FB

FB


Ads

Senin, 25 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 076

“Wuuuttttt.... wirrrrr....!”

Tek Hoat terkejut bukan main karena dara yang dikira Syanti Dewi itu mengelak dan cepat menghantamnya dengan tangan kiri yang mengandung hawa tajam dan kuat sekali. Dia cepat meloncat ke belakang dan memandang. Kiranya dara itu sama sekali bukanlah Syanti Dewi, sungguhpun harus diakuinya bahwa dara itu juga cantik jelita.

Dara itu adalah Ang-siocia atau Swi Hwa yang tentu saja menjadi marah sekali melihat pemuda ini datang-datang hendak memeluknya. Dari tempat itu dia melihat suhunya telah bertanding melawan seorang wanita cantik yang mainkan pedang bersinar hijau secara hebat sekali, dan dia dapat melihat pula para pelayan suhunya telah rebah di sana-sini. Tahulah dia bahwa ada orang-orang jahat menyerbu, maka dia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Tek Hoat dengan sengit dan dahsyat.

Tek Hoat terkejut dan kagum juga menyaksikan kehebatan ilmu pedang gadis cantik ini, akan tetapi karena dia sudah tidak sabar lagi ingin cepat-cepat menemukan kembali Syanti Dewi yang disangkanya diculik oleh Hek-sin Touw-ong dan disembunyikan di gedung itu, cepat mengerahkan kepandaiannya, memapaki serangan Swi Hwa dengan dorongan tangan kirinya yang mengandung tenaga sakti Inti Bumi.

“Aihhh....!”

Swi Hwa menjerit, ketika tubuhnya dilanda angin dahsyat yang amat kuat dan membuat dia terjengkang, dan sebelum dia sempat bergerak, pundaknya telah ditotok secara luar biasa sekali dan dia menjadi lemas, tak dapat berdaya lagi seperti kehilangan tenaganya.

“Hayo katakan, di mana adanya Syanti Dewi?” Tek Hoat menghardik. Akan tetapi gadis itu melotot kepadanya penuh kemarahan.

“Tidak tahu!”

Gadis itu menjawab dengan keras pula. Dua bayangan berlari datang dan mereka itu adalah Ma Khong dan Ma Ti Lok. Dua orang ini tadinya gentar sekali ketika mendatangi rumah gedung milik Hek-sin Touw-ong itu, akan tetapi setelah mereka melihat bagaimana dengan amat mudahnya Ang Tek Hoat dan Lauw Hong Kui merobohkan para penjaga atau pengawal itu, kemudian melihat Lauw Hong Kui sudah bertempur dengan hebat lawan Hek-sin Touw-ong sedangkan Tek Hoat dengan amat mudahnya merobohkan murid Raja Maling, hati mereka menjadi besar dan mereka lalu berlari memasuki gedung itu.

Melihat mereka, Tek Hoat lalu berkata,
“Hayo bantu aku mencari ke dalam gedung. Geledah semua kamar sampai kalian mendapatkan puteri yang disembunyikan itu!”

Setelah berkata demikian, dia sendiri sudah mendahului mereka lari memasuki gedung untuk mencari Syanti Dewi.

Banyak sudah kamar dimasukinya, akan tetapi dia tidak juga menemukan Syanti Dewi.
“Syanti Dewi....! Syanti....! Ini aku, Tek Hoat....!”

Dia berteriak-teriak akan tetapi tidak pernah ada jawaban. Dia melihat pula dua orang Saudara Ma itu ikut mencari-cari, namun belum juga berhasil. Tiba-tiba dia mendengar teriakan keras yang dikenalnya sebagai suara Hong Kui,

“Tek Hoat...., tolonggggg....!”

Cepat Tek Hoat berloncatan dan lari ke luar. Ternyata Hong Kui terdesak hebat oleh kakek bermuka hitam yang benar-benar amat lihai itu. Bahkan pedang wanita itu telah terlempar ke atas lantai dan kini Hong Kui terdesak mundur, setiap pukulan tangan kakek itu mengeluarkan bunyi mencicit nyaring dan biarpun Hong Kui sudah mengelak ke sana-sini dengan cepat, namun tetap saja lengan kiri dan pundak kanannya keserempet pukulan sakti itu sampai berdarah seperti terluka oleh pedang tajam. Itulah pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mujijat!

