FB

FB


Ads

Rabu, 27 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 081

Tek Hoat memandang penuh perhatian dan makin terheran-heran.
“Kim Lian, engkau seorang pelacur, engkau seorang yang buta huruf, akan tetapi heran sekali, kurasa jarang ada orang pandai yang dapat dan berani berpandangan seperti yang kau nyatakan itu. Sekarang ada satu hal lagi, Kim Lian. Sebagai pelacur, engkau dan kaummu dianggap sebagai penyebar penyakit kotor! Hal ini mau tidak mau harus kau akui dan tidak dapat kau sangkal lagi!”

Gadis pelacur yang cantik itu menarik napas panjang.
“Memang, hukum rimba mengatakan bahwa segala macam sebab kesalahan selalu ditimpakan kepada mereka yang lemah dan yang kalah! Kaum pria mau mencari enaknya sendiri saja, benarnya sendiri saja! Penyakit itu hanya merupakan akibat, Kongcu. Sebabnya adalah hubungan-hubungan gelap itu. Dan siapakah yang mulai dengan pelacuran? Sudah kukatakan tadi, kalau tidak ada pria yang hendak melacur, apakah di dunia ini ada pelacur? Dan tentang penyakit, siapakah yang menularkan dan siapa yang ditularkan? Dari siapakah pelacur terserang penyakit kalau tidak ketularan oleh seorang langganannya, yaitu seorang pria? Ahhh, Kongcu, persoalan penyakit ini sama saja dengan persoalan siapa yang keluar lebih dulu, telur ataukah ayamnya!”

Tek Hoat bungkam. Beberapa kali dia hendak berkata, akan tetapi tidak dapat keluar dan akhirnya dia hanya dapat menelan ludah. Baru sekarang ini dia mendengar hal-hal seperti itu. Sungguh berlainan dengan segala macam filsafat yang pernah dibacanya tentang susila, tentang kejahatan dan kebaikan dan lain-lain.

Kini dia dihadapkan dengan keadaan yang telanjang, tanpa aling-aling lagi, tanpa pulasan dan dia melihat ketelanjangan yang murni, melihat baik buruknya. Dan dia terpesona, juga.... bingung! Dirogohnya buntalannya, diambilnya beberapa keping uang lagi dan ditambahkan pada uang di atas pembaringan.

“Ambiliah semua uang itu, Kim Lian. Dan pulanglah engkau. Terima kasih atas segala keteranganmu. Percakapan kita membuka mataku dan aku tidak berani lagi memandang rendah kepada kaum pelacur karena aku mulai melihat apakah diriku ini tidak lebih rendah daripada engkau, Kim Lian”

Kim Lian turun dari pembaringan, mengambil semua uang dari atas pembaringan, menghampiri Tek Hoat yang sudah berdiri dan meletakkan uang itu di atas meja.

“Aku tidak bisa menerima uangmu, Kongcu. Bukan karena aku tidak melayanimu seperti mestinya di atas pembaringan. Biarpun tidak melayanimu, kalau engkau menghinaku, memandang rendah kepadaku, tentu akan kuperas kau sampai habis uangmu dengan Akal bagaimanapun juga. Akan tetapi, engkau begitu jujur, dan percakapan ini telah melegakan dadaku, aku telah menumpahkan segala beban hatiku kepadamu. Engkau telah memberi aku sesuatu yang jauh lebih berharga daripada uang ini ditambah sepuluh kali lipat, Kongcu. Aku akan pergi, Kongcu, hanya.... kalau boleh...., aku ingin menyatakan terima kasihku kepadamu dengan caraku sendiri.”

Tek Hoat makin terharu. Benar-benar bukan gadis sembarangan dia ini, pikirnya,
“Silahkan, Kim Lian, sungguhpun yang patut berterima kasih adalah aku kepadamu.”

Kim Lian menghampiri makin dekat, lalu merangkul leher Tek Hoat, menarik leher itu sehingga kepala Tek Hoat menunduk, lalu dia berdiri di atas ujung jari-jari kakinya dengan mengangkat tumitnya sehingga bibirnya bertemu dengan bibir Tek Hoat ketika dia mencium mulut pemuda itu.

