FB

FB


Ads

Rabu, 20 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 067

Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi dan Hwee Li, dua orang wanita muda yang tertawan di dalam lembah dan sama sekali tidak berdaya untuk meloloskan diri itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, yang bersama-sama dengan Ceng Ceng pergi menuju ke kota Pao-ting.

Seperti yang diceritakan oleh Ceng Ceng kepada ayah mertuanya, dia sudah berjanji untuk bertemu di Pao-ting bersama suaminya setelah dia dan suaminya berpisah dan melakukan penyelidikan untuk mencari putera mereka secara berpencar.

Mereka tiba di kota Pao-ting pada waktu senja. Menurut perjanjian antara suami isteri itu, pertemuan di antara mereka di kota ini akan dilakukan esok hari. Karena itu, Ceng Ceng lalu mengajak ayah mertua dan adik-adik iparnya untuk mencari rumah penginapan.

Akan tetapi, tiba-tiba seorang anak kecil, anak laki-laki yang usianya kurang lebih dua belas tahun, seorang anak yang berpakaian pengemis, menghampiri mereka yang sedang berjalan perlahan di atas jalan raya itu dan berbisik kepada Ceng Ceng. Ceng Ceng dan rombongannya mengira bahwa anak itu tentu hendak mengemis, akan tetapi betapa kaget hati Ceng Ceng ketika mendengar anak itu berbisik,

“Apakah Toanio mengenal Topeng Setan?”

Tentu saja Ceng Ceng kaget karena Topeng Setan adalah nama julukan suaminya dahulu ketika suaminya belum menikah dengan dia dan suka menggunakan topeng buruk menutupi wajahnya yang tampan (baca Kisah Sepasang Rajawali).

“Anak baik, kau membawa berita apa dari Topeng Setan?” tanyanya, berbisik dan membungkuk.

“Saya disuruh menyerahkan surat ini,” jawab anak itu, mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya yang butut.

“Ah, terima kasih!” Ceng Ceng berseru, menerima surat itu dan mengeluarkan beberapa potong uang kecil. “Ini hadiah untukmu”

“Tidak, Toanio. Saya sudah menerima hadiah cukup dari pengirim surat ini.”

Setelah berkata demikian, bocah itu lari meninggalkan Ceng Ceng dan rombongannya. Ceng Ceng lalu menoleh kepada ayah mertuanya dan berkata,

“Ayah, lihatlah, seorang anak jembel pun mempunyai kejujuran.”

Jenderal Kao Liang mengangguk dan menarik napas panjang.
“Justeru kejujuran biasanya ditemukan pada orang-orang bodoh dan miskin, sebaliknya orang-orang yang mengaku dirinya terpelajar dan pandai, agaknya tidak mengenal lagi kejujuran yang mereka anggap semacam kebodohan.”

Ceng Ceng membuka sampul surat dari suaminya itu dan melihat tulisan suaminya di atas kertas, tulisan yang amat dikenalnya.

“Isteriku, harap ajak ayah dan adik-adik ke kuil kosong di sudut barat kota.”

Ceng Ceng memperlihatkan surat itu kepada ayah mertuanya. Hati bekas jenderal ini girang bukan main dan diam-diam dia kagum kepada putera sulungnya itu yang ternyata telah dapat mengetahui bahwa dia dan dua orang puteranya datang bersama mantunya. Dia membenarkan sikap putera sulungnya yang berhati-hati dan tidak menghendaki pertemuan di tempat terbuka.

“Mari kita pergi ke sana,” katanya kepada Ceng Ceng dan mereka berempat lalu menuju ke barat. Malam telah tiba dan mereka menghampiri kuil yang tua, kosong dan gelap itu.

“Ayah....!”

Kao Kok Cu menyambut kedatangan ayahnya dengan memberi hormat sambil berlutut di atas lantai ruangan kuil itu. Ruangan itu luas dan sebagian dindingnya sudah runtuh, atapnya juga sebagian banyak terbuka. Di atas meja butut terdapat dua batang lilin yang dinyalakan oleh pendekar itu dan lantainya dibersihkan.

