FB

FB


Ads

Rabu, 20 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 069

“Satu-satunya sumber yang baik dan dapat dipercaya adalah Pangeran Yung Hwa,” kata Ceng Ceng kepada suaminya setelah mereka tiba di kota raja dan bermalam di sebuah rumah penginapan. “Kalau masih ada Puteri Milana yang terhitung bibi tiriku pula, tentu beliau dapat membantu. Akan tetapi kini Puteri Milana sudah tidak ada di kota raja, tidak berada di istana, telah pergi entah ke mana semenjak lima tahun yang lalu, maka satu-satunya orang di lingkungan istana yang dapat kupercaya adalah Pangeran Yung Hwa.”

Kao Kok Cu menggunakan tangan kanan untuk meraba dagunya, kebiasaannya kalau dia sedang berpikir, matanya memandang kepada isterinya penuh selidik.

“Akan tetapi, bukankah dahulu pernah dia jatuh cinta kepadamu seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku? Dan kau sekarang hendak menemuinya?”

Ceng Ceng tersenyum, mendekati dan merangkul leher suaminya, dengan sikap manja.
“Ihhh! Jangan kau bilang bahwa engkau cemburu!”

Kao Kok Cu tertawa dan mecium isterinya. Semenjak putera mereka hilang, hanya kalau dia berada di dekat isterinya sajalah maka hatinya terhibur dan sejenak dia atau mereka dapat melupakan kedukaan yang menindih hati.

“Engkau salah duga, isteriku. Kau tahu betapa aku mencintamu, betapa kita saling mencinta, dan cinta adalah kepercayaan. Seujung rambut pun tidak ada penyakit cemburu menyentuh hatiku, aku hanya bertanya karena agaknya tidak tepatlah kalau engkau mencari keterangan dari seorang pangeran yang telah patah hati terhadap dirimu. Pertemuan itu selain hanya akan menyakitkan hatinya, membuat luka kambuh, juga mana mungkin dia mau membantu kita?”

“Engkau belum mengenal siapa dia, suamiku. Pangeran Yung Hwa bukanlah sembarang pangeran yang mabuk kekuasaan dan rusak oleh keangkuhan seperti biasanya para muda bangsawan. Sama sekali bukan. Dia menuruni watak gagah, seperti juga Bibi Milana, hanya bedanya, pangeran itu tidak mempelajari ilmu silat.”

Ceng Ceng lalu menceritakan sifat-sifat dan watak pangeran yang pernah jatuh cinta kepadanya itu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Setelah mendengar penuturan Ceng Ceng, akhirnya Kok Cu percaya juga bahwa mungkin dari pangeran itu isterinya akan dapat menyelidiki rahasia dari sernua malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya.

“Selain menyelidiki rahasia itu, juga aku ingin sekali menyampaikan rasa penyesalanku kepada kaisar melalui Pangeran Yung Hwa atas peristiwa dipecatnya ayahmu.”

Demikian Ceng Ceng berkata dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah mencari istana Pangeran Yung Hwa dan menghadap pangeran itu.

Pangeran Yung Hwa menyambut kedatangan Ceng Ceng yang mengunjunginya itu dengan perasaan heran dan gembira. Begitu melihat siapa wanita yang menghadap dan memberi hormat kepadanya, dia segera teringat kepada wanita perkasa itu.

“Ahhh.... engkau....?” serunya dan mempersilakan nyonya muda itu duduk di atas kursi di depannya. “Aku telah mendengar bahwa engkau menjadi mantu Jenderal Kao Liang! Bagaimana keadaanmu? Kuharap baik-baik saja dan berbahagia.”

Melihat sikap pangeran itu yang ramah dan jujur, Ceng Ceng merasa terharu.
“Terima kasih atas kebaikan dan perhatian Paduka Pangeran. Sesungguhnya saya cukup berbahagia kalau saja tidak timbul peristiwa-peristiwa yang menimpa keluarga kami, merupakan bencana yang didatangkan dari istana.”

Pangeran Yung Hwa mengerutkan alisnya.
“Ehhh? Apa maksudmu? Istana mendatangkan bencana terhadap keluargamu?”

