FB

FB


Ads

Rabu, 20 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 070

“Pangeran, tidak boleh Paduka berkata demikian.“

“Yung Ceng, Kong Tek Jin adalah seorang yang amat setia!”

Akan tetapi Yung Ceng sudah meloncat dan menyambar pundak thaikam itu, mengangkatnya dan membantingnya ke atas lantai.

“Brukkk....!” Thaikam yang gendut itu mengeluh dan ketika para pengawal dalam bergerak maju, Yung Ceng bertolak pinggang dan membentak, “Kalian mundur! Berani melawan Pangeran Mahkota?”

Tentu saja para pengawal itu meragu dan mereka memandang ke arah Sri Baginda. Kalau Sri Baginda memberi aba-aba atau isyarat, tentu tanpa ragu-ragu lagi mereka akan menerjang pangeran itu. Akan tetapi Sri Baginda diam saja, hanya memandang kepada puteranya dan kembali Yung Ceng membentak,

“Kalian keluar dari sini, jaga di luar pintu kamar!”

Kembali para pengawal memandang kepada kaisar. Sekali ini kaisar mengangguk dan menggerakkan tangan memberi isyarat agar mereka keluar. Setelah para pengawal keluar, Yung Ceng berkata kepada ayahnya,

“Sekarang hamba akan membuktikan siapa adanya manusia macam ini!”

Dia sudah mendekati Thaikam Kong Tek Jin, menggerakkan tangannya mencengkeram ke arah tengkuk thaikam itu, lalu menghardik.,

“Hayo kau mengaku sebenarnya! Bukankah seluruh keluargamu telah kau datangkan ke sini dan kau angkat menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi? Hayo jawab, kalau membohong akan kuhancurkan kepalamu sekarang juga?”

Sambil berkata demikian, Yung Ceng menggunakan tangannya mencengkeram jalan darah di tengkuk yang menimbulkan rasa nyeri yang amat hebat. Thaikam itu ketakutan karena dia tahu bahwa pangeran ini memang berilmu tinggi. Dia harus menyelamatkan diri dulu, baru kelak mencari jalan untuk melenyapkan pangeran ini. Sekarang, dia benar-benar tidak berdaya dan kalau dia membohong, tentu dia benar-benar akan dibunuh.

“Be.... benar, Pangeran. Akan tetapi apakah salahnya itu? Tentu saja hamba ingin menolong keluarga hamba....”

“Dan untuk itu kau memecat pejabat-pejabat lama? Dan engkau sudah menumpuk harta kekayaan berlimpah-limpah? Engkau sudah makan sogokan dari pembesar-pembesar bawahan agar engkau suka membujuk Kaisar demi keuntungan mereka, bukan?”

“Ini.... ini....“

“Hayo katakan yang benar! Bukankah Gubernur Ho-nan telah mengirimkan seribu tail emas dan dua buah kereta bertabur emas kepadamu baru-baru ini?” Yung Ceng mendengar ini semua dari Pangeran Yung Hwa. “Dan dengan pemecatan Jenderal Kao Liang, engkau memperoleh hadiah sepeti permata dari Panglima Ciu yang diangkat menjadi panglima penggantinya? Dan engkau juga telah menyuruh orang-orang untuk membasmi keluarga Yauw, ketika pembesar Yauw bermaksud untuk membongkar kepalsuanmu di depan Kaisar? Hayo jawab, tidak benarkah semua itu?”

“Ti.... tidak.... tidak....“

Yung Ceng mencabut pedang pendeknya.
“Crottt....!”

Ujung pedang itu menusuk paha sampai beberapa senti dalamnya, dan dia mencengkeram otot di punggung sehingga thaikam itu memekik-mekik seperti seekor babi disembelih saking nyerinya.

“Hayo kau menjawab, benarkah semua itu?”

“Ya.... ya.... benar....!”

Thaikam Kong Tek Jin menangis, akan tetapi diam-diam dia bersumpah untuk membalas pangeran ini.

