FB

FB


Ads

Rabu, 27 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 084

Gadis itu memang cantik bukan main. Bukan hanya wajahnya yang cantik jelita dengan raut muka yang sempurna, kulitnya berwarna putih kemerahan, terutama sekali di kedua pipinya dan dahinya yang halus seperti lilin diraut, akan tetapi juga tubuhnya yang tinggi ramping itu amat lemas dan memiliki kepadatan dan lekuk lengkung yang tidak dapat disembunyikan oleh pakaiannya yang serba indah.

Aneh sekali melihat seorang dara cantik jelita berjalan seorang diri memasuki hutan itu, dengan tangan kiri memegang gagang payung yang terbuka dan yang melindunginya dari sengatan matahari yang terik itu.

Setelah memasuki hutan yang penuh pohon dan teduh sekali, dia menurunkan payungnya, menutup payung itu dan mengempitnya di ketiak lengan kiri tanpa menunda langkahnya yang satu-satu dan yang membuat tubuhnya melenggang-lenggok dengan patutnya. Memang seorang dara yang cantik manis dan menggairahkan. Akan tetapi pada wajah yang manis itu terbayang kemurungan hati.

Memang hati Siang In, gadis itu, sedang murung. Sudah lama sekali dia berputar-putar mencari jejak Syanti Dewi tanpa hasil! Dia merasa bertanggung jawab atas hilangnya Puteri Bhutan itu, karena sesungguhnya dialah yang membantu puteri itu melarikan diri dari istana Kerajaan Bhutan. Akhir-akhir ini dia mendengar bahwa jejak puteri itu menuju ke pantai Po-hai, akan tetapi telah berhari-hari dia mencari-cari di seluruh pantai, tetap saja tidak ada hasilnya.

Dalam perantauannya mencari jejak Syanti Dewi yang kini lenyap seperti ditelan bumi itu, Siang In banyak mendengar tentang keributan dan pergolakan di tapal batas Propinsi Ho-nan. Dia mendengar pula tentang peristiwa yang menimpa diri Pangeran Yung Hwa, betapa pangeran itu tertolong dari Ho-nan oleh pendekar yang namanya dia dengar di mana-mana, yaitu Siluman Kecil.

Ketika dia mendengar penuturan orang-orang kang-ouw di sepanjang perjalanan bahwa Siluman Kecil adalah seorang pemuda lihai sekali yang rambutnya sudah putih semua, dia teringat akan pemuda yang bertanding melawan kakek raksasa botak bermantel merah yang amat lihai itu. Teringat dia ketika dia membantu pemuda itu karena melihat betapa kakek raksasa itu mempergunakan ilmu sihir dalam pertandingan.

Jadi pemuda itukah yang berjuluk Siluman Kecil dan yang namanya amat terkenal di seluruh tapal batas propinsi, bahkan, terdengar pula sampai ke tempat-tempat terpencil di pantai Po-hai? Dia merasa kagum. Memang, dia teringat betapa pertandingan itu membuktikan akan kelihaian pemuda rambut putih itu. Dan kini dia mengerti bahwa lawan pemuda itu adalah Ban Hwa Seng-jin, koksu dari Nepal!

Dunia begini kacau, pikirnya. Pembesar-pembesar melakukan pergolakan, pemberontakan. Tokoh-tokoh dunia hitam seperti iblis-iblis merayap keluar dari gua-gua tempat persembunyian mereka untuk mendatangkan kekacauan dan mengail di air keruh. Dalam keadaan sekacau ini, tentu saja makin sukarlah untuk mencari Syanti Dewi. Dia makin murung. Kalau saja dia tidak ingat bahwa dia yang mengajak dan membantu puteri itu minggat dari Bhutan, tentu dia tidak akan peduli lagi, tidak mau melanjutkan penyelidikannya mencari Syanti Dewi.

Karena Syanti Dewi, maka dia sampai mengesampingkan urusannya sendiri, yaitu mencari pemuda yang selama ini selalu merupakan gangguan dalam hatinya, dalam perasaannya, merupakan duri dalam daging. Pemuda yang kadang-kadang menimbulkan rasa gemas sampai benci, kadang-kadang menimbulkan rasa gembira, malu sampai terasa bahagia, pemuda yang pernah menciumnya! Suma Kian Bu! Dia terpaksa mengesampingkan pencariannya terhadap pemuda itu karena urusan Syanti Dewi.

