FB

FB


Ads

Rabu, 20 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 065

Demikianlah, Hwee Li yang bagaikan seekor burung telah terkurung dalam sangkar emas itu, terjaga ketat dan sama sekali tidak melihat kesempatan sedikit pun untuk melarikan diri, mulai menggunakan kecerdikannya. Setiap saat dia waspada dan mencari lubang, dan hanya kecerdikannya saja yang membuat dia dapat menahan segala kekhawatirannya dan bersikap biasa, bahkan ramah terhadap Pangeran Liong Bian Cu, seolah-olah dia mulai setuju untuk menjadi isteri Pangeran Nepal ini.

Sering Hwee Li termenung dan hatinya diliputi kedukaan dan kemarahan. Dia merasa benci sekali kepada Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata adalah seorang musuh besar. Kini lenyaplah harapanaya untuk dapat tertolong oleh kakek itu. Semua orang yang berada di lembah ini adalah musuh-musuhnya, dan Hek-tiauw Lo-mo merupakan musuh utama malah, di samping Pangeran Liong Bian Cu.

"Ingatlah, Moi-moi, engkau adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin dan engkau sudah tahu betapa ayah kandungmu itu dahulu juga bersekutu dengan ayahku dan membantu ayahku, Pangeran Liong Khi Ong. Maka, kalau sekarang engkau menjadi isteriku dan membantuku, sungguh sudah tepat sekali. Orang tua kita bersahabat, dan kini kita berjodoh, bukankah itu baik sekali?"

Demikian antara lain bujukan dari Pangeran Liong Bian Cu. Akan tetapi biarpun dia tidak mau membantah, di dalam hatinya dia sangat tidak senang. Ayahnya adalah seorang pemberontak dan karena perbuatannya itu, seluruh keluarga ayahnya binasa. Dia mengerti bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar, dan tentu saja dia tidak sudi mengulang perbuatan itu, apalagi ditambah dengan pengorbanan dirinya menjadi isteri dari Liong Bian Cu yang dibencinya.

Akan tetapi, kesempatan yang dinanti-nantinya itu tidak kunjung datang. Penjagaan terlalu ketat dan dia sama sekali tidak melihat kernungkinan untuk dapat meloloskan diri melalui penyeberangan sungai. Satu-satunya jalan untuk dapat lolos hanya dengan bantuan garudanya, akan tetapi kini garuda itu telah dikurung, dijaga ketat dan kurungannya dikunci.

Hwee Li sudah menggunakan akal untuk bersikap ramah kepada Liong Bian Cu sehingga pergaulan di antara mereka sudah kelihatan akrab dan tidak asing lagi. Bahkan dengan keramahannya itu, Hwee Li mengajak dia bercakap-cakap dan dengan gembira Hwe Li menceritakan tentang kesenangan menunggang burung garuda melayang-layang di angkasa. Mendengar ini dan melihat sikap Hwee Li, Liong Bian Cu berkata,

"Jangan khawatir, kekasihku. Kelak kalau kita sudah menikah, aku akan mengajakmu berpesiar naik garuda itu."

"Ah, mana mungkin? Burungku itu tentu akan dibawa pergi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Sekarang pun telah dikurungnya, aku khawatir burung itu akan sakit dan mati."

"Ha-ha-ha, kau tidak perlu khawatir. Ayahmu telah menyerahkan burung itu kepadaku dan ini kunci kurungan itu selalu berada di tanganku. Dan aku sudah menyuruh para pemelihara burung itu baik-baik, memberi makan dan minum secukupnya."

lnilah yang ingin diketahui oleh Hwee Li dan dara ini cepat mengalihkan percakapan. Dia kini sudah tahu bahwa kunci kurungan berada di tangan pangeran ini! Cukuplah itu! Terbuka lagi jalan baginya untuk meloloskan diri. Kalau saja dia dapat merobohkan Liong Bian Cu, merampas kunci itu dan membebaskan garudanya, tentu dia akan dapat lolos dari situ menunggang garudanya!