Ceng Ceng lalu menceritakan tentang dipecatnya ayah mertuanya secara halus oleh kaisar. Kemudian diceritakannya pula betapa ketika ayah mertuanya beserta seluruh keluarga melakukan perjalanan menuju ke kampung halaman, di tengah jalan diganggu oleh berbagai golongan dan di antara gerombolan yang mengganggu itu terdapat pengawal-pengawal istana! Kemudian diceritakan pula akan hilangnya puteranya yang diduga ada hubungannya dengan malapetaka yang menimpa keluarga Jenderal Kao Liang.

“Coba Paduka pikir, siapa lagi yang menyuruh pengawal-pengawal itu menghadang dan mengganggu keluarga Kao? Bukankah semua itu amat mencurigakan sekali?”

Pangeran Yung Hwa meraba dahinya dan berpikir, lalu dia memandang wanita yang pernah dicintanya itu, bertanya,

“Nyonya muda yang baik, apa maksudmu mengunjungi aku dan menceritakan semua ini kepadaku?”

Ceng Ceng membalas pandang mata itu dan berkata terus terang,
“Saya dan suami saya menduga keras bahwa kunci semua peristiwa itu berada di istana, oleh karena itu kami datang ke kota raja untuk melakukan penyelidikan. Mengingat bahwa Padukalah satu-satunya orang yang saya percaya sebagai seorang keluarga istana yang adil dan bijaksana, maka saya sengaja menghadap untuk mohon pertolongan Paduka sehingga saya dapat mengetahui ke mana putera saya dibawa dan di mana pula adanya keluarga Kao yang terculik.”

Pangeran Yung Hwa menarik napas panjang.
“Aihhhhh.... kalau saja aku tahu, tentu sekarang juga aku akan turun tangan membebaskan mereka dan mengembalikan puteramu. Akan tetapi, bagaimana mungkin aku dapat menyelidikinya? Harus kuakui bahwa keadaan kaisar amat lemah, sudah tua dan tidak begitu memperhatikan keadaan para pembantunya yang banyak melakukan hal-hal yang tidak baik. Aku memang mendengar bahwa Jenderal Kao mengundurkan diri, akan tetapi kusangka tadinya bahwa hal itu terjadi secara wajar sebagaimana biasanya pembesar yang sudah tua dan mengundurkan diri.






Kelemahan kaisar memang membuat para pembesar yang tidak jujur untuk bergerak demi keuntungan diri pribadi sehingga terjadi banyak hal yang buruk. Biarpun aku tidak dapat membantumu secara langsung, akan tetapi munculmu di sini menggerakkan hatiku dan mendorongku untuk bertindak, Nyonya Kao. Hari ini juga aku akan menemui kakakku, Pangeran Mahkota, karena hanya beliau saja yang akan dapat turun tangan membersihkan segala kekotoran yang menodai istana. Mudah-mudahan saja dengan pembersihan yang pasti akan dilakukan oleh kakakku, Pangeran Yung Ceng, urusanmu itu akan terbongkar pula dan engkau dapat menemukan kembali puteramu dan keluarga Kao yang hilang. Hanya inilah yang dapat kulakukan.”

Tentu saja Ceng Ceng tidak merasa sangat puas dengan hasil ini akan tetapi dia pun maklum bahwa Pangeran Yung Hwa tidak berdaya menolongnya karena memang tidak tahu di mana adanya puteranya atau keluarganya, tidak tahu pula siapa biang keladinya. Sudah jelas bahwa bukan kaisar yang melakukan tindakan itu, melainkan pembesar lalim yang amat banyak terdapat di waktu itu. Terpaksa dia lalu berpamit setelah menghaturkan terima kasih, pergi meninggalkan istana Pangeran Yung Hwa untuk menemui suaminya dan menceritakan semua hasil pertemuannya dengan pangeran itu.

Sementara itu, Pangeran Yung Hwa juga tidak lama kemudian meninggalkan istananya, dengan menyamar pangeran ini lalu melakukan perjalanan menuju ke Kuil Siauw-lim-si untuk menemui kakaknya, yaitu Pangeran Yung Ceng. Hal ini tentu menimbulkan perasaan heran bagi yang belum mengetahuinya. Mengapa pangeran itu mencari kakaknya, Pangeran Yung Ceng atau Pangeran Mahkota, ke kuil Siauw-lim?

