FB

FB


Ads

Senin, 25 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 073

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Ang Tek Hoat sehingga tentu banyak pula yang bertanya-tanya apa jadinya dengan tokoh yang hidupnya diombang-ambingkan oleh keadaan yang selalu berubah-ubah itu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ang Tek Hoat yang patah hati dan dirundung kecewa, penasaran dan berduka itu seolah-olah menjadi tidak peduli lagi akan hidupnya, tidak peduli lagi apakah yang dia lakukan dalam hidup selanjutnya itu benar atau salah. Dia dipaksa berpisah dari kekasihnya di Bhutan, kemudian kehancuran dan kepatahan hati ini ditambah lagi oleh pukulan amat hebat, yaitu kematian ibunya yang belum juga dapat dia ketahui siapa pembunuhnya.

Rasa kecewa dan duka ini membuat dia mudah terseret ke dalam pergaulan yang tidak benar sehingga dia tidak ragu-ragu untuk membantu orang-orang dari golongan sesat, bahkan dia telah membantu Hek-eng-pangcu Yang-liu Nionio untuk menyerbu dan mencoba membasmi perkumpulan Kwi-liong-pang yang menjadi musuh Hek-eng-pang.

Dan dalam usaha inilah maka dia bertemu dan terpaksa bekerja sama dengan guru ketua Hek-eng-pang ini, yaitu Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, Siluman Kucing yang amat lihai namun jahat seperti iblis betina di balik wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang menggairahkan biar pun usianya sudah mendekati empat puluh tahun.

Tek Hoat tidak peduli lagi apa yang diperbuatnya itu, karena dia pun tidak mengenal Kwi-Liong-pang dan tidak mau tahu akan permusuhan antara dua perkumpulan itu. Kalau dia membantu Hek-eng-pang adalah karena dia mempunyai kepentingannya sendiri, yaitu hendak minta bantuan Hek-eng-pang yang terdiri dari perkumpulan wanita untuk merampas kembali Syanti Dewi yang dia dengar terjatuh ke tangan Liong-sim-pang di puncak Naga Api.

Seperti telah kita ketahui, usahanya yang dibantu oleh Hek-eng-pang itu gagal sama sekali. Syanti Dewi lenyap entah ke mana diculik oleh orang lain dari tangan Hwa-i-kongcu, ketua Liong-sim-pang.

Ketika dia hendak meninggalkan Hek-eng-pang, dia terbujuk oleh Mauw Siauw Mo-li untuk mengadakan perjalanan bersama mencari Syanti Dewi. Karena Siluman Kucing itu mengatakan bahwa dia mungkin mengetahui jejak Syanti Dewi yang lenyap, terpaksa Tek Hoat mau melakukan perjalanan bersama wanita iblis yang cantik itu, tidak tahu bahwa wanita itu tentu saja bukan sekali-kali ingin membantunya mendapatkan kembali Syanti Dewi, melainkan karena merasa tertarik oleh ketampanannya, kemudaannya, dan kegagahannya!

Memang Siluman Kucing itu tidak membohong ketika dia mengatakan bahwa dia melihat wanita yang bertanya-tanya tentang seorang dara cantik yang dibawa dengan paksa oleh seseorang. Wanita muda yang bertanya-tanya itu adalah Siang In. Maka dia pun mengajak Tek Hoat untuk mengikuti jejak Siang In. Namun, penyelidikannya tidak berhasil dan hanya karena kecerdikan dan kepandaian Mauw Siauw Mo-li dalam pembicaraan saja maka Tek Hoat masih percaya kepadanya dan tetap melanjutkan perjalanannya bersama wanita cantik ini.

Akan tetapi, akhirnya dia mulai merasa curiga karena sampai berhari-hari mereka berdua melakukan perjalanan, belum juga mereka berdua berhasil menemukan jejak Syanti Dewi yang hilang. Yang jelas adalah sikap Mauw Siauw Mo-li yang selalu ingin menarik perhatiannya dan yang selalu membujuknya dengan sikap dan kata-katanya untuk bermain cinta!

Pengalaman mereka dalam rumah makan melawan lima orang kasar itu pun jelas merupakan siasat Mauw Siauw Mo-li untuk menjebak Tek Hoat dalam umpan dan pancingannya agar pemuda itu bangkit birahinya dan mau melayani hasrat nafsunya untuk bermain cinta.