Liong Bian Cu benar-benar jatuh cinta kepada Hwee Li. Sikapnya baik sekali, dan pemuda ini tidak pernah lagi memperlihatkan kekerasan, sungguhpun sikapnya mesra sekali. Namun, dia sudah puas untuk menggandeng tangan Hwee Li, atau paling jauh dia hanya mencium tangan dara itu, tidak berani bertindak lebih.

Akan tetapi, Hwee Li makin gelisah ketika hari yang ditentukan makin mendekat. Liong Bian Cu telah menentukan hari pernikahan mereka, dan tanpa disadari dia telah hampir sebulan berada di situ sehingga waktu pernikahan tinggal satu bulan lagi!

Pada suatu senja, Liong Bian Cu sibuk mencari-cari Hwee Li. Dara ini memang diberi kebebasan untuk pergi ke mana saja di dalam lembah itu, karena Liong Bian Cu merasa yakin bahwa tidak mungkin Hwee Li dapat meloloskan diri. Selain lembah itu terkurung sungai lebar, juga terdapat banyak sekali penjaga ditepi sungai sehingga andaikata Hwee Li hendak nekat menyeberang, dia akan ketahuan pula.

"Hwee Li....!"

"Moi-moi, di mana kau....?"

Liong Bian Cu mencari-cari ke sana-sini sambil berteriak-teriak memanggil. Hatinya merasa agak gelisah. Biarpun dia merasa yakin bahwa tidak mungkin dara itu dapat meloloskan diri, namun setelah agak lama mencari-cari tanpa hasil, dia merasa khawatir juga, khawatir kehilangan dara yang dicintanya itu. Akan tetapi hatinya merasa lega ketika seorang pengawal memberi tahu bahwa dara yang dicari-carinya itu tadi pergi ke sumber air di tempat yang agak tinggi di sebelah belakang lembah.

Liong Bian Cu cepat pergi ke tempat itu. Dia tahu bahwa dara itu memang suka pergi ke sana dan bahkan suka mandi di sumber air mancur itu, sunggupun di dalam kamarnya telah tersedia kamar mandi dan kolam. Membayangkan kekasihnya mandi di tempat sunyi itu, jantungnya berdebar keras. Betapa sering dia harus menahan gelora nafsunya kalau berhadapan dengan Hwee Li. Nafsunya mendorong untuk menubruk dan memeluk dara itu, seperti seekor harimau kelaparan dan menubruk seekor domba muda.

Akan tetapi cinta kasihnya melarangnya, karena dia ingin menikmati penyerahan diri Hwee Li sebulatnya, dengan suka rela dan dengan sikap yang membalas perasaan cintanya. Hampir setiap malam dia mimpi bermain cinta dengan tunangannya itu! Kini, membayangkan Hwee Li mandi di sumber air, menimbulkan keinginan besar di hatinya untuk mengintai dan melihat kekasihnya itu mandi. Setidaknya tentu dara itu akan menanggalkan pakaian luarnya!

Dengan hati-hati pangeran ini lalu menghampiri sumber air, menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia mendengar suara kekasihnya bersenandung dan mendengar suara air berkecipakan!






Sementara itu, Hwee Li sejak tadi memang, menanti munculnya Liong Bian Cu. Sudah berhari-hari dia mengatur siasat ini. Siasat itu timbul ketika dia lewat di lorong kecil yang menuju ke sumber air itu dan sebuah batu runtuh dari tebing di sebelah kiri lorong dan hampir menimpanya.

Dia melihat bahwa tebing itu hampir longsor, tanahnya sudah retak-retak dan di atas tebing terdapat sebongkah batu sebesar kepala gajah! Untung hanya batu sebesar kepala manusia saja yang runtuh dan hampir menimpanya. Kalau batu besar itu yang runtuh, tentu akan membawa semua batu yang berada di atas dan tepi tebing dan dia akan teruruk oleh batu-batu besar karena lorong di tempat itu terhimpit tebing dan sempit sekali.