Bekas jenderal itu mengangkat bangun putera sulungnya dan memandang dengan penuh perhatian dan penuh selidik. Kao Kok Cu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian sederhana. Tubuhnya tinggi dan padat, dan kelihatan agak kurus. Wajahnya yang tampan itu kelihatan agak muram. Lengan kirinya yang buntung tertutup lengan baju yang tergantung lepas. Inilah dia Naga Sakti dari Gurun Pasir, pendekar sakti yang berilmu tinggi, akan tetapi yang kini bersama isterinya merana dan berduka, mencari putera mereka yang hilang.

“Saya melihat Ceng Ceng muncul bersama Ayah dan adik-adik, maka saya menyuruh anak pengemis mengirim surat,” katanya setelah bangkit berdiri, memandang ayahnya yang kelihatan demikian muram dan berduka, bahkan sepasang mata kakek itu basah.

Melihat ini, Kao Kok Cu bertanya khawatir,
“Ada apakah Ayah? Apa yang terjadi?”

“Twako....!”

Dua orang adiknya berseru dan kini dua orang muda itu menangis sambil merangkul kakak mereka.

“Eh, eh, Adik Tiong dan Han! Ada apakah?” Kok Cu bertanya, makin kaget dan khawatir. “Mari kita duduk di lantai dan bicara!”

Mereka berlima duduk di atas lantai membentuk lingkaran dan berceritalah Jenderal Kao Liang tentang semua peristiwa yang terjadi, tentang malapetaka yang menimpa keluarganya. Semua dia ceritakan dengan jelas, melewati hal-hal yang dianggapnya kurang penting. Sebagai penutup, dia menghela napas panjang dan berkata, suaranya gemetar,

“Kami bertiga masih bingung dan tertekan oleh peristiwa hebat itu dan engkau dapat membayangkan betapa gelisah hatiku. Akan tetapi, kemudian kami bertemu dengan isterimu dan mendengar bahwa cucuku juga hilang! Aihhh, Kok Cu, apa yang dapat kita lakukan sekarang?” Ayah itu mengusap ke arah bawah matanya untuk menghapus dua tetes air matanya.






Si Naga Sakti dari Gurun Pasir tidak menjawab, tangan kanannya dikepal, sepasang matanya mencorong seperti mengeluarkan api, seperti mata naga ketika tertimpa sinar dua batang lilin yang lemah. Mendengar betapa ibunya, iparnya, bibinya, keponakan-keponakannya diculik orang, betapa keluarga ayahnya, tertimpa malapetaka yang hebat itu, dia menjadi marah bukan main. Anaknya sendiri lenyap dan kini ibunya dan semua keluarganya diculik orang.

Melihat keadaan pendekar itu, ayahnya dan dua orang adiknya memandang dengan kaget dan gentar juga. Memang hebat sekali melihat sepasang mata yang mencorong itu. Menakutkan! Mereka hanya menanti ketika melihat Kok Cu diam saja, wajahnya seperti topeng, keras dan kaku, hanya matanya yang mencorong itulah yang hidup, bergerak seperti mata naga mencari mustikanya.

Melihat ini, mengertilah Ceng Ceng bahwa suaminya menderita himpitan batin yang hebat dan betapa suaminya sedang mengerahkan sinkang untuk menghadapi penderitaan itu. Tahulah dia betapa suaminya marah dan andaikata orang-orang yang menyebabkan malapetaka itu berada di situ, berapapun banyaknya, betapapun kuatnya, tentu akan mengalami saat kiamat di tangan suaminya!

“Suamiku, kemarahan adalah sia-sia, hanya melemahkan batin dan mengeruhkan plkiran,” katanya dengan suara halus, tangannya meraba lengan suaminya.

Kata-kata itu adalah kata-kata suaminya sendiri yang sekarang dia pergunakan untuk membantu suaminya sadar akan keadaan dirinya.

Perlahan-lahan wajah yang kaku itu bergerak dan hidup kembali. Kok Cu menghela napas panjang dan matanya, biarpun masih mencorong, namun tidak liar seperti tadi ketika dia menoleh dan memandang isterinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi jari-jari tangannya memegang tangan isterinya, tergetar dan Ceng Ceng dapat menerima rasa syukur dan terima kasih yang terpancar melalui getaran jari-jari tangan dan pandang mata suaminya itu. Dia merasa terharu dan dua titik air mata membasahi kedua matanya. Dia menunduk dan dua titik air mata itu menetes turun.