Apalagi ketika dia yang sudah hafal akan keadaan pantai Po-hai itu mencari-cari tanpa hasil, kemudian malah mendapatkan Gua Tengkorak, tempat pertapaan gurunya di pantai Po-hai juga kosong dan tidak ada pesan apa pun dari gurunya, hatinya makin menjadi murung, sungguhpun pada wajah yang cantik jelita dan manis itu tidak pernah kelihatan kegembiraan, sikapnya selalu lincah berseri, penuh kegembiraan, sikapnya selalu lincah jenaka, bibirnya selalu tersenyum sehingga sukarlah membayangkan wajah seperti ini berduka atau muram.

Satu-satunya yang membuktikan betapa murung hati dara ini adalah cara dia melakukan perjalanan itu. Sama sekali dia tidak mempedulikan kanan kiri, bahkan tidak lagi mempedulikan ke mana kakinya melangkah dan sama sekali dia tidak pernah berhenti melangkahkan kaki memasuki hutan itu.

Sampai matahari telah jauh condong ke barat, sinarnya tidak lagi dapat menembus daun-daun pohon sehingga keadaan dalam hutan mulai gelap sampai kedua kakinya terasa amat lelah dan perutnya lapar, barulah dara ini merasa betapa sejak pagi tadi dia belum makan apa-apa!

“Uhhh....!”

Dia melempar payungnya ke atas rumput di bawah pohon besar, diikuti oleh pinggulnya yang mendarat dengan lunaknya ke atas rumput tebal dan Siang In sudah merebahkan diri di atas rumput berbantal kedua lengannya, matanya menerawang daun-daun yang masih menguning tertimpa sinar matahari senja.

Perhatiannya segera tercurah kepada suara burung-burung yang bercuitan, burung-burung yang berkelompok datang beterbangan di atas pohon itu, hingga di ranting-ranting dan dahan-dahan, bersahutan-sahutan kemudian tiba-tiba mereka terbang pergi.

Suara sayap mereka terdengar nyata dan sebentar saja mereka sudah jauh, hanya terdengar suara mencicit mereka lapat-lapat. Akan tetapi tak lama kemudian burung-burung itu datang lagi memenuhi pohon. Agaknya mereka masih sangsi dan terkejut melihat ada manusia di bawah pohon yang menjadi tempat mereka bermalam itu.

Tiba-tiba Siang In membuat gerakan cepat dan tubuhnya yang tadi rebah terlentang itu, tahu-tahu sudah meloncat dan bangkit duduk, alisnya berkerut dan pendengarannya dicurahkan kepada suara yang sayup sampai dihembus angin lalu. Demikian penuh perhatian dia akan suara itu sehingga andaikata dia seekor kelinci, tentu daun telinganya bergerak-gerak. Suara orang! Ada orang di tempat sunyi ini, di waktu matahari mulai terbenam! Tentu hal ini amat mencurigakan!

Dengan langkah-langkah ringan sekali. Siang In sudah melangkah berindap-indap ke arah datangnya suara, payungnya telah dipegang gagangnya, siap menghadapi segala kemungkinan. Suara itu makin jelas, suara seorang saja yang membaca sajak! Sungguh mengherankan.

Di tempat sunyi seperti itu, bukan suara harimau atau monyet atau binatang buas lain yang didengarnya, melainkan suara seorang laki-laki membaca sajak! Sungguh tidak umum, tidak lumrah! Orang gila agaknya. Akan tetapi kata-katanya jelas dan lantang, dan isi kata-kata itu amat menarik hatinya, membuatnya berdiri termangu-mangu dan biarpun dia belum melihat orangnya, dia telah mendengar semua isi sajak yang diucapkannya dengan suara lantang itu.