Akan tetapi sekali ini, Mauw Siauw Mo-li kecewa. Dahulu, lima enam tahun yang lalu, dia pernah berhasil memikat dan menjatuhkan hati seorang pendekar muda putera majikan Pulau Es, yaitu Suma Kian Bu. Hal itu terjadi bukan hanya karena Mauw Siauw Mo-li ketika itu masih belum tua benar dan lebih cantik menarik, melainkan semata-mata karena Kian Bu merupakan seorang pemuda yang berwatak romantis dan masih hijau dan bodoh sehingga dia seperti seekor lebah, terpikat dan melekat dalam perangkap penuh madu.

Akan tetapi Tek Hoat lain lagi. Dia memang masih muda, akan tetapi pemuda ini pernah terjerumus ke dalam dunia sesat, sudah banyak pengalaman dalam hal permainan cinta dan semenjak dia jatuh hati kepada Syanti Dewi, pemuda ini tahu benar bahwa semua permainan cinta itu hanyalah pemuasan nafsu belaka yang makin dituruti makin haus dan menghendaki lebih.

Dia dapat membedakan antara cinta kasihnya yang murni dan bersih terhadap Syanti Dewi dan ‘cinta’ yang bergelimang nafsu birahi dengan wanita wanita lain, maka dia pun segera mengenal cinta kasih macam itu yang terkandung dalam hati Mauw Siauw Mo-li terhadap dirinya. Karena itu, dia selalu menghindarkan diri dan setiap kali darah mudanya bergelora oleh rayuan yang lihai dari wanita matang itu, dia menggunakan kekerasan hatinya untuk menekan nafsu birahinya.

Telah diceritakan betapa semenjak peristiwa di rumah makan itu, sikap Tek Hoat lebih hati-hati lagi dan dia mulai menaruh kecurigaan, tetapi karena dia sudah mendengar berita tentang Syanti Dewi, dia mempertahankan perasaannya dan bersama Lauw Hong Kui, yaitu si Siluman Kucing, berangkatlah dia menuju ke pantai Lautan Po-hai di timur.

Setelah tiba di pantai lautan itu pada suatu pagi, mereka berdiri di pantai yang sunyi dan memandang ke teluk yang amat luas itu.

“Pantai Teluk Po-hai begini luas, ke mana kita harus mencari mereka?” kata Tek Hoat, nada suaranya penuh kegelisahan karena memang dia merasa gelisah sekali kalau memikirkan kekasihnya.

Dia masih belum mengerti mengapa Syanti Dewi meninggalkan Bhutan dan terjatuh ke tangan ketua Liong-sim-pang dan mengapa pula sekarang diculik dan dilarikan orang. Gelisah dia memikirkan kekasihnya itu. Dia dapat menduga bahwa tentu kekasihnya itu melarikan diri dari Bhutan untuk mencarinya. Kalau teringat akan dugaan ini, hatinya menjadi terharu sekali dan cinta kasihnya terhadap Syanti Dewi makin mendalam, akan tetapi segera dia dihimpit oleh rasa gelisah yang hebat.

Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan menoleh kepadanya, menatap wajah yang tampan itu, lalu dia berkata,

“Engkau tidak percuma melakukan perjalanan mencari puteri itu bersamaku, Tek Hoat.”

Sudah lama dia memanggil pemuda itu dan bicara dengan sikap ramah dan akrab, seolah-olah mereka telah menjadi sahabat karib. Dan Tek Hoat pun tidak peduli akan sikap ini.






“Apa maksudmu? Tahukah engkau ke mana kita harus mencari?”

Lauw Hong Kui memperlebar senyumnya dan mengangguk, lalu membereskan anak rambut di dahinya yang kusut dan melambai-lambai tertiup angin laut. Memang cantik sekali dia dan pandai dia menonjolkan kecantikannya di saat yang tepat.

“Tentu saja aku tahu, atau setidaknya dapat menduga dengan tepat. Aku tidak asing di daerah ini, Tek Hoat. Kalau dugaanku tidak meleset, dan biasanya tidak, agaknya yang melakukan penculikan itu tentulah si Raja Maling!”

“Raja Maling?” Tek Hoat bertanya, memandang wajah yang cantik dan terias baik-baik itu penuh perhatian.

“Lihat, angin begini besar dan membuat rambutku kusut. Rambutku awut-awutan, ya?”