Peristiwa itu menimbulkan siasat kepada Hwee Li yang cerdik. Berhari-hari dia mempelajari keadaan tebing dan batu besar itu. Ternyata bahwa yang menahan batu besar itu tidak sampai longsor ke bawah adalah sebatang pohon kecil yang tumbuh di tebing, juga ada beberapa buah batu yang tidak begitu besar merupakan pengganjal. Kalau pohon itu diambil, atau batu-batu kecil itu runtuh, tentu pohon itu tidak kuat menahan dan batu besar itu akan runtuh ke bawah.

Dia mencari akal dan mulailah dengan diam-diam dia menggali dan melubangi tanah di atas tebing, tepat di bawah batu besar itu, menyingkirkan beberapa buah batu pengganjal dengan hati-hati sekali. Pekerjaan ini dilakukannya secara diam-diam selama beberapa hari.

Kemarin, ketika seorang pegawal melihatnya dengan heran di situ, Hwee Li cepat menangkap seekor jengkerik dan bermain-main dengan binatang itu sehingga pengawal yang melihatnya di situ mengira bahwa dara remaja tunangan pangeran itu mencari jengkerik dan bermain-main seperti seorang anak-anak saja. Dan memang dara remaja itu masih bersikap lincah seperti anak kecil!

Setelah membuat persiapan secara menyakinkan, Hwee Li mengikatkan tali pada batang pohon kecil yang kini seolah-olah merupakan pengganjal utama bagi batu besar tadi, lalu menyembunyikan tali panjang itu melalui belakang batu-batu besar, terus menurun dan disembunyikan di dekat sumber air. Dan pada senja hari itu, dia sengaja mandi di situ. Biarpun dia mendengar teriakan-teriakan suara Liong Bian Cu memanggil-manggilnya, dia sengaja tidak menjawab dan membiarkan pangeran itu mendatangi sumber air.

Liong Bian Cu juga bukan seorang yang bodoh. Begitu dia tiba di luar lorong dan mengintai dari jauh, dia melihat dara itu duduk di bawah pancuran air dan benar saja hanya memakai pakaian dalam, akan tetapi dara itu kelihatan tegang dan tidak mandi! Dan dara itu bersenandung sambil matanya diarahkan ke bawah sumber air, seolah-olah menanti kedatangannya!

Dia teringat bahwa dia tadi telah menggunakan khikang ketika memanggil-manggil. Mustahil kalau gadis itu tidak mendengar panggilannya. Akan tetapi gadis itu tidak pernah menjawab. Dan kini Hwee Li seolah-olah menantinya, kedua tangannya disembunyikan di dalam air yang membentuk kolam jernih di bawah pancuran. Air terjun kecil itu datang dari sumber air dari batu-batu di atas pancuran. Apa yang akan dilakukan gadis itu? Agaknya akan menyerangnya lagi, pikir pemuda itu. Demikian mencurigakan sikapnya.

Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa sepasang mata yang tajam sekali dari Hwee Li telah dapat melihatnya ketika dia menyelinap di balik pohon dan mengintai. Hwee Li juga maklum akan kecerdikan Liong Bian Cu. Mengapa pemuda itu tidak terus naik melalui lorong? Tentu timbul kecurigaannya, pikirnya. Tidak ada gunanya membujuk Bian Cu untuk naik. Satu-satunya jalan adalah memancingnya naik melalui lorong itu dan dia tahu akan umpan terbaik untuk memancingnya, yaitu bukan lain adalah tubuhnya sendiri.

Maka, dengan sikap biasa, setelah pura-pura menengok ke sana-sini untuk meyakinkan bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang, Hwee Li lalu mulai menanggalkan pakaian dalamnya dengan berdiri membelakangi tempat di mana Bian Cu mengintai.

Nampaklah tubuh belakangnya yang mulus. Melihat adegan strip-tease (tarian menanggalkan pakaian) yang terjadi di alam terbuka ini, Liong Bian Cu berkali-kali menelan ludahnya dan matanya tidak pernah berkedip satu kali pun, pandang matanya melotot seolah-olah dia hendak menelan tubuh itu bulat-bulat dengan sinar matanya!