Tidaklah mengherankan kalau diketahui bahwa Pangeran Yung Ceng memang menjadi murid Siauw-lim-pai! Pangeran ini sejak kecil memang suka akan ilmu silat, apalagi setelah dia diangkat menjadi Pangeran Mahkota, dia makin tekun mempelajari ilmu silat karena dia berpendapat bahwa untuk dapat menjadi kaisar yang baik, selain harus ahli dalam soal-soal bun yang meliputi juga soal-soal tata negara, harus mahir pula dalam bu atau ilmu silat, juga ilmu perang. Maka dia lalu masuk ke Siauw-lim-si dan menjadi murid kuil yang juga menjadi partai persilatan yang amat besar dan telah terkenal sebagai sumber ilmu silat yang tinggi itu.

Pangeran Yung Hwa menjumpai kakaknya dan menceritakan akan segala yang terjadi selama kakaknya tenggelam dalam pelajaran ilmu silat di kuil itu, akan penyelewengan para pembesar. Pangeran Yung Hwa menceritakan tentang pemecatan-pemecatan yang dilakukan kaisar karena bujukan pembesar-pembesar penjilat, pemecatan yang dilakukan terhadap pemimpin-pemimpin yang setia, jujur dan pandai, bahkan menceritakan betapa Jenderal Kao Liang juga dipecat. Kemudian, Pangeran Yung Hwa menceritakan pengalamannya ketika dia hampir tewas di Ho-nan.

“Kenapa kau tidak adukan semua itu kepada kaisar?” Pangeran Yung Ceng menegur adiknya. “Gubernur Ho-nan yang memberontak itu harus ditindak!”

Pangeran Yung Hwa menarik napas panjang.
“Itulah sebabnya mengapa aku terpaksa menyusulmu ke sini. Kaisar sama sekali tidak mau mendengar laporanku, bahkan marah-marah dan kalau bukan aku yang melapor, agaknya tentu sudah dihukum. Betapa banyaknya pembesar jujur yang sudah mencoba untuk menyadarkan beliau, akan tetapi malah menerima hukuman. Pengaruh para thaikam (pembesar kebiri) amat besar dan kaisar amat lemah, seperti bersikap masa bodoh.”

“Hemmm, sampai sekian jauhnya keadaan buruk itu?” tanya Pangeran Yung Ceng.

“Malah lebih lagi,” kata Yung Hwa. “Semenjak kakak kita, Puteri Milana tidak ada, dan engkau sendiri pergi memperdalam ilmu silat di sini, tidak ada lagi orang kuat di dalam istana. Aku sendiri biarpun telah terbebas dari cengkeraman Gubernur Ho-nan dan berkali-kali tertolong oleh orang-orang gagah, akan tetapi tidak pernah terlepas dari pengawasan mereka. Bahkan aku percaya bahwa ketika aku menyamar dan datang ke sini ada orang-orang yang diam-diam membayangiku.”

“Ahhh! Sampai begitu hebat?” Pangeran Yung Ceng mengepal tinjunya. “Yung Hwa, wajah kita mirip sekali seperti saudara kembar, maka biarlah aku memakai pakaianmu dan keluar lebih dulu dari kuil ini. Engkau boleh menyusul besok dan dikawal oleh murid-murid Siauw-lim-pai. Hendak kulihat sendiri sampai di mana keberanian pengkhianat-pengkhianat itu!”

Dengan marah sekali Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengenakan pakaian adiknya, setelah berpamit kepada para guru di kuil itu dan memesan agar besok adiknya dikawal ke kota raja, dia lalu meninggalkan kuil.

Memang wajah Pangeran Yung Ceng mirip sekali dengan wajah Pangeran Yung Hwa. Tentu saja, kalau mereka berdua berbuka pakaian, nampak perbedaan yang menyolok karena kalau tubuh Pangeran Yung Hwa halus lemah lembut, sebaliknya tubuh Pangeran Yung Ceng yang sejak kecil gemar berolah raga itu kokoh dan kekar. Akan tetapi, kalau tubuh mereka disembunyikan dalam pakaian dari luar, nampak serupa, bertubuh sedang dan berwajah tampan.

Hari telah senja ketika Pangeran Yung Ceng memasuki kota Thian-cin di sebelah selatan kota raja. Karena menyamar sebagai adiknya, pangeran ini tidak mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat dan dia sengaja melakukan perjalanan lambat untuk melihat-lihat keadaan.

