FB

FB


Ads

Senin, 25 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 075

“Suhu, lihat apa yang kudapatkan ini!”

Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berkata bangga di depan kakek itu sambil membuka buntalan besar yang dibawanya masuk ke dalam gedung besar di tebing itu, buntalan yang tadi diseret masuk oleh dua orang pelayan yang menyambut kedatangannya bersama beberapa orang pelayan lain.

Rumah itu merupakan gedung besar dan sama sekali tidak pantas menjadi rumah seorang yang berjuluk Raja Maling! Rumah itu teratur rapi, biarpun tidak terlalu mewah namun amat menyenangkan dengan hiasan-hiasan dinding berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf indah. Pot-pot kembang kuno menghias di sudut-sudut ruangan, lantainya bersih dan kesemuanya menunjukkan bahwa rumah itu terpelihara dan penghuninya suka akan kebersihan.

Ada kurang lebih sepuluh orang pelayan bekerja di luar dan dalam rumah, kesemuanya biarpun berpakaian pelayan namun sebetulnya adalah anak buah Hek-sin Touw-ong dan mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan ilmu mencuri yang lihai. Akan tetapi tentu saja kini mereka tidak lagi mencuri, setelah menjadi anak buah dan pelayan dari Raja Maling itu.

Kakek yang berjuluk Hek-sin Touw-ong itu adalah seorang lakl-laki tua berusia enam puluh tahun lebih. Mukanya hitam seperti dicat, sesuai dengan julukannya si Raja Maling Bermuka Hitam.

Sebenarnya, sudah bertahun-tahun yang lalu kakek ini menjalankan pekerjaannya sebagai Raja Maling, yaitu ketika dia masih beroperasi di perbatasan Ho-nan dan Ho-pei. Namanya amat terkenal di daerah itu dan semua kaum pencuri tunduk kepadanya dan menganggapnya sebagai datuk atau raja.

Karena kepandaiannya yang hebat, dan karena semua pencuri menganggapnya sebagai raja, kemudian karena mukanya hitam, maka dia memperoleh julukan Hek-sin Touw-ong. Akan tetapi sesungguhnya dia bukanlah maling sembarang maling! Dia hanya mau melakukan pencurian di dalam istana-istana saja! Dan biarpun mukanya hitam, ternyata hatinya tidaklah sehitam mukanya. Kakek yang terkenal dengan julukan Raja Maling ini terkenal dermawan dan suka menolong orang-orang yang menderita kekurangan dan kesengsaraan.

Pernah dia mencuri satu peti besar terisi ratusan tail uang emas milik gubernur di Ho-nan dan menggunakan seluruh uang itu untuk membeli ratusan ton gandum untuk dibagikan kepada rakyat yang kelaparan di daerah lembah Huang-ho di perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei ketika Sungai Huang-ho mengamuk dan membanjiri! Perbuatannya ini menimbulkan kegemparan dan selain dia dimusuhi oleh para pembesar, juga perbuatannya itu menimbulkan rasa kagum dalam hati para pendekar.

Ketika kakek itu mendengar akan kedatangan muridnya, dia cepat keluar menyambut di ruangan tengah dengan wajah berseri-seri. Kakek ini amat sayang kepada muridnya, bahkan murid itu juga sekaligus menjadi anak angkatnya, sungguhpun Swi Hwa masih belum dapat mengubah sebutan suhu kepadanya.

Sudah berbulan-bulan muridnya pergi merantau, dan kini muridnya pulang dan membawa “oleh-oleh” yang demikian banyaknya. Ketika buntalan dibuka dan kakek itu melihat tumpukan perhiasan emas permata, uang dan juga kitab-kitab, dia terbelalak dan menatap wajah muridnya dengan alis berkerut.

“Swi Hwa, apa yang telah kau lakukan? Dari mana engkau memperoleh semua benda berharga ini?”

Biarpun dia berjuluk Raja Maling, akan tetapi kakek ini selalu melarang muridnya untuk melakukan pencurian, apalagi pencurian kecil-kecilan yang akan merendahkan nama mereka, sungguhpun muridnya sudah pandai sekali dalam hal ilmu mencuri dan ilmu menyamar.

Gadis itu tertawa.
“Suhu, harap jangan mengira, bahwa aku sembarangan saja mencuri segala macam benda. Benda-benda ini bukan benda-benda sembarangan, juga bukan milik orang-orang sembarangan pula.”

“Hemmm, kantung itu terisi uang tidak berapa banyak dan kau bilang bahwa itu bukan benda sembarangan?” Gurunya mencela dan menegur.