“Ayah, tidak mungkin semua peristiwa ini terjadi secara kebetulan saja. Ayah dipecat tanpa kesalahan, kemudian perjalanan Ayah ke kampung diganggu, keluarga kita diculik dan harta yang dikumpulkan secara jujur, hasil pengabdian Ayah selama puluhan tahun, dicuri dan bukan itu saja, juga cucu Ayah diculik orang. Aku dan Ceng Ceng sudah melakukan penyelidikan, mencari-cari Cin Liong, dan kami sependapat bahwa Cin Liong bukan pergi dan tersesat begitu saja, melainkan tentu ada yang membawanya pergi. Semua ini kurasa ada hubungannya, saling kait-mengait. Bukankan menurut cerita Ayah tadi, di antara para penghadang yang kemudian saling bertempur sendiri, di antara mayat mereka terdapat pengawal-pengawal istana?”

Bekas jenderal itu mengangguk.
“Aku sendiri memang sudah menduga demikian, Kok Cu. Akan tetapi, sungguh aneh sekali kalau begitu. Apa perlunya kaisar melakukan semua kekejian itu terhadap kita? Dan siapa yang melaksanakannya? Tadinya kami mengira keluarga Suma, akan tetapi ternyata bukan.”

“Memang bukan. Aku sudah berjumpa dengan kedua orang Paman Suma, dan mereka itu sama sekali tidak tahu, bahkan mereka berjanji akan membantu kita untuk menyelidiki,” kata Ceng Ceng yang percaya sepenuhnya kepada dua orang pamannya dari Pulau Es itu.

“Aku sendiri tidak akan percaya kalau keluarga Pulau Es mencampuri urusan yang keji ini, akan tetapi kita tidak bisa mengandalkan orang lain. Kita harus menyelidiki sendiri. Karena awal peristiwa ini dimulai dengan pemecatan Ayah di kota raja, maka kurasa semua rahasia ini bisa didapatkan di kota raja. Aku bersama isteriku akan melakukan penyelidikan ke kota raja, Ayah. Sekali kita mengetahui rahasianya, kiranya tidak akan sukar mencari di mana mereka itu menyembunyikan keluarga kita dan anakku“

“Akan tetapi.... ahhh, bagaimana kalau sampai terlambat? Kalau sampai anakku Cin Liong....?” Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan mukanya menjadi pucat.

“Tidak mungkin!” Tiba-tiba Kok Cu berseru nyaring sekali, mengejutkan Jenderal Kao dan dua orang puteranya. “Kalau terjadi apa-apa dengan anakku dan keluarga kita, mereka semua, siapapun adanya mereka itu, bahkan kaisar sendiri sekalipun, tidak akan dapat terlepas dari tanganku!”

Hebat bukan main ancaman ini dan hati Jenderal Kao Liang yang semenjak nenek moyangnya amat setia kepada kaisar, seperti tertusuk. Akan tetapi ayah yang bijaksana ini tidak berkata sesuatu, karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dilanda oleh kegelisahan dan kemarahan, tidak baik kalau menentang putera sulungnya.

“Baiklah, Kok Cu. Engkau pergilah bersama isterimu menyelidiki ke kota raja. Engkau tentu mengerti bahwa tidak mungkin bagi ayahmu untuk kembali ke sana, setelah ayahmu dipecat. Kami bertiga akan melakukan penyelidikan dengan cermat sekali lagi di tempat peristiwa kehilangan itu terjadi. Siapa tahu kami akan bisa menemukan jejak.”

Malam itu mereka tidak tidur, tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan bercakap-cakap saling menceritakan perjalanan mereka lebih jauh. Pertemuan yang amat mengharukan dari keluarga seorang jenderal yang pernah menjadi panglima besar, yang kini mengadakan pertemuan di kuil kosong, sunyi dan kotor.

