FB

FB


Ads

Senin, 25 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 071

Mereka berempat diikuti oleh dua orang anak kembar, segera menuju ke pondok di mana Jit Kong dan Goat Kong menyalakan perapian sehingga dua orang perwira itu dapat menghangatkan tubuh mereka dan mengeringkan pakaian mereka. Kemudian, dua orang anak kembar yang sudah biasa bekerja membantu ibu mereka itu menghidangkan arak kepada dua orang tamu itu yang memandang kepada mereka berdua dengan sinar mata terheran-heran dan juga penuh curiga.

“Kalau tidak berkat pertolongan dua orang Kongcu ini, tentu kami telah tewas,” kata Ciang Sim To kepada Bun Beng.

Pendekar itu menarik napas panjang.
“Kami telah mendengar penuturan dua orang putera kami, Ji-wi Ciangkun, dan harap Ji-wi suka memaafkan mereka yang masih anak-anak sehingga belum dapat membedakan orang. Mereka mengira bahwa Ji-wi datang dengan niat buruk, maka mereka telah lancang menggulingkan perahu dan menangkap Ji-wi.”

“Jit Kong, Goat Kong, hayo cepat minta maaf kepada kedua Ciangkun ini!” Milana berkata kepada kedua orang putera kembarnya.

Jit Kong dan Goat Kong cepat melangkah maju menghadap dua orang perwira itu, menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada, membungkuk dan berkata,

“Harap Ji-wi Ciangkun sudi memaafkan kami berdua.”

Mereka mengeluarkan kata-kata yang sama dan hampir berbareng, tanda bahwa ucapan itu keluar dari hati mereka sendiri bukan saling mengikuti saja.

Souw-ciangkun dan temannya cepat membalas dan perwira tua ini berkata kagum,
“Ah, sungguh hebat sekali! Ji-wi Kongcu ini masih begini muda, akan tetapi telah memiliki kepandaian hebat sehingga kami dua orang perwira bangkotan telah dibuat tidak berdaya! Haha-ha, betapa bahagianya hati hamba menyaksikan putera-putera Paduka yang begini tampan dan gagah perkasa!”

“Ji-wi Ciangkun, sekarang ceritakanlah tentang tugas Ji-wi mencari aku, dan mengapa pula kaisar mengutus Ji-wi,” kata Milana.

Pangeran Yung Ceng demikian bersemangat untuk menemukan dan memanggil Puteri Milana sehingga setiap rombongan tentu dibawai surat untuk Sang Puteri. Juga Souw-ciangkun tidak ketinggalan membawa sepucuk surat. Untung bahwa surat itu disimpannya di dalam kantung kulit sehingga tidak basah ketika dia terjatuh ke air telaga tadi.

Dengan sikap hormat dia menyerahkan surat itu kepada Milana yang segera membuka dan membacanya. Tidak salah memang. Surat itu adalah surat dari pamannya, putera kaisar yang masih amat muda itu. Biarpun Yung Ceng dan Yung Hwa jauh lebih muda daripada Milana, namun dua orang pangeran muda ini termasuk pamannya, karena mereka adalah putera-putera kaisar, sedangkan dia sendiri adalah cucu kaisar. Di dalam surat itu, jelas Pangeran Yung Ceng mengharapkan kedatangannya di istana karena di istana timbul hal-hal yang membutuhkan bantuan Puteri Milana untuk ditanggulangi.

Milana mengerutkan alisnya.
“Yang mengutus Ji-wi bukan sri baginda kaisar, melainkan putera mahkota,” tegurnya.

“Harap Paduka maafkan hamba berdua,” jawab Souw Ciat. “Oleh karena sri baginda kaisar telah menyerahkan pedang kekuasaan kepada pangeran mahkota, maka kekuasaan beliau tiada bedanya dengan kekuasaan sri baginda kaisar, maka hamba menganggap bahwa yang mengutus hamba juga dari baginda kaisar sendiri.”






“Hemmm, apakah yang terjadi di istana maka kaisar menyerahkan pedang kekuasaan kepada Paman Pangeran Yung Ceng?”

Souw-ciangkun lalu menceritakan keadaan di kota raja dengan jelas. Sebagai seorang panglima pengawal yang setia dia ikut merasa lega dan gembira atas tindakan pangeran mahkota itu maka dia dapat bercerita dengan jelas tentang diberantasnya penyelewengan-penyelewengan oleh Pangeran Yung Ceng, betapa para thaikam ditangkapi dan dihukum, dan banyak pula pembesar korup yang dihukum.

“Ah, mengapa terjadi hal demikian? Apakah kesalahan para thaikam itu?” tanya Milana dengan heran.