“Benar, Suhu. Hanya sekantung uang yang tidak berharga. Akan tetapi tahukah Suhu dari siapa aku mengambil kantung ini? Hemmm, Suhu tentu tidak akan pernah dapat menerkanya. Kantung ini kuambil dari buntalan yang dibawa oleh pendekar Siluman Kecil!”

“Wahhhhh....!”

Suhunya terbelalak dan memandang kepada muridnya dengan heran. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama pendekar yang baru muncul dalam waktu beberapa tahun ini, yang namanya amat terkenal di antara para tokoh besar dunia hitam, bahkan amat disegani. Dia mendengar betapa ilmu kepandaian pendekar Siluman Kecil itu amat hebat dan kini muridnya berani mencopet kantung uangnya!

Melihat kekagetan, dan keheranan suhunya, Swi Hwa menjadi bangga dan senang, maka dia lalu menuding ke arah peti terbuka yang terisi barang-barang perhiasan emas permata.

“Dan Suhu lihat peti itu! Isinya adalah harta pusaka dari keluarga yang amat terkenal pula. Keluarga panglima besar kota raja, Jenderal Kao Liang!

“Ehhh....?”

Sepasang mata Raja Maling itu makin terbelalak lebar ketika mendengar laporan itu. Nama Jenderal Kao malah lebih terkenal lagi daripada nama Siluman Kecil. Siapa yang tidak mengenal nama jenderal yang amat hebat itu? Baru mendengar namanya saja orang menjadi gentar dan segan, akan tetapi muridnya ini berani mencuri harta pusaka keluarga jenderal itu!

Hati Swi Hwa makin besar dan bangga.
“Dan kitab-kitab ini, Suhu. Tentu Suhu tidak akan dapat menerka dari mana aku mencurinya. Kitab-kitab ini adalah milik si tua renta yang amat lihai itu, Sin-siauw Seng-jin....“






“Apa....?”

Sekali ini kakek itu hampir berteriak dan mukanya berubah, lalu tiba-tiba dia tertawa bergelak dan membuka-buka kitab itu.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Lucu....! Lucu sekali! Muridku, anakku, hayo cepat kau ceritakan bagaimana engkau dapat melakukan semua itu, terutama sekali kitab-kitab palsu ini!”

“Palsu?” Swi Hwa mengerutkan alisnya. “Bagaimana Suhu tahu bahwa ini palsu? Aku mengambilnya dari rumah Sin-siauw Seng-jin sendiri setelah dia dikalahkan oleh Siluman Kecil.”

Kembali kakek itu terkejut.
“Sin-Siauw Seng-jin dikalahkan oleh Siluman Kecil? Bagaimana pula itu? Ah, Swi Hwa, ceritakan.... ceritakan....!”

Melihat kegembiraan gurunya, Swi Hwa lalu menceritakan semua pengalamannya. Mula-mula dia menceritakan tentang keluarga Jenderal Kao Liang yang membawa keluarganya pulang ke kampung halamannya di selatan, kemudian betapa muncul beberapa kelompok gerombolan yang hendak membunuh dan hendak merampok keluarga itu. Dalam keributan ketika para kelompok gerombolan itu saling bertempur sendiri, dia lalu menggunakan kesempatan itu untuk merampas peti terisi harta pusaka itu dan melarikannya.

Kemudian dia menceritakan tentang penyamarannya sebagai tukang penjual sepatu dan berhasil mencopet kantung uang milik Siluman Kecil, dan akhirnya dia menceritakan bagaimana dia telah mencuri kitab-kitab pusaka milik Sin-siauw Seng-jin. Akan tetapi tentang dia masuk menjadi pengawal Gubernur Ho-nan dan tentang rahasianya yang terbuka oleh Siauw Hong, dia sama sekali tidak berani menceritakan kepada suhunya.

Kakek itu mendengarkan penuturan muridnya dan berkali-kali dia berseru kagum. Apalagi ketika dia mendengar tentang pertandingan antara Siluman Kecil dan Sin-siauw Seng-jin sampai kakek Suling Sakti itu kalah, berulang kali dia mengeluarkan suara heran dan memuji

“Hebat.... hebat sekali orang muda yang berjuluk Siluman Kecil itu. Tadinya kukira bahwa Sin-siauw Seng-jin tidak ada lawannya. Kiranya dia kalah oleh seorang pemuda. Ha-ha-ha!” Kelihatan kakek ini girang sekali mendengar akan kekalahan Suling Sakti itu.