“Wuuuttttt....!”

Tek Hoat sudah menghantam ketika dia tiba di tempat itu. Melihat ada sambaran angin dahsyat dari samping, kakek itu meninggalkan Hong Kui dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan lengannya sambil dikerahkannya tenaga Kiam-to Sin-ciang yang membuat kedua lengannya kuat dan mengandung hawa tajam seperti pedang atau golok itu.

“Plakkk!”

Benturan dua tenaga mujijat yang amat hebat itu membuat kakek itu terpelanting, akan tetapi Tek Hoat kaget melihat kulit lengannya lecet berdarah!

“Ahhh....!”

Hek-sin Touw-ong terkejut setengah mati. Baru satu kali ini dia bertemu dengan seorang pemuda yang bukan hanya dapat menghadapi tenaga Kiam-to Sin-ciang tanpa membuat lengannya terluka hebat, akan tetapi juga mampu membuat dia terpelanting dan hampir roboh! Dengan marah dia lalu menerjang dan terjadilah perkelahian hebat antara Tek Hoat dan kakek muka hitam itu.






Hong Kui yang tadi terdesak hebat, kini sudah mengambil kembali pedangnya dan dengan marah dia mengeroyok kakek itu untuk menebus kekalahannya dan membalas luka-luka yang dideritanya di lengan dan pundak.

Kakek itu kini sudah kewalahan dan bingung menahan serangan yang mengandung tenaga Inti Bumi yang dahsyat itu apalagi ketika Tek Hoat mempergunakan Ilmu Toat-beng-ci, melakukan totokan-totokan dengan satu jari, dia terkejut bukan main dan teringat akan nama seorang muda yang menggemparkan dunia kang-ouw.

“Si Jari Maut....!” teriaknya.

Akan tetapi pada saat itu, pedang bersinar hijau di tangan Hong Kui sudah menyambar ganas ke arah lehernya. Cepat dia menghindarkan diri dengan mengelak dan merendahkan tubuhnya, akan tetapi karena pada saat itu Tek Hoat juga sudah menyerangnya, maka sebuah totokan mengenai punggungnya dan kakek itu mengeluh roboh terguling dalam keadaan tidak mampu bergerak lagi. Kalau orang lain yang terkena totokan Tek Hoat itu, tentu akan tewas seketika. Namun kakek itu cukup tangguh sehingga dia tidak tewas, hanya tertotok dan lumpuh.

“Hek-sin Touw-ong, hayo katakan di mana adanya Syanti Dewi!” Tek Hoat mengancam dengan jari tangan di atas ubun-ubun kepala kakek itu.

Hek-sin Touw-ong adalah seorang yang keras hati dan tidak takut mati. Dirobohkan oleh pemuda itu sudah merupakan hal yang amat memalukan, maka dia menjawab dengan jengkel,

“Mau bunuh, lekas bunuh, tidak perlu banyak cakap!”

“Aku tidak akan membunuhmu, aku mencari Syanti Dewi. Kau tidak berhak menculiknya dan menyembunyikannya. Hayo katakan, di mana Syanti Dewi? Di mana?” Tek Hoat berteriak-teriak seperti orang gila.

“Aku tidak tahu!” jawab kakek itu dan membuang muka dengan gerakan lemah karena kedua kaki tangannya lumpuh.

Tek Hoat bangkit berdiri dan menarik napas panjang, memandang kepada Hong Kui.
“Aku tidak melihat Syanti Dewi di dalam,” katanya dengan hati kecewa bukan main.

“Hemmm, biarpun tidak ada Syanti Dewi, akan tetapi di dalam rumah maling ini tentu banyak barang berharga. Sebaiknya kubunuh saja dia!”

Hong Kui menggerakkan pedangnya membacok ke arah leher Hek-sin Touw-ong. Kakek itu membelalakkan mata, menanti datangnya maut dengan mata terbuka.

“Wuuuttttt.... tranggggg....!”

“Eh, Tek Hoat, mengapa kau?”

Hong Kui meringis dan memegangi pergelangan tangan kanannya yang terasa nyeri karena tadi terpukul oleh pemuda itu sehingga pedangnya terlempar dan berkerontangan di atas lantai.

