FB

FB


Ads

Senin, 25 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 074

Bajak laut itu terdiri dari tiga puluh orang lebih, dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang disebut twa-ong dan ji-ong sebagai ketua atau raja pertama dan ke dua. Mereka itu bernama Ma Khong dan Ma Ti Lok, dua orang kakak beradik yang bertubuh tinggi besar, kokoh kuat, dan memiliki ilmu golok yang cukup hebat sehingga mereka sejak belasan tahun telah terkenal sebagai kepala-kepala bajak yang ditakuti dan disegani.

Kini mereka hanya mau membajak kapal-kapal asing, tidak mau mengganggu perahu-perahu nelayan dan pedagang pedalaman karena mereka tidak berani menghadapi hukuman pemerintah. Akan tetapi, hal ini malah menguntungkan mereka karena para pedagang dan nelayan tidak segan-segan untuk “membagi hasil keuntungan” kepada mereka asal para bajak itu tidak mengganggu pekerjaan mereka itu.

Ketika melihat munculnya Hong Kui, Ma Khong dan Ma Ti Lok menjadi gembira bukan main, demikian pula para anak buah mereka. Tek Hoat dapat mudah saja menduga bahwa di antara Hong Kui dan dua orang kakak beradik yang gagah dan cukup tampan itu tentu terdapat hubungan gelap, dan juga dengan banyak anak buah mereka termasuk orang she Kwa tadi.

Dugaan itu memang benar. Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang gila laki-laki, seorang wanita yang diperhamba oleh nafsu berahinya sehingga menjadi tidak normal lagi. Dia merasa tersiksa kalau terlalu lama tidak ditemani pria, maka ketika dia melakukan perjalanan bersama Tek Hoat yang tidak mau melayaninya, dia merasa amat tersiksa.

Dan wanita yang seperti iblis betina ini memiliki kebiasaan yang mengerikan pula, yaitu dia akan membunuh setiap orang pria yang sudah memuaskannya semalam suntuk, yaitu pria yang asing baginya karena dia tidak mau kalau pria itu akan menceritakan semua pengalamannya dan membuat namanya sebagai seorang wanita tercemar.

Akan tetapi, tentu saja dia tidak akan membunuh pria-pria yang menjadi sahabatnya, yang akan merahasiakan dan menjaga namanya seperti para bajak yang telah menjadi teman-temannya sejak belasan tahun yang lalu ini.

Ada pula yang dibunuhnya secara tidak sengaja, yaitu kalau dia bertemu dengan seorang pria yang benar-benar memuaskan hatinya dan amat menyenangkannya sehingga dia akan terus merayu pria ini, dan memaksanya bermain cinta sampai pria itu tewas! Dan dengan ilmunya yang luar biasa, Siluman Kucing ini bisa saja memaksa pria melayani dan memuaskan nafsunya yang tak kunjung padam itu sampai pria itu mati.

Ketika Hong Kui memperkenalkan Ang Tek Hoat sebagai Si Jari Maut, dua orang kepala bajak itu bersikap hormat kepada pemuda ini. Mereka lalu mengadakan pesta perjamuan untuk menyambut kedatangan Hong Kui dan Tek Hoat. Mereka makan minum dengan gembira dan beberapa kali Tek Hoat memberi isyarat kepada Hong Kui untuk cepat menceritakan maksud kedatangan mereka. Akan tetapi Hong Kui akhirnya berbisik kepadanya,

“Tidak perlu tergesa-gesa, nanti setelah makan minum selesai.”

Tek Hoat merasa mendongkol, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat memaksa. Setelah ruangan itu dibersihkan dan mereka duduk mengobrol, barulah Hong Kui berkata kepada dua orang kepala bajak itu,

“Twa-ong dan Ji-ong, sebetulnya kedatangan kami ini selain terdorong oleh rasa rindu hatiku terhadap semua teman di sini, juga kami bermaksud minta bantuanmu untuk urusan sahabatku Si Jari Maut ini, urusan yang amat penting.”

Ma Khong dan Ma Ti Lok memandang kepada Tek Hoat penuh perhatian. Pemuda sakti ini pun balas memandang mereka. Ma Khong adalah seorang laki-laki yang tinggi besar dan agak pendek, usianya kurang lebih empat puluh tahun, matanya lebar dan kumisnya lebat.