“Suhu, tadi Suhu mengatakan bahwa kitab-kitab ini palsu padahal Suhu belum memeriksanya dengan teliti. Benarkah itu?”

“Ha-ha, tentu saja, Swi Hwa. Aku sudah mengenal baik siapa kakek tua bangka itu! Kalau kitab-kitab peninggalan Suling Emas dapat dicuri orang begitu saja, tentu ilmu-ilmu itu tidak akan menjadi rahasia sampai sekarang. Kau boleh bakar kitab-kitab itu, karena semua itu palsu, apalagi kalau telah dia tinggalkan begitu saja.”

“Betapapun juga, aku telah merampasnya dari dalam rumahnya, Suhu.”

“Ha-ha-ha, itulah yang menggirangkan hatiku. Kalau saja dia mendengar bahwa rumahnya kemasukan maling dan maling itu adalah engkau, muridku, ha-ha-ha.... ingin aku melihat mukanya, ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa-tawa, akhirnya lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Muridku, anakku, apa yang telah kau lakukan ini benar-benar hebat dan mengagumkan hatiku. Aku girang dan puas mempunyai murid seperti engkau. Akan tetapi, engkau telah bermain-main dengan api, anakku. Kurasa perbuatanmu ini akan berekor dan siapa tahu akan ada orang-orang pandai yang mencarimu di sini untuk merampas kembali benda-benda ini. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita menyembunyikan di tempat aman.”

“Di gua rahasia di tebing?”

Kakek itu mengangguk dan mereka lalu membawa benda-benda itu ke tepi tebing, lalu mereka merayap turun melalui tebing yang amat curam itu dan menyembunyikan benda-benda itu di dalam sebuah gua di tebing yang tertutup oleh batu dan tumbuh-tumbuhan sehingga kalau bukan mereka yang sudah mengenal tempat itu, kiranya tidak mungkin orang lain akan dapat mencari dan menemukan tempat itu.

Malam itu, di atas meja makan, Swi Hwa dengan hati-hati lalu menceritakan pengalamannya kepada gurunya. Tanpa menyinggung perasaan hatinya yang mula-mula tertarik terhadap Siluman Kecil, dia akhirnya menceritakan juga tentang petualangannya memasuki sayembara di Ho-nan.

“Eh, Swi Hwa, apa yang kau lakukan itu? Mau apa engkau memasuki sayembara untuk menjadi pengawal?” tegur gurunya.

Swi Hwa memang amat dimanja oleh gurunya ini dan sejak kecil dia menganggap gurunya sebagai ayah sendiri. Oleh karena inilah, maka biarpun ketika datang tadi dia tidak berani bercerita tentang semua itu, namun akhirnya dia bercerita juga karena dia tidak dapat menahan semua itu di dalam hatinya dan dia tidak mempunyai orang lain untuk diajak bicara.

“Suhu, aku hanya ingin meluaskan pengalaman saja. Apalagi aku terbawa oleh orang-orang lain yang melakukan perjalanan bersamaku. Dan Siluman Kecil juga melakukan perjalanan bersama, maka aku pun ingin memperlihatkan kepandaian.”

“Hemmm.... kau seorang wanita sungguh terlalu berani beraksi di depan umum.” Lalu dia memandang tajam. “Apa sebabnya kau ingin agar orang-orang mengetahui kepandaianmu?”

“Suhu, tentu saja dengan maksud untuk mengangkat nama Suhu!”

“Eh, bocah lancang! Apa kau mengaku bahwa kau muridku?”

Ditegur begitu oleh gurunya, Swi Hwa terkejut.
“Aku.... aku.... hanya mengaku sebagai wakil Suhu dalam pertemuan di lembah Huang-ho....“

“Itu memang atas kehendakku. Engkau kusuruh mewakili aku menghadiri pertemuan itu di sana. Akan tetapi tidak di tempat umum!”

“Suhu, maafkan, aku.... aku hanya mengakui nama dan nama Suhu di depan.... eh, Siluman Kecil ketika aku mengambil kitab-kitab Sin-siauw Sengjin.”

Gurunya menarik napas panjang.
“Engkau sungguh mencari penyakit. Nah, karena sudah terlanjur, bagaimana nanti sajalah, akibatnya kita hadapi bersama. Lanjutkan ceritamu.”