“Kau tidak boleh sembarangan membunuh, tidak boleh selagi aku di sini!” bentak Tek Hoat yang merasa mendongkol sekali karena ternyata petunjuk dari wanita itu tidak menghasilkan dia menemukan kembali Syanti Dewi. Dia merasa tertipu.

Pada saat itu, terdengar jerit wanita dari dalam. Mendengar ini, Tek Hoat cepat berlari masuk diikuti oleh Hong Kui yang sudah menyambar kembali pedangnya. Jantung pemuda itu berdebar tegang karena dia mengira bahwa itu adalah suara jeritan Syanti Dewi.

Akan tetapi betapa kaget dan kecewanya, juga marah sekali, ketika dia tiba di tempat di mana dia tadi meninggalkan Swi Hwa yang roboh tertotok, dia melihat Ma Khong dan Ma Ti Lok sedang hendak menggagahi dara itu dan mereka telah merobek pakaiannya sehingga gadis itu tadi menjerit.

Terasa pening kepala Tek Hoat saking marahnya.
“Bedebah....!”

Dia berseru dan tubuhnya meluncur ke depan. Dua kali jari tangannya bergerak dan dua tubuh Ma Khong dan Ma Ti Lok terpelanting, berkelojotan dan tewas seketika dengan dahi mereka ada tanda jari hitam!

“Tek Hoat, kau terlalu!” Hong Kui membentak marah. “Kau membunuh teman sendiri!”

“Mereka layak mampus! Engkau juga!” Tek Hoat menghardik dan memandang marah.

“Keparat kau, manusia tidak mengenal budi!”

Hong Kui tak dapat menahan kemarahannya dan dia menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi, dengan cepat Tek Hoat mengelak dan mendorong dengan tangan kirinya. Angin kuat menyambar dan Hong Kui terhuyung ke belakang. Wanita ini makin marah dan meloncat keluar dari dalam rumah.

“Keluarlah kau kalau jantan!” tantangnya.

Tek Hoat yang kecewa dan marah itu meloncat mengejar. Ketika tiba di luar, Hong Kui menggerakkan tangannya dan sebuah benda hitam menyambar ke arah Tek Hoat. Pemuda ini maklum bahwa itulah senjata rahasia yang paling ampuh dari Mauw Siauw Mo-li. Lawan yang kurang hati-hati dan berani menangkis senjata rahasia ini, tentu akan celaka, setidaknya tentu akan terluka. Maka dia mengelak dan membiarkan benda itu lewat.

“Darrr....!” Benda itu meledak ketika terbanting ke atas lantai dan dinding di dekatnya jebol.

Dua kali lagi Mauw Siauw Mo-li menyambitkan senjata-senjata rahasia peledaknya, namun semua dielakkan oleh Tek Hoat dan pemuda ini secepat kilat telah mengirim serangan dengan hantaman kedua tangannya dengan menggunakan tenaga dahsyat Inti Bumi. Mauw Siauw Mo-li berusaha mengelak, namun tetap saja dia terhuyung dan sebelum dia dapat menyelamatkan dirinya, sebuah tendangan kaki Tek Hoat mengenai pinggulnya.

“Bukkk! Aughhh!”

Wanita itu menjerit dan tubuhnya terbanting ke atas lantai. Dia bangkit dan menggosok-gosok bukit pinggulnya yang terasa nyeri.

“Kau kejam sekali, Tek Hoat. Kubunuh kau kalau aku mendapat kesempatan!” teriaknya marah.

“Mo-li, kalau aku tidak ingat bahwa engkau telah membantuku selama ini, jangan harap kau dapat pergi dari sini dengan masih bernyawa. Sekarang, pergilah dan jangan berani memperlihatkan mukamu yang tak tahu malu itu kepadaku lagi!” Tek Hoat berkata.

“Uhhh....! Bedebah, manusia sombong kau!”

Mauw Siauw Mo-li memaki, memandang dengan mata mendelik, akan tetapi dia tidak berani bergerak menyerang, akhirnya dia membalikkan tubuhnya dan lari sambil berteriak melengking nyaring, makin lama suaranya makin jauh sampai hanya terdengar seperti suara kucing terpijak ekornya.

Semua ini terlihat oleh Hek-sin Touw-ong. Dia melihat pula betapa Tek Hoat lari menghampiri muridnya, menotok membebaskan gadis itu, kemudian Tek Hoat menghampiri dia dan membebaskan pula totokannya. Hek-sin Touw-ong bangkit berdiri, mengurut kedua lengannya yang terasa kaku, kemudian dia memandang kepada pemuda itu dengan penuh keheranan.