Banyak sudah dia mendengar percakapan di antara rakyat tentang penyelewengan para petugas, dan dia pun mendengar berita-berita tentang sikap memberontak dari para pembesar di Ho-nan yang tentu saja mencontoh sikap gubernur mereka. Dia juga tahu bahwa diam-diam dia selalu dibayangi orang seperti yang diceritakan oleh adiknya.

Ketika malam hari itu Pangeran Yung Ceng memasuki sebuah restoran di kota Thian-cin, dia tahu bahwa ada lima orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa mereka adalah jagoan-jagoan, diam-diam membayanginya dan mereka pun masuk pula di restoran itu, mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan dengan meja pangeran itu. Restoran itu tidak begitu ramai dan banyak kursi yang kosong.

Ketika pangeran itu memesan masakan kepada seorang pelayan, tiba-tiba seorang di antara lima orang yang duduk di meja yang berdekatan itu bangkit berdiri dan menghampiri Pangeran Yung Ceng, menjura dan berkata,

“Harap maafkan! Kalau tidak salah lihat, bukankah Kongcu datang dari kota raja?”

Yung Ceng memandang dengan sikap tak acuh, lalu menggelengkan kepalanya dan menjawab,
“Bukan, saya memang hendak pergi ke kota raja, akan tetapi saya bukan dari kota raja, saya orang dari selatan.”

Orang itu berkata “maaf” sambil tersenyum, lalu kembali duduk di tempat teman-temannya. Percakapan pendek itu disaksikan oleh pelayan yang kini sudah pergi untuk mempersiapkan pesanan Pangeran Yung Ceng.

“Ha-ha, memang mirip, akan tetapi dia tentu bukan pangeran pengecut itu,”

Tiba-tiba terdengar seorang di antara lima orang itu berkata, kata-katanya cukup keras sehingga terdengar oleh Pangeran Yung Ceng.

“Kalau dia Pangeran Yung Hwa, sudah kuhancurkan kepalanya sejak tadi,” terdengar pula mereka bicara.

“Ha-ha, yang ini hanyalah seorang sastrawan lemah, tidak ada harganya untuk dipandang. Dan kita telah membayanginya sehari penuh. Sialan!”

“Karena gara-gara dia kita membuang tenaga sia-sia, sebaiknya kalau kita hajar kutu buku ini.”

“Akan tetapi, bagaimana kalau dia benar Pangeran Yung Hwa....?”

Terdengar suara lain, berbisik dan kalau yang duduk di situ adalah Pangeran Yung Hwa, tentu tidak akan dapat mendengar bisikan itu. Akan tetapi, Pangeran Yung Ceng telah mempelajari ilmu yang tinggi sehingga panca inderanya lebih peka dan tajam daripada orang biasa. Dia mampu mendengarkan bisikan ini.

“Lebih baik lagi kalau begitu! Dan kita tidak akan salah, karena bukankah dia menyangkal siapa dirinya? Pelayan itu menjadi saksi.”

Kini maklumlah Pangeran Yung Ceng mengapa seorang di antara mereka tadi menegurnya. Kalau dia sudah menyangkal sebagai pangeran, maka andaikata mereka itu membunuhnya, mereka dapat menggunakan alasan bahwa mereka tidak mengenalnya sebagai pangeran, seperti disaksikan pula oleh pelayan tadi. Pelayan tadi datang membawa masakan, langsung menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.

“Heeeii, itu pesanan kami!” teriak seorang di antara mereka sambil bangkit berdiri dan menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.

“Tidak, Sicu, ini adalah pesanan Kongcu ini!” bantah si pelayan.

“Setan! Kami juga memesan masakan seperti ini sejak tadi. Hayo berikan kepada kami. Apakah kau hendak menjilat kutu buku ini?”

Pangeran Yung Ceng maklum bahwa orang yang berkumis tebal, seorang di antara mereka itu yang kini bersikap kasar, memang sengaja hendak mencari keributan, maka dia berkata tenang,

“Sobat, harap jangan membikin ribut!”

Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Si Kumis Tebal itu. Dengan mata melotot dia menghampiri Pangeran Yung Ceng, menghardik,

“Kalau aku membikin ribut, engkau mau apa, cacing buku yang busuk?”