Biarpun keadaannya demikian, agaknya pertemuan itu tentu akan berlangsung penuh kegembiraan kalau saja tidak terjadi peristiwa-peristiwa hebat yang menimpa keluarga mereka. Kini, pertemuan itu menjadi pertemuan yang amat mengharukan dan menyedihkan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Kok Cu dan Ceng Ceng sudah berlutut di depan kaki Jenderal Kao Liang dan bermohon diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja di mana mereka akan menyelidiki rahasia malapetaka yang menimpa keluarga mereka. Jenderal Kao Liang mengelus kepala mereka seperti memberi berkah, kemudian Kok Cu merangkul kedua orang adiknya. Pergilah suami isteri pendekar ini meninggalkan kuil tua dalam cuaca yang masih gelap.

Jenderal Kao Liang sendiri bersama putera-puteranya lalu meninggalkan kota Pao-ting, menuju ke daerah lembah Huang-ho di mana keluarga mereka lenyap dan mereka pun hendak melakukan penyelidikan yang lebih cermat setelah kini mereka tahu bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka itu.

Pada suatu siang, tibalah mereka di tempat itu, di mana dahulu mereka meninggalkan keluarga mereka yang kemudian lenyap. Mereka berhenti di celah tebing di mana rombongan mereka diserang dan banyak yang mati keracunan oleh balok-balok yang menghadang jalan. Mereka termenung berdiri di situ. Peristiwa yang telah lalu itu seperti baru terjadi dan masih terbayang di mata mereka.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara derap kaki kuda. Mereka cepat menoleh dan dari belakang mereka datang sepasukan orang berkuda yang jumlahnya ada dua puluh orang lebih.

“Hati-hati, dan jangan sembarangan turun tangan,” bisik Jenderal Kao Liang kepada dua orang puteranya.

Mereka berdiri di tepi jalan dan memandang pasukan yang datang makin dekat itu. Mereka mengira bahwa rombongan yang ternyata bukan pasukan kerajaan, melainkan pasukan yang memakai pakaian aneh, bukan seperti tentara namun memakai seragam berwarna biru gelap, akan lewat.

Akan tetapi, ternyata mereka itu menghentikan kuda mereka ketika tiba di situ dan kini mereka melihat sulaman gambar naga di dada baju orang-orang itu! Seorang di antara mereka, yang tinggi kurus, melompat turun dari atas kudanya dan berdiri di depan Jenderal Kao Liang sambil tersenyum lebar.

Ayah dan anak ini terkejut ketika mengenal orang ini. Inilah orang yang berjuluk Hoa-gu-ji (Kerbau Belang), seorang tokoh dari Kwi-liong-pang dan tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang Kwi-liong-pang, satu di antara gerombolan-gerombolan yang memperebutkan harta benda mereka! Jenderal Kao Liang maklum bahwa orang ini lihai, akan tetapi dia bersikap tenang, walaupun dia dan dua orang puteranya sudah siap untuk menghadapi perkelahian.

Akan tetapi, setelah tertawa, Hoa-gu-ji sama sekali tidak menyerang atau memberi isyarat untuk menyerang. Sebaliknya malah, dia memberi hormat dan menjura kepada Jenderal Kao Liang sambil berkata,

“Kao-goanswe, maafkan kalau kami mengganggu. Kami sengaja menemui Kao-goanswe untuk menyerahkan bungkusan ini, harap kau suka menerima dan memeriksa isinya.”

Hoa-gu-ji mengeluarkan sebuah bungkusan kecil berwarna kuning dan biarpun meragu, Jenderal Kao Liang menerimanya juga.

“Siapa yang menyuruhmu?” tanyanya.

“Bukalah, dan engkau akan mengetahuinya sendiri, Kao-goanswe,” jawab Hoa-gu-ji.

Jenderal Kao Liang membuka bungkusan itu dengan hati-hati karena dia tentu saja tidak percaya kepada orang seperti tokoh Kwi-liong-pang ini. Akan tetapi, begitu isi bungkusan itu nampak, Kok Tiong yang bersama Kok Han ikut pula memperhatikan, berseru kaget.

“Ini tusuk konde isteriku!” teriaknya.

Jenderal Kao Liang mengangguk dan memeriksa sebuah cincin bermata biru, cincin milik isterinya! Ternyata orang telah mengirim dua buah benda itu yang cukup menjadi bukti bahwa keluarga Kao berada di tangan mereka!

“Keparat, kau apakan mereka? Di mana mereka?”