Tanyanya sambil mengatur rambut dengan jari-jari tangannya yang kecil dan panjang. Terpaksa Tek Hoat memandang rambut itu dan memang indah sekali rambut yang panjang halus itu melambai-lambai tertiup angin.

“Katakan, siapa dia dan di mana tempatnya?” Dia berkata setelah sejenak dia tertegun.

Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui tersenyum manis sehingga deretan giginya yang putih dan kecil itu nampak berkilat.

“Engkau sungguh tidak menghargai kecantikan orang!” Dia menartk napas panjang. “Dia itu adalah Hek-sin Touw-ong, si Raja Maling Sakti Hitam, seorang kakek yang amat sakti dan yang bertapa di pantai Po-hai sebelah utara.”

Ang Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa memang banyak terdapat manusia manusia yang berilmu tinggi di dunia ini, maka walau pun dia sendiri belum pernah mendengar atau berjumpa dengan kakek raja maling itu, dia percaya bahwa tentu dia seorang yang sangat lihai. Tidak sembarang orang akan dipuji kepandaiannya oleh Siluman Kucing ini, yang dia tahu juga lihai sekali.

“Bagaimana engkau dapat menyangka bahwa dialah yang menculik Syanti Dewi?” dia mendesak, tidak mau percaya begitu saja.

Siluman Kucing bertolak pinggang dengan lagak dan gaya memikat sekali. Pinggangnya makin nampak ramping kalau dia bertolak pinggang seperti itu, apa lagi angin yang nakal membuat bajunya tersingkap-singkap agak terbuka.

“Tentu saja aku menduga demikian, pemuda yang tampan! Menurut jejak yang kita ikuti, puteri Bhutan itu dibawa lari seorang kakek dan larinya menuju ke pantai Po-hai, dan sampai di laut lenyaplah jejaknya dan tidak ada orang yang tahu biar pun kita sudah bertanya-tanya sampai mulut terasa lelah. Dan di pantai ini, hanya ada satu-satunya kakek yang berilmu tinggi, yaitu si Raja Maling. Jadi siapa lagi kalau bukan dia yang melakukan penculikan itu? Melarikan seorang puteri dari dalam benteng Liong-sim-pang yang sangat kuat itu bukanlah hal mudah, bahkan engkau sendiri yang dibantu oleh muridku dan anak buah Hek-eng-pang pun gagal. Akan tetapi kakek itu seorang diri saja mampu mencuri dan menculiknya. Siapa lagi kalau bukan perbuatan si Raja Maling?”

Tek Hoat mengangguk-angguk, harapannya timbul kembali.
“Kalau begitu, mari kita cepat mengejarnya ke sana, Mo-li!”

“Hi-hi-hik, mengapa tergesa-gesa, Tek Hoat? Takkan lari gunung dikejar, perlu apa kau terburu-buru?”

“Mo-li, Raja Maling itu tentulah bukan gunung, melainkan seorang maling yang dapat bergerak dan lari, dan aku khawatir kalau-kalau dia akan mengganggu Syanti Dewi!”

“Aihhh, Tek Hoat. Kau gelisah sekali seolah-olah di dunia ini tidak ada wanita lain saja. Apakah aku bukan wanita pula dan apakah aku tidak cantik?”

Mauw Siauw Mo-li sudah mendesak dan merangkulkan kedua lengannya yang panjang itu ke leher Tek Hoat. Kedua lengan itu melingkar-lingkar seperti seekor ular, merayap ke atas dan membelai rambut di tengkuk Tek Hoat, lalu menjambaknya perlahan dengan gemas.

“Mo-li, jangan begitu...!” Tek Hoat berkata dengan alis berkerut.

Kalau dia tak membutuhkan bantuan wanita ini untuk menemukan kembali kekasihnya, tentu dia sudah bersikap kasar dan mendorong wanita ini. Namun, Mauw Siauw Mo-li malah mendekapkan tubuhnya sehingga melekat ke tubuh Tek Hoat, menggoyang goyang tubuhnya sehingga menggesek tubuh pemuda itu dengan gaya memikat sekali, mukanya didekatkan ke mulut Tek Hoat.