Setelah mulai menuturkan tentang sayembara itu, Swi Hwa tentu saja tidak dapat menutupi apa-apa lagi dan kata-kata pun mulai lancar keluar dari mulutnya. Dibukanya segala peristiwa itu kepada suhunya. Betapa dia terlibat dalam urusan perebutan Pangeran Yung Hwa yang ditawan oleh Gubernur Ho-nan, betapa dia terpukul oleh Siluman Kecil.

“Ah, engkau benar-benar sembrono sekali, muridku. Untung engkau tidak sampai terpukul mati oleh pendekar itu,” kata kakek itu dengan mata terbelalak, terheran-heran akan petualangan muridnya yang berani itu.

Swi Hwa lalu menceritakan bahwa perkelahian itu membuat dia tidak suka lagi tinggal di gubernuran, apalagi karena teman-temannya telah pergi, yaitu si gagu yang ternyata adalah kakak sendiri dari Siluman Kecil, Siauw Hong, Siluman Kecil dan seorang kakek gagah perkasa yang dia mendengar dari para pengawal adalah seorang tokoh bernama Sai-cu Kai-ong yang memimpin pasukan untuk menyelamatkan Pangeran Yung Hwa.

Mendengar nama ini, Hek-sin Touw-ong menjadi makin heran, matanya terbelalak dan dia berseru,

“Sai-cu Kaiong....? Ahhh.... betapa aneh dan kebetulan....!

”Apa maksudmu, Suhu?”

Gurunya menarik napas panjang.
“Tidak apa-apa, aku kenal dengan tua bangka itu, kelak engkau pun akan tahu sendiri. Teruskan, teruskan, ceritamu makin menarik”

“Setelah aku pergi meninggalkan gubernuran Ho-nan karena aku tidak ingin lagi melanjutkan sebagai pengawal gubernur, setelah terjadi peristiwa perebutan Pangeran Yung Hwa itu, aku bertemu dengan Jenderal Kao Liang yang sedang diserang oleh seorang wanita baju hijau yang lihai. Melihat jenderal yang sudah kudengar kegagahannya itu roboh, aku merasa kasihan dan aku lalu membantunya, kuserang wanita baju hijau yang lihai itu, Suhu.”

Gurunya mengangguk-angguk.
“Sekali ini kau benar, muridku. Pertama, karena engkau telah melakukan kesalahan terhadap jenderal itu dengan mencuri harta pusakanya, maka sudah selayaknya engkau menebusnya dengan membantunya, apalagi engkau belum mengenal wanita penyerangnya itu.”

“Akan tetapi dia lihai bukan main, Suhu! Pukulan Kiam-to Sin-ciang yang kupergunakan tidak merobohkannya....“

“Ah, ilmumu belum cukup tinggi untuk menggunakan Kiam-to Sin-ciang dengan sempurna.”

“Pada saat itu, muncul pula Siluman Kecil dan Siauw Hong. Mereka melerai, akan tetapi aku sudah terpukul oleh wanita baju hijau itu sehingga aku roboh pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi....”

”Ah, begitu hebat dia? Siapakah wanita itu?”

“Aku tidak tahu, Suhu. Usianya lebih tua dua tiga tahun daripada aku, pakaiannya serba hijau, wajahnya cantik dan sikapnya dingin. Pukulannya itu hebat bukan main, aku merasa betapa seluruh tubuhku seperti dimasuki salju yang dinginnya menyusup tulang sumsum dan menyerang rongga dada sehingga aku tidak kuat dan roboh tidak ingat apa-apa lagi.”

Kakek itu mengerutkan alisnya.
“Dingin....? Hemmm, tentu dia memiliki ilmu pukulan berdasarkan tenaga Im yang amat kuat. Lalu bagaimana, Swi Hwa? Kemudian apa yang terjadi denganmu?”

Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi merah sekali. Dia sudah kepalang, sudah menceritakan segala-galanya kepada gurunya, maka sukarlah untuk menyembunyikan peristiwa yang terjadi atas dirinya, apa yang dilakukan oleh Siauw Hong itu. Teringat akan ini tiba-tiba saja gadis itu merasa amat malu dan terhina, lalu menangis!

Tentu saja Hek-sin Touw-ong menjadi terkejut sekali. Dia memandang muridnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia bertanya,

“Apakah yang menimpa dirimu, muridku? Mengapa kau menangis?”

Suaranya mengandung kekhawatiran karena mendengar muridnya roboh pingsan lalu kini menangis itu, dia menyangka bahwa jangan-jangan terjadi hal yang buruk atas diri muridnya.