“Bahagia, hanya sebuah kata!
penuh daya tarik, penuh rahasia
dikejar, dia lari dicari, dia sembunyi
makin dibutuhkan makin manja
bahagia, hanya sebuah kata!
Harta benda bukanlah bahagia
nafsu berahi bukan bahagia
dia bukan pula kebesaran nama
bukan pula kedudukan mulia
tak mungkin didapat melalui pengejaran
seperti halnya kesenangan!
Yang mengejar bahagia selamanya takkan bahagia
yang tidak butuh bahagia adalah orang yang benar-benar bahagia
itulah hakekat bahagia hanya sebuah kata belaka!”






Siang In bengong terlongong mendengar ini. Mimpikah dia? Di tempat seperti ini bertemu dengan seorang manusia pun sudah merupakan suatu hal yang langka, suara hal yang aneh dan andaikata bertemu orang pun, pantasnya orang itu hanyalah seorang pencari kayu, seorang pemburu binatang buas atau paling hebat juga seorang perampok! Akan tetapi, dia mendengar orang membaca sajak tentang bahagia! Dan isi kata-kata yang dirangkai seperti sajak itu amat mengesankan hatinya.

Mendengar itu, dia termenung, bahkan lalu duduk di atas batu besar di tempat itu dan tak pernah pikirannya dapat melepaskan isi sajak itu. Dia seperti terkena pesona, terkena sihir oleh kata-kata itu dan tanpa disadarinya sendiri, dia pun kini termenung-menung mencari arti dari kata aneh itu. BAHAGIA! Sesungguhnya, apakah bahagia itu? Semua orang di dunia ini seolah-olah berlumba untuk mencari kebahagiaan. Bahkan segala sesuatu ditujukan ke arah pencapaian kebahagiaan itu.

“Yang mengejar bahagia selamanya tidak akan bahagia!”

Demikian bunyi baris antara sajak tadi. Benarkah ini? Kalau tidak dikejar, mana bisa dapat? Untuk mendapatkan sesuatu, tentu saja harus dilalui pengejaran, demikian suara hati Siang In membantah. Orang gilakah yang membaca sajak tadi? Dia sendiri pernah membaca banyak kitab kuno, akan tetapi dia tidak pernah mendengar sajak seperti itu. Sajak orang sinting, kata-kata yang dirangkai seperti teka-teki.

Teringat dia akan kitab kuno yang menceritakan tentang aliran Agama Beng yang paling suka mempermainkan kata-kata sebagai jembatan untuk menyelami kehidupan dan filsafatnya, misalnya “kuda putih bukanlah kuda!” “anjing putih adalah hitam”, dan sebagainya.

Semua itu menyimpan maksud agar kita tidak terpengaruh oleh keadaan luar seperti warna, sikap, kedudukan, harta, kepintaran dan sebagainya yang kesemuanya itu hanyalah keadaan lahiriah belaka. Kuda putih, yang penting bukanlah putihnya, melainkan anjingnya. Keadaan lahiriah itu berubah selalu, dan tidak menentukan isinya! Agar faktor bendanya, dalam hal ini tentu saja manusianya, yang penting bukan segala keadaan lahiriahnya.

Apakah pembaca sajak itu seorang di antara sisa-sisa penganut kebatinan Beng itu? Akan tetapi kabarnya kini sudah tidak ada lagi sisa pengikut aliran itu yang sudah amat kuno, yang hidup di sekitar jaman Dinasti Cou (abad ke 4 sebelum Masehi). Ataukah dia seorang tosu? Mungkin, pikir Siang In. Pendeta beragama To memang banyak yang aneh, dan kadang-kadang pendeta agama ini suka mengambil filsafat-filsafat lain aliran ke dalam agamanya.

Betapapun juga, siapapun adanya orang itu, sungguh amat aneh dan menarik hatinya. Akan tetapi, sebagai seorang kang-ouw, Siang In juga maklum bahwa orang yang membaca sajak di dalam hutan seperti itu tentu bukan orang sembarangan, maka dia pun bersikap hati-hati, dia tidak berani muncul begitu saja memperlihatkan diri, melainkan berindap-indap mengintai dari balik sebatang pohon yang besar, sepasang matanya mencoba untuk mencari orang yang tadi bersajak dengan suara cukup jelas itu, di dalam cuaca yang remang-remang dan telah mulai agak gelap itu dia tidak dapat melihat adanya seorang pun manusia di situ. Maka dia lalu bergerak maju pula, dengan pengerahan ginkangnya sehingga daun kering yang terpijak kakinya pun tidak mengeluarkan suara, seperti langkah seekor kucing saja layaknya.