Harus diakui bahwa Lauw Hong Kui adalah seorang wanita cantik yang bertubuh menggairahkan sekali. Dia sudah matang dan pandai merayu pria. Dan biar pun Tek Hoat bukan seorang pemuda hijau seperti Suma Kian Bu lima tahun yang lalu, namun tetap saja dia adalah seorang yang masih muda dan berdarah panas dan biar pun dia tidak sudi membalas cinta seorang wanita seperti Siluman Kucing ini, namun dipeluk seperti itu dan merasakan gesekan dan geseran tubuh yang hangat dan padat itu tidak urung jantungnya berdebar juga.

Sebagai seorang wanita yang sudah banyak pengalaman, debar jantung di dalam dada pemuda itu diketahui dan terasa oleh Hong Kui. Memang dia sengaja merapatkan dadanya ke dada pemuda itu untuk menangkap tanda ini.

Begitu dadanya merasa denyut jantung yang mengencang itu, cepat dia meraih kepala pemuda itu, ditarik ke bawah karena Tek Hoat lebih tinggi dari pada dia sehingga muka mereka bertemu dan Hong Kui lalu mencium mulut pemuda itu dengan bibirnya. Ciuman yang amat mesra, yang dilakukan dengan gelora nafsu birahi dan sepenuh perasaannya, ciuman yang panas dengan napas yang mendengus-dengus.

Tek Hoat terkejut sekali. Harus diakuinya bahwa wanita ini menyalakan sesuatu di dalam hatinya, akan tetapi dia teringat bahwa tidak semestinya dia melayani wanita ini dan tidak menuruti gelora birahinya yang dibangkitkan oleh Siluman Kucing yang amat pandai ini.

Akan tetapi pada saat itu, mau tidak mau dia menikmati dan merasakan ciuman hangat itu, merasa betapa sepasang bibir yang lunak itu bergerak-gerak, kemudian dia mendengar suara merintih seperti suara seekor kucing, dan terasa betapa lidah yang lunak menjilat-jilat, seperti lidah seekor kucing yang manja!

Sejenak Tek Hoat terlena, akan tetapi ketika bayangan wajah Syanti Dewi berkelebat di depan matanya yang dipejamkan, tiba-tiba saja dia merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan. Dengan muka pucat, mata terbelalak, napas agak terengah, dia memandang wanita itu.

Hong Kui juga memandangnya dengan mata setengah terpejam, mulut agak terbuka, mulut yang basah merah dengan gigi putih mengintai di antara ujung lidah meruncing, napasnya tersendat-sendat, senyumnya memikat, kedua lengan dibuka menantang.

“Tek Hoat... Tek Hoat... ke sinilah...“ Suaranya tergetar dan penuh dengan daya tarik.

“Mo-li! Aku tidak sudi memenuhi kehendakmu yang gila ini!” Tiba-tiba Tek Hoat yang sudah sadar itu membentak marah.

Suara pemuda itu cukup untuk mengguncang Mauw Siauw Mo-li bahwa pemuda itu sudah tak lagi dapat dikuasainya pada saat itu, maka dia pun tersadar dan memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam.

“Tek Hoat, engkau sungguh tidak mengenal budi!” celanya. “Aku sudah payah membantumu mencari puteri itu, bahkan sekarang pun aku yang mengetahui tempat kakek itu, tetapi engkau sedikit pun tidak mau menyenangkan hatiku dan memberi air cinta untuk hatiku yang sedang dahaga. Engkau kejam! Dan kalau engkau menolak cintaku, aku pun tidak sudi lagi menunjukkan tempat Raja Maling itu padamu!”

Tiba-tiba sinar mata Tek Hoat menjadi keras dan mengancam sehingga Mauw Siauw Mo-li sendiri menjadi terkejut.

“Mauw Siauw Mo-li! Enak saja kau bicara. Kalau kini engkau tidak mau menunjukkan tempat itu, aku akan memaksamu!”

“Ehhh...?” Wanita itu membelalakkan mata. “Aku sudah membantumu dan kau sekarang hendak memaksa? Sungguh tidak tahu aturan engkau ini!”

“Mo-li, ingat. Siapa yang dulu membujuk aku untuk melakukan perjalanan bersamamu? Siapa yang berjanji akan menemukan kembali Syanti Dewi? Engkau sudah membawa aku sampai di sini, dan kalau engkau sekarang meninggalkan aku, berarti engkau telah menipuku! Dan aku bukan orang yang mudah saja ditipu tanpa membalas!”

“Kau kira aku takut?”