Ciuman yang amat mesra, yang dilakukan dengan sepenuh perasaannya, kecupan seorang wanita yang menyerahkan diri sebulatnya kepada seorang pria, ciuman yang selama hidupnya baru satu kali itu dilakukan oleh Kim Lian terhadap seorang pria! Terdengar suara isak naik dari dada Kim Lian, dia melepaskan ciumannya lalu berlari ke pintu, membuka daun pintu, lalu berhenti menoleh dengan air mata membasahi pipi sambil berkata,

“Pria seperti engkau inilah yang menjunjung tinggi martabat wanita, Kongcu, patut dibanggakan oleh ibumu, oleh semua wanita, patut menerima cinta kasih wanita. Aku selamanya tidak akan dapat melupakan wajahmu, Kongcu. Selamat tinggal.”

Dan daun pintu itu ditutup kembali, lalu terdengar langkah-langkah kaki yang diseret dan ringan dari pelacur itu yang pergi setengah berlari.

Tek Hoat menjatuhkan diri di atas bangku, duduk termenung. Dia pria seperti itu? Menjunjung tinggi martabat wanita? Patut dibanggakan oleh ibunya dan semua wanita? Dia? Terbayang kembali segala perbuatannya di waktu dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali), penyelewengannya, perjinaannya dengan isteri orang.

“Ahhh....!”

Dia menutupi kedua matanya dengan tangannya, memejamkan mata dan telinganya terus-menerus, mendengar pujian Kim Lian.

“Tidak....!”

Kini kedua tangan itu pindah ke telinganya. Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya dan kalau saja hatinya tidak sudah membeku atau membaja, tentu Tek Hoat akan menangis menggerung-gerung di saat itu. Dia merasa dirinya kotor sekali, hina dan jauh lebih rendah daripada Kim Lian si pelacur!

“Kongcu.... heh-heh-heh....”

Tek Hoat tergugah dan dia menoleh. Wajah buruk pelayan itu menyeringai.
“Kongcu, saya bertemu dengan Kim Lian, dia menangis dan tidak mau bicara. Ah, dan Kongcu duduk sendiri dengan pakaian lengkap. Apakah Kongcu tidak suka dengan dia? Begitu cantik manis, begitu menggairahkan, seperti buah apel yang sudah masak.... hemmmmm....“ Dan si buruk rupa itu menjilat-jilat bibirnya seperti orang yang mengilar! “Kalau saya semuda dan setampan Kongcu, dan beruang, hemmm, kalau saya diberi kesempatan.... heh-heh....“

Tek Hoat melemparkan beberapa potong uang kepada pelayan itu. Uang itu jatuh ke atas lantai dan dipunguti oleh si pelayan.

“Pergilah! Pergilah cepat, kalau tidak, kubunuh kau!”

Pelayan itu terkejut, memandang dengan muka ketakutan, lalu dia mengangguk dan lari keluar, lupa menutupkan pintu kamar itu saking kaget dan takutnya. Tek Hoat tidak peduli dan kembali duduk dengan kedua tangan menopang dahi di kanan kiri, matanya dipejamkan.

“Tek Hoat....!”






Pada saat itu, Tek Hoat sedang membayangkan wajah Syanti Dewi dan timbul keraguan di dalam hatinya apakah orang macam dia itu patut menjadi suami Puteri Bhutan itu. Maka begitu mendengar suara lembut ini, jantungnya seperti berhenti berdetak.

“Syanti....!” Dia berbisik dan memutar tubuhnya.

Seorang wanita berdiri di pintu kamarnya, wanita cantik yang bertubuh ramping. Akan tetapi bukan Syanti Dewi, melainkan.... Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, si Siluman Kucing! Dan anehnya, kedua mata Siluman Kucing itu merah dan basah oleh air mata!

“Mo-li....!”

Tek Hoat berkata lirih dan dia agak terkejut melihat kehadiran siluman betina ini dalam saat yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.

Siluman Kucing menutupkan daun pintu lalu dia melangkah maju dan tiba-tiba dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Tek Hoat! Pemuda ini terbelalak dan siap siaga karena dia maklum akan kelihaian dan kelicikan siluman ini. Akan tetapi dia terheran-heran karena Lauw Hong Kui kini benar-benar menangis di depan kakinya!