Adiknya, Ma Ti Lok, berusia tiga puluh lima tahun, tubuhnya kekar dan jangkung, mukanya bersih tidak ada brewoknya karena tercukur rapi, rambutnya panjang dan hitam dijalin menjadi kuncir besar. Seperti juga kakaknya, tubuhnya berotot dan nampaknya kuat sekali.

Di lain fihak, dua orang kepala bajak itu memandang Tek Hoat dengan ragu-ragu, karena mereka merasa sukar untuk percaya apakah pemuda yang kelihatan amat muda dan lemah ini benar-benar Si Jari Maut yang demikian menggemparkan? Tentu saja mereka bukan tidak percaya bahwa mungkin saja seorang pemuda yang kelihatan lemah memiliki kepandaian hebat, karena mereka tahu bahwa Lauw Hong Kui, seorang wanita yang cantik jelita itu pun kepandaiannya hebat bukan main, jauh melebihi kepandaian mereka sendiri.

“Urusan apakah itu, Lihiap?” tanya Ma Khong akhirnya sambil memandang wanita itu.

“Ketahuilah, Ang-taihiap ini mempunyai seorang sahabat baik, seorang wanita yang terculik dan karena penculiknya membawanya ke daerah Po-hai, maka kami minta bantuan kalian untuk merampas kembali sahabat Ang-taihiap ini.”

Dua orang kepala bajak itu saling pandang, lalu tersenyum lebar dan berkatalah Ma Khong.
“Ahhh, itu urusan kecil sekali, Lihiap. Tentu saja kami mau membantu. Siapakah penculik itu yang berani mati sekali, berani mengganggu sahabat Si Jari Maut, padahal ada Lihiap pula di samping Si Jari Maut?”

“Jangan bilang bahwa urusan ini kecil, Twa-ong, sebelum kalian mengetahui siapa penculik itu.”

“Siapakah dia?” tiba-tiba Ma Ti Lok bertanya sambil memandang tajam penuh selidik.

“Kalau orang biasa, agaknya kami tidak perlu minta bantuan kalian. Menurut dugaanku, penculik itu bukan lain adalah Hek-sin Touw-ong....“

“Ahhhhh....!” Dua orang Saudara Ma itu melonjak kaget dan bangkit berdiri dari bangku mereka dan muka mereka berubah pucat. “Tidak mungkin....!”

“Apanya yang tidak mungkin? Dia yang menculik ataukah kalian yang membantu kami?” tanya Lauw Hong Kui.






“Kedua-duanya....!” kata Ma Khong yang sudah duduk kembali dan dia belum pulih kembali ketenangannya karena dia bersama adiknya benar-benar terkejut mendengar disebutnya nama Hek-sin Touw-ong Itu. “Yang pertama, tidak mungkin Touw-ong sudi melakukan penculikan terhadap seorang wanita, dan ke duanya, andaikata benar dia yang melakukannya, tidak mungkin bagi kami untuk mencampurinya. Kami selamanya tidak pernah dan tidak akan mencampuri urusan Touw-ongya karena locianpwe itu pun tidak pernah mengganggu kami.” Jelas bahwa Ma Khong kelihatan jerih sekali terhadap nama itu
.
“Kalian tidak tahu siapa wanita yang diculiknya itu, Twa-ong dan Ji-ong. Dengarlah, wanita yang diculiknya itu, sahabat dari Ang-taihiap ini, adalah seorang puteri dari Kerajaan Bhutan, bukan sembarang wanita belaka. Baru-baru ini, puteri itu terjatuh ke tangan ketua Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Lu-liangsan, tempat yang amat kuat seperti benteng dan Liong-sim-pamg dipimpin orang-orang pandai dan mempunyai banyak sekali anak buah. Namun, seorang kakek mampu menculiknya dari ternpat itu dan jejaknya menuju ke pantai Po-hai. Siapa lagi kalau bukan Hek-sin Touw-ong yang melakukan penculikan itu?”

Mendengar ini, dua orang kepala bajak itu saling pandang dan mengerutkan alis, berpikir keras.
“Agaknya tidak mungkin Touw-ong yang melakukan penculikan,” kata Ma Ti Lok. “Biarpun Touw-ongya dan puterinya berilmu tinggi dan tentu saja bukan merupakan pantangan bagi mereka untuk mencuri apa saja yang mereka sukai, akan tetapi agaknya tidak masuk di akal kalau Touw-ongya menculik wanita, biarpun Wanita itu seorang puteri kerajaan sekalipun!”