“Mereka telah menguasai istana dan membujuk sri baginda kaisar melakukan pemecatan-pemecatan terhadap pembesar-pembesar yang setia. Bahkan Jenderal Kao Liang yang telah menjadi panglima besar itu pun dipecat.”

“Ehhh....?” berita ini amat mengejutkan hati Milana dan Bun Beng.

Mereka berdua mengenal siapa adanya Jenderal Kao Liang, seorang yang amat setia dan tangguh, yang amat besar jasanya terhadap kerajaan yang telah berkali-kali menyelamatkan kerajaan dari ancaman pemberontakan-pemberontakan, bahkan yang terakhir, lima enam tahun yang lalu, juga menyelamatkan negara dari pemberontakan dua orang Pangeran Liong.

“Dia dipecat?” Milana menegaskan dengan hati penasaran.

“Bukan dipecat begitu saja, melainkan dipensiun dan diperkenankan mengundurkan diri dan pulang ke kampung halaman. Akan tetapi semua orang tahu belaka bahwa hal itu merupakan pemecatan dan pengusiran secara halus.” Souw-ciangkun memberi penjelasan.

“Kalau Paman Pangeran Mahkota sudah melakukan tindakan tegas itu dan para pembesar lalim telah dibasmi, perlu apalagi menyuruh Ji-wi mencari aku?” tanya Milana yang merasa enggan untuk pergi ke kota raja mencampuri urusan pemerintah.

Souw-ciangkun lalu menceritakan tentang ancaman pemberontakan yang agaknya akan dicetuskan oleh Gubernur Ho-nan.

“Maafkan hamba, sesungguhnya hamba tidak tahu jelas akan persoalannya, dan tentu saja pangeran mahkota tidak menceritakan kepada hamba. Akan tetapi karena hamba melaksanakan tugas mencari Paduka, maka hamba memperlengkapi diri dengan pengetahuan akan hal-hal itu sehingga kalau Paduka bertanya hamba sudah dapat memberi penjelasan. Mengenai pemberontakan yang agaknya akan dilakukan oleh Gubernur Ho-nan, dimulai ketika Pangeran Yung Hwa menjadi utusan kaisar mengunjungi Propinsi Ho-nan.”

Souw-ciangkun lalu menceritakan segala yang telah didengarnya tentang peristiwa yang terjadi atas diri Pangeran Yung Hwa dan Gubernur Ho-pei. Milana dan Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Malah akhir-akhir ini terdapat berita bahwa Gubernur Ho-nan agaknya hendak bersekutu dengan mata-mata dari Nepal, dan mengumpulkan banyak orang pandai di lembah Sungai Huang-ho. Oleh karena itulah agaknya maka pangeran mahkota hendak minta bantuan Paduka.”

Milana saling pandang dengan suaminya. Mereka maklum bahwa keadaan tentu amat gawat, maka sampai Pangeran Yung Ceng mencari Milana. Biarpun mereka sekeluarga telah menjauhkan diri dan tidak mau berurusan dengan persoalan dunia, akan tetapi mendengar adanya ancaman terhadap kerajaan, tergerak juga hati Milana.

“Baiklah, Souw-ciangkun. Kalian berdua telah berhasil menemukan aku dan telah menyampaikan surat Paman Pangeran Yung Ceng. Sekarang kembalilah kalian ke kota raja, dan permintaan dari istana itu akan kami pertimbangkan.”

Souw-ciangkun memandang dengan wajah berseri, lalu bertanya,
“Apakah Paduka tidak menitipkan surat jawaban kepada pangeran mahkota melalui hamba?”

“Tidak usah. Sampaikan saja secara lisan bahwa aku telah menerima surat beliau dan bahwa permintaan itu akan kami pertimbangkan. Begitu saja. Sekarang, harap kalian suka pergi meninggalkan tempat ini dan jangan memberitahukan kepada orang lain kecuali pangeran mahkota tentang kami dan tempat tinggal kami.”

Dua orang perwira pengawal itu memberi hormat, minta diri dan mereka diantar oleh Bun Beng sendiri yang menggunakan perahunya karena perahu mereka tadi entah hanyut ke mana. Mereka diantar sampai ke seberang telaga, lalu pendekar itu kembali pulang dan segera dia memperbincangkan persoalan panggilan dari kota raja itu bersama isterinya.

Akhirnya, karena Milana berkeras untuk membela kerajaan yang terancam bahaya sebagai puteri istana, diambillah keputusan bahwa puteri itu akan berangkat sendiri ke kota raja melihat keadaan.

Gak Bun Beng tinggal di rumah bersama putera mereka. Pada keesokan harinya, berangkatlah Milana yang berganti pakaian ringkas dan membawa pedangnya sehingga kini dia berubah dari seorang wanita petani menjadi seorang pendekar wanita yang cantik dan gagah.

**** 071 ****