FB

FB


Ads

Senin, 25 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 080

Pelayan rumah penginapan itu buruk sekali mukanya. Tek Hoat sendiri sampai merasa heran dan kasihan mengapa ada seorang pria demikian buruk mukanya, rusak oleh penyakit cacar. Selain muka itu hitam dan bopeng, berlubang-lubang seperti kulit pohon dimakan rayap, juga matanya besar sebelah, hidungnya berbentuk besar dan melengkung, bibirnya tebal sekali dan basah, dahinya sempit seperti dahi monyet.

Pendeknya, muka yang sama sekali tidak ada manisnya, biarpun tidak menakutkan, namun sukar menimbulkan rasa suka di hati, apalagi karena sepasang mata itu mempunyai sinar yang liar seperti mata seekor anjing kelaparan.

Akan tetapi pelayan itu ternyata ramah sekali. Setelah Tek Hoat membayar uang sewa kamar di meja pengurus, peraturan yang harus ditaati semua tamu, yaitu pembayaran di muka, pelayan itu lalu mendapat tugas untuk mengantar Tek Hoat di kamar yang disewanya dan melayaninya.

Setelah pelayan itu sambil menyeringai dan membungkuk-bungkuk mempersilakan dia mengikutinya, baru diketahui oleh Tek Hoat bahwa pelayan itu pincang kakinya dan ketika dia memperhatikan, ternyata kaki kirinya cacat, ada luka yang sudah mulai mengering di dekat tumit sehingga dia tidak dapat memakai sepatu, melainkan memakai sandal kayu yang mengeluarkan bunyi teklak-teklik ketika dia berjalan timpang.

“Heh-heh, di sinilah kamar Kongcu. Sunyi, karena kebetulan malam ini kurang tamu, Kongcu. Lihat, kamar di kanan kiri Kongcu juga kosong, jadi.... hehheh, aman deh!”

Tek Hoat yang memasuki kamar itu, sebuah kamar sederhana dengan sebuah pembaringan cukup besar untuk seorang saja, sebuah meja dan tempat air cuci muka, cepat menengok dan memandang muka buruk itu ketika mendengar ucapan itu.

“Cukup aman? Apa maksudmu?” tanyanya sambil menaksir usia orang.

Sukar menaksir usia wajah yang buruk itu. Mungkin tiga puluh, mungkin pula sudah lima puluh tahun lebih.

“Heh-heh-heh, aman, tidak akan ada yang mengganggu atau mendengar suara dari dalam kamar ini.”

“Suara? Suara apa yang kau maksudkan?” Tek Hoat bertanya lagi sambil mengerutkan alisnya.

Kembali orang itu menyeringai lalu mengambil baskom tempat air yang berwarna biru itu. Dia berjalan ke pintu membawa baskom itu, menoleh dan menyeringai sambil tertawa.

“Tentu saja orang yang berpacaran mengeluarkan suara, bukan? Dan tentu akan merasa sungkan kalau di sebelah ada orang lain yang ikut mendengarkan.”

Tek Hoat hendak membantah akan tetapi pelayan itu sudah keluar sambil berkata,
“Saya akan mengambilkan air hangat untuk Kongcu.”

Tek Hoat menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan dan termenung. Hatinya masih terasa kesal dan mengkal karena sampai saat itu dia belum berhasil menemukan jejak kekasihnya, yaitu Syanti Dewi. Makin terasalah kini betapa dia amat mencinta Syanti Dewi, betapa sebetulnya dia hanya mempunyai semangat hidup karena puteri itulah.

“Heh-heh-heh....!”

Suara ketawa yang jelek ini menggugahnya dari lamunan dan pelayan itu sudah masuk lagi ke kamarnya membawa sebaskom air yang masih mengepulkan uap. Melihat air ini, Tek Hoat segera menghampiri baskom yang telah diletakkan di atas bangku, mengeluarkan sebuah saputangan lebar dari buntalannya dan mencuci mukanya. Terasa segar sekali air hangat itu ketika dia menggosok-gosokkan air di muka dan lehernya. Lenyaplah semua kemuraman yang amat mengganggunya tadi.