“Tek Hoat.... maafkan aku.... ah, betapa aku kagum melihatmu, Tek Hoat. Gadis itu demikian cantik, akan tetapi engkau tidak mengganggunya dan memberi uang. Engkau benar-benar seorang pria yang jantan, Tek Hoat. Betapa aku rindu kepadamu. Setelah kau pergi meninggalkan aku, baru terasa olehku, dunia seperti kosong, sunyi.... ah, engkau boleh memukulku, Tek Hoat, engkau boleh membunuhku, akan tetapi jangan kau benci padaku, jangan kau tinggalkan aku.... aku haus akan cintamu, Tek Hoat, kau kasihanlah kepadaku....“

Tek Hoat menahan senyumnya. Perempuan memang mahluk yang aneh, pikirnya dan dia teringat akan semua percakapannya dengan Kim Lian tadi. Benarkah Mauw Siauw Mo-li haus akan cintanya? Benarkah seorang wanita seperti iblis ini mengenal apa artinya cinta? Ataukah hanya menjadi budak nafsu belaka? Ingin dia tertawa, mentertawakan Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi teringat akan kata-kata Kim Lian, dia merasa tidak tega.

Biarpun iblis Mauw Siauw Mo-li ini juga seorang wanita! Sama dengan Kim Lian! Seorang manusia yang berperasaan! Mungkin karena biasanya dapat menundukkan pria dengan mudah, maka setelah bertemu dengan dia dan justeru karena dia tidak dapat ditundukkannya, maka Mauw Siauw Mo-li menjadi tergila-gila dan jatuh cinta!

Mungkin tersinggung perasaannya karena ucapan Kim Lian tadi, semua wanita ingin digilai laki-laki, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa wanita itu gila laki-laki. Akan tetapi ingin digilai, ingin dipuji, ingin dikagumi laki-laki manapun juga. Dan karena dia tidak tergila-gila kepada Mauw Siauw Mo-li, hal ini justeru malah membuat wanita ini tersinggung perasaannya dan merasa tidak puas, dan baru akan merasa senang kalau Tek Hoat yang kokoh kuat dan angkuh itu bertekuk lutut. Demikiankah?

“Mo-li, bangkitlah dan jangan seperti anak kecil. Mari kita duduk dan bicara. Aku maafkan segala kesalah fahaman antara kita. Betapapun juga, engkau sudah banyak membantuku dan kita sudah melakukan perjalanan bersama cukup lama sehingga boleh dibilang kita adalah sahabat.”

“Ah, terima kasih, Tek Hoat!”

Mauw Siauw Mo-li bangkit berdiri dan duduk di atas pembaringan, karena di situ hanya terdapat sebuah saja bangku yang diduduki Tek Hoat. Sejenak mereka berpandangan. Di bawah sinar api lilin yang kemerahan, memang harus diakui oleh Tek Hoat bahwa Mauw Siauw Mo-li memang cantik. Mungkin Kim Lian tadi lebih manis, akan tetapi Mauw Siauw Mo-li lebih matang!

“Mo-li, kenapa engkau menyusulku sampai di sini?”

Akhirnya Tek Hoat bertanya karena tidak tahan melihat sinar mata wanita itu yang seolah-olah akan membakarnya dengan nafsu membara, sepasang mata yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat.

“Kenapa? Ahhh, engkau tidak tahu betapa aku hampir mati tersiksa hatiku setelah engkau pergi. Aku merasa kesepian dan dunia ini serasa hampa setelah kepergianmu, Tek Hoat. Tidak pernah aku menyangka bahwa aku akan tergila-gila kepadamu. Tidak pernah aku membayangkan betapa cinta dapat begini menyiksa. Apalagi ketika aku teringat betapa kita berpisah sebagai musuh. Ah, tidak, Tek Hoat, aku tidak tahan maka aku menyusulmu.”