“Sekarang katakan, bukankah engkau tahu pula bahwa Gubernur Ho-nan akan memberontak? Hayo jawab!”

Tubuh thaikam itu menggigil.
“Hamba.... hamba tidak ikut-ikut....“

“Tapi engkau tahu?”

“Ya.... ya....”

Kaisar kini mengerutkan alisnya.
“Kong Tek Jin! Engkau tahu ada gubernur hendak memberontak dan kau tidak melaporkan kepada kami?”

“Hamba.... hamba tidak berani.... hamba....“






“Yung Ceng, kiranya benar pelaporanmu. Keadaan sudah demikian buruk, sama sekali tidak kusangka. Suruh bawa dia pergi!”

Yung Ceng memanggil pengawal.
“Seret dia ke dalam tahanan!”

Kini kaisar memandang puteranya dengan kagum. Lalu dia mencabut pedangnya, pedang kerajaan yang merupakan lambang kekuasaan, menyerahkannya kepada pangeran itu.

“Terimalah ini dan kau wakili aku melakukan pembersihan di dalam dan di luar istana. Aku sudah lelah, aku ingin beristirahat dan jangan ganggu aku dengan tugasmu itu. Harus kau selesaikan seluruhnya dan kalau sudah selesai saja melaporkan kepadaku.”

Pangeran Yung Ceng menerima pedang pusaka itu sambil berlutut, menghaturkan terima kasih dan meninggalkan kamar ayahnya. Mulailah pangeran mahkota ini melakukan pembersihan. Tindakannya yang pertama adalah menangkapi para thaikam yang menjadi kaki tangan Thaikam Kong Tek Jin, menjatuhkan hukuman mati!

Dan semua pembesar yang diangkat oleh para thaikam ini, para keluarga thaikam dan sobat-sobat mereka, yang memperoleh kedudukan dengan jalan menyogok, dipecat dari kedudukannya dan ada pula yang dijatuhi hukuman.

Kota raja geger! Para pembesar palsu yang kerjanya hanya korupsi dan menumpuk kekayaan pribadi tanpa menghiraukan tugas-tugasnya menggigil. Mereka tidak enak makan tidak nyenyak tidur, dan dalam keadaan seperti itu, sogok-menyogok makin menghebat karena mereka yang merasa terancam, kembali mencari perlindungan dengan cara sogok sana sogok sini.

Kalau dunianya para koruptor itu geger, adalah para petugas yang setia dan jujur merasa bersyukur sekali. Mereka seolah-olah melihat cahaya terang, melihat matahari muncul kembali di tengah-tengah kegelapanan yang ditimbulkan oleh awan tebal yang sudah bertahun-tahun mengancam kerajaan.

Setelah pembersihan di dalam istana dilakukan, Yung Ceng melanjutkan tindakannya dengan melakukan pembersihan-pembersihan di luar istana atas nama kaisar. Gubernur Ho-pei cepat menghadap dan barulah sekarang dia berani melapor tentang sikap memberontak Gubernur Ho-nan. Sebelum ini, dia sama sekali tidak berani melaporkan kepada kaisar, karena maklumlah gubernur ini bahwa melaporkan akan percuma saja, sama sekali tidak akan diterima oleh kaisar, bahkan sebaliknya akan membahayakan dia sekeluarganya karena yang dihadapi bukan kaisar melainkan para thaikam yang berkuasa seolah-olah melebihi kaisar.

Ketika mendengar pelaporan Gubernur Ho-pei betapa fihak pemberontak, yaitu Gubernur Ho-nan diam-diam telah bersekutu dengan kerajaan Nepal, bahkan mendirikan benteng di perbatasan propinsi, di lembah Sungai Huang-ho, dia terkejut dan marah sekali. Dia maklum akan bahayanya perang saudara, maka pangeran mahkota ini lalu teringat akan Puteri Milana.