Akan tetapi, biarpun Yung Ceng juga seorang kutu buku atau cacing buku, yaitu sebutan mengejek bagi seorang sastrawan, dia bukanlah seorang yang lemah. Sama sekali bukan! Dia adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang tekun dan berbakat, bahkan telah diberi pelajaran istimewa oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai sehingga dia memiliki ilmu kepandaian tinggi.

“Tidak apa-apa,” jawab Pangeran Yung Ceng tenang. “Hanya kalau kau tidak segera pergi dari sini, aku akan mencabuti kumismu!”

Sepasang mata itu terbelalak makin lebar, mulutnya ternganga seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Benarkah si kutu buku ini berani berkata demikian kepadanya?

“Keparat....!” teriaknya dan kepalan tangannya yang sebesar kepala anak kecil, yang keras dan terlatih karena sering kali dilatih memukuli batu sampai remuk, kini menyambar ke arah kepala Pangeran Yung Ceng.

Akan tetapi, dengan gerakan ringan dan tenang, pangeran itu miringkan kepalanya, membiarkan tangan yang memukul itu lewat, kemudian secepat kilat jari-jari tangannya menyambar dan membetot.

“Auuuwwwhhhhh....!”

Si Kumis Tebal itu menjerit-jerit dan kedua tangannya menutupi bawah hidungnya yang berdarah karena kumisnya telah dicabut dengan paksa oleh Pangeran Yung Ceng.

“Manusia bosan hidup!” terdengar teriakan dan empat orang lainnya sudah berloncatan dari kursi mereka dan menerjang Pangeran Yung Ceng.

Pelayan itu lari ketakutan dan kini pangeran itu bangkit berdiri wajahnya merah karena marah. Empat orang itu menerjang dengan kepalan tangan mereka, dan dari gerakan mereka dapat diketahui bahwa mereka memang bukan orang-orang sembarangan, melainkan jagoan-jagoan yang pandai ilmu silat.

Akan tetapi, yang mereka keroyok adalah murid Siauw-lim-pai yang sudah matang ilmu silatnya, maka terdengar suara mereka mengaduh dan meja kursi berserakan ketika pangeran itu membagi-bagi pukulan dan tendangan yang membuat mereka terlempar ke sana-sini.

Mengertilah lima orang itu sekarang bahwa pemuda tampan yang kelihatan lemah itu, yang mereka sangka adalah Pangeran Yung Hwa, ternyata adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak lemah, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi.

Kemarahan mereka memuncak dan mereka berlima termasuk Si Kumis Tebal yang kini berubah menjadi Si Kumis Buntung karena masih ada sisa kumisnya menempel di bawah hidung, segera mencabut senjata mereka berupa golok besar dan dengan teriakan-teriakan ganas mereka kini menerjang pemuda itu.

Yung Ceng meraba pinggangnya dan nampaklah cahaya berkelebat ketika pangeran ini sudah mencabut sebatang pedang pendek yang tadi disembunyikan di bawah baju sastrawannya. Pedang pendeknya itu digerakkan dengan hebat, nampak gulungan sinar menyambar-nyambar dan terjadilah pertempuran yang seru di dalam rumah makan itu. Para tamu sudah sejak tadi lari meninggalkan restoran itu, demikian pun para pelayan ada yang lari, ada pula yang sembunyi dengan tubuh menggigil.

Dengan marah sekali Pangeran Yung Ceng menggerakkan pedangnya dan berturut-turut terdengarlah pekik mengerikan disusul robohnya lima orang pengeroyok itu, ada yang lehernya terpancung hampir putus, ada yang perutnya robek dan dadanya berlubang.

Pangeran Yung Ceng menyimpan pedangnya dan melihat bahwa seorang di antara mereka masih belum tewas, yaitu yang tadi sengaja dia lukai pahanya, dia cepat mencengkeram pundak orang itu, ditariknya naik dan dia membentak,

“Kalian telah membayangi aku dan sekarang sengaja menyerang, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian!”

Orang itu meringis kesakitan, mukanya pucat dan dia ketakutan, menggeleng-gelengkan kepala.

“Hayo mengaku! Kau tahu siapa aku? Aku adalah Pangeran Mahkota Yung Ceng!”

Orang itu terbelalak.
“Am.... ampunkan hamba.... hamba hanya utusan.... dari.... dari....!”

