FB

FB


Ads

Rabu, 20 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 066

Pada keesokan harinya, benar saja Gitananda muncul bersama Syanti Dewi. Seperti telah kita ketahui, Gitananda berhasil menculik Syanti Dewi ketika terjadi perebutan antara Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su karena salah duga sehingga Syanti Dewi tidak terlindung dan mudah diculik dan dilarikan oleh Gitananda.

Karena maklum bahwa banyak orang pandai yang akan mengejarnya untuk merampas kembali Syanti Dewi, maka Gitananda lalu menyembunyikan puteri itu di suatu tempat dalam hutan besar, menyuruh anak buahnya menjaga dengan ketat dan dia hanya melaporkan saja kepada koksu, yaitu atasannya.

Kemudian koksu menceritakan hal itu kepada muridnya, yaitu Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya Liong Bian Cu memerintahkan agar puteri itu dipindahkan saja ke lembah Sungai Huang-ho itu, selain untuk dapat menjaganya lebih kuat, juga puteri itu dapat menemani tunangannya.

Setelah Syanti Dewi yang kelihatan kurus dan agak pucat itu disambut oleh Liong Bian Cu dengan sikap hormat dan disuruh antar ke kamarnya, Liong Bian Cu lalu mengajak gurunya berunding.

Sementara itu, Hwee Li yang sepintas lalu melihat puteri itu, diam-diam merasa kagum sekali. Benar cerita gurunya. Puteri Syanti Dewi amat cantik jelita, sikapnya agung dan tenang. Menurut penuturan gurunya, puteri itu tentu sudah berusia dua puluh tiga tahun lebih, akan tetapi kelihatan seperti dara remaja belasan tahun saja. Hanya sikapnya, pandang matanya dan gerak-geriknya yang lemah lembut membayangkan bahwa puteri itu adalah seorang wanita yang sudah matang, tenang, dan memiliki kepribadian yang amat kuat.

Hwee Li lalu mengunjungi kamar itu. Para penjaga yang berdiri di luar kamar dengan senjata di tangan, cepat memberi hormat dan tidak ada seorang pun berani menghalangi Hwee Li memasuki kamar itu. Hwee Li dianggap sebagai tunangan pangeran dan tidak ada seorang pun yang berani menentangnya, sungguhpun tidak akan ada pula yang berani membantunya andaikata Hwee Li minta mereka membantu dia lolos dari tempat itu. Mereka tahu bahwa sekali saja nona ini mengadu kepada pangeran, tentu pangeran tidak akan segan-segan untuk menghukum orang yang diadukan, atau mungkin membunuhnya seketika!

Hwee Li memasuki kamar dan melihat puteri itu rebah telentang, menatap langit-langit kamar dengan sikap termenung. Ada dua orang pelayan wanita duduk bersimpuh di atas lantai. Melihat Hwee Li, dua orang pelayan itu cepat memberi hormat.

“Keluarlah kalian berdua dan jangan masuk kalau tidak kami panggil!” kata Hwee Li dengan sikap keren dan dua orang pelayan itu menghormat lalu keluar dari dalam kamar.

Mereka bersama para penjaga berkelompok di luar pintu, bingung dan khawatir. Mereka diperintahkan untuk menjaga sang puteri, akan tetapi mereka disuruh keluar oleh tunangan pangeran dan mereka tidak berani membantah karena sudah berkali-kali ditekankan oleh pangeran dan para pembantunya, bahwa tunangan pangeran itu harus ditaati dan jangan sampai marah. Pula, mereka semua tahu bahwa tunangan pangeran itu adalah seorang dara yang memiliki tangan baja, memiliki kepandaian tinggi dan sekali pukul saja dapat menghancurkan kepala mereka!

“Bibi Syanti Dewi....!”

Hwee Li melangkah maju dan menjura ke arah wanita yang masih rebah dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik itu.

Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan bangkit duduk. Dia tidak pernah diganggu selama diculik oleh Gitananda, dan dia tahu bahwa Gitananda adalah kaki tangan Kerajaan Nepal, bahwa dia terjatuh ke tangan musuh negaranya. Maka, biarpun dia merasa berduka karena putus harapannya bertemu dengan kekasihnya, Ang Tek Hoat, namun dia tahu bahwa dia aman berada di tangan orang-orang Nepal ini.