Dia segera menyebar orang-orang untuk mencari Puteri Milana, karena dia tahu bahwa puteri itu adalah seorang yang paling boleh diandalkan untuk menanggulangi ancaman bahaya pemberontakan itu. Dia tidak mau sembrono mengirim pasukan, karena hal itu akan menimbulkan perang saudara yang akan membuat rakyat menderita sengsara.

Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa Puteri Milana bersama Pendekar Sakti Gak Bun Beng, telah meninggalkan dunia ramai. Puteri Milana adalah puteri dari Pendekar Super Sakti Suma Han majikan Pulau Es. Ibunya adalah Puteri Nirahai. Seperti telah diceritakan dalam Kisah Sepasang Rajawali, Puteri Milana meninggalkan istana, minggat setelah suaminya, yaitu mendiang Panglima Han Wi Kong membunuh Pangeran Liong Bin Ong.

Selain untuk membunuh seorang pemberontak dan pengkhianat, pembunuhan atas diri pangeran ini dilakukan oleh Han Wi Kong sebagai cara untuk membunuh diri karena dia ingin memberi kebebasan kepada Puteri Milana yang menjadi isterinya hanya dalam nama saja. Dia tahu isterinya itu mencinta Gak Bun Beng, maka semenjak menikah, belum pernah dia mendekati isterinya dan belum pernah mereka tidur bersama.

Demikianlah, Puteri Milana akhirnya bertemu dan berkumpul juga dengan pria yang dicintanya, satu-satunya pria yang pernah dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Akan tetapi, atas permintaan Gak Bun Beng yang tidak ingin mendengar nama kekasihnya ini cemar dan tertimpa aib, sebagai janda bangsawan, seorang puteri istana, menikah lagi dengan dia, maka dia mengajak kekasihnya yang menjadi isterinya itu ke tempat sunyi, jauh dari dunia ramai.

Mereka berdua meninggalkan segala kericuhan hidup di dunia ramai dan tinggal di sebuah puncak, satu di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san, yaitu puncak yang disebut puncak Telaga Mawar karena di situ terdapat sebuah telaga kecil yang penuh dengan pohon bunga mawar.

Suami isteri ini seolah-olah hendak menebus segala kerinduan mereka bertahun-tahun yang lalu, belasan tahun penuh kerinduan ketika mereka dahulu saling berpisah. Kini mereka itu seolah-olah tenggelam dan berenang di dalam lautan madu asmara, mencurahkan seluruh perasaan cinta kasih satu kepada yang lain di tempat sunyi di pondok mereka dekat telaga, di tengah-tengah suasana tenang dan hening yang diliputi keharuman bunga-bunga mawar. Dalam waktu satu tahun saja, Puteri Milana yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu melahirkan dua orang anak kembar, dua orang anak laki-laki yang sehat dan tampan.

Tentu saja mereka merasa bahagia sekali, akan tetapi Puteri Milana menjadi repot juga karena tiba-tiba saja dia harus mengurus dua orang anak! Padahal dia adalah seorang puteri istana yang lebih biasa bermain pedang daripada mengurus anak. Namun, karena Gak Bun Beng yang menjadi suaminya itu penuh kasih sayang kepadanya dan membantunya, maka kedua orang itu mengurus anak-anak mereka dengan baik, dengan cara gotong royong.

Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Dia memiliki bermacam-macam ilmu silat yang amat tinggi, di antaranya adalah ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai, ilmu-ilmu sinkang Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang dari Pulau Es. Ilmu Silat Sam-po Cin-keng yang mujijat, tenaga sakti Inti Bumi yang didapatnya dari gembong Pulau Neraka yaitu Butek Siauw-jin, dan dia bahkan pernah menerima ilmu mujijat dari Koai-lojin, yaitu Ilmu Lo-thian Kiam-sut yang sukar ditemukan tandingannya.