Pada saat itu nampak sinar berkelebat menyambar. Pangeran Yung Ceng terkejut sekali karena sinar itu datangnya cepat bukan main, menyambar dari luar rumah makan. Karena tidak mungkin dapat mengelak lagi, pangeran itu cepat mengangkat tubuh orang yang dicengkeram pundaknya itu, dipakai sebagai perisai.

“Crottt....auggghhhhh....!”

Orang itu menjadi lemas dan melihat betapa tawanannya itu tewas, Pangeran Yung Ceng melemparkannya ke atas lantai dan dia cepat meloncat ke pintu. Akan tetapi dia hanya melihat bayangan penyerangnya itu berkelebat cepat dan sudah lenyap di antara banyak orang di jalan raya.

Dia kembali lagi dan melihat bahwa punggung orang tadi tertusuk jarum berwarna kehijauan yang menancap sampai hanya kelihatan sedikit saja ujungnya, tahulah dia bahwa penyerangnya adalah seorang yang mahir menggunakan senjata rahasia jarum beracun. Dia merasa menyesal karena tawanan ini belum sempat mengaku siapa yang menyuruh mereka.

Ketika pembesar setempat mendengar bahwa pangeran mahkota diserang orang di kotanya, dia tergopoh-gopoh datang diiringkan oleh pasukan pengawal. Kiranya ketika Pangeran Yung Ceng tadi mengakui dirinya untuk memaksa tawanannya mengaku, ada beberapa orang yang mendengar dan cepat mereka itu melaporkan kepada para penjaga keamanan sehingga pembesar kepala daerah sendiri kini datang ke restoran itu.

Pangeran Yung Ceng menerima penghormatan mereka yang berlutut dan dengan singkat dia lalu memerintahkan untuk menyelidiki lima orang itu, kemudian dia minta seekor kuda dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat ke kota raja, menolak ketika hendak dikawal.

Pangeran mahkota ini marah sekali karena kini dia mendapatkan bukti sendiri betapa memang terjadi kekacauan sehingga ada penjahat-penjahat yang menghendaki nyawa adiknya, yaitu Pangeran Yung Hwa. Dia dapat menduga bahwa lima orang itu tentulah orang-orang yang diutus oleh Gubernur Ho-nan yang memperlihatkan sikap memberontak itu.

Setelah tiba di kota raja, pangeran mahkota yang sedang marah itu langsung saja menghadap ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan pikun. Dengan tegas dia menceritakan keadaan yang amat kacau karena tingkah polah para pembesar yang menyeleweng itu kepada kaisar.

Kaisar Kang Hsi adalah seorang kaisar yang tadinya amat terkenal karena pandai mengatur pemerintahan, berwibawa dan juga bijaksana. Kerajaan Mancu berkembang dengan baiknya, dan harus diakui bahwa dialah yang berjasa dalam menaikkan nama Dinasti Kerajaan Cengtiauw.

Akan tetapi, setelah dia menjadi tua dan pikun, dia menjadi tidak acuh dan malas. Kini, mendengar teguran puteranya yang telah dipilihnya untuk kelak menggantikan dia menjadi kaisar, Kaisar Kang Hsi mendengarkan dengan sabar dan dengan sikap tidak acuh, kemudian dia menggerakkan tangan dan berkata,

“Puteraku yang baik, ayahmu ini sudah tua dan sudah malas untuk mengurus segala macam hal yang memusingkan belaka. Di dalam tahun-tahun terakhir dari usiaku ini, aku ingin hidup tenteram dan enak, ingin menikmati hidup ini, dan yang kupentingkan adalah keuntungan bagi negeriku. Mengapa aku tidak boleh menikmati kehidupan di dalam usia setua ini? Engkau saja yang harus rajin dan mematangkan dirimu agar kelak kalau kau menggantikan aku, engkau sudah benar-benar cakap.”

“Maafkan hamba, bukan maksud hamba untuk membantah. Akan tetapi lupakah Paduka akan Sri Baginda Raja, Liang Hwi Ong?”

Kaisar yang tua itu memandang puteranya sambil tersenyum.
“Hemmm, maksudmu?”

