FB

FB


Ads

Senin, 25 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 079

Pangeran Liong Bian Cu mengerutkan alisnya, saling pandang dengan Ban-hwa Seng-jin, kemudian dia berkata kepada Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo.

“Harap Ji-wi Locianpwe suka menemani para tamu bersama Jenderal Kao Liang. Kami bersama Koksu ada kepentingan lain untuk menerima tamu.”

Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lomo mengangguk. Jenderal Kao Liang diam saja dan Liong Bian Cu lalu bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, didampingi koksu yang dikawal oleh Gitananda yang setia.

Panglima muda dari Bhutan, Mohinta itu, telah menanti di ruangan tamu bersama tujuh orang pengikutnya yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi dari Bhutan.

Bagaimana tokoh Bhutan muda itu dapat tiba di tempat ini? Seperti kita ketahui, setelah Syanti Dewi berhasil melarikan diri dari Bhutan bersama Siang In, panglima muda yang mencinta Syanti Dewi dan mengharapkan puteri itu menjadi isterinya ini segera melakukan pengejaran dan dia menyebar banyak sekali penyelidik.

Dia melakukan pengejaran dengan para penyelidiknya menuju ke timur dan dia selalu didampingi oleh tujuh orang pembantunya yang semuanya memiliki kepandaian cukup tinggi itu untuk mencari jejak Syanti Dewi.

Seperti yang dituturkan oleh Cui Ma, bekas pelayan Ang Siok Bi ibu dari Ang Tek Hoat kepada Kian Bu dan Hwee Li, pelayan yang menjadi gila karena ketakutan dan karena duka itu, dalam pengejarannya mencari jejak Syanti Dewi, akhirnya Mohinta malah menemukan tempat sembunyi Ang Siok Bi. Mengingat bahwa Ang Siok Bi adalah ibu Ang Tek Hoat yang dibencinya, maka Mohinta lalu turun tangan membunuh wanita yang malang itu.

Dia terus melakukan penyelidikan, mendengar bahwa Syanti Dewi terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua Liong-sim-pang di Puncak Naga Api. Dia menyusul ke sana, akan tetapi terlambat karena mendengar bahwa puteri yang dicarinya itu telah diculik orang lagi dari tempat itu.

Mohinta mencari terus, tanpa mengenal lelah. Dia bukan hanya mencinta puteri yang memang amat cantik jelita itu, akan tetapi di samping cintanya ini terdapat pula keinginan yang mendorong dia berusaha memperisteri Syanti Dewi, yaitu kalau dia dapat menjadi mantu raja, tentu kelak dia mempunyai harapan besar untuk menjadi Raja Bhutan! Ambisi inilah yang membuat dia tidak mengenal lelah mencari Syanti Dewi dan tidak akan berhenti sebelum puteri itu terdapat olehnya.

Setelah mencari-cari siang malam dan mengerahkan seluruh pembantunya yang banyak tersebar di daerah Ho-pei dan Ho-nan di mana untuk terakhir kalinya dia mendengar akan jejak Syanti Dewi, akhirnya dia mendengar bahwa puteri itu telah tertawan oleh Pangeran Bharuhendra dari Nepal! Berita ini mengejutkan hati Mohinta! Tertawannya Puteri Syanti Dewi oleh pangeran cucu Raja Nepal itu benar-benar amat mengejutkan dan mengkhawatirkan hatinya.

Dia maklum siapa adanya Pangeran Bharuhendra yang juga bernama Liong Bian Cu itu, seorang Pangeran Nepal yang berilmu tinggi dan berkuasa besar. Bahkan dia mendengar bahwa pangeran itu ditemani oleh guru negara, yaitu pendeta Lakshapadma yang juga disebut Ban-hwa Seng-jin, bahkan kabarnya Gitananda, pendeta yang amat lihai itu pun menemani Sang Pangeran Nepal. Hilanglah harapannya untuk merampas Syanti Dewi dengan menggunakan kekerasan.

Akan tetapi Mohinta adalah seorang muda yang cerdik dan dia segera memperoleh akal yang amat baik, bukan hanya untuk mendapatkan kembali puteri cantik yang membuatnya tergila-gila itu, akan tetapi bahkan mendapatkan jalan untuk menguasai Bhutan mengandalkan bantuan Nepal yang selama ini menjadi musuh Bhutan!