“Hemmm, Mo-li, siapa bisa percaya akan rayuanmu? Engkau terkenal sebagai seorang wanita yang bisa mendapatkan pria manapun yang kau inginkan. Seorang wanita seperti engkau ini, mana mungkin bisa jatuh cinta dengan sungguh-sungguh? Engkau hanyalah menjadi hamba nafsu berahimu sendiri....“

“Cukup, harap jangan lanjutkan, Tek Hoat. Aku mengaku bahwa memang hidupku yang lalu penuh dengan petualangan dan aku sudah biasa memandang rendah kaum pria yang kuanggap sebagai permainanku. Akan tetapi sekarang baru aku merasa bahwa aku sesungguhnya seorang manusia biasa, seorang wanita yang juga mempunyai hati dan perasaan. Aku cinta padamu, Tek Hoat, dan aku tersiksa ketika kita saling berpisah.”

Tek Hoat tidak tahu apakah dia merasa terharu ataukah geli mendengar kata-kata wanita ini. Siluman Kucing yang biasa mempermainkan pria sampai pria itu tewas, entah sudah berapa banyaknya pria ini yang tewas olehnya, diajaknya bermain cinta dan sekaligus dibunuhnya, wanita yang seperti iblis betina cantik ini, jatuh cinta kepadanya? Sungguh menggelikan dan sukar untuk dipercaya.

Akan tetapi, dia pun tahu bahwa Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita berkepandaian tinggi yang telah merupakan seorang tokoh di dunia kaum sesat sehingga memiliki keangkuhan besar, maka kiranya tidak mungkin mau merendahkan diri dengan pengakuan cinta dan kelemahannya itu kalau tidak ada kesungguhan di baliknya. Apalagi bahwa wanita ini sudah mengaku sendiri betapa biasanya dia menganggap kaum pria sebagai permainannya dan baru sekarang perasaan wanitanya membisikkan bahwa dia jatuh cinta!

“Mo-li, kita hanya sahabat biasa, bahkan itu pun bukan, hanya kenalan yang kebetulan bertemu di tempat Yang-liu Nio-nio, ketua Hek-eng-pang yang menjadi muridmu itu. Ada waktunya bertemu, berkumpul, tentu ada waktunya pula untuk berpisah. Kita hanya bersimpang jalan dan jalan hidup kita tidak sama.”

Mauw Siauw Mo-li mengangguk, akan tetapi pandang matanya masih terus menatap wajah pemuda itu seolah-olah dia hendak menyihirnya.

“Aku pun mengerti bahwa ada waktunya bertemu ada pula waktunya berpisah, Tek Hoat. Akan tetapi aku akan terus menderita kalau harus berpisah denganmu seperti itu, sebagai musuh!”

“Aku sudah memaafkan segala kesalah fahaman antara kita, Mo-li. Kita bukan musuh....“

“Akan tetapi aku ingin berpisah denganmu sebagai seorang kekasih, Tek Hoat.”

Dan wanita itu kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat, merangkul pinggang pemuda itu dan membenamkan mukanya di atas pangkuan Tek Hoat! Kembali dia menangis!

“Tek Hoat, kasihanilah aku.... bersikaplah sedikit manis kepadaku untuk kujadikan kenangan selama hidupku....“

Sikap dan kata-kata wanita itu menyentuh perasaan Tek Hoat. Kedua lengan yang merangkul pinggangnya itu begitu mesra, mengusap punggungnya, dan wajah yang cantik yang tadi bersembunyi di atas pangkuannya itu kini diangkat tengadah, memandangnya dari bawah, dengan sepasang mata agak berair dan sayu mesra, cuping hidungnya agak kembang-kempis, bibirnya tergetar, rambutnya yang hitam panjang awut-awutan, sebagian anak rambut menutup dahi dan telinganya. Dari tubuhnya keluar bau khas wanita, bau betina yang merangsang dan di bagian tubuh yang tersentuh oleh tubuh wanita itu terasa panas dan tergetar. Seorang wanita yang cantik dan masak.

Tek Hoat menunduk, memandang wajah itu, nampak jelas rambut alis itu yang tumbuh dengan indahnya, seperti rumput yang teratur sekali, seperti lukisan yang amat tepat dan bagus. Mata itu, hidung itu, mulut itu!