Tek Hoat tersenyum mengejek.
“Tentu saja tidak. Aku tahu siapa adanya Mauw Siauw Mo-li. Tetapi aku yakin akan dapat menghajarmu, Mo-li. Senjata rahasia peledakmu itu tidak menakutkan Si Jari Maut!”

Sikap yang gagah, pandang mata yang tajam penuh ancaman, ditambah nama julukan Jari Maut itu mengingatkan kepada Mauw Siauw Mo-li bahwa pemuda ini memang lihai bukan main, dan kalau sudah marah, kekejamannya amat mengerikan sehingga dia mendapat julukan Si Jari Maut. Memang dia tidak takut, tetapi dia melihat bahayanya kalau sampai memusuhi pemuda ini. Dan pula, dia masih belum putus asa.

Tadi, bukankah jantung pemuda perkasa ini berdebar dan bukankah ketika mulut mereka bertemu tadi, terasa olehnya betapa bibir pemuda itu membalas kecupannya? Akan tiba saatnya pemuda yang keras hati ini akan bertekuk lutut dan menyerahkan diri dalam pelukannya, dan betapa akan manis dan nikmatnya penyerahan itu setelah berkali-kali ditolaknya. Maka dia pun tersenyum kembali dan sepasang matanya kehilangan sinar kemarahannya.

“Hemmm, kita sudah lama bersahabat, sudah jauh melakukan perjalanan bersama. Akan luculah kalau tiba-tiba kita berhadapan sebagai musuh. Baik, Tek Hoat, aku akan terus membantumu, dan kalau sampai aku membantumu berhasil mendapatkan kembali puteri itu, bagaimana sikapmu kepadaku?”

“Aku akan menganggapmu sebagai seorang sahabat baik dan aku akan berterima kasih kepadamu, Mo-li.”

“Hanya itu saja? Apa yang akan kau lakukan untuk membuktikan terima kasihmu?”

“Heemmm... aku tidak tahu. Mungkin aku akan membalasmu dan menolongmu kalau sewaktu-waktu kau membutuhkan bantuan.”

“Aku hanya membutuhkan bantuanmu agar engkau suka bersikap manis kepadaku, Tek Hoat. Tak tahukah engkau bahwa aku sangat suka kepadamu? Kalau sudah berhasil, kau balas saja dengan sikap manis dan memenuhi hasrat cintaku, ya?”

Tek Hoat tidak sudi menjanjikan itu, akan tetapi dia tidak ingin banyak bicara tentang itu lagi, maka dia menjawab,

“Kita lihat saja nanti, Mo-li. Yang penting sekarang, hayo kau tunjukkan tempat tinggal Raja Maling yang menculik Syanti Dewi.”

“Nanti dulu, Tek Hoat. Engkau masih muda dan engkau sembrono. Biar pun engkau memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dalam hal ini engkau sama sekali tidak boleh sembrono. Hek-sin Touw-ong adalah seorang tua yang amat lihai. Aku sendiri sudah pernah menandinginya dan dalam hal kesaktian dia agaknya tidak kalah olehmu. Bahkan dulu suheng-ku, Hek-tiauw Lo-mo, pernah bentrok dengan dia dan suheng selalu memperingatkan kepada anak buahnya agar jangan sampai bentrok dengan Raja Maling itu. Suheng sendiri merasa segan untuk bermusuhan dengan kakek sakti itu, maka dalam hal ini, kita tidak boleh sembrono menyerbu ke sana begitu saja karena hal itu mungkin sekali membuat kita celaka dan puteri itu tidak akan tertolong pula.”

“Hemmm, aku tidak takut. Habis kalau kita tidak menyerbu ke sana, bagaimana kita dapat menolong Syanti Dewi?”

“Tentu kita tidak akan membiarkan saja, kita akan menyerbu ke sana. Akan tetapi tidak sekarang. Aku akan mencari kawan-kawanku di pantai ini. Mereka akan membantu kita dan dengan bantuan mereka, maka aku baru berani mengajakmu menyerbu. Bukankah ketika kau berusaha menolong puteri itu dari benteng Liong-sim-pang, engkau pun membutuhkan bantuan Hek-eng-pang?”