Ketika Pangeran Bharuhendra yang kita kenal sebagai Liang Bian Cu itu muncul bersama pendeta Lakshapadma yaitu Ban-hwa Seng-jin, Koksu Nepal dan diikuti oleh Gitananda, Mohinta dan tujuh orang pengikutnya cepat menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Kemudian Mohinta bangkit sebagai seorang militer dan berkata,

“Harap Paduka sudi memaafkan kalau hamba dan para pengikut berani mengganggu Paduka di tengah malam begini.”

Pangeran Lian Bian Cu memandang dengan penuh perhatian, lalu berkata,
“Duduklah dan ceritakan siapa engkau, apa pula yang menjadi maksudmu datang kepadaku. Harap bicara secara jujur dan terbuka karena kalau tidak demikian, saat ini juga kami akan menyuruh pengawal membunuh kalian.”






Mohinta lalu menceritakan niatnya, yaitu bahwa dia disuruh oleh Raja Bhutan untuk mencari Syanti Dewi dan bahwa dia tahu di mana adanya puteri itu. Akan tetapi dia siap untuk membantu Pangeran Nepal untuk menguasai Bhutan dengan menggunakan Puteri Syanti Dewi sebagai sandera.

“Dengan adanya puteri itu di tangan kita, Paduka tidak perlu mengerahkan bala tentara untuk menyerbu Bhutan. Cukup hamba yang akan menggulingkan raja dengan bantuan Paduka dan selanjutnya, hamba yang tanggung bahwa Bhutan akan tunduk terhadap Nepal dan memenuhi segala tuntutan dan perintah dari Nepal.”

Demikian antara lain Mohinta berkata. Semua penuturannya didengarkan oleh Pangeran Liong Bian Cu dan Ban-hwa Seng-jin. Kemudian Koksu Nepal itu berkata dengan suara tenang, dalam bahasa Nepal yang dimengerti oleh Mohinta karena ada persamaan bahasa antara mereka.

“Mohinta, engkau sudah bersiap untuk mengkhianati rajamu sendiri! Engkau sudah berniat hendak membantu kami yang selama ini dianggap musuh oleh Kerajaan Bhutan. Tentu ada pamrih tertentu tersembunyi di dalam pengkhianatanmu ini. Apakah pamrih itu? Apakah yang kau inginkan dalam persekutuan antara engkau dan kami?”

Wajah Mohinta menjadi merah, jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi dia maklum akan kelihaian dan kecerdikan Koksu Nepal itu, maka dia tahu pula bahwa membohongi terhadap mereka amatlah berbahaya. Menghadapi orang-orang Nepal yang amat kuat ini, jalan satu-satunya hanyalah mendekati, bukan memusuhi.

“Maaf, Koksu. Sudah tentu dalam setiap tindakan terdapat pamrih yang mendorongnya, dan benarlah wawasan Koksu bahwa ada pamrih dalam hati saya kalau saya menawarkan diri untuk membantu Nepal menggulingkan Raja Bhutan. Pertama, saya ingin memperoleh Puteri Syanti Dewi sebagai isteri saya kalau kita berhasil. Ke dua, saya mengharapkan kebijaksanaan dan ganjaran dari Raja Nepal agar saya dapat menggantikan kedudukan raja di Bhutan.”

Pangeran Liong Bian Cu tersenyum.
“Hemmm, besar sekali ambisimu, orang muda. Lalu, untuk semua anugerah yang kau harapkan itu, apa saja yang dapat kau berikan kepada kami?”

“Ayah hamba adalah kepala panglima di Bhutan. Biarpun ayah hamba tidak akan mencampuri urusan pemberontakan, bahkan mungkin menentang, akan tetapi hamba dapat menguasai sebagian besar dari bala tentara yang dipimpin oleh ayah. Dan hamba adalah seorang kepercayaan dari raja, maka kalau hamba yang berkuasa di Bhutan, tentu hamba dapat membantu Paduka untuk menghadapi Kaisar Ceng, Tibet, dan lain-lain.”

Tiba-tiba Ban-hwa Seng-jin mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua untuk diam, lalu sekali berkelebat kakek ini telah meloncat ke jendela, membuka daun jendela. Akan tetapi tidak ada siapapun di balik jendela itu, maka dia lalu menutupkan lagi daun jendela dan kembali ke ruangan.

“Aman,” katanya, “Tadinya saya kira mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.”

Mereka lalu melanjutkan perundingan. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Hwee Li berbisik-bisik di dekat telinga Puteri Syanti Dewi di dalam kamar puteri itu dan Syanti Dewi mendengarkan dengan wajah pucat.