“Heh-heh-heh, Kongcu tampan sekali, sungguh cocok kalau berpacaran....“

Tek Hoat mengusap mukanya dengan keras, menggosok-gosok kulit mukanya sampai berwarna merah sekali. Setelah pikirannya kosong, setelah semua kenangan tentang Syanti Dewi lenyap oleh air panas dan oleh gosokan keras pada mukanya, dia merasa betapa segala sesuatu yang dihadapinya menjadi lebih menarik. Dia biasanya tidak pedulian, tidak mengacuhkan segala hal dan orang lain. Akan tetapi baru dia merasa betapa pelayan ini amat menarik hatinya dan menimbulkan ingin tahunya.

“Paman pelayan, jangan kau bicara yang bukan-bukan tentang suara pacaran dan lain-lain itu. Aku berada di dalam kamar ini sendirian tanpa kawan.”

“Heh-heh, karena itulah Kongcu, maka saya menganggap bahwa sayang sekali seorang pemuda tampan seperti Kongcu sendirian saja di kamar ini untuk melewatkan malam yang dingin.”

“Hemmm, aku memang sendirian. Habis bagaimana?”

“Ah, si Teratai Emas itu tentu merupakan lawan dan kawan yang amat cocok bagi Kongcu! Cantik jelita dan harum dia! Dan tidak sembarangan mau diajak orang, akan tetapi kalau Kongcu yang mengajaknya.... hemmm, tanggung puas!”

Sepasang mata Tek Hoat terbelalak.
“Apa maksudmu?”

Dia amat rindu kepada Syanti Dewi dan kini ditawari wanita untuk menemaninya! Padahal, bujukan dan rayuan seorang wanita cantik seperti Mauw Siauw Mo-li itu pun ditolaknya mentah-mentah!

“Maksud saya? Heh-heh, maksud saya.... Kongcu Muda dan tampan, malam ini di kamar sendiri, dan kamar-kamar di sekitar kamar ini kosong.... heh-heh, dan Teratai Emas itu sungguh cantik.... tentu akan mesra sekali....“

Tek Hoat kini mengerti dan dia cepat memberikan beberapa potong uang kepada pelayan itu.
“Pergilah!” katanya singkat karena dia tidak ingin diganggu lagi.

Dia tidak melihat betapa pelayan buruk rupa itu memandang ke arah tangan yang menerima uang itu dengan girang sekali, mengangguk-angguk lalu pergi dari situ. Tek Hoat lalu menutupkan daun pintunya. Tubuhnya terasa enak setelah dia mencuci muka, leher, kedua lengan dengan air hangat. Dia sudah makan tadi, dan tubuhnya lelah. Kini terasa segar dan nyaman, membuat dia merasa mengantuk sekali.






Direbahkannya tubuhnya di atas pembaringan, terlentang dan menerawang langit-langit kamar itu yang berwarna putih. Wajah Syanti Dewi membayang! Makin dipandang, makin rindulah hatinya. Cuaca mulai gelap karena matahari mulai tenggelam sehingga sinarnya tidak menerangi kamar itu melalui lubang jendela. Akan tetapi dia merasa malas untuk bangkit dan menyalakan lilin, membiarkan saja kamar itu menjadi makin remang-remang gelap.

“Tok! Tok! Tok!”

Tek Hoat tergugah lagi dari keadaan yang hampir pulas. Sialan, pikirnya, siapa lagi yang mengganggu?

“Siapa?” tanyanya, memandang ke arah daun pintu yang hampir tidak kelihatan karena kamar itu sudah mulai gelap.

“Saya, Kongcu.“

Si pelayan buruk rupa sialan lagi!
“Ada apa lagi?”

“Ssssst, penting Kongcu. Sudah datang....!”

Tek Hoat yang masih setengah sadar setengah layap-layap itu tidak ingat apa-apa lagi tentang sore tadi. Dia merasa heran dan ingin tahu.

“Masuklah, daun pintunya tidak terpalang,” katanya.

Bunyi daun pintu berderit ketika dibuka dari luar. Nampak dua sosok tubuh sebagai bayangan memasuki kamar itu. Yang satu adalah bayangan tubuh pelayan muka buruk, dan yang satu lagi bayangan tubuh yang kecil ramping. Tek Hoat menjadi curiga dan biarpun dia masih rebah terlentang, namun dia siap siaga.