“Ketika itu lain lagi keadaannya, Mo-li. Liong-sim-pang adalah benteng dan selain kuat, juga mempunyai banyak anggota, maka aku membutuhkan bantuan Hek-eng-pang. Akan tetapi sekarang, kita hanya menghadapi seorang kakek...“

“Hemmm, kau tidak tahu kakek macam apa yang kita hadapi. Kita harus menggunakan bantuan kawan-kawanku itu agar mereka memancingnya keluar dari sarangnya hingga engkau akan mudah merampas kembali puteri itu.”

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia tidak menyukai cara yang curang ini, akan tetapi yang terpenting baginya adalah menyelamatkan Syanti Dewi, maka dia tidak mau mengecewakan wanita iblis yang hendak membantunya ini, maka dia tidak ingin membantah lagi.

“Mari kita mencari kawan-kawanku itu!”

“Siapakah mereka?”

“Siapakah mereka? Ha-ha-ha, mereka pun amat terkenal di wilayah ini, Tek Hoat, sungguh pun sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan Raja Maling. Mereka adalah raja-raja di perairan Teluk Po-hai! Marilah!”

Ang Tek Hoat pergi mengikuti wanita itu menuju ke utara dan memasuki hutan di pantai Po-hai. Hutan itu sunyi sekali dan tak nampak seorang pun manusia sehingga kelihatan menyeramkan sekali.

Belum lama mereka memasuki hutan itu, mendadak terdengar suitan-suitan nyaring di sana-sini. Suara-suara suitan itu susul-menyusul dan agaknya saling menjawab, makin lama makin dekat sehingga akhirnya terdengar di sekeliling mereka, dari depan, belakang, kanan dan kiri. Mereka telah dikepung oleh suara-suara itu. Tek Hoat bersikap waspada, akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tertawa-tawa saja.

“Lihat, betapa cepatnya mereka itu tahu akan kedatangan kita dan telah berkumpul mengurung. Bukankah berguna sekali bantuan-bantuan seperti mereka itu?”

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring,
“Berhenti kalian berdua yang berjalan dalam hutan! Kalian telah memasuki daerah kami tanpa ijin!”

Mauw Siauw Mo-li dan Tek Hoat berhenti, dan wanita itu berseru nyaring,
“Lo Kwa, bukankah engkau yang bicara itu? Keluarlah, jangan main kucing-kucingan!”

Ucapan wanita ini diikuti suasana sunyi, agaknya semua orang yang mengurung tempat itu menjadi terkejut dan heran. Lalu terdengar seruan yang mengandung keheranan dan juga kegembiraan,

“Lauw-lihiap...!”

Bermunculanlah kini belasan orang laki-laki dari empat penjuru, berloncatan keluar dari balik-balik pohon dan semak-semak. Mereka itu rata-rata adalah laki-laki kasar dan tinggi besar, nampaknya kuat dan keras. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki yang usianya antara tiga puluh lima tahun, bertubuh tegap dan berwajah tampan akan tetapi mukanya tertutup brewok.

“Lihiap...!” Pemimpin gerombolan ini melangkah maju dan menjura kepada Lauw Hang Kui sambil tersenyum lebar.

Diam-diam Ang Tek Hoat terheran-heran melihat mereka itu menyebut lihiap (pendekar wanita) kepada Siluman Kucing ini. Dia tidak tahu bahwa julukan itu hanyalah julukan yang diberikan oleh mereka yang menganggap wanita ini sebagai iblis, akan tetapi gerombolan bajak-bajak laut dari Po-hai yang bersarang di dalam hutan ini merupakan sahabat-sahabatnya yang tentu saja menganggapnya sebagai seorang wanita perkasa yang patut disebut lihiap!

Lauw Hong Kui menghampiri laki-laki tampan itu, kemudian mengangkat tangan kirinya dan mengusap dagu yang penuh jenggot itu.

“Aihhh, Lo Kwa, hampir aku tidak dapat mengenalimu lagi. Ihhh, aku baru mau bicara berdua denganmu kalau kau sudah membuang semua brewokmu yang menggelikan itu!” katanya dengan sikap genit dan manja.

Orang she Kwa yang tadi disebut Lo Kwa (Kwa yang Tua) itu tertawa dan menangkap lengan Hong Kui, ditariknya dan hendak dipeluknya wanita itu. Tetapi sambil tersenyum manja Hong Kui melepaskan dirinya dan berkata,

“Kau cukur dulu semua brewokmu!”