Siang In terus mencari-cari, namun ternyata dia tidak dapat menemukan orang yang tadi membaca sajak itu. Sedangkan malam mulai tiba. Bulu tengkuknya mulai meremang. Setankah yang dia dengar membaca sajak tadi? Kalau manusia, tidak mungkin dapat bergerak secepat itu dan dapat menghilang begitu saja dari pencariannya. Padahal tadi jelas terdengar suaranya tidak jauh dari tempat dia bersembunyi.

Kalau bukan setan, kalau manusia, tentu manusia itu memiliki kepandaian yang hebat bukan main. Dia tidak lagi melanjutkan pencariannya, mengira bahwa tentu setan atau orang itu tadi hanya lewat saja di hutan itu dan kini telah pergi jauh. Mulailah dia teringat lagi akan perutnya yang lapar ketika perutnya berbunyi. Bunyi perutnya berkeruyuk itu sampai mengagetkan hatinya, karena pada saat itu dia sedang mengerahkan seluruh perhatian pada pendengarannya.

“Ihhh, tak tahu malu!”

Siang In menepuk perutnya sendiri ketika dia terkejut mendengar bunyi berkeruyuk itu. Karena menganggap bahwa di hutan itu pasti tidak ada orang lain, karena kalau ada tentu dia sudah dapat menemukannya, maka Siang In lalu mulai mencari sesuatu untuk dapat dimakan.

Akan tetapi, hutan itu penuh dengan pohon liar, sama sekali tidak terdapat sebatangpun pohon yang mengeluarkan buah yang dapat dimakan. Dia mencari-cari, selain buah juga mencari binatang hutan yang dapat ditangkap dan dimakan dagingnya, namun hasilnya sia-sia belaka karena malam telah tiba dan cuaca mulai gelap.

“Sialan!” Dia memaki. “Sialan setan yang bersajak tadi!” gerutunya karena dia terpaksa harus melewatkan malam dengan perut lapar dan dia menimpakan kesalahan kepada si pembaca sajak tadi.

Kalau dia tidak mencari-cari orang itu, tentu dia dapat mencari makanan selagi cuaca masih belum gelap tadi, pikirnya dengan hati kesal. Siang In lalu mencari tempat yang kering di bawah pohon, duduk dan bersandar batang pohon melepaskan lelah. Dalam keadaan sendirian di tengah hutan yang gelap itu, dengan perut menderita gigitan rasa lapar, Siang In melamun dan terkenang akan keadaan dirinya. Tiba-tiba jantungnya seperti ditusuk rasanya, rasa sedih menyelimuti hatinya.

Teringatlah Siang In akan keadaannya yang sebatangkara itu. Semenjak dia masih kecil, orang tuanya telah meninggal dunia. Dia tadinya hidup berdua dengan encinya yang bernama Teng Siang Hwa, hidup berdua di Lembah Pek-thouw-san. Akan tetapi, encinya itu tewas ketika berhadapan dengan anak buah raja liar Tambolon sehingga dia menjadi sebatangkara sampai dia bertemu dengan See-thian Hoat-su yang mengambilnya sebagai murid.

Dia tidak mempunyai siapapun di dunia ini, hanya gurunya itu. Akan tetapi kakek aneh yang menjadi gurunya itu pun tidak pernah mau tinggal diam, bahkan kini pun tidak berada di tempat pertapaannya, di Gua Tengkorak di pantai Po-hai. Entah ke mana perginya gurunya itu. Hanya ada gurunya, kakek tua itu dan.... Siang In melihat bayangan wajah di depan mata hatinya. Wajah seorang pemuda yang tampan, gagah, lincah jenaka dan suka menggoda orang.