Liong Bian Cu bukanlah seorang pemuda hijau. Tidak, dia adalah seorang pangeran dan di Nepal sudah biasalah bagi seorang pangeran untuk mengambil selir sebanyak mungkin. Dia sudah banyak bergaul dengan wanita-wanita cantik, akan tetapi belum pernah dia jatuh cinta seperti yang dirasakannya sekarang terhadap Hwee Li. Kini melihat dara yang dicintanya itu, yang dirindukannya siang malam, melepas busana di depan matanya, tentu saja membuat dia menjadi seperti cacing terkena abu panas!

Lebih-lebih lagi ketika dengan gerakan tanpa disengaja Hwee Li miringkan tubuhnya sehingga nampak dari samping sebagian dari bukit dadanya, darah Bian Cu tersirap dan seperti terkena pesona, terkena sihir yang amat kuat, dengan semangat seperti terbang meninggalkan tubuhnya, kedua kakinya melangkah ke dalam lorong dan matanya masih tanpa berkedip memandang ke arah tubuh itu. Dia seperti terbetot oleh kekuatan rahasia, kekuatan yang mengandung semberani, yang membuat kedua kakinya bergerak dan berjalan memasuki lorong menuju ke tempat Hwee Li.

Hwee Li yang memutar tubuh miring tadi melirik dan ketika melihat Bian Gu memasuki lorong, dia merasa betapa jantungnya berdebar keras sekali. Dia menanti sampai pangeran itu tiba tepat di bawah batu besar, kemudian tiba-tiba dia menarik tali yang dipegangnya sejak tadi, mengerahkan seluruh tenaganya.

“Braakkk.... bruuuuukkkkk....!”

Suara ini disusul suara hiruk-pikuk ketika batu sebesar gajah itu menggelinding menuruni tebing, membawa batu-batu lainnya ikut pula runtuh dan longsor! Pohon kecil itu tadi digerakkan oleh tali dan jebol, tidak kuat lagi menahan batu besar dan karena sebelah bawah batu sudah digerowongi, maka tanpa dapat dicegah lagi batu itu menggelinding turun.

Liong Bian Cu terkejut bukan main, berteriak keras dan berusaha untuk menyingkir. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat meloncat ke kanan atau kiri yang merupakan tebing tinggi, maka jalan satu-satunya baginya hanya meloncat ke belakang.

Namun, gerakannya kurang cepat dan biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari tindihan batu sebesar gajah itu, dia tidak dapat terhindar dari hantaman batu-batu kecil lainnya yang datang bagaikan hujan. Dia berteriak lagi, terpelanting dan tubuhnya ditimpa banyak batu yang menguruknya. Debu Mengebul tinggi dan suara hiruk-pikuk dari batu-batu yang runtuh itu terdengar sampai jauh.

Sementara itu, dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Hwee Li sudah cepat mengenakan kembali pakaiannya dan dia lalu berloncatan menghampiri tumpukan batu. Dia melihat sebelah kaki dan sebelah tangan Bian Cu tersembul dari tumpukan batu. Dia bergidik ngeri, mengira bahwa tentu pemuda ini telah tewas. Dan memang demikianlah perhitungannya. Kalau Bian Cu mati, dia tidak lagi terancam bahaya untuk dipaksa menjadi isterinya. Dan banyak kemungkinan dia akan selamat.

Pertama, orang-orang tidak akan tahu bahwa kematian Bian Cu disebabkan oleh dia. Ke dua, kalau dia dapat membebaskan garuda, dia akan dapat meloloskan diri dari tempat itu. Ke tiga, andaikata dia tidak dapat membebaskan garuda, setelah pangeran itu mati, orang-orang di lembah itu tentu tidak membutuhkan lagi dia dan mungkin saja dia dibiarkan lolos dari situ. Semua kemungkinan itu tidak mungkin ada selama Liong Bian Cu masih hidup!