Orang she Kwa itu tertawa dan semua anak buahnya juga tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, kedatanganmu mendatangkan cahaya kegembiraan di hutan yang gelap ini, Lauw-lihiap!” kata orang she Kwa itu.

“Akan tetapi aku adalah Siluman Kucing, apakah kalian tidak takut?”

Lauw Hong Kui berkata sambil bertolak pinggang, senyumnya lebar dan dia kelihatan gembira sekali, merasa berada di antara teman-teman baiknya.

“Hidup Lauw-lihiap!”

“Selamat datang, Mauw Siauw Mo-li!”

“Biar besok pagi aku mampus, aku rela asal semalam suntuk boleh membelai kucing!”

“Aku pun bersedia!”

Riuh-rendah suara mereka dan pernyataan kagum mereka dinyatakan secara terang terangan, bahkan ada yang mengeluarkan pernyataan kasar dan tidak sopan, akan tetapi semua itu agaknya sudah biasa di antara mereka dan Lauw Hong Kui juga menyambutnya dengan tersenyum saja.

“Akan kulihat nanti siapa di antara kalian yang patut untuk menghiburku,” katanya.

Tek Hoat merasa muak juga, dan diam-diam dia merasa malu juga, kenapa dia pernah merasa tertarik dan timbul birahinya terhadap wanita ini. Padahal wanita ini benar-benar merupakan siluman yang tak tahu malu, seorang wanita yang biasa mempermainkan pria seperti kucing mempermainkan tikus lebih dulu sebelum diterkam dan dibunuhnya!

“Lo Kwa, di mana para Ong-ya?”

Pertanyaan ini membuat Tek Hoat menjadi maklum bahwa orang she Kwa ini hanya seorang bawahan saja, dan kini iblis betina ini menanyakan para ong-ya, yaitu para raja bajak!

“Semua sedang berada di sarang, Lihiap. Tentu mereka akan menjadi gembira sekali mendengar akan kedatanganmu. Marilah kita ke sana, ataukah kita berdua bersenang senang dulu?” kata orang she Kwa itu sambil memandang dengan mata mengandung penuh gairah.

“Hushhh, brewokmu itu menggelikan. Dan mungkin kelak kalau ada waktu bagiku, boleh kita bersenang-senang. Mari antar aku kepada para Ong-ya.”

“Tapi, dia ini...?” Orang she Kwa itu menuding ke arah Tek Hoat dengan pandang mata tidak senang dan penuh curiga.

Diam-diam Tek Hoat merasa mendongkol juga. Sejak tadi sama sekali tidak diacuhkan dan kini dicurigai. Kalau tidak ingat akan kepentingannya, tentu sekali pukul dia sudah membunuh bajak-bajak ini.

Agaknya Hong Kui dapat mengerti juga akan kegemasan hati Tek Hoat dengan melihat wajah dan sinar matanya, maka dia lalu berkata,

“Dia ini adalah sahabatku yang akan menjadi tamu agung kalian. Jangan kau main-main, Lo Kwa, dialah yang berjuluk Si Jari Maut!”

“Ahhhhh...?”

Agaknya orang she Kwa ini sudah pernah mendengar julukan ini, maka dia memandang dengan mata terbelalak dan mukanya berubah pucat.

“Maaf, kami tidak tahu...,“ katanya.

“Sudahlah, mari kita jalan,” kata Tek Hoat tidak sabar.

Di sepanjang perjalanan memasuki hutan itu, dengan ramahnya Hong Kui bercakap cakap dengan orang she Kwa dan beberapa orang anak buah bajak yang muda-muda, beramah-tamah dan kadang-kadang mereka berkelakar dengan omongan-omongan yang kotor sehingga Tek Hoat merasa makin muak.

Tibalah mereka kini di tengah hutan yang berada di tepi tebing yang agak tinggi. Dari sini nampak Teluk Po-hai terbuka luas di depan. Memang tempat ini merupakan tempat yang paling indah dan juga paling tepat untuk dijadikan sarang para bajak laut itu karena dari tepi tebing mereka dapat melihat keadaan di seluruh Teluk Po-hai, melihat perahu-perahu yang seperti semut-semut kecil hitam di teluk itu.

Dari sini mereka dapat melihat dan mengenal kapal-kapal besar yang patut mereka hadang dan mereka bajak, juga mereka dapat mengadakan pengawasan terhadap anak buah mereka. Tempat yang amat cocok untuk menjadi sarang bajak laut!