Wajah yang selama ini sering kali dijumpainya dalam mimpi. Wajah pemuda yang selama ini dicari-carinya sampai dia bertemu dengan Syanti Dewi sehingga pencariannya itu tertunda karena urusan Syanti Dewi. Wajah Suma Kian Bu, pemuda yang pernah mencium bibirnya!

Semua peristiwa itu terbayang di dalam benaknya (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali) dan membuatnya merasa amat kesepian. Dia menghela napas dan memejamkan kedua matanya, ingin mengusir semua kenangan itu, akan tetapi sinar mata tajam dan nakal, senyum yang menarik dari wajah pemuda itu malah terbayang makin jelas!

Tiba-tiba Siang In membuka mata dan bangkit duduk dengan tegak, cuping hidungnya kembang-kempis seperti cuping hidung seekor kelinci. Memang hidungnya mencium bau sesuatu, bau yang sedap dan gurih, bau daging panggang!

“Kruuuyuuuuukkk....!”

“Ihhh!”

Siang In menepuk perutnya yang kecil dan kosong itu. Akan tetapi dia tidak dapat mencegah air liurnya membasahi mulut. Terpaksa dia menelan ludahnya karena seleranya timbul secara tiba-tiba.

Berindap-indap dia melangkah setelah menyambar buntalan dan payungnya, menghampiri tempat dari mana dia mencium bau sedap gurih itu. Dia harus berhati-hati sekali. Biarpun kini di langit nampak bulan yang sinarnya merah kehijauan di dalam hutan itu, namun keadaan masih gelap karena lebatnya hutan itu.

Hanya bau sedap itu yang menjadi penunjuk jalan. Akhirnya dia keluar dari hutan itu dan ternyata di luar hutan itu terdapat sebuah padang rumput yang luas dan nampak indah sekali karena bermandikan cahaya bulan tanpa terganggu bayangan pohon. Dan agak jauh di tengah-tengah padang itu, dia melihat api unggun di antara semak-semak dan dari sanalah datangnya bau sedap gurih tadi.

Siang In mempergunakan kepandaiannya, menyusup di antara semak-semak dan menghampiri tempat itu. Setelah dekat, dia bersembunyi di balik semak-semak bunga dan mengintai. Sinar api unggun menambah terang tempat yang sudah disinari cahaya bulan itu. Di depan api unggun duduk seorang yang rambutnya riap-riapan. Tertimpa sinar api dan sinar bulan, rambut panjang riap-riapan itu mengkilap dan seperti benang-benang perak. Wajahnya agak menunduk, memandang kepada daging paha kijang yang sedang dipanggangnya.

Kembali Siang In menelan ludah. Akan tetapi dia termangu dan tidak berani bergerak. Jantungnya berdebar tegang. Bukankah orang itu Siluman Kecil? Melihat rambut panjang riap-riapan yang keputihan itu! Pernah dia melihat Siluman Kecil, ketika pendekar aneh itu bertanding melawan seorang kakek botak yang amat lihai. Ketika itu, dia turun tangan membantu Siluman Kecil karena dia melihat kakek botak mempergunakan sihir, dan dia hanya membuyarkan ilmu hitam itu.

Akan tetapi, ketika itu, dia hanya melihat Siluman Kecil dari jarak jauh dan tidak dapat melihat wajah pendekar yang amat terkenal itu dengan jelas. Benarkah orang yang berjongkok dekat api unggun dan sedang memanggang dua buah paha kijang besar gemuk itu Siluman Kecil? Siapapun adanya orang itu, tidak lagi menarik perhatian Siang In benar karena dia lagi-lagi sudah tertarik oleh gumpalan-gumpalan daging yang sedang dipanggang itu.

Bibirnya sudah bergerak, mulutnya sudah hampir dibuka untuk menegur orang itu, untuk minta kebaikan orang itu agar suka membagi sedikit daging kepadanya ketika cepat Siang In menutupkan mulutnya kembali dan menahan napas. Dia melihat munculnya seorang bayangan lain, kemunculan bayangan ini sedemikian cepatnya sehingga dia merasa bulu tengkuknya meremang.

Seperti setan saja yang pandai menghilang dan kini tahu-tahu menampakkan diri, demikian cepatnya gerakan orang itu. Kini sinar api unggun dari bawah menyorot ke arah muka bayangan itu dan Siang In melihat seraut wajah wanita yang amat cantik, kemerah-merahan tertimpa sinar api unggun itu.