Hanya karena terlalu berduka memikirkan Tek Hoat, maka dia tidak suka makan, kurang tidur sehingga badannya lemah dan mukanya pucat. Kini, setelah disambut oleh Pangeran Liong Bian Cu yang dia dengar adalah cucu Raja Nepal, dia tahu bahwa dia akan dijadikan sandera.

Maka tentu saja dia terkejut dan terheran-heran melihat munculnya seorang dara remaja yang cantik dan yang menyebutnya bibi ini. Melihat sikap dara cantik ini terhadap para pelayan, dan melihat betapa para pelayan mentaati perintahnya, dia maklum bahwa dara ini tentu orang penting yang besar kekuasaannya di tempat itu. Ditatapnya wajah Hwee Li dengan tajam dan penuh selidik.

“Engkau siapakah, Nona?” tanyanya sambil bangkit duduk.

“Namaku Hwee Li,” jawab Hwee Li sambil tersenyum dan duduk di atas pembaringan di dekat Puteri Bhutan itu. “Engkau tentu tidak mengenalku dan merasa heran mengapa aku menyebutmu bibi. Ketahuilah, Bibi Syanti Dewi, bahwa guruku adalah adik angkatmu yang bernama Lu Ceng atau Candra Dewi.”






Dari subonya, dara ini memang sudah mendengar banyak tentang riwayat subonya bersama Syanti Dewi. Candra Dewi adalah nama yang diberikan oleh Puteri Bhutan ini kepada Ceng Ceng yang menjadi adik angkatnya (baca Kisah Sepasang Rajawali).

Mendengar disebutnya nama Ceng Ceng, Syanti Dewi terkejut dan gembira bukan main. Wajahnya berseri dan dia meloncat turun dan berdiri di depan Hwee Li, langsung saja memegang lengan dara itu dan bertanya,

“Di mana dia? Di mana Candra Dewi? Dan bagaimana engkau dapat berada di sini?”

Hwee Li merasa kasihan melihat kegembiraan dan sinar mata penuh harapan dari puteri itu. Dia menarik napas panjang dan menjawab lirih,

“Aku tidak tahu di mana adanya Subo sekarang ini, Bibi. Dan aku sendiri pun menjadi seorang tawanan di sini.”

“Ahhhhh....!”

Syanti Dewi masih memegang tangan Hwee Li, akan tetapi dia kini duduk kembali di samping dara itu, memandang dengan sinar mata khawatir. Seketika dia sudah melupakan keadaan dirinya sendiri karena semua perhatiannya tercurah kepada dara murid adik angkatnya itu, mengkhawatirkan keadaan Hwee Li yang menjadi tawanan. Demikianlah memang watak Puteri Bhutan ini, mudah melupakan penderitaan sendiri akan tetapi selalu peka terhadap penderitaan orang lain.

Hwee Li lalu menceritakan keadaannya dan bagaimana dia bisa menjadi seorang tawanan di tempat itu, sungguhpun dia kelihatan sebagai seorang tamu agung yang dihormati dan ditaati oleh para pengawal dan pelayan.

Ketika Syanti Dewi mendengar bahwa dara remaja yang cantik jelita ini akan dijadikan isteri oleh Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Terkejut, heran dan juga kagum. Tentu ada puluhan, bahkan ratusan ribu gadis yang ingin menjadi isteri Pangeran Nepal itu, yang akan menyambut pinangan pangeran itu dengan penuh kebanggaan dan kegirangan hati. Akan tetapi, dara remaja murid Ceng Ceng ini kelihatan sama sekali tidak gembira!

“Aku benci dia, Bibi! Aku ingin membunuhnya dan nyaris aku berhasil, akan tetapi dia memang lihai sekali, apalagi dia dibantu oleh Hek-hwa Lo-kwi yang sakti, belum lagi gurunya yang amat lihai, Ban Hwa Sengjin yang mempunyai banyak pembantu. Bahkan ayahku sendiri kini juga menjadi pembantunya.”

“Ayahmu?”