“Benar,” kata pula Ma Khong. “Agaknya bukan dia....”

“Habis siapa lagi kalau bukan dia? Hanya dia seorang saja kakek berilmu tinggi yang berada di pantai Po-hai,” kata Hong Kui.

“Ah, bukan hanya dia,” kata Ma Khong. “Ada seorang lagi dan kurasa dia inilah yang melakukan penculikan. Ya benar, tidak salah lagi. Tentu kakek aneh itu yang bertapa di tepi pantai sebelah ujung utara, di tempat yang sukar didatangi orang, yaitu di Gua Tengkorak.”

“Hemm, siapa dia?” tanya Hong Kui.

“Seorang kakek tua renta yang kabarnya aneh dan lihai bukan main, bahkan orang-orang pernah melihat dia menghilang seperti setan, dan.... berjalan di atas air!”

“Bohong....!” kata Hong Kui.

“Mungkin bohong mereka itu, akan tetapi jelas bahwa kakek itu amat lihai, mungkin juga pandai bermain sihir, dan karena kami pun tidak mengenal benar siapa dia dan orang macam apa adanya dia, maka besar kemungkinan dialah yang melakukan penculikan,” kata Ma Khong.

“Kalian berdua tentu suka membantu kami, bukan? Kumaksudkan, membantu aku!” tanya Hong Kui sambil mengerling tajam.

“Tentu.... tentu....!” Mereka berdua menjawab serentak.

“Kalau begitu, harap kalian membawa anak buah dan mengantar kami mencari kakek aneh di Gua Tengkorak itu untuk menyelidiki.”

“Baik,” jawab mereka.

“Dan kalau kemudian ternyata bahwa bukan kakek aneh itu yang menculik Puteri Bhutan, kalian harus membantu kami menyelidiki keadaan Hek-sin Touw-ong.”

“Akan tetapi.... ini.... ini....”

Ma Khong dan Ma Ti Lok menjawab penuh keraguan dan jelas membayangkan perasaan takut-takut.

“Kalian tidak mau membantu aku?” Hong Kui mendesak dan kini senyumnya menantang.

“Kami tentu saja mau membantu Lihiap!” tiba-tiba Ma Ti Lok berkata.

“Benar, kami suka membantu Lihiap, dan harap Lihiap suka menghargai bantuan kami ini yang sesungguhnya kami lakukan dengan nekat demi rasa sayang kami kepada Lihiap. Sungquh kami tidak berani main-main terhadap Touw-ong, akan tetapi demi Lihiap.... kami mau melakukan segalanya, asal Lihiap tidak melupakan kami dan malam ini....“

Lauw Hong Kui tertawa.
“Hi-hik, kalian sungguh bodoh! Pernahkah aku Lauw Hong Kui melupakan kebaikan orang? Kalian adalah sahabat-sahabatku yang baik, dan aku sudah rindu kepada kalian. Akan tetapi nanti kalau urusan ini sudah selesai dengan baik, tunggu saja dan lihatlah betapa aku adalah seorang yang tahu terima kasih, yang mengenal budi dan kutanggung kalian berdua tidak akan menyesal telah membantu aku. Akan tetapi nanti kalau sudah berhasil, karena malam ini.... hemmm, aku ingin dilayani oleh dia itu.”

Tiba-tiba Lauw Hong Kui menuding ke arah seorang pelayan pria yang sejak tadi memang menarik perhatiannya.

Tek Hoat ikut memandang bersama dua orang kepala bajak itu. Pria yang ditunjuk oleh Lauw Hong Kui itu adalah seorang pria muda, usianya paling banyak enam belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan wajahnya tidak tampan namun gagah dan membayangkan kejantanan. Dia berpakaian sederhana sebagai seorang pelayan, namun kesederhanaan pakaiannya itu tidak menyembunyikan tubuhnya yang mulai dewasa, kekar dan kuat.

Sepasang matanya lembut dan sejak tadi dia memandang kepada Lauw Hong Kui penuh kekaguman karena sudah banyak dia mendengar dari kawan-kawannya di tempat itu tentang kehebatan wanita ini, hebat ilmu silatnya, hebat pula kepandaiannya merayu pria.