“Engkau memang seorang wanita yang cantik sekali, Mo-li....“ akhirnya dia berkata, ucapan yang bukan pujian kosong belaka melainkan pengakuan yang keluar dari lubuk hatinya.

Sepasang mata itu terbelalak seperti orang heran, kemudian bersinar-sinar dan wajah yang berkulit putih kemerahan dan halus itu berseri.

“Aihhh.... benarkah itu? Tek Hoat, kuminta kepadamu, dalam saat seperti ini.... aku bersungguh-sungguh, jangan kau goda aku, jangan kau permainkan aku, benarkah kata-katamu itu?”

“Kau memang cantik sekali.”

“Akan tetapi, orang menyebutku iblis betina....!

“Mungkin kau iblis betina, akan tetapi iblis betina yang cantik,” Tek Hoat membelai rambut panjang yang sanggulnya terlepas itu, “Dan rambutmu amat halus mengkilap dan panjang.”

Makin berseri wajah itu dan bibir yang memang bentuknya manis itu tersenyum.
“Ahhh, Tek Hoat, jangan mempermainkan aku....! Aku lebih tua darimu, aku sudah tua sekali, sudah hampir nenek-nenek....“

Tek Hoat juga tersenyum. Dalam percakapan seperti ini, dia menemukan dalam diri Mauw Siauw Mo-li itu seorang manusia wanita biasa! Sama sekali bukan wanita iblis yang jahat dan keji, melainkan seorang wanita yang kalau dipuji oleh pria lalu menjadi bahagia hatinya, menjadi manja dan memancing pujian-pujian berikutnya!

“Usia tidak penting, yang nyata engkau adalah seorang wanita cantik yang kelihatannya tidak lebih dari dua puluh tahun usianya.“

Rangkulan kedua lengan itu mengetat di pinggang Tek Hoat.
“Benarkah itu? Tek Hoat...., ah, benarkah bahwa akhirnya ada pula rasa sayang dalam hatimu terhadapku? Benarkah bahwa engkau juga.... cinta kepadaku, Tek Hoat? Ahhh, betapa hatiku menanti jawabanmu seperti rumput kering menantikan turunnya hujan....“

Tek Hoat tersenyum dalam hatinya. Teringat dia akan perasaan hatinya terhadap Syanti Dewi! Tiap kali dia berhadapan dengan kekasihnya itu dan bercakap-cakap, terus saja timbul sifat romantisnya, timbul pula keinginannya untuk bernyanyi, bersajak atau setidaknya mempergunakan kata-kata yang indah-indah! Kini Mauw Siauw Mo-li agaknya pun tidak terluput dari dorongan suasana hati itu. Kata-katanya mulai indah-indah dan muluk-muluk!

“Mo-li, terus terang saja, aku hanya mencinta seorang di dunia ini. Akan tetapi aku suka kepadamu, Mo-li, dan aku tidak berbohong ketika kukatakan bahwa engkau seorang wanita yang cantik sekali.”

Tangan kanan wanita itu melepaskan rangkulan di pinggang dan kini mengusap dagu Tek Hoat dengan mesra dan manja.

“Aku masih belum, percaya benar.... apanya yang cantik pada diriku yang tua ini.?”

Jelas bahwa wanita ini yang sedang dibuai cinta memancing-mancing pujian lebih banyak lagi!
“Wajahmu, alismu, matamu, hidungmu, mulutmu dan.... hemmm, bentuk tubuhmu juga amat indah menggairahkan.“

“Hi-hik....!”

Mauw Siauw Mo-li meloncat berdiri dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan gerakan lemah gemulai seperti orang menari.

“Engkau menduga-duga saja, untuk menyenangkan hatiku. Engkau kejam, Tek Hoat, engkau hanya mengejek dan mempermainkan aku yang benar-benar tergila-gila kepadamu, yang mencintamu seperti yang belum pernah kurasakan terhadap pria yang manapun!”

Dalam hatinya, Lauw Hong Kui merasa bahwa dia berbohong karena sebelum ini pernah dia merasakan cinta yang sama seperti ini, yaitu terhadap Suma Kian Bu (baca Kisah Sepasang Rajawali).