“Aih, begini gelapnya, Kongcu. Kenapa lilin yang tersedia di atas meja tidak dinyalakan? Biar saya nyalakan!”

Pelayan itu menyalakan api dan lilin dinyalakan. Cuaca remang-remang mulai terusir dan dengan mata terbelalak Tek Hoat memandang dan melihat bahwa orang yang ke dua itu adalah seorang wanita muda yang amat cantik! Pantas saja ada bau harum ketika pintu kamarnya tadi dibuka.

“Kongcu, inilah dia, Kim Lian (Teratai Emas).... heh-heh!” Pelayan itu bergegas keluar dan menutupkan daun pintu dari luar.

Wanita itu mengambil tempat lilin, menaruhnya di sudut meja dekat pembaringan, lalu memutar tubuh menghadapi Tek Hoat. Begitu dia melihat wajah Tek Hoat, sepasang matanya yang indah itu terbelalak dan dia cepat menghampiri.

“Aihhhhh.... kiranya Kongcu benar-benar tampan sekali....! Girang hatiku mempercayai omongan A-khiu bahwa Kongcu amat tampan!”

Wanita itu lalu duduk di tepi pembaringan, memandang wajah Tek Hoat, lalu tubuh atas pemuda itu telanjang, kemudian sambil tersenyum wanita itu menjatuhkan dirinya di atas dada Tek Hoat dan mendekatkan mulutnya hendak mencium bibir pemuda itu. Bau harum mendesak hidung pemuda itu.

Tek Hoat miringkan mukanya dan mendorong kedua pundak wanita itu sehingga hampir saja gadis itu terjengkang.

“Perempuan tak tahu malu! Perempuan tak mengenal susila!” bentaknya marah sambil menyambar bajunya, terus dipakainya baju itu dan dia meloncat turun ke atas lantai, pandang matanya keras dan muak.

Gadis itu menundukkan mukanya. Seorang gadis yang cantik sekali, usianya paling banyak dua puluh tahun, rambutnya digelung indah mengkilap, terhias bunga teratai dari emas, tubuhnya ramping dan lemah gemulai gerak-geriknya, wajah dan tubuh yang terpelihara baik-baik, terbungkus pakaian dari sutera merah muda yang berkembang, menambah kecantikannya. Kemudian dia mengangkat mukanya yang menjadi merah.

“Kongcu, perlukah seorang wanita seperti saya untuk merasa malu? Haruskah seorang wanita seperti saya untuk mengenal susila?” tanyanya dengan suara halus bernada menegur sehingga Tek Hoat tertegun.

Akan tetapi lalu pemuda ini dapat menduga keadaan wanita itu, maka dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil bersungut-sungut.

“Huh, kiranya seorang pelacur! Sampah masyarakat!”

Sepasang mata yang bening indah itu mengeluarkan sinar dan tarikan muka yang manis itu membayangkan rasa penasaran seperti orang yang tersinggung kehormatannya, dan mulut yang bibirnya berbentuk indah itu berkata, suaranya halus namun dingin,

“Kongcu, saya memang seorang pelacur, akan tetapi bukan sampah masyarakat.”

Hati Tek Hoat mulai diserang kemurungan lagi dan dia menjadi kesal. Dengan kasar dia menoleh dan memandang wajah cantik itu, kecantikan yang makin membuat dia marah karena wajah cantik itu ternyata diobral kepada siapa saja yang mampu membayar!

“Bukan sampah masyarakat? Huh, perbuatanmu sungguh kotor dan hina! Engkau perempuan perusak rumah tangga, perusak pria, penyebar penyakit, engkau perempuan terkutuk, lebih kotor daripada sampah!”

Sepasang mata itu masih terbelalak, akan tetapi perlahan-lahan tanpa berkedip, dari bawah mata itu menetes-netes turun beberapa butir air mata yang berkilauan tertimpa cahaya api lilin, menimpa sepasang pipi yang halus kemerahan dan mengalir ke bawah. Mata itu masih terbelalak menentang wajah Tek Hoat.

“Kongcu.... engkau boleh tidak senang kepada saya.... akan tetapi.... mengapa engkau menghina saya? Apakah dosaku kepadamu? Apakah salahku kepada kaum pria? Hak apakah yang ada pada Kongcu untuk menghina saya seperti itu, untuk menusuk-nusuk perasaan hati saya dengan kata-kata keji itu?”