“Ah, si A-cun itu? Dia seorang yang baru di sini, baru belajar. Belum ada dua tahun dia ikut kami...., eh, dia masih bodoh dan hijau....“

“Hi-hik, justeru kebodohan dan kehijauannya itu menarik hatiku dan malam ini dia akan melayani aku. Adapun kalian berdua, tunggu sampai selesai urusan yang kalian bantu, tentu kalian akan mendapatkan bagian sepenuhnya.” Wanita itu lalu bangkit berdiri, menoleh kepada Tek Hoat dan berkata, “Tek Hoat, kau bercakap-cakaplah dulu dengan mereka, aku akan pergi dan mengaso.” Dia lalu menghampiri pemuda pelayan yang di sebut A-cun tadi, menggandeng tangannya dan berkata, “Marilah, kau tunjukkan aku di mana bagian-bagian yang paling indah di daerah ini.”

Pelayan muda itu memandang dengan mata terbelalak, kelihatan bingung dan gugup, akan tetapi dia tidak membantah ketika ditarik dan diajak pergi oleh Hong Kui, diikuti suara ketawa dua orang kepala bajak itu yang memandang dengan mata mengandung iri.

Malam itu, Tek Hoat rebah di atas pembaringan dalam kamar tamu dengan hati gelisah memikirkan Syanti Dewi. Benarkah kakek yang aneh seperti setan itu yang menculik kekasihnya? Ataukah si Raja Maling? Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya ketika dia membayangkan keadaan Syanti Dewi yang menderita bermacam kesengsaraan. Melakukan perjalanan jauh dari Bhutan, mungkin menyusulnya, dan tiba di tangan orang-orang jahat, bahkan hampir dikawin oleh Hwa-i-kongcu secara paksa dan kini entah berada di tangan siapa dan di mana dan bagaimana keadaannya.

Semua ini terjadi karena ibunya yang muncul di Bhutan! Ah, dia tidak akan menyalahkan ibunya yang telah meninggal. Ibunya yang meninggal dalam keadaan demikian menyedihkan, terbunuh oleh orang dan sampai kini pun dia belum berhasil memecahkan rahasia pembunuhan terhadap ibunya itu. Dia terpaksa menunda penyelidikannya ketika muncul persoalan Syanti Dewi. Dia harus lebih dulu menyelamatkan kekasihnya itu, baru dia akan melanjutkan usahanya mencari pembunuh ibunya

Malam itu sunyi sekali di hutan itu. Akan tetapi bagi para anggauta bajak yang beringas di malam hari itu dan mengadakan penjagaan di sekitar sarang mereka, kadang-kadang mereka itu mendengar suara yang aneh, suara seperti rintihan seekor kucing, yang terdengar jauh di luar hutan itu.

Mereka hanya saling berbisik-bisik dan tertawa, akan tetapi tidak berani mendekati tempat dari mana suara itu terdengar, karena mereka maklum bahwa itulah suara Siluman Kucing yang sedang mempermainkan korbannya, yaitu A-cun yang masih muda remaja itu.

Baru pada keesokan harinya, setelah mereka melihat Mauw Siauw Mo-li dengan wajah berseri dan segar, rambut kusut dan bibir tersenyum datang menggandeng A-cun, mereka para penjaga itu, atas isyarat wanita itu, menghampiri dan mereka memapah A-cun yang keadaannya payah, hampir pingsan, pucat dan seperti orang mabuk itu. Mereka cepat menggotong pemuda remaja itu ke kamarnya dan membiarkan pemuda remaja itu tidur setelah memaksa pemuda itu minum obat yang diberikan Mauw Siauw Mo-li.

Tek Hoat yang mendengar akan hal ini sama sekali tidak mengambil peduli. Begitu dia terbangun dan membersihkan badan, dia lalu mencari dua orang kepala bajak itu dan bertanya tentang usaha mereka menyelidiki ke Gua Tengkorak.

Ternyata Hong Kui sudah siap pula bersama dua orang kepala bajak. Biarpun semalam suntuk tidak tidur, wanita itu kelihatan segar dan wajahnya berseri, bibirnya tersenyum, dan hanya mukanya agak pucat. Dia telah memperoleh kepuasan setelah berhari-hari melakukan perjalanan bersama Tek Hoat, setelah banyak malam dilewatkan dengan gelisah sendirian tanpa kawan, dan ternyata pemuda remaja anak buah bajak itu bukan hanya memenuhi harapannya, bahkan melampaui yang diharapkannya sehingga dia merasa gembira dan puas.