Kok Tiong sudah mencabut pedang diikuti oleh Kok Han, akan tetapi Jenderal Kao Liang cepat mencegah mereka dan menyuruh mereka mundur dan menyimpan pedang mereka kembali. Sementara itu, Hoa-gu-ji yang akan diserang itu hanya memandang sambil tersenyum lebar saja.

Jenderal Kao Liang membuka sampul surat yang berada di dalam bungkusan bersama dua buah benda perhiasan wanita itu.

Jenderal Kao Liang,
Kalau engkau ingin bertemu dengan keluargamu, lkutlah bersama utusan kami dan taati semua perintahnya.

Surat itu tanpa tanda tangan, akan tetapi maksudnya sudah cukup dan jelas bagi Jenderal Kao Liang. Dengan adanya tusuk konde mantunya dan cincin isterinya, jelas bahwa keluarganya berada di dalam cengkeraman pengirim surat ini dan kalau dia menghendaki dapat bertemu kembali dengan mereka, bahkan demi keselamatan mereka, dia dan dua orang puteranya harus menyerah!

“Baiklah, kami akan ikut bersama kalian” kata Jenderal Kao, lalu kepada Kok Han dia berkata, “Kao Han, engkau susul twakomu ke kota raja.”

“Baik, Ayah,” kata Kok Han yang tadi juga sudah membaca surat itu.

Dia menjura kepada ayahnya, memeluk kakaknya, lalu berlari pergi dengan cepat. Hoa-gu-ji tidak mencegahnya karena menurut perintah, dia hanya disuruh menangkap Jenderal Kao Liang saja. Dia lalu melucuti pedang Jenderal Kao dan Kok Tiong, kemudian mereka berdua dibelenggu dan disuruh naik ke atas punggung kuda, kemudian keduanya dibawa pergi dengan mata ditutup kain hitam.

Ayah dan anak ini tak pernah melepaskan perhatian dalam perjalanan itu. Akan tetapi, mereka tahu bahwa tidak mungkin mereka dapat melalui bukit-bukit dan hutan-hutan yang dapat mereka ketahui dari jalan yang naik turun dan dari hawa dan suara angin di antara banyak pohon, suara burung dan binatang hutan.

Malam itu mata mereka dibuka ketika rombongan berhenti di dalam sebuah hutan yang gelap, dan mereka diberi makan yang cukup baik, diperlakukan dengan sikap yang hormat biarpun Hoa-gu-ji dan seluruh anggauta rombongan tidak pernah bicara.

Pada keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dan kembali mata mereka ditutup. Ketika hari telah panas, mereka berhenti, ayah dan anak ini lalu diturunkan dari punggung kuda, dibawa masuk ke dalam rumah yang luas dan ke dalam ruangan. Mata mereka dibuka dan mereka memandang silau.

Ruangan itu luas dan di situ terdapat banyak pintu. Di tengah ruangan terdapat meja besar dan di belakang meja duduk beberapa orang. Ketika Jenderal Kao Liang mengenal Hek-tiauw Lo-mo yang duduk pula di dalam ruangan itu, dia terkejut, akan tetapi, dia diam saja, pura-pura tidak mengenalnya. Dengan adanya Hek-tiauw -Lo-mo di situ, tahulah dia bahwa dia terjatuh ke tangan gerombolan orang dari dunia hitam, orang-orang yang berniat memberontak terhadap kerajaan, karena Hek-tiauw Lo-mo dahulu juga bersekutu dengan pemberontak.

Diam-diam dia memperhatikan, demikian pula puteranya. Di antara semua orang yang berada di kursi-kursi belakang meja itu, yang paling menarik perhatiannya adalah seorang laki-laki muda yang kelihatan berwibawa, berkulit kehitaman dengan hidung melengkung dan mata cekung, gagah dan tampan namun juga aneh dan asing, rambutnya coklat dan pakaiannya indah dan mewah. Dia duduk di tengah-tengah dan di sebelah kanannya duduk seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun bertubuh seperti raksasa, kepalanya botak dan bermantel merah.

Pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan kakek botak itulah yang agaknya menjadi orang-orang terpenting di situ, maka Jenderal Kao Liang menujukan pandang matanya kepada mereka.

Dugaannya benar. Pemuda itu lalu bangkit berdiri dan menyambutnya dengan mata bersinar dan mulut tersenyum lebar.