Tek Hoat menjadi bengong. Wajah yang cantik itu tetap halus, mengingatkan dia akan wajah lembut Syanti Dewi! Betapa miripnya dara ini dengan Syanti Dewi! Sama muda, sama cantik, dan apakah bedanya? Mungkin berbeda karena Syanti Dewi adalah puteri raja dan seorang wanita bangsawan, apalagi wanita yang dicintanya. Sedangkan wanita ini adalah seorang yang pekerjaannya sebagai pelacur.

Namun keduanya juga wanita, juga perempuan. Ada perasaan malu dan menyesal mengapa dia tadi bersikap demikian menghina. Melihat wanita ini menangis tanpa dibuat-buat, sepasang mata yang terbelalak seperti mata seekor kelinci yang tak berdaya itu, tiba-tiba saja Tek Hoat merasa kasihan sekali. Di depannya ini adalah seorang wanita! Sama dengan Syanti Dewi, sama dengan mendiang ibunya, seorang manusia!

“Ehhh.... hemmm.... maafkan aku....“

Pelacur itu mencoba untuk tersenyum sambil menghapus air matanya dengan sehelai saputangan, lalu dia berkata,

“Tidak apa-apa, Kongcu. Aku sudah biasa dihina orang, dan agaknya aku dapat mengerti bahwa tentu Kongcu pernah dibikin sakit hati oleh wanita, oleh pelacur, maka sekarang menumpahkan kemarahan dan dendam Kongcu kepada diriku.”

Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang, menunduk sebentar lalu mengangkat kembali mukanya, akan tetapi dia tidak memandang kepada wanita itu. Dia teringat akan Siluman Kucing dan agaknya iblis betina itulah yang membuat dia tadi marah dan menghina wanita ini. Iblis betina itu lebih jahat lagi daripada pelacur ini! Lalu dia memandang wanita itu yang juga memandangnya. Harus diakuinya bahwa wanita muda ini amat cantik, tidak kalah cantiknya kalau dibandingkan dengan Siluman Kucing.

“Namamu Kim Lian?” akhirnya dia bertanya.

Wanita itu mengangguk.
“Nama asliku telah kupendam di antara kehinaan yang menguruk diriku, Kongcu. Karena aku suka memakai hiasan teratai emas ini, maka aku dipanggil Kim Lian oleh mereka.” Lalu dia menunduk. Dagunya nampak meruncing halus kalau dia menunduk, manis sekali.

“Kim Lian, engkau menjadi pelacur tentu karena ingin memperoleh uang, bukan?”

“Satu di antaranya alasan itulah.”

Tek Hoat mengeluarkan beberapa keping uang perak dari buntalannya, lalu melemparkan perak itu di atas pembaringan dekat pelacur itu.

“Nah, ambillah uang ini sebagai pembayaran biarpun aku tidak akan menyentuhmu.”

Kim Lian kelihatan terkejut, menoleh kepada uang itu kemudian kepada Tek Hoat, lalu kepada uang itu lagi dan kepada Tek Hoat. Air matanya makin banyak bercucuran, akhirnya dia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri. berlutut di depan kaki pemuda itu sambil menangis!

“Kongcu.... engkau menghancurkan hatiku dengan sikap ini.... lebih baik kau maki saja aku...., Kongcu.... kau maki dan pukul aku saja....“

Tek Hoat makin bengong. Dia merasa heran sekali mengapa hatinya tersentuh oleh sikap wanita ini. Seorang pelacur! Mungkin karena dia merasa yakin bahwa pelacur yang satu ini tidak berpura-pura dalam semua sikapnya! Ketika memuji ketampanannya tadi, ketika marah dan ketika berduka sekarang ini, semua adalah wajar dan tidak dibuat-buat. Itulah mungkin yang menggerakkan hatinya sehingga dia merasa kasihan sekali.

“Bangkitlah!” katanya sambil memegang kedua pundak pelacur itu, menariknya berdiri.

Pelacur itu bangkit berdiri dan Tek Hoat juga berdiri. Pelacur itu hanya setinggi dagunya. Mereka saling pandang. Pelacur itu masih terisak ketika memandangnya.