Mereka melakukan perjalanan berempat dan agar dapat melakukan perjalanan cepat, Ma Khong dan Ma Ti Lok mengajak mereka naik perahu dan menyusuri tepi pantai menuju ke utara. Ketika perahu itu melewati tebing yang amat tinggi, Ma Khong menuding ke atas tebing dan berkata,

“Disanalah tempat tinggal Hek-sin Touw-ong. Tidak kelihatan dari sini, di atas tebing itu terdapat sebuah rumah gedung yang menjadi tempat tinggalnya. Terus terang saja, kami sendiri belum pernah pergi ke tempat itu. Siapa pula orangnya yang berani mendekati tempat tinggal Touw-ongya? Mudah-mudahan saja dugaan kami benar bahwa kakek aneh di ujung pantai itu yang menculik Puteri Bhutan itu sehingga kita tidak perlu mendatangi Touw-ong.”

Setelah hari menjadi sore, baru mereka mendarat di ujung utara dari pantai teluk itu dan mereka menuju ke daerah yang penuh dengan batu dan gua, daerah yang merupakan tebing dan pegunungan batu kapur. Tak lama kemudian, tibalah mereka di depan sebuah gua yang bentuknya memang seperti tengkorak manusia, gua yang menyeramkan.

Akan tetapi sunyi saja di tempat itu dan ketika mereka memasukinya, mereka mendapatkan gua itu kosong. Memang ada tanda-tanda bahwa gua itu pernah ditinggali manusia, bahkan agaknya belum lama penghuninya meninggalkan tempat itu.

Mereka memeriksa Gua Tengkorak itu dan tiba-tiba Tek Hoat berdiri termenung di depan dinding gua sebelah kiri, memandang dan membaca tulisan yang diukir dengan indahnya di dinding batu itu.

Dia melihat guratan-guratan huruf kecil-kecil itu dengan teliti dan diam-diam dia merasa kagum karena dari bekasnya dia dapat menduga bahwa orang itu menggurat-guratkan jari tangannya untuk menuliskan huruf-huruf itu! Dia membaca dengan hati tertarik.

“Sayang, sungguh sayang
belum pernah aku bertemu seseorang yang setelah melihat kesalahan sendiri!
Lalu benar-benar menyesalkan kesalahannya itu
dan benar-benar memperbaiki dirinya sendiri!”

Tek Hoat membaca tulisan itu berkali-kali dan termenung. Dia merasa seperti pernah mendengar kata-kata itu, akan tetapi karena pelajarannya tentang sastra memang tidak begitu mendalam, maka dia lupa lagi di mana dan bilamana.

“Hi-hik, orang tolol yang menuliskan itu. Mana di dunia ini ada orang yang mampu melihat kesalahan sendiri?”

Akan tetapi Tek Hoat tidak mempedulikan ejekan Mauw Siauw Mo-li itu dan dia termenung. Keluhan orang yang menuliskan kata-kata di dinding batu itu memang merupakan kenyataan. Adalah mudah melihat kesalahan sendiri, akan tetapi sukarlah untuk memperbaiki diri sendiri sungguhpun dari penglihatan itu selalu timbul penyesalan.

Sesungguhnya, tulisan itu adalah petikan dari ujar-ujar dalam kitab Lun Gi bagian ke lima dan pasal ke dua puluh tujuh, ujar-ujar dari Nabi Khong Cu dan kata-kata itu berasal dari Nabi Khong Cu sendiri. Memang sudah menjadi kebiasaan kita untuk merasa menyesal setelah kita melihat kesalahan sendiri.

Akan tetapi, biasanya penyesalan itu bukan datang karena benar-benar kita menyadari akan kesalahan sendiri, melainkan penyesalan yang timbul karena akibat buruk yang timbul karena kesalahan perbuatan kita itu! Jadi, sama sekali bukan penyesalan akan perbuatan kita yang salah, melainkan penyesalan karena kita dirugikan oleh perbuatan itu sebagai akibatnya.