Swi Hwa menyusut air matanya dan setelah tangisnya mereda dan hatinya mulai tenang kembali, dia melanjutkan ceritanya,

“Pukulan itu membuat aku pingsan, Suhu. Aku tidak tahu apa-apa lagi. Ketika aku siuman kembali, aku telah berada di bawah pohon, di atas rumput terlentang dan.... dan....“

“Ya? Bagaimana?” Gurunya bertanya dengan tangan terkepal karena hatinya tegang menanti lanjutan cerita muridnya itu.

“Ketika aku siuman kembali, aku melihat dia duduk di dekatku dan.... tangannya diletakkan di atas dadaku, Suhu....“ Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

“Dia? Dia siapa?”

“Siauw Hong....“

“Keparat! Berani benar dia!” Kakek itu membentak marah.

“Suhu tentu mengerti betapa kaget dan malu rasanya hatiku. Tangannya itu meraba dadaku di balik bajuku.... maka aku lalu bangkit dan memukulnya sekuat tenaga sehingga dia terlempar dan mungkin dia mampus!”

“Bagus! Benar itu! Kalau dia belum mampus, biar aku yang akan mencarinya dan memukulnya sampai mampus benar-benar! Laki-laki keparat dia itu! Siapa sih Siauw Hong itu?”

“Dia adalah pemuda yang melakukan perjalanan bersama aku dan Siluman Kecil, yang juga memasuki sayembara dan diterima menjadi pengawal, akan tetapi ketika terjadi keributan perebutan Pangeran Yung Hwa, dia membantu Siluman Kecil.”

“Hemmm, jadi dia memiliki kepandaian juga, ya? Orang macam apa dia berani berbuat kurang ajar seperti itu?”

“Dia.... dia masih muda, mungkin tidak lebih tua daripada aku, Suhu, dan dia dikenal sebagai pangeran pengemis....“

“Pengemis??”

Gurunya makin penasaran. Anak angkatnya, muridnya yang tersayang itu diganggu oleh seorang pemuda pengemis?

“Ya, dia seorang pengemis aneh, dan ternyata kemudian bahwa dia adalah murid dari kakek pengemis aneh yang memimpin pasukan memperebutkan Pangeran Yung Hwa itu, Suhu.”

”Siapa? Murid siapa?” Muka kakek itu berubah.

Swi Hwa terkejut melihat perubahan muka gurunya.
“Dia murid Sai-cu Kai-ong....“

“Ahhhhh....! Ya Tuhan....!”

“Ada apakah, Suhu? Mengapa Suhu demikian kaget?”

Kakek itu masih terbelalak, kemudian dia memegang lengan gadis itu dengan cepat sehingga gadis itu menjadi kaget dan takut kalau-kalau gurunya marah. Belum pernah gurunya marah kepadanya, akan tetapi sikapnya sekarang benar-benar mengagetkan hatinya.

“Hayo katakan, apakah dia melakukan hal itu, meraba dadamu, untuk berbuat kurang ajar dan melanggar susila? Apakah dia berusaha.... memperkosamu?”

Kini Swi Hwa yang memandang dengan mata terbelalak.
“Memperkosa? Apa maksudmu, Suhu? Sama sekali tidak! Dia meraba dadaku untuk menyembuhkan aku, terasa olehku dia menyalurkan sinkang yang amat kuat dan mengusir hawa dingin akibat pukulan gadis pakaian hijau itu.”

“Ahhh....!” Kakek itu tertegun dan melongo. “Jadi dia malah menolongmu? Kalau dia menyelamatkanmu dengan mengobati lukamu, mengapa kau menghantamnya sampai.... mungkin dia mati?”

Wajah Swi Hwa menjadi merah dan dia menunduk.
“Habis.... habis dia.... meraba dadaku dan aku malu karena rahasiaku terbuka. Tadinya dia dan mereka semua mengira aku seorang pemuda sejati Suhu, aku selalu menyamar. Ketika aku melihat dia meraba dadaku, di balik baju, tentu saja aku merasa malu dan marah karena rahasiaku terbuka dan aku lalu memukulnya, kemudian aku melarikan diri, dan pulang ke sini”.

Kakek itu menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal.
“Ah, aku menjadi bingung, Swi Hwa. Sebentar aku marah, sebentar aku khawatir, dan kemudian aku terheran dan bingung lagi. Jadi pemuda yang mengobatimu dan juga yang berani meraba dadamu itu adalah murid Sai-cu Kai-ong?”

“Benar, Suhu.”

Kakek itu menarik napas panjang.
“Aaahhhhh.... kekuasaan Thian sungguh amat hebat dan luar biasa, penuh rahasia ajaib....“

“Maksud Suhu?”