“Sudah, jangan menangis, aku hanya ingin bertanya-tanya, dan kuharap engkau suka menjawabnya. Uang itu sebagai pembayaran jawaban-jawabanmu.”

“Kongcu.... Kongcu tidak memandangku dengan hina lagi?” Wanita itu terisak.

Tek Hoat merasa makin tertusuk. Betapa tidak berdayanya wanita ini, berdiri sendiri di dunia yang kejam, tidak ada yang melindunginya dari penghinaan semua orang! Hatinya merasa terharu dan dia mendekatkan mukanya, mencium dahi perempuan itu, ciuman karena iba, bukan ciuman sayang, bukan pula ciuman berahi, lalu dia perlahan-lahan mendorong wanita itu sehingga terduduk kembali di atas pembaringan. Dia sendiri lalu duduk di atas bangku di depan pembaringan.

“Nah, Kim Lian, kita bicara sebagai dua orang sahabat. Aku kasihan kepadamu dan harap kau suka menjawab sejujurnya. Kenapa engkau menjadi pelacur? Siapa yang memaksamu menjadi seorang pelacur, melakukan pekerjaan yang rendah dan hina ini?”

Agaknya Kim Lian sudah dapat menguasai dirinya kembali dan ciuman pada dahinya tadi menyentuh hatinya, membuat dia percaya kepada pemuda aneh ini yang sikapnya amat luar biasa terhadap dirinya, sikap yang selama ini belum pernah dia lihat diantara para langganannya yang tak terhitung banyaknya itu. Maka dia pun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda luar biasa yang amat baik hatinya terhadap dirinya, dan dia mengambil keputusan untuk bersikap jujur dan untuk menumpahkan seluruh isi hatinya kepada pemuda ini.

“Kongcu, pertanyaan Kongcu itu banyak sekali jawabannya. Kenapa aku menjadi pelacur? Mungkin karena keadaan karena terpaksa atau juga karena kusengaja! Yang memaksaku adalah kaum pria dan mungkin juga diriku sendiri.”

“Hemmm, jawabanmu merupakan teka-teki, Kim Lian.”

“Bukan, Kongcu, melainkan jawaban sejujurnya. Adalah kaum pria yang mendorongku untuk menjadi pelacur ini dan untuk itu sebaiknya Kongcu mendengar riwayatku secara singkat. Aku adalah anak keluarga miskin. Ibu kandungku mati ketika aku masih kecil. Ayah kawin lagi dan dalam keadaan miskin itu, atas desakan ibu tiriku untuk menyelamatkan mereka dan anak-anak lain dari bahaya kelaparan, aku dijual kepada seorang kaya. Sejak kecil aku menjadi pelayan dalam rumah keluarga kaya itu sampai aku mulai dewasa dan majikanku, laki-laki tua itu, pada suatu malam memaksa aku, memperkosa aku dengan ancaman dan dengan ganjaran. Aku tidak berdaya. Sampai aku mengandung dan majikan perempuan marah-marah lalu menghadiahkan aku kepada seorang pegawai pria dari mereka. Aku menjadi isteri pegawai itu, akan tetapi sering kali majikan laki-laki tua itu masih datang untuk menikmati tubuhku setahu suamiku!

Setelah aku melahirkan seorang anak yang mati ketika lahir, majikan laki-laki itu pun meninggal dunia dan suamiku mulai bersikap kasar kepadaku. Aku sering dipukul, dan aku dipaksa untuk melacurkan diri. Aku lari minggat meninggalkan dia. Kemudian aku terjatuh ke tangan beberapa orang pria yang pada pertemuan pertama kelihatan amat mencinta, akan tetapi setelah mereka puas menikmati tubuhku dan menjadi bosan, aku dicampakkan begitu saja! Entah berapa kali aku merasa sakit hati kepada pria, Kongcu. Akhirnya aku bertemu dengan seorang wanita tua bekas pelacur, aku mendapat nasihat dari padanya untuk membalas kaum pria, untuk menyerahkan badan bukan hati dan untuk menikmati hidup sambil memperoleh hasil yang mudah. Nah, mulai hari itu aku menjadi pelacur sampai sekarang, terkenal dengan nama Kim Lian.”