Misalnya, kita melakukan perbuatan yang salah, yaitu mencuri. Akibatnya, kita tertangkap dan dihukum. Menyesallah kita, akan tetapi penyesalan ini timbul karena JATUHNYA HUKUMAN itulah atas diri kita. Oleh karena keadaan seperti inilah maka di lain kesempatan, kita dapat saja mengulangi perbuatan itu asal saja tidak terlihat ancaman hukumannya.

Itulah sebabnya maka Nabi Khong Cu tidak pernah melihat orang yang melihat kesalahan sendiri lalu benar-benar menyesalkan perbuatannya dan benar-benar memperbaiki dirinya sendiri. Perbaikan diri sendiri yang dimaksudkan TIDAK MENGULANGI lagi perbuatannya yang salah itu.

Mempelajari atau menghafal ayat-ayat suci saja sesungguhnya tidak ada artinya sama sekali bagi jalannya kehidupan. Yang penting adalah menyelami sedalam-dalamnya segala hal yang berhubungan dengan kahidupan kita. Kalau kita melakukan suatu kesalahan tidak hanya cukup untuk disesalkan saja, melainkan kita hadapi secara menyeluruh, kita selidiki diri kita sendiri mengapa kita melakukan kesalahan itu, apa yang mendorongnya dan apa yang menimbulkan terjadinya hal itu. Kalau kita selalu waspada akan gerak-gerik diri sendiri setiap saat, maka akan timbul kesadaran yang menyeluruh, bukan kesadaran sepintas lalu yang didapat dari membaca ayat.

Kesadaran membaca ayat hanya terbatas pada saat membaca ayat itu saja, untuk kemudian dilupakan lagi sehingga di waktu kita memikirkan atau melakukan sesuatu menurut pikiran, ayat-ayat itu sama sekali terpendam dan terlupa. Dan biasanya, ayat-ayat itu yang kesemuanya amat muluk-muluk dan baik, hanya teringat oleh kita kalau kita ingin menasihati orang lain saja, sebaliknya sama sekali terlupa kalau kita melakukan segala sesuatu dalam kehidupan kita sehari-hari.

Ayat-ayat itu seperti nyanyian-nyanyian merdu yang hanya mampu menggerakkan hati nurani kita pada saat kita mendengarnya atau membacanya, dan apakah artinya itu bagi kehidupan kita kalau hanya dinikmati sepintas lalu saja tanpa adanya PENGHAYATAN DALAM HIDUP?

Mengetrapkan ayat-ayat suci di dalam kehidupan sehari-hari pun hanya merupakan kepalsuan yang dipaksa-paksakan belaka, mungkin dengan tujuan agar kita dipuji, agar kita menjadi orang baik dan sebaiknya.

Kebaikan tidak mungkin dilatih, karena kalau kebaikan itu muncul karena dilatih, maka dia bukan kebaikan lagi melainkan kepalsuan. Kebaikan adalah kewajaran, tidak dilatih tidak dibuat-buat, tidak mencontoh ini atau itu, melainkan keadaan bebas dari kekotoran. Kalau kebusukan-kebusukan sudah tidak ada maka muncullah kebaikan, seperti kalau awan-awan gelap sudah sirna maka nampaklah sinar matahari. Melatih kebaikan hanya akan menciptakan manusia-manusia munafik.

Yang penting, mengenal diri sendiri lahir batin, mengenal kekotoran-kekotoran dan kebusukan-kebusukan diri sendiri dengan mengamatinya setiap saat, dengan waspada setiap saat akan segala gerak-gerik lahir batin diri sendiri.

Pengamatan seperti ini adalah tanpa pamrih sama sekali, tanpa pengejaran akan sesuatu, tanpa ingin menjadi baik, tanpa adanya aku yang berpamrih, tanpa adanya aku yang mengejar dan menginginkan apa pun. Yang ada hanya batin mengamati diri sendiri, gerak-geriknya setiap saat yang menimbulkan segala macam perbuatan, tanpa ada keinginan mengubah, memperbaiki, mengendalikan, dan keinginan-keinginan ini tentu tidak ada kalau YANG MENGAMATI tidak ada pula!.

Sampai lama mereka berempat memeriksa keadaan di dalam gua tengkorak, akan tetapi tetap saja mereka tidak menemukan sesuatu. Tidak ada bekas-bekas yang menunjukkan bahwa Syanti Dewi pernah berada di dalam gua itu.