Cepat dia berusaha mencari kunci kurungan garuda yang menurut pemuda itu berada di sakunya. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan,

“Apa yang terjadi? Minggir kau!” dan tubuh Hwee Li terdorong ke samping.

Dara ini terkejut sekali melihat seorang kakek bermantel merah, telah berada di situ. Dorongan dari jarak jauh yang dilakukan oleh Ban-hwa Sengjin, kakek itu amat hebat sehingga Hwee Li terdorong mundur. Kini, dengan kecepatan dan tenaga yang luar biasa, kakek itu membongkar batu dan melempar-lemparkan batu yang menindih tubuh muridnya. Tubuh itu penuh dengan luka-luka dan berdarah.

Ban Hwa Sengjin memondong tubuh muridnya dan lari cepat sekali menuju ke gedung di tengah lembah. Hwee Li berdiri bingung. Kunci itu belum berhasil dia temukan. Akan tetapi selagi semua orang sibuk mengurus Liong Bian Cu, sebaiknya dia berusaha untuk membebaskan garudanya. Maka berlarilah dia menuju ke taman di belakang gedung untuk rnenuju ke tempat di mana garuda itu dikurung, karena selama ini dia sudah menyelidiki dan tahu bahwa burung itu dikurung di sudut taman di belakang gedung.

Akan tetapi, baru saja dia muncul, bukan pengawal-pengawal yang menyambutnya dan yang sudah dia rencanakan untuk dirobohkan semua baru dia akan berusaha membebaskan burungnya. Yang berdiri di situ adalah Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi! Hwee Li maklum bahwa terhadap dua orang kakek ini, percuma saja kalau dia melawan. Maka dengan suara dibuat gugup dia bertanya,

“Bagaimana keadaan Pangeran....?”

Akan tetapi sebagai jawaban, dua orang kakek itu tiba-tiba menerjangnya! Hwee Li terkejut dan berusaha untuk mengelak dan membela diri, namun diserang oleh dua orang sakti itu secara berbareng, tentu saja dia tidak mungkin dapat menyelamatkan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya, membuat dia roboh terguling, Hek-tiauw Lo-mo mengempit tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam gedung.

Dapat dibayangkan betapa kaget, kecewa, dan penasaran rasa hati Hwee Li ketika dia dibawa masuk ke dalam kamar besar mewah itu, dilempar ke atas kursi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia melihat Liong Bian Cu sedang duduk di atas pembaringan dengan muka pucat dan masih nampak obat kuning di atas luka-luka di seluruh tubuhnya. Akan tetapi dia telah memakai baju hersih dan sinar matanya memandang lembut kepada Hwee Li sedangkan mulutnya tersenyum.

“Kau.... kau....?” Hwee Li menggagap, akan tetapi melihat senyum itu melebar dia melanjutkan, “Kau tidak apa-apa, Pangeran....?”

Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo membentaknya,
“Anak durhaka! Engkau hampir saja membunuhnya dan untung Ban Hwa Sengjin masih sempat menyelamatkannya karena beliau kebetulan datang! Kalau tidak, dan Pangeran sampai meninggal dunia, tentu kau sudah kami bunuh sejak tadi!”

“Locianpwe, jangan bicara begitu....!”

Tiba-tiba pangeran itu berkata, suaranya lemah menandakan bahwa peristiwa itu benar-benar amat berbahaya baginya dan membuatnya menderita, sungguhpun tidak sampai berbahaya bagi nyawanya.

“Hwee Li tidak bersalah!”

“Muridku, Pangeran yang mulia. Saya sendiri melihat dia berada di sana ketika Paduka tertindih batu-batu itu, bagaimana Paduka dapat mengatakan dia tak bersalah?”

Terdengar Ban Hwa Sengjin yang duduk di dalam kamar itu pula, menegur, mata kakek ini dengan tajamnya menatap wajah Hwee Li.