Tadi memang Hwee Li yang mencuri dengar ketika Liong Bian Cu mengadakan perundingan dengan Mohinta, dan karena dara ini mengerti bahasa mereka, maka dia dapat mendengar kesanggupan Mohinta untuk menggulingkan Raja Bhutan dan bersekongkol dengan Pangeran Nepal itu. Mendengar penuturan yang dibisikkan oleh Hwee Li, Syanti Dewi terkejut dan marah sekali. Akan tetapi apa yang dapat dilakukannya terhadap Mohinta? Dia sendiri berada di situ sebagai seorang tawanan!

“Bibi Syanti Dewi, apakah kau ingin agar aku memukul remuk kepala Mohinta itu?” tanya Hwee Li ketika dia melihat wajah puteri itu pucat dan tubuhnya agak menggigil.

“Jangan, Hwee Li. Hal itu berbahaya sekali. Kau sendiri seorang tawanan.”

“Aku yakin mudah saja bagiku untuk membunuh pengkhianat itu, Bibi. Dan kalau Liong Bian Cu marah kepadaku, biarlah, malah kebetulan, biar dia benci padaku dan mengurungkan niatnya yang gila untuk menikah dengan aku!”

Syanti Dewi merangkulnya.,
“Tenanglah, Hwee Li. Kita semua berada di dalam keadaan yang amat gawat. Lihat betapa Jenderal Kao Liang sendiri tidak berdaya, keluarganya masih ditawan di sini semua. Lihat betapa benteng ini dibuat amat kuatnya dan Liong Bian Cu mengumpulkan banyak orang pandai. Bahkan orang-orang Liong-sim-pang itu pun menjadi sahabat mereka! Akan ada peristiwa besar, kegegeran besar dan ancaman berbahaya bagi kerajaan bangsamu. Jangan pikirkan urusanku, urusan kecil saja. Baik sekali engkau telah mendengarkan tadi sehingga aku tahu akan isi perut pengkhianat Mohinta itu. Kalau tiba saatnya Bhutan terancam, aku dapat bertindak dengan tepat. Yang penting, kita harus dapat lolos dari sini, Hwee Lee, itulah yang penting, bukan membunuh orang rendah macam Mohinta itu.”

Hwee Li mengangguk dan berbisik,
“Ah, kalau tidak terjadi sesuatu yang mujijat, bagaimana mungkin kita dapat lolos? Penjagaan terlampau ketat, orang-orang sakti terlampau banyak di sini dan setelah benteng ini selesai dibangun oleh Jenderal Kao yang amat ahli dalam hal itu, lenyaplah harapan kita untuk dapat lolos dan keluar dari dalam benteng.”

“Kita tidak boleh putus harapan. Banyak sekali teman-teman kita yang gagah perkasa di luar benteng. Aku yakin bahwa sewaktu-waktu mereka tentu akan muncul, seperti pada waktu yang sudah-sudah. Mereka tidak akan membiarkan kita celaka.”

“Hemmm, mereka siapa?”. tanya Hwee Li.

“Pertama-tama tentulah Siang In yang cantik dan cerdik, dan.... Tek Hoat....“

“Dan Siluman Kecil! Juga Suma Kian Lee! Ah, kenapa aku lupa bahwa mereka itu tentu tidak akan diam saja melihat kita ditawan orang-orang jahat?”

“Dan di sana masih ada pula adikku, Candra Dewi atau Ceng Ceng, dan suaminya yang amat sakti....”

“Ah, kenapa aku pun lupa kepada Subo dan Suhu? Hi-hik, betapa tolol aku. Tentu saja Subo dan Suhu akan dengan mudah mengobrak-obrik mereka semua ini!”

“Dan masih ada lagi Bibi Puteri Milana! Dan pendekar sakti Paman Gak Bun Beng, dan keluarga Pulau Es....“

“Wah-wah, kita mengharap terlampau jauh dan terlalu banyak, Bibi. Bagaimana kalau tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempedulikan kita dan tidak ada yang datang menolong?”

“Mustahil.... akan tetapi.... setidaknya harapan itu menghibur hati kita....“ jawab Syanti Dewi sambil menarik napas panjang lalu duduk termenung, ditemani oleh Hwee Li yang di tempat itu menjadi temannya yang paling baik, paling akrab dan dapat saling menghibur.

Dan memang benar seperti yang dikatakan oleh dua orang dara itu. Setelah Liong-sim-pang bersekutu dengan Pangeran Liong Bian Cu, pembangunan benteng itu menjadi makin lancar karena anak buah Liong-sim-pang dikerahkan untuk membantunya. Dan juga Hwa-i-kongcu Tang Hun tidak sayang-sayang atau segan-segan untuk membantu dengan keuangan, membeli bahan-bahan bangunan secara royal.