Tek Hoat berdiam diri saja mendengarkan penuturan singkat itu. Dia merasa kasihan, dan setelah gadis pelacur itu mengakhiri penuturannya, dia menarik napas panjang dan berkata,

“Kim Lian, di antara segala pekerjaan di dunia ini yang begitu banyak, mengapa engkau memilih pekerjaan pelacur?”

“Kongcu, pekerjaan apa lagi yang dapat dilakukan oleh seorang wanita lemah dan tidak terpelajar seperti aku ini? Yang kumiliki hanyalah kewanitaanku, kecantikan dan kemudaanku! Menjadi pelayan rumah tangga orang? Sudah kulakukan beberapa kali, akan tetapi hasilnya hanyalah gangguan dari majikan laki-laki, tua maupun muda! Dan dalam pekerjaan sebagai pelacur ini, aku memperoleh dua hal, pertama, uang yang banyak dan mudah. Ke dua, kebutuhan nafsu badan sebagai seorang wanita muda yang sehat dan normal.”

Tek Hoat mengerutkan alisnya.
“Apa artinya uang yang didapatkan dengan jalan hina? Dan untuk kebutuhan ke dua, mengapa engkau tidak berumah tangga saja, menikah dengan seorang pria dan hidup sebagai ibu rumah tangga yang terhormat?”

Sepasang, mata itu memandang dengan penasaran.
“Kongcu, bagaimana mungkin seorang wanita berumah tangga dan menikah kalau tidak ada pria yang menghendakinya? Dan pria manakah yang sudi menikah dengan aku? Tidak mungkin wanita memilih pria lalu melamar sebagai suaminya, seperti yang mudah saja dilakukan oleh pria! Dunia ini memang berat sebelah dan tidak adil, Kongcu, engkau pun tentu mengetahui akan hal itu!”

Makin lama dia bicara dengan pelacur muda ini, makin tertariklah hati Tek Hoat. Banyak kenyataan terbuka di depan matanya.

“Akan tetapi, pekerjaanmu ini merupakan dosa besar. Engkau berdosa karena engkau menggoda kaum pria, menyeret mereka ke dalam perbuatan hina, hubungan gelap yang membuat mereka mengkhianati kesetiaan suami isteri, dan engkau juga merusak orang muda yang belum beristeri.”

Tiba-tiba gadis itu tertawa dan suara ketawanya membuat Tek Hoat merasa tertusuk jantungnya, karena sukar dibedakan apakah suara itu merupakan tawa ataukah tangis! Kemudian gadis itu berkata, suaranya lantang,

“Kongcu yang baik, bicara tentang godaan, siapakah yang menggoda dalam hal ini? Priakah atau wanita semacam kami? Siapakah yang menyeret ke dalam perbuatan hina? Siapakah yang khianat-mengkhianati dalam hubungan antara kami dengan pria-pria itu? Kongcu, kami dan kaum pria sama-sama membutuhkan, akan tetapi kebutuhan kami lebih suci daripada kebutuhan mereka! Kami membutuhkan uang untuk hidup, membutuhkan kepuasan berahi sebagaimana patutnya. Berilah kami seorang suami yang baik dan uang untuk hidup, tidak akan ada seorang wanita pun yang menjadi pelacur, kecuali kalau dia gila! Akan tetapi kaum pria itu, sudah mempunyai isteri, bahkkan sudah mempunyai selir-selir, masih saja melacur! Siapakah yang hina? Siapakah yang rendah? Mereka itu membutuhkan kami, membutuhkan hiburan yang ada pada diri kami, sedangkan kami membutuhkan kesenangan dan uang. Mereka membeli dan kami menjual. Coba tidak ada kaum pria yang mengejar-ngejar dan mencari-cari kami untuk membeli, mana mungkin kami menjual diri?”

“Tapi, Kim Lian, kenyataan dalam hidup adalah bahwa semua orang pria maupun wanita, memandang rendah dan hina kepada pekerjaanmu ini.”