“Tidak, Suhu. Dia tidak bersalah dan aku perintahkan agar dia dibebaskan dari totokan. Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, bebaskan dia!”

Tiga orang kakek itu saling pandang, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menghampiri dara itu dan membebaskan totokannya. Hwee Li cepat menghampiri pangeran itu dan duduk di tepi pembaringan, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. Dia maklum bahwa dengan satu gerakan saja dari pangeran itu, tiga orang kakek sakti itu tentu akan turun tangan membunuhnya.

“Pangeran, maafkan saya. Akan tetapi saya melihat tali mengikat pohon kecil itu. Tentu ada yang menarik tali itu merobohkannya sehingga batu besar itu menggelinding turun!” kata Hek-hwa Lo-kwi.

“Pangeran, harap Paduka tidak membahayakan diri sendiri dan melindungi orang yang berdosa,” Ban Hwa Sengjin juga memperingatkan.

Liong Bian Cu memandang wajah dara itu dan tersenyum, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan menggoyang-goyangnya, akan tetapi dia menyeringai karena lengan kirinya terasa nyeri sekali.

“Jangan gerakkan lengan kiri Paduka dulu, baru saja sambungan tulang pundak saya benarkan,” kata Ban Hwa Sengjin.

“Sam-wi (Anda Bertiga) harap jangan salah sangka. Sungguh peristiwa itu terjadi karena kesalahan saya sendiri. Tali itu adalah saya sendiri yang mengikatnya. Saya melihat tempat itu dapat menjadi perangkap yang baik, perangkap rahasia untuk melindungi diri kalau-kalau ada musuh berani datang. Hwee Li cerdik sekali, dia membantuku dan kami sedang mengatur perangkap itu. Akan tetapi, ketika aku mendaki di bawah tebing untuk mencarikan tempat rahasia untuk menaruh tali, dan berpegang pada pohon itu, pohon itu tidak kuat, jebol dan aku jatuh ke bawah, lalu batu-batu itu menimpa turun.”

“Ah, tapi....“ Ban Hwa Sengjin hendak membantah.

Liong Bian Cu mengangkat tangan kanan ke atas menyetopnya.
“Sudahlah, Koksu, aku sudah bicara. Peristiwa itu hanya kecelakaan dan aku melarang siapapun untuk mengganggu kekasihku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang itu. Sekarang, harap kau ceritakan tentang perkembangan usaha kita.”

Kakek bermantel merah itu kembali menoleh ke arah Hwee Li, menarik napas panjang dan berkata,

“Baiklah, Pangeran. Saya baru saja mengunjungi Gubernur Ho-nan dan dia sudah menyanggupi untuk melindungi tempat ini dan dia pun setuju kalau tempat ini dijadikan markas untuk sementara. Selain itu, sesuai dengan perintah Paduka, Gitananda sedang pergi menjemput tawanan itu untuk dipindahkan ke sini.”

“Bagus! Memang sebaiknya puteri itu berada di sini. Di sini dia lebih aman dan terjaga, selain itu juga dia dapat menjadi teman tunanganku. Betapapun juga, dialah orangnya yang dapat mengajarkan kepada Hwee Li tentang tata susila kerajaan dan hal-hal lain yang patut diketahui oleh seorang calon puteri kerajaan.”

Hwee Li tidak turut bicara sungguhpun semua percakapan tidak ada yang terlewat oleh perhatiannya. Dia masih merasa tegang dan terkejut, dan diam-diam dia merasa heran sekali mengapa pangeran ini menolongnya, padahal sudah jelas pangeran ini tentu tahu bahwa peristiwa itu sama sekali bukan kecelakaan, melainkan usahanya untuk membunuh Liong Bian Cu.

Setelah percakapan itu selesai, Liong Bian Cu berkata,
“Sekarang harap Samwi meninggalkan kamar ini. Aku lelah dan ingin beristirahat, biar Hwee Li menemaniku.”

Kembali tiga orang itu bangkit dan memandang dengan ragu-ragu.
“Maaf, Pangeran. Apakah itu bijaksana?” tanya Ban Hwa Sengjin.