“Tidak, aku tidak mempermainkanmu ketika aku memuji kecantikanmu, Mo-li.”

“Dan tubuhku?”

“Hemmm.... dan tubuhmu.”

“Menggairahkan katamu?”

Wajah Tek Hoat menjadi merah, akan tetapi dia mengangguk.
“Ya, menggairahkan.”

Mauw Siauw Mo-li tertawa. Memang manis dia kalau tersenyum atau tertawa, memperlihatkan sekilas pandang giginya yang rata dan putih, akan tetapi suara ketawanya menyeramkan, dengan suara tenggorokan yang ditahan.

“Hi-hik! Engkau hanya menduga-duga saja. Engkau belum pernah melihat tubuhku, bagaimana bisa mengatakan bahwa bentuk tubuhku indah menggairahkan?”

Wajah Tek Hoat makin menjadi merah.
“Mudah dilihat dan diduga.” Dia menjawab juga.

Mauw Siauw Mo-li melangkah maju dan memegang kedua tangan pemuda itu, menariknya perlahan sehingga Tek Hoat juga berdiri. Mauw Siauw Mo-li lalu merangkulkan kedua lengannya pada leher pemuda itu, mendekatkan mukanya sampai napasnya terasa oleh pipi Tek Hoat dan dia berbisik setelah mengeluarkan suara erangan kecil seperti kucing diusap kepalanya,

“Tek Hoat, aku ingin kau tidak menduga-duga, melainkan melihatnya sendiri bentuk tubuhku. Kau bukalah.“

Akan tetapi Tek Hoat yang mulai terseret oleh rayuan dan suasana romantis yang ditimbulkan oleh sikap dan kata-kata Mauw Siauw Mo-li, menggeleng kepala sungguhpun dia masih tersenyum.

“Hi-hik, kau malu-malu? Engkau memang seorang pemuda hebat. Keras, angkuh, berkuasa, berwibawa, tidak mudah tunduk, mau menang selalu, dan kadang-kadang amat lembut seperti sekarang ini! Dan engkau tidak mudah terayu oleh wanita! Ah, betapa hebat dan kagum sekali hatiku, Tek Hoat. Baiklah, biar aku sendiri yang akan membuka pakaian ini, agar engkau tidak hanya menduga-duga saja dalam menilai tubuhku.”

Mauw Siauw Mo-li lalu mendorong tubuh pemuda itu dengan lembut sehingga Tek Hoat terduduk di atas pembaringan. Pemuda ini memandang dan jantungnya berdebar tegang.

Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita cantik yang sudah mahir sekali berlagak dan bergaya untuk memikat hati pria. Dia sudah mengenal betul sifat-sifat pria pada umumnya dan dengan mudah dia dapat pula menjajagi perasaan hati Tek Hoat.

Dengan gerakan yang lemah gemulai, genit namun tidak menjemukan, mulailah wanita ini melepaskan kancing bajunya satu demi satu, gerakannya lambat, ragu-ragu, dengan jari-jari tangan gemetar buatan, dengan kerling mata dan senyum bibir malu-malu seperti seorang perawan yang baru pertama kalinya berhadapan dengan pria.

Tek Hoat benar-benar menghadapi rayuan maut yang amat hebat. Jantungnya berdebar tidak karuan ketika dia melihat pakaian itu tanggal satu demi satu dengan cara penanggalannya demikian memikat, setiap potong pakaian diloloskan dari tubuh secara perlahan, sedikit demi sedikit sampai akhirnya Mauw Siauw Mo-li berdiri tanpa penutup tubuh sama sekali bermandikan sinar api lilin yang kemerahan dan bergoyang-goyang membentuk bayang-bayang aneh di dinding.

“Ihhh.... hi-hik, matamu seperti mengeluarkan api, Tek Hoat....“ bisiknya halus dan wanita ini lalu mengangkat kedua lengannya ke atas, menggunakan jari-jari tangannya untuk membereskan rambut kepala yang awut-awutan.

Gerakan ini benar-benar merupakan gerakan khas wanita di bagian manapun di dunia ini dan pengangkatan kedua lengan ke atas itu menonjolkan keindahan bentuk tubuh wanita, dadanya makin menonjol, kerampingannya makin nampak dan tubuhnya makin polos, dan terbuka.