Syanti Dewi bertanya heran. Bagaimana ayah seorang dara yang tidak suka dipaksa menjadi jodoh pangeran itu malah menjadi pembantu pangeran itu?

“Ya, ayahku adalah Hek-tiauw Lo-mo....!”

“Ahhh....!”

Bukan main kagetnya hati Syanti Dewi mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah mendengar dan mengenal baik nama ini, raksasa jahat yang banyak mengambil peranan dalam keributan pemberontakan dua orang Pangeran Liong dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali). Dara cantik jelita ini, yang menjadi murid Ceng Ceng, adalah puteri dari majikan Pulau Neraka itu? Sungguh mengherankan dan mengejutkan sekali. Dan mendengar bahwa dara ini adalah puteri iblis itu, otomatis Syanti Dewi melepaskan pegangan tangannya dan duduk agak menjauh.

Gerakan Syanti Dewi ini tidak terlepas dari pandang mata Hwee Li. Dara itu menarik napas panjang, lalu cepat berkata,

“Harap Bibi jangan kaget. Hek-tiauw Lo-mo memang kini menjadi pembantu utama dari Pangeran Nepal itu, dan Hek-tiauw Lo-mo juga memaksaku untuk menjadi isteri Pangeran Liong. Justeru itulah yang dikejarnya. Agar aku menjadi isteri Liong Bian Cu dan dia dapat membonceng kedudukanku dan menjadi seorang yang mulia dan terhormat. Akan tetapi, aku tidak sudi....“

Syanti Dewi mengerutkan alisnya yang berbentuk indah itu, lalu kembali mendekat dan memegang tangan Hwee Li. Makin besar rasa iba di dalam hatinya terhadap dara yang malang ini. Betapa banyaknya dara di dunia ini yang dipaksa oleh ayah mereka dalam urusan perjodohan! Bukan hanya Hwee Li ini, juga dia sendiri malah! Bukankah dia sudah memilih Tek Hoat sebagai calon jodohnya, akan tetapi juga kini gagal karena ayahnya yang tidak menyetujui pemuda pilihannya itu menjadi mantu?

Betapa banyaknya gadis dari yang paling miskin sampai yang paling kaya, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi kedudukannya, harus tunduk kepada ayah mereka dalam urusan memilih jodoh! Dan betapa banyaknya hati yang hancur karena paksaan harus menikah dengan orang lain. Dalam hal perjodohan, biarpun berlainan sifatnya, dia merasa senasib dengan Hwee Li, maka timbullah rasa sayang dalam hatinya terhadap murid adik angkatnya ini.

“Hwee Li, sungguh engkau patut dikasihani! Aku merasa heran sekali mengapa ayahmu sampai hati memaksamu? Padahal, aku tahu bahwa ayahmu bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh besar yang amat terkenal dan berilmu tinggi....“

“Akan tetapi dia jahat, Bibi. Jahat sekali dan aku benci padanya! Aku pun ingin membunuhnya kalau bisa!” Hwee Li mengepal tinju dan matanya mengeluarkan sinar berkilat.

Syanti Dewi mengerutkan alisnya.
“Hwee Li,” katanya dengan suara keren. “Engkau adalah murid adikku Candra Dewi, oleh karena itu engkau patut mendengarkan kata-kataku pula. Engkau telah menyeleweng dari kebenaran! Mana boleh seorang anak membenci ayahnya sendiri, bahkan hendak membunuhnya?”

“Dia bukan ayahku! Dia bukan ayah kandungku! Dia malah musuh besarku!” Hwee Li berseru dan sepasang mata itu menjadi merah.

“Eh, bagaimana pula ini, Hwee Li?” Syanti Dewi bertanya dan tiba-tiba Hwee Li menangis tersedu-sedu.

Syanti Dewi terkejut. Dia cepat memeluk dara itu dan Hwee Li menangis di atas dada puteri itu. Hwee Li adalah seorang dara yang berhati keras seperti baja. Penderitaan batin yang dideritanya selama ini, apalagi ketika mendengar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, dan betapa seluruh keluarganya, yaitu keluarga Kim, telah binasa, membuat batinnya tertekan oleh duka yang amat besar.