“Ah, sungguh merupakan kebahagiaan besar dapat bertemu muka dengan Jenderal Kao Liang yang namanya pernah menggetarkan dunia! Haaii, Hoa-gu-ji, hayo cepat buka belenggu mereka!”

Hoa-gu-ji memberi hormat dan dibantu oleh beberapa orang, dia membuka belenggu tangan Jenderal Kao Liang dan puteranya. Mereka lalu mundur kembali dan kini pemuda berkulit kehitaman itu berkata lagi,

“Jenderal Kao Liang, silahkan kau duduk bersama puteramu dan menikmati hidangan kami sebagai penyambutan!”

Jenderal Kao Liang melangkah maju mendekati meja, menjura sebagai balasan penghormatan lalu berkata,

“Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Aku dan puteraku bukanlah tamu undangan, melainkan tawanan. Oleh karena itu, harap segera memberi penjelasan. Apakah sebabnya engkau menawan keluarga kami dan siapakah engkau?”

“Ha-ha-ha, sungguh hebat dan tegas!” Tiba-tiba kakek botak itu berkata dan matanya memandang penuh kagum. “Memang tepat menjadi seorang jenderal yang pandai!”

“Suhu, tidak percuma dia pernah menjadi panglima besar,” kata pula orang muda itu, lalu dia berkata lagi kepada Jenderal Kao Liang. “Memang engkau benar, Jenderal Kao. Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Memang, kami yang telah menawan keluargamu. Akan tetapi kami tidak berniat buruk, melainkan hendak mengajak engkau untuk bekerja sama dengan kami.”

Jantung Kao Liang berdebar tegang. Jadi, keluarganya masih hidup? Semua selamat? Akan tetapi, mendengar betapa orang muda asing ini mengajak dia bekerja sama, dia merasa curiga sekali. Kerja sama dalam hal apa? Betapapun juga, Kao Liang adalah bekas panglima besar dan sudah sering kali menghadapi urusan-urusan besar, sungguhpun belum pernah dia menghadapi ancaman hebat bagi seluruh keluarganya seperti sekarang ini yang membuat hatinya tegang luar biasa. Sebelum melanjutkan percakapan, dia harus melihat buktinya lebih dulu, bukti bahwa keluarganya dalam keadaan selamat semua.

Dengan sikap tenang dan air muka sama sekali tidak berubah, bekas jenderal itu lalu berkata dengan sikap hormat pula,

“Soal kerja sama dan yang lain-lain baru bisa dibicarakan dengan hati terbuka kalau kami sudah diperbolehkan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa keluarga kami berada di sini dalam keadaan selamat. Sebelum itu, engkau tentu mengerti bahwa kami tidak mungkin dapat melakukan percakapan dengan hati terbuka.”

Kembali Liong Bian Cu tertawa.
“Benar sekali kata-katanya itu, bukan, Suhu?”

Ban Hwa Sengjin mengangguk.
“Dia memang laki-laki sejati!”

“Suhu, harap suka membawa mereka melihat keluarga mereka. Akan tetapi hanya melihat saja karena belum tiba saatnya mereka diperkenankan bicara dan bertemu dengan keluarga mereka.”

Ban Hwa Sengjin kembali mengangguk, lalu bangkit berdiri dan ditemani oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, dia lalu menghampiri Jenderal Kao Liang dan puteranya.

“Goanswe dan Sicu, mari silakan ikut bersama kami.”

Dengan jantung berdebar tegang Kao Liang dan Kok Tiong mengikuti tiga orang kakek itu. Ban Hwa Sengjin berjalan di depan, diiringkan oleh Kao Liang dan Kok Tiong sedangkan dua orang kakek iblis itu mengikuti dari belakang.

Mereka melalui lorong berlika-liku di dalam gedung besar itu dan akhirnya Ban Hwa Sengjin berhenti dan memberi isyarat kepada dua orang itu untuk berhenti. Mereka tiba di sebuah ruangan kecil dan tidak jauh di depan terdapat sebuah pintu yang lebar dan di depan pintu ini berdiri enam orang penjaga yang memegang senjata. Melihat kedatangan Ban Hwa Sengjin, mereka lalu cepat memberi hormat.