Tek Hoat adalah seorang pemuda normal yang biasa saja. Menyaksikan semua pertunjukan ini, napasnya agak memburu dan mukanya merah sekali.

“Hi-hik, kau kenapa, Tek Hoat?”

Mauw Siauw Mo-li lalu melangkah maju, langkahnya perlahan dan seperti orang menari, kemudian tahu-tahu dia telah duduk di atas pangkuan pemuda itu, merangkulkan kedua lengannya ke leher Tek Hoat dan tahu-tahu pula Tek Hoat merasa betapa mulutnya dicium oleh bibir yang panas dan lembut.

Belum pernah selama hidupnya dia dicium wanita seperti ini! Semua bagian mulut wanita itu hidup dan membelai mulutnya. Tek Hoat hanyut dan terseret oleh gelombang nafsu yang ditimbulkan oleh Mauw Siauw Mo-li secara hebat itu dan hampir Tek Hoat tenggelam. Seluruh perasaannya terpusat pada ciuman wanita itu dan belaian tangan Mauw Siauw Mo-li yang mulai menggerayangi tubuhnya dan jari-jari tangan wanita itu mulai menyentuh kancing-kancing bajunya.

Ketika Tek Hoat mendengar suara aneh dari kerongkongan wanita itu, suara seperti seekor kucing mengerang-erang, dia merasa seperti disambar petir. Teringatlah dia bahwa yang memeluknya di atas pembaringan ini bukan Syanti Dewi! Dia tadi seperti dalam mimpi, seolah-olah Syanti Dewi yang memeluk dan menciumnya, sungguhpun dia tadi merasa terheran-heran karena seingatnya Syanti Dewi tidak pernah bersikap ”menyerang” sehebat itu dalam pencurahan kasih sayang.

Pernah dia mencium kekasihnya itu, namun sungguh berbeda sekali sikap dan gerak sambutan Puteri Bhutan itu dengan Mauw Siauw Mo-li. Syanti Dewi adalah lambang kesucian dan kehalusan, akan tetapi wanita ini amat ganas!

Erangan seperti suara kucing itu menyadarkan Tek Hoat dan kalau tadi dia menutupkan kedua matanya, kedua tangannya membalas pelukan dan dia membiarkan mulutnya diciumi secara luar biasa itu, kini dia membuka matanya dan ternyata bahwa lilin telah padam sehingga kamar itu menjadi gelap sekali. Kiranya dengan gerakan tangannya, Mauw Siauw Mo-li telah memadamkan lilin di atas meja.

Dengan susah payah akhirnya Tek Hoat dapat melepaskan bibirnya dari cengkeraman mulut Mauw Siauw Moli. Terdengar napas mendengus-dengus, napasnya sendiri dan napas wanita itu setelah ciuman dilepaskan. Rintihan Mauw Siauw Mo-li makin panas, tangannya merenggut lepas tiga buah kancing baju Tek Hoat sekali tarik.

“Nanti dulu.... Mo-li, nanti dulu....“

“Tek Hoat....“

Mauw Siauw Mo-li menahan ketika Tek Hoat hendak bangkit duduk. Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena sudah mengerang lagi seperti seekor kucing. Bulu tengkuk Tek Hoat meremang mendengar suara ini.

“Nanti dulu, Mo-li. Dengar, aku hendak.... hendak ke belakang dulu.“ katanya.

“Ehhh....? Hi-hik.... baiklah, tapi jangan lama-lama, kekasih.“ Kedua tangannya melepaskan pelukan.

Tek Hoat bangkit duduk dan turun dari pembaringan, sudah setengah telanjang. Tidak ingat lagi dia kapan Mauw Siauw Mo-li telah hampir menelanjanginya itu.

Akan tetapi sebelum dia melangkah, Mauw Siauw Mo-li mengerang.
“Tek Hoat.... katakan dulu.... benarkah kau menganggap aku cantik menarik?”

“Ya, aku tidak berbohong.”

“Dan kau suka kepadaku?”

“Aku suka sekali....”

“Kalau begitu, coba kau cium aku.“