Mohinta dan para pengawalnya juga tinggal di benteng lembah itu, akan tetapi dia selalu bersembunyi dan tidak mau bertemu dengan Syanti Dewi karena dia menganggap belum waktunya untuk bicara dengan puteri itu, sungguhpun hatinya merasa amat rindu terhadap dara yang dianggapnya pasti akan menjadi isterinya itu.

Rencananya bersama Pangeran Nepal untuk memberontak dan menggulingkan Raja Bhutan, yaitu ayah dari Puteri Syanti Dewi, membuat dia merasa tidak enak untuk bertemu dan bicara dengan Syanti Dewi karena puteri yang menjadi tawanan itu tentu akan merasa heran dan akan mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijawabnya, di antaranya mengapa dia berada di situ dan menjadi teman dari Pangeran Nepal dan yang menawan puteri itu.

Hwee Li adalah seorang dara yang amat cerdik. Setelah usahanya yang gagal untuk membunuh Liong Bian Cu, dan melihat betapa pangeran itu tidak mendendam dan tetap mencintanya, dia tahu bahwa usahanya telah mencapai puncak dan jalan buntu. Dia tidak boleh mencoba lagi karena kalau sampai dia menimbulkan rasa benci dalam hati pangeran itu, dia tidak akan tertolong lagi. Kalau hanya dibunuh saja bukan apa-apa baginya, akan tetapi dia merasa ngeri kalau membayangkan betapa dengan kekuasaannya, pangeran itu bisa saja memaksanya dan memperkosanya.

Dia kini mengandalkan cinta kasih pangeran itu untuk berada dalam keadaan aman dan tidak terancam keselamatannya. Dia yakin bahwa karena cintanya, pangeran itu tidak akan memaksanya menyerahkan diri sebelum menikah, dan sebagai seorang pangeran negara besar, tentu pangeran itu akan melaksanakan pernikahannya di negerinya, di Nepal.

Maka, masih banyak waktu baginya dan masih banyak harapan untuk meloloskan diri, asal dia pandai membawa diri dan tidak memancing kebencian pangeran itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak boleh bersikap terlalu manis karena kalau sampai pangeran itu memuncak rindu dan berahinya terhadap dia, bisa berabe dan berbahaya!

Karena sikap Hwee Li yang tidak memberontak lagi, juga Syanti Dewi bersikap tenang dan sabar, maka kini mereka diperbolehkan untuk mengunjungi keluarga Jenderal Kao Liang di dalam rumah tahanan mereka.

Pertemuan yang amat akrab dan mengharukan dan kini pertemuan-pertemuan itu merupakan hiburan besar bagi kedua fihak. Kao Kok Tiong sering kali nampak termenung di rumah tahanan itu, diam-diam amat mengkhawatirkan keadaan ayahnya.

Jenderal ini tidak boleh menemui keluarganya, hanya diperbolehkan melihat dari jauh bahwa keluarganya selamat dan diperlakukan dengan baik. Kok Tiong maklum betapa hati ayahnya tersiksa hebat. Ayahnya terpaksa membantu pemberontak! Demi keselamatan keluarganya!

Dia tahu bahwa andaikata ayahnya belum dipecat dan masih menjadi Panglima Kerajaan Ceng, sampai mati pun ayahnya tidak akan tunduk kepada pemberontak. Biar andaikata seluruh keluarganya disiksa dan dibunuh di depan hidungnya, ayahnya pasti tidak akan sudi untuk membantu pemberontak.

Dan sekarang, karena dia bukan Panglima Ceng lagi, dia terpaksa tunduk, untuk menyelamatkan keluarganya, akan tetapi tentu saja dengan batin tersiksa. Kok Tiong sendiri amat dicurigai oleh Pangeran Nepal sehingga dia dimasukkan dalam rumah tahanan keluarganya, tidak diperkenankan keluar dan bicara dengan ayahnya.

Keadaan seperti itu lewat sampai berbulan-bulan dan benteng besar yang dibangun atas petunjuk Jenderal Kao Liang itu, yang dikerjakan siang malam, mulai mendekati kesempurnaannya. Hati para tawanan itu makin gelisah, harapan mereka untuk memperoleh pertolongan dari luar makin menipis, sungguhpun belum habis sama sekali. Selama waktu-waktu itu, untuk menghibur diri, Syanti Dewi memperdalam ilmu silatnya dari Hwee Li, sebaliknya, Hwee Li mempelajari banyak hal dari sang puteri, dari menyulam, melukis, menari dan bernyanyi.

**** 079 ****