Akan tetapi Puteri Milana juga bukan orang sembarangan. Sebagai puteri dari Pendekar Super Sakti, tentu saja dia mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari ayahnya dan ibunya, bahkan dia memiliki kelebihan dari suaminya yang sakti itu dalam hal ilmu perang. Dia mewarisi ilmu perang dari ibunya, bahkan ilmu ini diperdalamnya ketika dia berada di istana, dan ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh dua orang pamannya, yaitu kedua orang Pangeran Liong, dia telah memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak-pemberontak di perbatasan utara itu (baca Kisah Sepasang Rajawali).

Memiliki ayah dan ibu seperti ini, sudah barang tentu kalau dua orang anak kembar itu semenjak kecil menerima gemblengan dari ayah bundanya sehingga mereka pun tumbuh menjadi anak-anak yang luar biasa. Selain menggembleng anak-anak mereka dengan dasar-dasar ilmu silat tinggi, juga pendekar Gak Bun Beng dan Puteri Milana tidak lupa untuk memberi pelajaran “bun” (sastra) kepada dua orang anak itu agar mereka kelak tidak menjadi orang-orang buta huruf yang hanya akan mengandalkan kekuatan badan dan menjadi orang-orang kasar.

Pondok mereka yang sederhana itu, bersama sebidang tanah yang kini telah mereka olah menjadi kebun sayur dan bunga, berada di puncak, di tepi telaga dan terkurung oleh jurang dan bukit-bukit. Tempat ini aman dan tenteram sekali, dan tidak mungkin didatangi orang dari jurusan lain kecuali melalui telaga. Hanya dengan menyeberangi telaga itulah orang dari jurusan atau tempat lain di seberang telaga dapat mengunjungi pondok suami isteri pendekar ini.

Oleh karena itu, jarang sekali ada orang datang ke tempat itu, dan hanya setelah dua orang anak kembar mereka mulai besar dan mengerti, suami isteri ini kadang-kadang mengajak dua orang anak mereka untuk mengunjungi dusun-dusun di seberang telaga agar mereka jangan sampai terasing dari hubungan antara manusia. Para penghuni dusun-dusun di seberang telaga mengenal suami isteri dan dua orang anak kembarnya ini, yang mereka anggap sebagai orang-orang luar biasa yang mengasingkan diri.

Setelah Gak It Kong dan Gak Goat Kong, nama dua orang anak kembar itu, berusia enam tahun, mereka telah menjadi anak-anak luar biasa yang memiliki kepandaian jauh melebihi anak-anak biasa. Orang tua mereka memberi mereka nama dengan mengambil huruf Jit (Matahari) dan Goat (Bulan) untuk menunjukkan kekembaran mereka.

Akan tetapi dua orang anak itu pun mulai mengerti keadaan dan mereka mulai merasa heran dan penasaran, juga tidak puas melihat betapa mereka hidup terasing di tempat itu, padahal di dusun-dusun di seberang telaga terdapat banyak manusia lain. Mereka telah pandai membaca dan dari kitab-kitab yang mereka baca, mereka tahu bahwa yang hidup mengasingkan diri hanyalah pertapa-pertapa atau orang-orang jahat yang menjadi buronan. Padahal ayah bunda mereka bukan pertapa. Apakah ayah bunda mereka buronan? Agaknya tidak mungkin.

Rasa penasaran ini membuat mereka pada suatu malam, sehabis makan malam, mengajukan pertanyaan kepada ayah bunda mereka.

“Ayah, mengapa kita hidup di tempat sunyi dan terasing ini? Mengapa kita tidak tinggal di tempat yang banyak ditinggali manusia lain seperti di dusun-dusun itu?” kata It Kong.

“Kenapa kita tidak pernah pergi melakukan perjalanan mengunjungi kota-kota besar dan kota raja seperti yang sering Ibu ceritakan? Katanya Ibu adalah cucu kaisar, kenapa sekarang tinggal di tempat sunyi begini?”

Goat Kong menyambung. Karena It Kong lahir lebih dulu, maka Goat Kong ini terhitung adik, akan tetapi dia tidak pernah mau menyebut kakak kepada It Kong.