Dengan tegas Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengingatkan kaisar akan pelajaran dalam kitab Beng Cu. Beng Cu adalah seorang murid Nabi Khong Cu yang amat bijaksana dan banyaklah contoh-contoh diambil dari Beng Cu ini sebagai pewaris pelajaran Nabi Khong Cu. Yang dimaksudkan oleh Pangeran Yung Ceng dengan Raja Liang Hwi Ong adalah pelajaran Beng Cu yang menuturkan tentang pertemuan antara Raja Hwi Ong dari Negeri Liang dengan Beng Cu.

Raja Hwi Ong bertanya kepada Beng Cu, ajaran apakah yang dapat membawa keuntungan bagi negerinya di waktu itu. Mendengar pertanyaan ini, Beng Cu lalu menjawab.

“Mengapa Baginda menanyakan keuntungan? Yang saya bawa hanyalah cinta kasih dan kebenaran. Apabila Paduka bertanya tentang keuntungan bagi negeri Paduka, para pembesar tentu akan bertanya tentang keuntungan bagi keluarga mereka, dan rakyat pun akan bertanya tentang keuntungan bagi diri sendiri. Apabila yang berkedudukan tinggi maupun yang rendah hanya memperebutkan atau menginginkan keuntungan saja, negara tentu akan berada dalam bahaya. Raja yang memiliki berlaksa kereta perang kalau sampai terbunuh tentu oleh pangeran yang memiliki ribuan kereta perang, dan pangeran itu kalau sampai terbunuh tentu oleh keluarga yang hanya memiliki seratus kereta perang.

Apabila yang memiliki selaksa kereta perang mengambil yang seribu, tentu yang memiliki seribu mengambil yang seratus dan selanjutnya. Jumlah itu bukan kecil, akan tetapi apabila manusia membelakangi kebenaran dan mengutamakan keuntungan, pasti dia tidak puas sebelum memperoleh seluruhnya. Sebaliknya, belum pernah ada seorang manusia yang mempunyai cinta kasih menyia-nyiakan orang tuanya, dan belum pernah ada seorang manusia yang menjunjung kebenaran membelakangi rakyatnya. Seharusnya Paduka bertanya tentang cinta kasih dan kebenaran. Untuk apa bertanya tentang keuntungan?”

Demikianlah pelajaran dalam kitab Beng Cu yang kini dikemukakan oleh Pangeran Yung Ceng untuk menyadarkan ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi.

Kaisar Kang Hsi sudah amat tua dan sakit-sakitan tubuhnya, juga batinnya tidak sehat lagi semenjak dia berduka atas kematian saudara-saudaranya yang memberontak.

“Sudahlah, Yung Ceng, jangan ganggu aku dengan segala isi kitab lama itu. Aku sudah lelah dan aku tidak ingin memusingkan keadaan di luar kamarku.”

“Akan tetapi Paduka masih seorang kaisar, Paduka masih mempunyai tanggung jawab yang amat besar terhadap rakyat jelata. Apakah Paduka masih belum tahu akan segala peristiwa di luaran? Apakah Paduka tidak tahu betapa hampir saja Adik Yung Hwa terbunuh karena Gubernur Ho-nan hendak memberontak? Betapa pembesar-pembesar jahat sekarang ini sudah bersekongkol dengan penjahat-penjahat dari dunia hitam dan menanti saatnya saja untuk memberontak? Betapa para pembesar setia dan bijaksana Paduka pecat karena bujukan para pembesar palsu yang menjilat-jilat? Betapa kedudukan Paduka menjadi lemah karena kekuasaan secara diam-diam diambil alih oleh mereka yang berpengaruh di dalam istana?”

“Sudahlah Yung Ceng. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang tua seperti aku yang sudah bosan dengan semua itu?”

“Paduka dapat turun tangan, Paduka dapat bertindak sekarang juga, dan pertama-tama Paduka seyogianya dapat membebaskan diri dari pengaruh para thaikam....”

Pada saat itu, thaikam kepala yang bernama Kong Tek Jin dan yang hadir pula di situ, tiba-tiba berkata,

“Pangeran, harap jangan terlalu mendesak kepada Sri Baginda. Beliau sedang kurang sehat dan lelah....“

“Diam kau! Jangan mencampuri!” Yung Ceng membentak.

“Yung Ceng, tidak boleh kau bersikap begitu terhadap dia yang amat berjasa....” Kaisar mencela.

“Justeru dia inilah seorang di antara mereka yang jahat dan palsu, akan tetapi dia pandai menjilat!”