“Berbahaya sekali membiarkan dia di sini sendiri bersama Paduka!” kata Hek-tiauw Lo-mo sambil memandang ke arah dara itu dengan mata melotot. Agaknya dia masih marah sekali atas perbuatan “bekas anaknya” itu.

Akan tetapi pandang mata Liong Bian Cu menjadi keras.
“Siapapun tidak boleh menilai calon isteriku! Pergilah kalian!” bentaknya.

Ban Hwa Sengjin dan dua orang kakek itu lalu menjura dan pergi. Biarpun Ban Hwa Sengjin itu seorang Koksu Nepal, seorang yang berkedudukan tinggi, dan juga guru dari Liong Bian Cu, akan tetapi betapapun juga, terhadap pemuda itu dia adalah seorang petugas terhadap atasannya, maka sikapnya selalu menghormat dan taat.

Setelah mereka pergi dan pintu kamar ditutupkan dari luar dengan hati-hati oleh seorang pelayan yang atas isyarat Pangeran Liong Bian Cu lalu ke luar lagi, mereka kini tinggal berdua saja di dalam kamar itu. Hwee Li lalu mundur dan duduk di atas bangku, agak jauh dari pembaringan di mana Liong Bian Cu duduk.

Gadis itu mengangkat muka dan memandang Bian Cu. Pemuda ini kelihatan pucat, mukanya hampir penuh dengan warna-warna kuning, yaitu obat cair yang dipergunakan oleh Ban Hwa Sengjin untuk mengobati luka-lukanya. Agaknya obat itu manjur bukan main karena luka-luka itu kelihatan sudah mengering.

Liong Bian Cu juga memandang kepadanya, lalu mulutnya tersenyum dan dia mengejapkan sebelah matanya, seolah-olah memberi tanda kepada seorang sekutunya. Melihat sikap ini, Hwee Li merasa makin heran.

“Pangeran, kenapa engkau menolongku?” tanyanya, tidak tahan dia melihat sikap itu.

Kalau pangeran itu marah-marah tentu dia akan menerimanya dengan tenang saja, akan tetapi melihat pangeran itu bersikap demikian baik terhadap perbuatannya yang hampir saja mengakibatkan pangeran ini tewas, benar-benar sukar untuk dapat diterimanya.

“Kenapa? Tentu saja karena aku cinta padamu, Hwee Li! Dan kenapa engkau bermaksud membunuhku?”

“Perlukah kujawab itu?”

“Tentu saja. Karena aku merasa penasaran kalau tidak mendengar sebabnya.”

“Karena aku membencimu, Pangeran.”

“Ahhh! Engkau membenciku karena aku mencintamu?”

Hwee Li menggelengkan kepalanya.
“Tidak, aku belum segila itu. Akan tetapi aku benci kepadamu karena engkau memaksa aku untuk menjadi isterimu, karena engkau mengurung aku di sini, karena biarpun engkau bersikap ramah dan baik, akan tetapi pada hakekatnya engkau melakukan penekanan dan paksaan kepadaku.”

“Hemmm, semua itu kulakukan demi cintaku kepadamu, Hwee Li. Tahukah engkau bahwa sebagai seorang pangeran, belum pernah ada wanita yang bagaimanapun menolak cintaku? Dan engkau, tidak saja menolak, bahkan beberapa kali engkau nyaris membunuhku!”

“Dan aku akan masih terus berusaha membunuhmu!” kata Hwee Li terus terang.

“Ha-ha-ha, sikapmu inilah yang membuat aku makin tergila-gila dan makin cinta kepadamu, sayang. Kalau engkau menangis merengek-rengek minta ampun, atau engkau merayuku, agaknya cintaku akan menipis. Akan tetapi tidak, engkau melawan, engkau menggunakan kecerdikan, engkau tabah, berani, cerdik dan gagah. Itulah sebabnya maka aku mau mengorbankan apa saja demi untuk mendapatkan cintamu.”