Namun, di depan orang-orang yang dibencinya di lembah itu, dia menggunakan kekuatan batinnya, menggunakan kekerasan hatinya, untuk menahan tekanan batin itu. Kini, berhadapan dengan Syanti Dewi yang lemah lembut, yang bersikap begitu baik dan penuh perasaan kepadanya, apalagi mengingat bahwa puteri ini adalah bibi gurunya, Hwee Li merasa seolah-olah menemukan tempat penumpahan segala derita batinnya dan setelah kini bendungan itu dibuka, menangislah dia, sewajarnya tangis yang amat memilukan hati sehingga Syanti Dewi yang lembut hati itu pun tidak dapat pula menahan air matanya dan dia mengusap-usap rambut kepala Hwee Li penuh rasa sayang dan iba.

Dia membiarkan dara remaja itu menangis sepuasnya. Syanti Dewi sendiri bukan seorang wanita tua, sama sekali bukan. Usianya baru dua puluh dua tahun, akan tetapi pengalaman dan penderitaan hidup telah menggemblengnya sehingga kini menghadapi Hwee Li yang baru berusia tujuh belas tahun ini, dia merasa seolah-olah menjadi bibi atau ibu dara remaja ini.

Setelah tangisnya mereda dan hatinya terasa ringan sekali setelah dia menangis sepuasnya, Hwee Li lalu menceritakan apa yang didengarnya tentang Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata bukan ayahnya, bukan apa-apanya itu, dan tentang keluarganya yang terbasmi karena dianggap sebagai keluarga pemberontak.

Syanti Dewi mengangguk-angguk.
“Aku telah mendengar tentang keluargamu itu. Aku mendengar bahwa ayah kandungmu yang sesungguhnya, Panglima Kim Bouw Sin itu, memang telah memberontak terhadap kerajaan. Betapapun juga, sikapnya itu tentu ada alasannya, dan biarpun oleh kerajaan dia dianggap berdosa, namun sebagai manusia dia tidaklah sejahat seperti halnya Hek-tiauw Lo-mo yang terkenal sebagai seorang manusia iblis itu. Tadi aku sudah merasa heran bagaimana seorang dara seperti engkau, murid adik angkatku, dapat menjadi puteri iblis Hek-tiauw Lo-mo. Kiranya engkau bukan puterinya! Hwee Li, engkau memiliki kepandaian, engkau harus berusaha untuk meloloskan diri dari tempat berbahaya ini!.”

“Ah, tidak mudah, Bibi.” Hwee Li lalu menceritakan keadaan lembah itu dan betapa semua daya upayanya gagal. “Malah Liong Bian Cu sudah bersiap-siap, pernikahan akan diadakan beberapa pekan lagi. Aku khawatir, Bibi, apalagi melihat Bibi ditawan pula. Aku harus dapat menolong Bibi dari tempat ini!”

“Tidak perlu engkau mengkhawatirkan diriku, Hwee Li. Pangeran Liong Bian Cu, sebagai cucu Raja Nepal, adalah musuh dari negaraku. Dia menawanku tentu dengan maksud menjadikan aku sebagai sandera untuk memukul negaraku. Akan tetapi, engkau, engkau menghadapi bahaya langsung yang sudah makin dekat saatnya, maka kau harus dapat lolos dari sini.”

Demikianlah, dua orang wanita itu kini menjadi akrab sekali dan bercakap-cakap mencari jalan untuk dapat lolos dari tempat itu. Akan tetapi, mereka akhirnya maklum bahwa jalan untuk lolos sama sekali buntu. Agaknya, tanpa ada bantuan dari luar, tidak mungkin bagi mereka untuk meloloskan diri.

Akan tetapi Hwee Li tidak putus harapan. Dia masih mempunyai harapan untuk lolos, yaitu pada saat pernikahan di mana dia percaya tentu banyak hadir tokoh kangouw yang lihai. Siapa tahu, di antara mereka itu terdapat orang-orang yang mau membantunya, dan dia percaya pula bahwa orang-orang seperti suhunya dan subonya, seperti Suma Kian Bu si Siluman Kecil, Suma Kian Lee, dan orang-orang gagah lainnya tidak akan tinggal diam kalau mendengar bahwa dia dipaksa menikah dengan Pangeran Liong Bian Cu!

**** 066 ****