Bayangan wajah wanita yang sukar ditaksir berapa usianya. Saking cantiknya masih kelihatan muda, namun wajah itu sedemikian penuh kematangan sehingga sudah barang tentu juga tidak bisa dikatakan muda lagi. Pakaiannya amat mewah, seperti puteri istana saja, rambutnya digelung malang melintang penuh dengan hiasan emas dan ratna mutu manikam yang gemerlapan.

Akan tetapi bajunya itu berlengan besar dan longgar seperti jubah pendeta, dan juga tangan kanannya memegang sebatang hudtim (kebutan pertapa) yang berbulu halus dan panjang, gagangnya terbuat dari benda putih berkilauan halus, entah terbuat dari gading gajah ataukah tulang ikan besar.

Yang amat mengagumkan, akan tetapi sekaligus juga menyeramkan adalah sepasang mata wanita itu. Sepasang mata itu indah sekali memang, akan tetapi di dalam keindahan itu bersembunyi kebengisan dan kekejaman luar biasa, sinar mata yang tajam seperti menusuk ulu hati dan menjenguk segala isi hati orang!

“Hai! Kamu....!”

Suara wanita itu halus merdu ketika menegur laki-laki berambut riap-riapan yang sedang memanggang daging. Lagaknya demikian tinggi hati dan angkuh, seolah-olah dia seorang ratu yang sedang menegur hambanya saja.

“Apakah kamu melihat lima orang lelaki bersenjata golok besar keluar dari dalam hutan ini?”

Pria yang sedang memanggang paha kijang itu masih tetap menunduk, sama sekali tidak menjawab, apalagi menjawab, mengangkat muka memandang pun tidak. Dia hanya melanjutkan pekerjaannya dan membesarkan api unggun dengan menambah kayu kering sehingga sinar api unggun makin terang, apinya makin bernyala tinggi. Namun sebagian besar muka orang itu tertutup oleh rambut putihnya yang berjuntai ke bawah sehingga sukar dikenal.

Melihat orang yang ditanya itu diam saja, berkerut sepasang alis yang hitam kecil itu dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar berkilat.

“Heiii, laki-laki jembel, apakah kau tuli? Apakah kau gagu? Hayo jawab!”

Wanita itu membentak dan hudtim di tangan kanan itu digoyang-goyangnya. Terdengar suara bersuitan dan diam-diam Siang In terkejut bukan main. Tenaga sinkang dari wanita ini hebat sekali, baru menggoyangkan sedikit hudtim itu saja sudah mengeluarkan suara bersuitan seperti itu!

Dengan hati penuh ketegangan Siang In mengintai dan ingin sekali tahu apa yang akan di jawab oleh laki-laki itu, yang disangkanya adalah pendekar sakti Siluman Kecil. Akan tetapi, laki-laki yang sedang memanggang paha kijang itu sama sekali tidak mengangkat muka apalagi menjawab, hanya membolak-bolik daging yang dipanggangnya agar tidak sampai hangus, dan kini terdengar dia bernyanyi atau membaca sajak dengan suara yang berirama!

“Siapa bicara kasar menyakitkan hati orang akan memperoleh jawaban yang kasar pula kelakuan kasar menyakitkan hati hanya akan menimpa diri sendiri! Akan tetapi si bodoh dan tolol! berbuat jahat tanpa melihat akibat seperti si tolol api akhirnya membakar diri sendiri!”

Mendengar itu, Siang In teringat akan suara orang yang pernah didengarnya membaca sajak tentang bahagia tadi. Tahulah dia bahwa orang yang tadi membaca sajak tentang bahagia adalah si pemanggang daging ini. Dua buah sajak yang dinyanyikannya sekarang ini pun bukan sajak main-main. Dia mengenalnya sebagai ujar-ujar yang terdapat dalam kitab-kitab para hwesio, dalam kitab Agama Buddha, kalau dia tidak salah ingat, dalam kitab Dhammapada bagian Hukuman.

