiah. Hemmm, dayang itu memang cantik jelita dan tubuhnya berbau sedap, sayang dia tidak kuat dan lebih celaka lagi, ketika kami sedang lari, kami berjumpa dangan Bu-eng-kui. Untung kami masih dapat melarikan diri ke dalam hutan, berlindung di kegelapan malam. Akan tetapi, ketika kami sedang menikmati hadiah kami itu, muncul si Setan Tanpa Bayangan sehingga akibatnya.... beginilah....”

Kian Bu tertarik sekali mendengar akan Pangeran Nepal yang berada di lembah Huang-ho, di sarang perkumpulan Kui-liong-pang itu. Mau apa seorang Pangeran Nepal main-main di tempat ini? Bahkan mau membangun sebuah benteng? Hadirnya Koksu Nepal yang lihai itu di istana Gubernur Ho-nan saja sudah amat mencurigakan hatinya, apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa gubernur itu memang bermaksud buruk dan hendak membangkang terhadap kekuasaan kerajaan.

Suma Kian Bu adalah putera Majikan Pulau Es, dia adalah putera dari Puteri Nirahai yang berdarah keluarga kaisar. Maka tentu saja di dalam batinnya terdapat perasaan setia terhadap kerajaan sehingga berita tentang pangeran asing itu menarik hatinya dan menimbulkan kecurigaannya.

Melihat wajah Siluman Kecil itu kelihatan tertarik sekali, maka Giam Hok lalu melanjutkan,
“Memang aneh-aneh yang terjadi di lembah itu, Taihiap. Pangeran Nepal itu dibantu oleh banyak orang pandai dan luar biasa. Bahkan saya melihat kakek raksasa yang amat menyeramkan, yang kabarnya adalah kakek majikan Pulau Neraka yang kesaktiannya melebihi iblis sendiri, akan tetapi yang mempunyai seorang anak perempuan yang seperti bidadari....“

“Ahhh....!”

Kian Bu benar-benar tertarik. Kiranya Hek-tiauw Lo-mo telah berada di sana pula, dan puterinya itu, Kim Hwee Li, juga diajak ke tempat itu. Apa maksudnya tokoh jahat itu berada di sana dan apa artinya semua itu? Jangan-jangan di sana menjadi sarang mereka yang merencanakan pemberontakan! Memang tempat itu baik sekali, di perbatasan antara Propinsi Ho-nan dan Ho-pei! Dia harus menyelidikinya!

“Taihiap.... ahhh....!” Giam Hok melongo karena pemuda yang tadinya masih berada di depannya itu tahu-tahu telah lenyap entah ke mana perginya!

**** 085 ****