“Swi Hwa, engkau adalah seorang gadis yang sudah cukup umur. Sudah menjadi kewajibanku sebagai guru dan ayah angkatmu untuk memikirkan perjodohanmu....“

“Ah, Suhu! Harap jangan bicara tentang itu!”

Swi Hwa berseru dan mukanya menjadi merah sekali. Dia teringat kepada Siluman Kecil, pemuda yang amat dikagumi itu, akan tetapi hatinya kecewa dan tawar kembali melihat betapa Siluman Kecil sama sekali tidak memperhatikannya, bahkan memusuhinya!

“Swi Hwa, hanya ada tiga peristiwa dalam kehidupan manusia yang kuanggap penting, bahkan yang diakui kepentingannya oleh semua orang, menjadi pusat perhatian dan didatangi sanak keluarga dan handai-taulan. Pertama adalah kelahiran, ke dua adalah pernikahan dan ke tiga kematian. Usiamu sudah hampir sembilan belas tahun, sudah cukup untuk memikirkan tentang jodoh. Dan setelah kau menceritakan tentang pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu, hemmm.... timbul pikiranku untuk menyelidikinya lebih jauh dan melihat kalau-kalau dia berjodoh denganmu.”

“Suhu....!”

“Swi Hwa, bagi seorang wanita terhormat dan bersusila, merupakan pantangan besar untuk membiarkan tubuhnya diraba oleh laki-laki, kecuali oleh suaminya tentu saja! Siapa berani merabanya berarti telah melakukan penghinaan dan hanya layak ditebus dengan nyawa. Oleh karena itu, pemuda bernama Siauw Hong yang telah meraba tubuhmu itu pun hanya mempunyai dua pilihan, pertama menjadi jodohmu atau ke dua dia harus dibunuh!”

“Tapi.... tapi.... dia telah menolongku, Suhu, dia telah mengobatiku.”

“Nah, itulah sebabnya mengapa aku pun hendak menyelidiki dia. Aku pun lebih condong untuk menjodohkan dia denganmu, apalagi mengingat bahwa dia adalah murid seorang seperti Sai-cu Kai-ong yang biarpun berkepala besar dan berhati baja, namun kurasa tentu dapat memilih seorang murid yang baik.”

“Akan tetapi, Suhu, aku belum....!”

“Ssshhhhh....!” gurunya memberi isyarat agar muridnya diam dan dia lalu meloncat ke luar dari kamar itu, diikuti oleh Swi Hwa yang juga mendengar suara ribut-ribut di luar rumah itu.

Ketika mereka tiba di luar rumah, mereka terkejut bukan main melihat para pelayan mereka telah menggeletak di sana-sini dalam keadaan tertotok, pingsan atau terluka! Pelayan-pelayan mereka adalah orang-orang yang cukup lihai, akan tetapi bagaimana dalam waktu singkat saja mereka roboh semua?

Hek-sin Touw-ong yang baru muncul itu tiba-tiba meloncat ke samping ketika dia melihat bayangan orang berkelebat dan sinar hijau menyambarnya. Dia mengelak dan memandang. Ternyata yang menyerangnya adalah seorang wanita cantik yang pesolek, dari pakaiannya tersebar bau semerbak harum dan pedangnya yang bersinar hijau itu lihai sekali. Segera dia mengenal wanita ini dan dia berseru marah,

“Mauw Siauw Mo-li, mau apa kau? Berani benar kau mengacau di tempatku?”

“Tek Hoat, cepat....!”

Mauw Siauw Mo-li sudah berseru dan tanpa mempedulikan pertanyaan Hek-sin Touw-ong, dia sudah menerjang lagi dan mengirim serangan-serangan kilat kepada lawannya.

Hek-sin Touw-ong adalah seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi karena dia maklum bahwa adik seperguruan Hek-tiauw Lo-mo ini adalah seorang yang amat lihai maka dia tidak berani sembrono menyambut serangan pedang itu, melainkan mengelak lagi dan mulai membalas dengan tendangan kilat yang dapat dielakkan pula oleh wanita itu.

Sementara itu, Tek Hoat yang datang bersama Mauw Siauw Mo-li, sudah berkelebat ke sebelah dalam rumah. Dia melihat bayangan merah berkelebat dan di dalam keadaan remang-remang itu dia mengira bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi. Bukan main girang rasa hatinya.

“Syanti Dewi....!” Dia berseru dan meloncat menghampiri, hendak memeluk dara itu.