“Jelas bahwa bukan penghuni gua ini yang menculiknya. Tentu Hek-sin Touw-ong!” kata Tek Hoat.

“Kalau begitu kita akan menyelidiki ke rumah Raja Maling itu,” kata Mauw Siauw Mo-li.

Dua orang Saudara Ma itu kelihatan gentar.
“Kalau begitu kita sebaiknya pulang dulu, kami akan mengerahkan anak buah kami.”

“Tidak perlu,” kata Tek Hoat sambil mengerutkan alisnya. “Kita berempat sudah cukup. Kalian hanya menunjukkan saja jalan menuju ke gedung itu, setelah bertemu dengan Hek-sin Touw-ong, serahkan saja kepadaku untuk menghadapinya.”

“Tapi.... tapi dia amat sakti, dan puterinya juga amat lihai. Kami.... kami tidak berani. Kalau engkau gagal, Taihiap, kami pun tentu akan celaka.”

“Jangan takut, Twa-ong. Ang-taihiap cukup kuat untuk menghadapi Touw-ong, dan selain itu ada aku di sini, bukan?” kata Hong Kui.

Karena takut kepada wanita itu, akhirnya dua orang itu terpaksa menurut. Malam itu mereka bermalam di dalam gua tengkorak.

Hong Kui tidak mempedulikan dua orang kepala bajak yang membuat api unggun di dalam gua itu. Dia mendekati Tek Hoat dan berusaha merayu pemuda ini. Akan tetapi Tek Hoat menjadi merah mukanya dan marah. Hampir saja dia memukul wanita tak tahu malu itu dan akhirnya dia keluar, lebih suka tidur di luar gua yang dingin daripada di dalam gua di mana dia harus menghadapi godaan Hong Kui yang amat mengganggunya.

Tak lama kemudian dia mendengar suara dua orang kepala bajak itu tertawa-tawa, dan menjelang tengah malam, dia mendengar rintihan suara kucing itu yang amat memuakkan hatinya. Dia pergi menjauh dari gua, tidur di antara batu-batu karang, menerawang ke langit yang penuh bintang dan mengenangkan semua kehidupannya yang telah lalu.

Timbul perasaan malu di dalam hatinya. Teringat akan tulisan di dinding batu, kini dia melihat betapa dia telah memenuhi kehidupan yang lalu dengan segala hal yang amat memalukan dan jahat. Betapa dia dapat mengubah itu semua setelah dia bertemu dengan Syanti Dewi, bahkan di Bhutan dia telah menjadi seorang terhormat, sebagai panglima dan calon suami Syanti Dewi.

Cinta kasihnya terhadap Syanti Dewi selain membuat dia hidup bahagia, Juga membuat dia hidup bersih, Jauh dari pikiran kotor sama sekali. Bahkan dia mulai menganggap dirinya berharga dan patut menjadi cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es dan menjadi calon suami Syanti Dewi yang berbudi mulia.

Akan tetapi terjadi perubahan. Dia terusir dengan cara yang amat merendahkan dari Bhutan. Dia meninggalkan Syanti Dewi dan kebahagiaannya hancur, kehidupannya hancur dan hatinya juga remuk-redam. Dia menjadi tidak peduli akan kehidupannya, apalagi setelah melihat ibunya terbunuh. Dia tidak peduli lagi apakah dia hidup melalui jalan kotor atau bersih. Dia tidak peduli!

Akan tetapi sekarang, kembali dia terombang-ambing antara kehancuran hidupnya dan pertemuannya kembali dengan Syanti Dewi. Bagaimana kalau bertemu kembali? Apakah dia masih berharga untuk puteri itu? Apakah puteri itu dapat mencintanya? Dia mulai merasa menyesal! Penyesalan yang timbul karena kekhawatirannya akan kehilangan Syanti Dewi lagi! Dia telah melalui jalan kotor dan sesat!

Dengan hati gelisah, akhirnya dia dapat pulas juga dan lapat-lapat seperti dalam mimpi dia mendengar rintihan suara kucing itu yang amat dibencinya. Dia sudah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya diseret ke dalam lumpur kehinaan oleh Mauw Siauw Mo-li! Dia harus membuktikan bahwa dirinya masih berharga untuk mencinta Syanti Dewi!

**** 074 ****