Suami isteri itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata ini Milana menyerahkan jawaban-jawaban itu kepada suaminya. Maka Gak Bun Beng lalu memegang tangan kedua orang puteranya, menarik mereka dan merangkul mereka, lalu berkata,

“Ketahuilah, anak-anakku. Kita memang sengaja tinggal di tempat sunyi, jauh dari keramaian. Bukankah tempat ini indah sekali dan kita hidup bahagia? Di tempat-tempat ramai, terutama sekali di kota-kota besar, terdapat banyak keributan, terdapat banyak orang-orang jahat yang suka mengganggu orang lain.”

“Akan tetapi kita tidak perlu takut!” Jit Kong berkata.

“Benar, perlu apa kita belajar silat kalau takut orang jahat!” Goat Kong menyambung.

Gak Bun Beng tersenyum dan diam-diam dia bangga melihat sifat gagah itu ada pada diri dua orang puteranya.

“Sama sekali kita tidak takut, anak-anakku. Akan tetapi perlu apakah kita mendekati tempat-tempat di mana orang-orang saling bermusuhan? Di sini kita hidup tenang dan damai.”

“Akan tetapi aku ingin melihat banyak orang di kota besar!” kata Jit Kong.

“Dan aku ingin melihat kaisar!” kata Goat Kong.

Melihat suaminya kewalahan menghadapi desakan dua orang anaknya, Milana lalu turun tangan membantu dan berkata,

“Jit Kong dan Goat Kong, kalian masih terlalu kecil untuk pergi ke tempat ramai dan bertemu dengan orang-orang jahat. Belajarlah baik-baik dan kalau kalian kelak sudah dewasa, sudah memiliki kepandaian tinggi, baru tiba saatnya kalian boleh mengunjungi tempat-tempat ramai itu. Aku sendiri yang akan membawa kalian ke kota raja dan menghadap kaisar.”

“Benar, kata Ibumu,” Bun Beng menyambung dengan hati lega. “Dan ingatlah, di dunia ini banyak berkeliaran manusia-manusia jahat. Oleh karena itu, kalian pun tidak boleh mengunjungi dusun-dusun di seberang tanpa ayah ibumu. Mengertikah kalian?”

Dua orang anak itu mengangguk, akan tetapi saling lirik karena hati mereka sesungguhnya tidak merasa puas. Betapapun juga, janji ibu mereka itu amat menarik hati dan mereka makin rajin berlatih ilmu silat sehingga ayah bunda itu merasa girang sekali.

Pada suatu pagi, seperti biasa, Jit Kong dan Goat Kong bermain-main di telaga, mendayung sebuah perahu kecil. Mereka harus mencari ikan, akan tetapi karena semenjak pagi tadi mereka memancing namun belum juga memperoleh hasil, mereka lalu bermain-main dan mandi di telaga. Mereka menanggalkan pakaian mereka di atas perahu dan dari perahu itu mereka terjun ke air yang jernih, berenang ke sana-sini sambil tertawa-tawa, berkejaran, menyelam dan saling siram dengan air.

“Hayo kita berlumba mengejar perahu!” Jit Kong berkata sambil tertawa-tawa dan mengusap air dari mukanya.

“Baik, yang kalah nanti harus mendayung perahu sampai ke pinggir ketika pulang!” jawab Goat Kong.

Mereka lalu berenang ke arah perahu mereka, lalu bersama-sama mereka mengerahkan tenaga menggunakan tangan mereka mendorong perahu yang meluncur cepat ke tengah telaga. Mereka lalu berenang secepatnya mengejar dan berlumba. Keduanya memang pandai renang, terlatih sejak masih kecil.

Akan tetapi, sejak kecil Jit Kong memang memiliki dasar tenaga lebih besar, akan tetapi Goat Kong memiliki dasar gerakan yang lebih cepat, maka ketika berlumba mengejar perahu ini, gerakan Goat Kong lebih cepat dan kakaknya tertinggal setengah badan ketika dia lebih dulu memegang perahu dan meloncat ke dalamnya sambil berpegang kepada bibir perahu.