Wanita yang memegang hudtim itu pun agaknya terkejut dan agaknya mengenal pula sajak-sajak itu maka kini dia melangkah maju dan memandang wajah orang yang tersembunyi di balik rambut putihnya. Melihat rambut putih itu, tiba-tiba wanita itu berseru,

“Ah, apakah engkau ini yang dijuluki orang Siluman Kecil?”

Pria itu memang bukan lain adalah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Siluman Kecil atau Suma Kian Bu. Bahkan di istana kuno milik Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek di puncak Bukit Nelayan itu, dia bertemu dengan Ceng Ceng yang terhitung adalah keponakannya sendiri, dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, bahkan dia melihat pula munculnya Sin-siauw Seng-jin yang mewarisi kepandaian Suling Emas.

Dia mendengarkan percakapan mereka itu dari sebelah dalam, dan dia merasa enggan untuk keluar, karena dia segan bertemu dengan Sin-siauw Seng-jin yang pernah menjadi lawannya. Akan tetapi, ketika dia mendengar penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi yang diculik orang, Kian Bu terkejut bukan main dan dia sudah cepat meninggalkan tempat itu tanpa pamit, hanya meninggalkan surat untuk kakaknya dan dia sudah pergi untuk mencari dan menolong Syanti Dewi, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya dan masih dicintanya itu.

Dia mencari jejak Syanti Dewi di sekitar pantai Po-hai, namun dia tidak dapat menemukan jejak itu dan pada senja hari itu, setelah merobohkan seekor kijang, dia sedang asyik memanggang paha kijang ketika dia melihat munculnya wanita cantik yang angkuh dan galak itu.

Ketika mendengar pertanyaan yang nadanya meremehkan itu, Kian Bu hanya miringkan mukanya dan melirik ke atas, lalu menjawab tak acuh, seperti melayani seorang anak-anak yang mengajukan pertanyaan yang tidak penting pula,

“Kalau benar, kenapa sih?”

Wanita itu mendengus dan suaranya dingin sekali ketika berkata,
“Semua laki-laki di dunia ini berhati palsu dan bicaranya mengandung racun seperti ular-ular belang! Akan tetapi selama ini yang kubunuh hanyalah cacing-cacing yang tidak ada gunanya. Orang macam engkau inilah baru seekor ular sendok yang berbahaya. Aku bosan juga membunuhi cacing-cacing kotor, sekarang bertemu dengan ular jahat dan berbahaya macammu, tidak boleh terlepas dari tanganku!”

Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan hudtimnya dan sinar putih menyambar dengan cepat dan dahsyat sekali ke arah leher Kian Bu!

“Wuuuttt....!”

Kian Bu sudah cepat mengelak dan tubuhnya tidak berada lagi di depan api unggun. Dan api unggun itu seketika padam tertiup hawa pukulan kebutan itu! Melihat ini, diam-diam Siang In memandang kagum bukan main dan jantungnya berdebar. Kiranya pria itu benar Siluman Kecil adanya! Dan gerakan Siluman Kecil tadi pun luar biasa, ketika kebutan menyambar dari jarak dekat. Tubuhnya seperti dapat menghilang saja.

“Huh, agaknya engkau telah menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan (Ilmu-ilmu Bangau Sakti). Hemmm, aku sudah mendengar bahwa engkau si ular jantan ini berhasil membujuk Kim Sim Nikouw sehingga engkau dapat mencuri ilmu-ilmu itu”.

Wanita itu hanya mengejek dan cepat menerjang lagi. Kian Bu merasa tidak enak. Dia masih ragu-ragu apakah benar wanita ini adalah orang she Ouw seperti yang pernah dia dengar dari ibu angkatnya. Kalau benar demikian, dia menjadi serba salah. Mau mengeluarkan jurus maut, orang ini masih terhitung saudara seperguruan dengan dia. Kalau tidak, agaknya sukar baginya memperoleh kemenangan karena wanita ini benar-benar amat lihai sekali.

Tiba-tiba terdengar jerit seorang wanita, suara jeritan yang hanya terdengar lapat-lapat saja karena amat jauh. Namun bagi telinga Kian Bu dan wanita itu, suara ini terdengar amat jelas. Sedangkan Siang In yang mengintai itu hampir tidak mendengarnya sama sekali.