“Kau.... kau Si Jari Maut?” tanyanya.

Tek Hoat mengangguk.
“Maafkan kalau aku telah mengganggumu, Touw-ong. Akan tetapi, tadinya aku mengira bahwa engkau telah menculik Puteri Bhutan.”

“Puteri Bhutan?” Kakek itu berkata dan mengerutkan alisnya. “Sungguh aneh, betapa banyak orang mencari Puteri Bhutan!”

“Apa maksudmu....?”

“Swi Hwa, jangan!”

Tiba-tiba kakek itu berteriak dan dengan tenang Tek Hoat miringkan tubuhnya, membiarkan pedang yang ditusukkan oleh Swi Hwa itu lewat di samping tubuhnya, kemudian dia menggunakan jari tangannya membabat ke bawah.

“Trakkk!”

Pedang itu patah dan Swi Hwa menjerit karena tangannya terasa nyeri dan gagang pedang itu terlepas.

“Swi Hwa, jangan sembrono kau!”

Kembali Touw-ong membentak dan gadis itu meloncat ke samping gurunya sambil memegangi tangan kanannya dan memandang kepada Tek Hoat dengan mata berapi dan penuh kemarahan.

“Hek-sin Touw-ong, apa maksudmu mengatakan bahwa banyak orang mencari Puteri Bhutan?”

“Baru-baru ini, See-thian Hoat-su kakek ajaib penghuni Gua Tengkorak juga datang ke sini dan menanyakan apakah aku melihat Puteri Bhutan dilarikan orang. Ketika aku mengatakan bahwa aku tidak melihatnya, dia lalu pergi. Dan sekarang, engkau dan Mauw Siauw Mo-li datang mencari Puteri Bhutan pula.”

Hati Tek Hoat kecewa sekali.
“Aku telah dibohongi oleh wanita jalang itu. Jadi engkau benar tidak pernah melihat puteri itu, Touw-ong?”

“Guruku sudah bilang tidak melihatnya, mengapa banyak cerewet lagi?”

Tek Hoat menarik napas panjang. Dia maklum mengapa gadis ini marah-marah, karena betapapun juga, dua orang Saudara Ma itu tadinya datang bersama dia sebagai kawan-kawannya.

“Sudahlah, maafkan aku kalau kalian tidak tahu!” Berkata demikian, sekali berkelebat Tek Hoat sudah lenyap dari depan mereka.

“Jahat dia....!” Swi Hwa berkata.

“Sssttt....!”

Gurunya memegang tangan muridnya agar jangan bergerak. Kemudian dia menoleh kepada mayat dua orang she Ma itu, menggeleng kepala dan berkata,

“Sungguh hebat sekali kepandaian Si Jari Maut. Pantas saja dia terkenal sekali, kiranya memang dia amat hebat. Entah tenaga apa yang dia pergunakan tadi sehingga aku sendiri kewalahan menghadapinya. Sayang ada wanita iblis tadi yang ikut membantu, kalau tidak, aku ingin sekali bertanding dengan pemuda hebat itu.”

“Siapa sih Puteri Bhutan yang dicarinya itu, Suhu?”

“Entah. Ah, sungguh aneh sekali peristiwa ini, Swi Hwa. Engkau mencuri barang-barang dari tiga orang sakti, akan tetapi yang datang bukannya Jenderal Kao, Siluman Kecil atau Sin-siauw Sengjin, melainkan Si Jari Maut dan Mauw Siauw Mo-li! Untung masih baik kesudahannya. Ah, peristiwa ini makin mendorong hatiku untuk cepat-cepat menjurnpai Saicu Kai-ong....“

Kakek itu lalu menolong para anak buahnya yang tertotok, pingsan dan ada yang terluka. Kemudian rnereka mengurus mayat dua orang penyerbu itu. Beberapa hari kemudian, Hek-sin Touw-ong bersiap-siap untuk menghubungi Sai-cu Kai-ong, tokoh yang sebetulnya telah lama menjadi sahabatnya, akan tetapi yang selama belasan tahun ini tidak pernah lagi berhubungan dengan dia.

**** 076 ****