“Aku menang....!” soraknya, mentertawai Jit Kong.

“Kau berenang seperti ikan saja!” Jit Kong kini juga meloncat ke dalam perahu. Mereka tertawa-tawa.

Akan tetapi, tiba-tiba Goat Kong memegang tangan kakaknya.
“Jit Kong, lihat! Ada perahu....!”

Jit Kong cepat memutar tubuh dan memandang. Benar saja. Ada sebuah perahu didayung cepat ke tengah telaga, datang dari seberang dan agaknya menuju ke tempat tinggal mereka.

“Wah, lihat pakaian mereka!” Jit Kong berbisik.

Dua orang anak ini mendekam di atas perahu mereka dan memandang. Perahu itu ditumpangi oleh dua orang yang berpakaian seperti tentara, bertubuh tinggi besar dan mereka mendayung perahu dengan kuat sehingga perahu itu meluncur cepat sekali.

“Pakaian mereka seperti gambar tentara....“ bisik Goat Kong.

“Celaka, agaknya Ayah benar-benar seorang buruan dan mereka tentu datang hendak menangkap Ayah,” kata Jit Kong. Dua orang anak itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat.

“Kita harus halangi mereka....“ bisik Goat Kong.

Kakaknya mengangguk dan bagaikan dua ekor ikan saja, dua orang anak yang masih telanjang itu lalu meluncur ke dalam air dan berenang cepat menghadang perahu yang meluncur dari depan itu. Ketika perahu meluncur dekat, keduanya cepat menyelam.

Dua orang yang berpakaian perwira itu mendayung perahu dan memandang ke arah perahu kecil itu dengan heran. Perahu kecil itu kosong, tidak ada orangnya dan di dalam perahu terdapat tumpukan pakaian!

“Eh, tadi seperti kulihat ada dua orang bocah di perahu itu,” kata perwira yang tua, yang rambutnya sudah putih semua.

“Benar, Souw-ciangkun, saya tadi pun melihatnya. Entah di mana mereka sekarang,” kata perwira yang lebih muda, yang bertubuh tinggi besar.

“Ehhh....!”

“Heiiiii....!”

Mereka berdua berteriak dengan kaget karena tiba-tiba saja perahu mereka itu miring! Mereka berusaha untuk menekan perahu, akan tetapi percuma saja karena tiba-tiba perahu itu terbalik dan mereka ikut terjatuh ke dalam air.

“Tolooooonggg....!”

Perwira tua yang disebut Souw-ciangkun tadi berteriak. Dia adalah seorang perwira yang gagah perkasa, akan tetapi di darat. Kalau di air, dia sama sekali tidak bisa apa-apa, karena berenang pun dia tidak mampu, maka tentu saja dia menjadi ketakutan dan gelagapan, kedua tangannya meraih-raih udara kosong dan mulutnya berteriak minta tolong sebelum kepalanya tenggelam.

Perwira tinggi besar itu dapat berenang, akan tetapi juga tidak ahli. Maka ketika dia berenang mendekati dan mencoba untuk menolong temannya, perwira tua itu menangkap lengannya dengan panik dan hal ini menghalangi temannya untuk berenang sehingga keduanya tenggelam!

Jit Kong dan Goat Kong yang sudah kembali ke perahu mereka, memandang ke arah dua orang yang sedang bergumul itu dengan mata terbelalak.

“Kita tidak boleh membunuh orang,” kata Jit Kong.

“Ya, dan mereka itu tidak pandai renang,” sambung Goat Kong.

“Kalau dibiarkan, tentu mereka akan mati.”

“Karena itu, kita harus menolong mereka.”

Kedua orang anak itu lalu terjun ke air, menyelam dan berenang ke arah dua orang perwira yang sudah mulai lemah gerakan-gerakan mereka itu, sebentar timbul sebentar tenggelam seperti dua ekor ayam terjatuh ke air. Ketika dua orang anak itu berhasil menjambak rambut mereka dan membawa mereka berenang ke perahu kecil itu, mereka berdua sudah tidak bergerak lagi, perut mereka agak kembung dan mereka tidak sadarkan diri.