“Huh, mengingat Kim Sim Nikouw, biarlah kutitipkan dulu kepalamu di atas lehermu!” kata wanita itu dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar emas yang amat cepat menyambar ke arah leher Kian Bu.

Biarpun cuaca amat gelap dan hanya diterangi oleh bulan, namun melihat kehebatan serangan hudtim itu, disamping keheranannya mengapa wanita yang tak dikenalnya ini memusuhinya dan begitu bertemu ingin membunuhnya.

Akan tetapi, wanita itu hanya menjawab dengan kebutannya yang bergerak makin dahsyat, makin lama makin cepat sehingga kini bayangan wanita itu pun tergulung sinar putih dan tidak kelihatan lagi, dan dari dalam gulungan sinar itu terdengar suaranya mendengus penuh ejekan dan kebencian,

“Huh!”

“Hemmm, kalau begitu engkau adalah seekor ular betina! Baik, kau ingin mengadu ilmu? Nah sambutlah!”

Kian Bu kini tidak lagi mau mengalah dan cepat dia menggerakkan rantingnya, selain menangkis juga membalas serangan. Dalam satu gerakan saja, rantingnya telah mengirim totokan yang mengarah sedikitnya tujuh jalan darah di tubuh lawan, sedangkan tangan kirinya juga tidak mau menganggur, melainkan melancarkan dorongan-dorongan yang mengandung hawa pukulan mujijat, berselang-selang dari pukulan-pukulan sakti Pulau Es, yaitu Swat-im-sin-jiu dan Hwi-yang-sin-ciang.

Maka menyambarkan hawa panas dan hawa dingin berganti-ganti ke arah wanita itu sehingga wanita itu berkali-kali mengeluarkan pekik kaget. Kian Bu yang tidak mengenal wanita ini tidak merasa bermusuh dengannya, masih tidak tega untuk mengeluarkan ilmu pukulannya yang paling ampuh, yaitu pukulan penggabungan sinkang yang bersifat Im dan Yang, pukulan yang hampir saja pernah menewaskan nyawa kakaknya sendiri itu.

Kian Bu segera mendapatkan kenyataan bahwa biarpun dalam hal ilmu pukulan dan tenaga sinkang, dia mempunyai kelebihan dari wanita itu, namun dia diam-diam harus mengakui bahwa dalam hal ginkang, dia masih kalah setingkat! Hal ini tentu saja membuat dia terkejut bukan main dan teringatlah dia akan cerita Kim Sim Nikouw yang menjadi ibu angkatnya.

“Tahan dulu! Bukankah engkau ini orang she Ouw?”

“Huhhh! Laki-laki palsu yang cerewet! Sialan! Engkau harus mampus dua kali untuk itu!”

Kini wanita itu telah menerjang dengan hebat, hudtim di tangannya berubah menjadi gulungan sinar putih yang amat lebar dan terdengarlah bunyi bersuitan nyaring memekakkan telinga ketika sinar putih itu bergulung-gulung menyambar ke arah Siluman Kecil.

Namun, Siluman Kecil sudah meninggalkan dua paha kijang tadi dan sebagai gantinya kini tangannya telah memegang sebatang ranting. Dengan kecepatan kilat, dia pun mengelak sambil balas menotok dengan rantingnya ke arah tengkuk lawan. Namun, wanita itu ternyata dapat bergerak dengan cepat luar biasa sehingga ketika Kian Bu menotoknya, sebelum totokan tiba, dia sudah melesat ke kanan dan kembali gulungan sinar putih itu menyambar dahsyat.

“Hei, siapakah engkau perempuan galak ini?”

Kian Bu menghardik karena selain merasa terkejut menyaksikan gerakan wanita ini yang jelas menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan pula, dan juga pandang mata Kian Bu awas sekali. Dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa sinar emas yang menyerangnya itu adalah seekor ular yang kulitnya seperti emas berkilauan! Cepat dia mengelak dan rantingnya menyambar ke depan untuk memukul ular itu.

“Wuuuttttt.... syiiittttt....!”