“Biarlah! Akan tetapi buktinya, kami kaum pelacur tidak pernah mengkhianati siapa-siapa, kami bebas bermain cinta dengan laki-laki manapun juga yang menghendaki kami tanpa paksaan, tanpa sembunyi-sembunyi karena kami tidak mengkhianati siapa-siapa. Merekalah kaum prialah, yang mengkhianati isteri-isteri mereka, yang mencari kami dengan sembunyi-sembunyi dan berani membayar berapa saja kalau sudah tergila-gila kepada kami.”

Gadis pelacur itu berhenti sebentar, lalu berkata lagi,
“Seluruh pria tentu ingin melihat agar semua wanita di dunia ini, kecuali ibunya, isterinya, anak perempuannya dan keluarga perempuannya, menjadi pelacur semua! Agar semua wanita suka melayaninya di atas pembaringan, agar semua wanita bersedia memuaskan nafsu berahi mereka. Betapa palsu, licik dan munafiknya kaum pria!”

Tek Hoat melongo. Benarkah ini? Diapun seorang pria. Benarkah apa yang dikatakan oleh pelacur ini? Bahwa semua pria menghendaki bahwa semua wanita, kecuali orang-orang tertentu, yaitu keluarganya, bersikap seperti pelacur? Hatinya condong mengatakan “ya” kalau dia berani memandang diri sendiri, memandang sampai ke sudut tergelap dari batinnya. Akan tetapi dia merasa “ngeri” untuk mengaku ini.

“Kim Lian, kata-katamu terlalu keras, agaknya karena dendam sakit hati kepada kaum pria. Akan tetapi, bukankah pekerjaanmu melacur ini mencemarkan kaum wanita? Bukankah pekerjaanmu ini dikutuk oleh kaum wanita?”

Kembali Kim Lian tertawa, suara ketawa yang aneh, setengah menangis setengah ketawa, lalu dia berkata lagi, lebih halus suaranya penuh kepahitan,

“Mungkin sekali, Kongcu. Dan biarlah mereka itu mengutuk dan mencemoohkan kami kaum pelacur. Kami tahu mengapa mereka mengutuk kami, dan kami kasihan kepada mereka.”

“Eh, apa pula ini? Engkau kasihan kepada mereka yang mengutukmu dan kau tahu mengapa?”

“Memang ruwet lika-likunya, Kongcu. Akan tetapi aku, yang telah digembleng oleh hidup, yang telah direbus oleh api kepahitan, aku dapat melihatnya. Wanita-wanita itu mengutuk kami karena mereka merasa dirugikan....“

“Dirugikan?”

“Ya, dirugikan karena suami, anak mereka, keluarga mereka yang pria lari kepada kami dan menjauhi mereka. Karena kami dianggap mencemarkan dan memalukan mereka. Kemudian karena mereka merasa iri kepada kami”

“Iri?” Tek Hoat berseru kaget. “Kaum wanita baik-baik iri kepada pelacur? Apa maksudmu?”

“Benar, iri hati! Mungkin di bawah sadar mereka, akan tetapi jelas ada perasaan iri hati yang tidak mereka sadari sendiri itu. Lihatlah, wanita mana yang tidak suka bersolek, yang tidak suka mempercantik diri? Mereka mempercantik diri karena dua sebab, pertama agar dipuji oleh umum terutama sekali oleh kaum pria dan diirihatikan kaum wanita lainnya. Mereka itu, di luar sadarnya berusaha untuk menarik hati kaum pria sebanyaknya! Makin banyak pria yang kagum dan tergila-gila kepadanya, makin senanglah hatinya.”

“Ah, masa....?”

“Keadaan membuktikan demikian dan mungkin itu sudah merupakan naluri wanita, Kongcu. Setiap mahluk betina selalu akan berlagak di depan jantan, tentu naluri untuk menarik perhatian. Karena itu, melihat betapa kami, kaum pelacur dapat menarik perhatian banyak pria, bahkan dapat menghibur mereka dalam permainan cinta, bahkan menerima perhatian pria yang rela memberi hadiah dan uang di samping perlakuan cinta, tanpa disadari mereka itu, kaum wanita merasa iri dan karena iri ini tidak dapat dinyatakan secara terbuka, maka perasaan iri itu berubah menjadi benci! Dan muncullah penghinaan mereka terhadap kami! Tentu saja selain itu, juga mereka mendendam karena kami dianggap merusak nama baik kaum wanita pada umumnya”