“Buka daun pintu kayu itu lebar-lebar agar kami dapat melihat mereka yang berada di dalam!” kata Ban Hwa Sengjin kepada kepala penjaga.

Perintah ini cepat ditaati, rantai pintu itu dibuka dan pintu itu didorong ke samping. Ternyata di balik pintu kayu itu terdapat pula ruji-ruji besi seperti kerangkeng dan di belakang ruji-ruji ini terdapat sebuah kamar yang besar sekali, dengan beberapa buah pembaringan, meja dan kursi-kursi.

Dan di dalam kamar besar yang ditutup ruji dan dijaga ketat itu terdapat beberapa orang wanita dan anak-anak, ada yang sedang berbaring, ada yang duduk membaca, ada pula yang menyulam, ada yang sedang bercakap-cakap.
Melihat mereka itu, Kao Liang dan Kao Tiong memandang dengan mata terbelalak. Mereka itulah keluarga yang hilang! Dan tidak ada seorang pun yang kurang. Masih lengkap dan kelihatannya memang sehat, sungguhpun di antara mereka ada yang kelihatan pucat dan kurus. Dan biarpun tidak ada yang kelihatan gembira, namun harus diakui bahwa mereka itu selamat dan agaknya kamar besar itu cukup baik, mereka cukup terjamin.

“Ayah....!” Tiba-tiba seorang anak laki-laki berseru dan menuding ke arah Kok Tiong.

Semua orang dalam kamar itu menengok dan terjadilah pemandangan yang amat memilukan. Para wanita itu sejenak memandang dengan mata terbelalak ke arah Kao Liang dan Kao Tiong, seolah-olah tidak percaya, kemudian terdengarlah seruan-seruan mereka memanggil dan tangis mereka riuh-rendah. Mereka semua lari ke ruji besi, seperti tawanan-tawanan yang melihat keluarga datang berkunjung.

Ban Hwa Sengjin mengembangkan kedua lengannya ketika melihat Kao Liang dan Kok Tiong bergerak hendak maju, sambil berkata,

“Cukup sudah untuk membuktikan bahwa keluargamu dalam keadaan selamat, Kao-goanswe.” Lalu dia memerintahkan kepada para penjaga, “Tutup kembali pintunya!”

Kao Liang dan Kok Tiong berdiri tegak dengan muka pucat dan mata terbelalak, melihat betapa wajah-wajah orang yang mereka cinta itu lenyap kembali di pintu kayu dan tangis mereka masih terdengar lapat-lapat. Seperti ditusuk-tusuk rasa jantung Kok Tiong mendengar putera sulungnya yang baru berusia empat tahun itu memanggil-manggilnya dari balik daun pintu.

Ingin dia memberontak dan memecahkan daun pintu itu, akan tetapi dia maklum bahwa itu bukanlah cara yang baik dan selamat, maka dia menekan perasaannya dan ketika tangan ayahnya menjamah lengannya, dia memutar tubuh dan bersama ayahnya mengikuti kakek botak kembali ke ruangan tadi di mana pemuda berkulit kehitaman itu masih menanti mereka sambil tersenyum-senyum.

Begitu tiba di ruangan itu, Kao Liang lalu menghadapi pemuda asing itu dan berkata dengan suara tegas,

“Orang muda, apakah artinya semua ini? Lekas katakan, siapakah engkau dan kerja sama yang bagaimana yang kau minta dariku?”

“Kao-goanswe, dan Kao-sicu, duduklah kalian agar kita dapat bicara dengan baik,” kata Liong Bian Cu sambil memberi isyarat kepada pelayan.

Segera pelayan datang membawa cawan dan meletakkan cawan dan mangkok di depan ayah dan anak itu, kemudian hidangan dikeluarkan, hidangan yang masih panas. Liong Bian Cu lalu menuangkan sendiri arak ke dalam dua cawan di depan ayah dan anak itu, mempersilakan mereka untuk minum.

“Maaf, orang muda. Sebelum kami mengenal siapa engkau dan mengetahui apa maksudmu menawan keluarga kami, bagaimana kita dapat minum dan makan seperti antara sahabat?”

Kao Liang berkata lagi dan tidak menyentuh cawan arak itu. Juga Kok Tiong duduk tegak dengan mata menatap wajah pemuda berkulit kehitaman itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.