“Aku tidak akan mencintamu, Pangeran.”

“Ha-ha-ha, kita sama lihat saja nanti. Dengan cintaku yang murni, dengan kebaikan-kebaikan yang kulimpahkan, pada suatu hari aku mengharapkan akan dapat mencairkan kekerasan hatimu, dewiku, dan aku akan mengecap kenikmatan dan kebahagiaan itu sebagai hasil jerih payahku selama ini.”

“Aku akan berusaha untuk minggat!”

Pangeran itu menggeleng kepalanya.
“Tidak mungkin, Hwee Li. Dan bukankah engkau senang tinggal di sini? Bukankah semua orang mentaati perintahmu dan segala keinginanmu dapat terpenuhi? Bukan itu saja, engkau bahkan akan memperoleh seorang kawan yang tentu akan menyenangkan hatimu, seorang puteri yang cantik jelita dan terkenal. Dia akan diantar oleh Gitananda ke sini.”

“Siapakah dia?”

“Dia adalah Puteri Syanti Dewi, Puteri Bhutan.”

Diam-diam Hwee Li menjadi terkejut sekali mendengar nama ini. Biarpun dia sendiri tidak pernah mengenal puteri itu, namun nama puteri itu sudah kerap kali didengarnya. Gurunya, Nyonya Kao Kok Cu yang dulu bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng itu, sering kali menceritakan tentang Puteri Syanti Dewi ini yang menjadi kakak angkat gurunya. Akan tetapi di depan Pangeran Nepal itu, dia bersikap tenang saja.

“Apakah dia itu tamumu?” tanyanya.

“Bukan, dia adalah tawanan kami. Dia secara kebetulan dapat tertawan oleh Gitananda, selama ini disembunyikan karena banyak orang pandai mencarinya, dan kini atas perintahku, puteri itu di bawa ke sini untuk menemanimu.”

“Dia kau tawan pula? Pangeran, memang tepatlah kalau dia yang menjadi jodohmu. Engkau pangeran dan dia puteri. Pula, bukankah Nepal dan Bhutan itu bertetangga?”

“Ha-ha-ha, mana mungkin begitu? Aku cinta padamu, Hwee Li. Dan dari kenyataan bahwa Puteri Bhutan itu ku tawan, jelas membuktikan bahwa Bhutan dan Nepal bukanlah sahabat. Mungkin saja kelak dia akan menjadi selirku, tapi ah, sementara ini, aku tidak ingin memandang atau membicarakan wanita lain kecuali dirimu, sayang.”

Semenjak peristiwa itu, biarpun sikap pangeran itu masih biasa, masih ramah kepadanya, namun Hwee Li maklum bahwa penjagaan terhadap dirinya makin diperkuat. Dia selalu dibayangi, kalau tidak oleh Hek-tiauw Lo-mo tentu oleh Hek-hwa Lo-kwi atau para pembantu lain. Dia merasa penasaran dan kebenciannya terhadap Liong Bian Cu tidak berkurang.

Biarpun dia telah mencela dirinya sendiri sebagai orang kurang mengenal budi, mengakui sendiri bahwa pangeran itu benar-benar cinta kepadanya, tidak sakit hati biarpun nyaris tewas oleh perbuatannya, namun tetap saja dia tidak mempunyai sedikit pun perasaan cinta kepada pangeran itu.

Bahkan dia merasa makin gemas karena dia menuduh pangeran itu sengaja hendak “melepas budi” agar dia merasa berhutang budi kepadanya. Dan memang dia merasa canggung sekali, sukar baginya kini untuk memperlihatkan sikap kasar terhadap pangeran yang selalu baik kepadanya itu. Dan ini berbahaya, dia tahu akan hal itu. Merasa betapa kebenciannya makin mengendur, Hwee Li menjadi takut dan dia memperkuat pula perasaan benci itu sambil mengingat satu hal pokok, yaitu bahwa kemerdekaannya dihalangi oleh Liong Bian Cu.