Melihat mereka pingsan, Jit Kong dan Goat Kong terkejut dan ketakutan.
“Celaka, mereka sudah mati!” teriak Jit Kong.

“Hayo cepat bawa pulang, biar diobati Ayah!” kata Goat Kong.

“Tapi.... tapi kita tentu akan mendapat marah. Kita telah membunuh orang!”

“Biarpun begitu, kita harus berani tanggung jawab. Seorang gagah selalu akan mempertanggung jawabkan semua perbuatannya.”

Semua ucapan yang keluar dari mulut dua orang anak itu adalah hasil ajaran orang tua mereka. Maka, biarpun mereka merasa sangat takut dan mengira bahwa dua orang itu telah mati sehingga mereka akan menerima kemarahan ayah mereka, namun mereka tidak ragu-ragu lagi untuk cepat mendayung perahu pulang dan setibanya di tepi telaga, Jit Kong sudah meloncat dan lari secepatnya menuju ke pondok, sedangkan Goat Kong menjaga perahu di mana dua orang perwira itu masih menggeletak tak bergerak dengan wajah pucat.

Tak lama kemudian Gak Bun Beng datang berlarian bersama Isterinya, mengikuti Jit Kong yang datang memberi tahu kepada mereka tentang dua orang perwira itu. Ketika melihat mereka menggeletak pingsan Bun Beng cepat menelungkupkan mereka dan memaksa air keluar dari dalam perut mereka, kemudian mengurut dada dan punggung sampai mereka siuman kembali.

Begitu mereka siuman dan perwira yang sudah berusia lanjut dan rambutnya putih semua itu melihat Milana, dia segera mengenalnya dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan puteri itu.

“Ah, sungguh beruntung sekali hamba, akhirnya dapat bertemu dengan Paduka Puteri!”

Kakek ini memang merasa terkejut, terheran-heran dan juga girang bukan main karena sama sekali tidak disangkanya bahwa dia akan dapat bertemu dengan orang yang dicari-carinya itu! Mereka berdua adalah dua di antara para perwira yang diutus oleh Pangeran Yung Ceng untuk mencari Puteri Milana.

Dari para penghuni dusun di seberang mereka mendengar bahwa di tempat itu tinggal dua orang suami isteri pertapa yang masih muda dan aneh, bersama dua orang anak mereka. Mendengar betapa suami isteri “pertapa” ini mengasingkan diri selama beberapa tahun, dua orang utusan itu merasa heran dan mereka lalu menggunakan sebuah perahu untuk pergi menyelidiki. Akan tetapi mereka bertemu dengan Jit Kong dan Goat Kong sehingga hampir saja mereka mati tenggelam di telaga.

“Siapakah kalian?”

Milana bertanya sambil mengerutkan alisnya, sama sekali tidak menyangka bahwa ada orang yang akan mengenalnya sebagai puteri istana.

“Maaf, hamba telah berani datang mengganggu. Hamba adalah Souw Ciat, dan dia ini adalah Ciang Sim To,” kata perwira tua sambil menunjuk kepada temannya yang juga sudah menjatuhkan diri berlutut ketika mendengar ucapan Souw Ciat.

Baru sekarang dia juga mengenal Milana yang berpakaian sederhana seperti seorang wanita petani biasa itu.

“Hamba berdua adalah perwira-perwira pengawal dari istana, hamba diutus oleh sri baginda kaisar mencari Paduka Puteri Milana yang mulia.”

Mendengar ini, Gak Bun Beng lalu berkata,
“Sebaiknya mari kita ke pondok dan di sana kita dapat bicara dengan baik.”

Dua orang perwira itu kini pun teringat kepada pendekar ini yang pernah menjadi tokoh terkenal di kota raja, maka Souw-ciangkun lalu menjura, diikuti oleh temannya, kepada pendekar itu sambil berkata,

“Terima kasih atas kebaikan Taihiap.”