FB

FB


Ads

Rabu, 20 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 064

Setelah berkata demikian, tiba-tiba pangeran itu merangkul Hwee Li dan sebelum gadis itu dapat membuang muka, tahu-tahu bibirnya telah dicium oleh pangeran itu. Ketika merasa betapa sepasang bibirnya tertawan dalam ciuman mulut yang panas itu, hampir saja Hwee Li menjadi pingsan. Dia menggerak-gerakkan kepalanya agar bibirnya terlepas dari ciuman, akan tetapi mulut pangeran itu menempel pada mulutnya seperti seekor lintah yang tidak mau lepas lagi. Setelah napas mereka terengah-engah, barulah pangeran itu melepaskannya.

Wajah Hwee Li menjadi pucat, matanya terbelalak penuh kemarahan dan dua titik air mata meloncat ke luar dari sepasang matanya. Akan tetapi wajah pangeran itu menjadi kemerahan, napasnya tersendat-sendat, tanda bahwa nafsu berahi telah naik ke kepala pangeran itu. Dia memandangi wajah dan tubuh Hwee Li dengan mata merah.

"Benar hemm, .... benar usul mereka...." katanya lirih dan kini tangannya meraba baju Hwee Li.

Dara itu memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi telah mendengar usul-usul yang dikeluarkan oleh suara ayahnya sendiri dan suara Hek-hwa Lo-kwi, maka tahulah dia apa yang akan dliakukan oleh pangeran itu.

"Jangan...." bisiknya dengan muka makin pucat. "Lepaskan aku....!"

Dia meronta, akan tetapi karena kaki dan tangannya terikat, dia hanya dapat menggerak-gerakkan pinggang dan lehernya saja.

"Brettttt....!"

Sekali renggut saja robeklah baju Hwee Li sehingga tubuhnya bagian atas hanya tertutup pakaian dalam yang tipis.

"Jangan....! Aku akan bunuh diri kalau kau lanjutkan.... aku akan menggigit putus lidahku....!"

Pangeran yang sedang dikuasai nafsu berahi itu terkejut, secepat kilat tangannya bergerak ke arah leher Hwee Li, menotok ke bawah telinga dan seketika gadis itu tidak mampu lagi menggerakkan dagunya, apalagi untuk menggigit!

"Hwee Li, aku terlalu cinta padamu, aku ingin engkau dapat membalas cintaku, maka aku juga tidak segan mempergunakan segala cara...." katanya terengah-engah dan kembali dia sudah menubruk gadis itu penuh nafsu berahi yang berkobar-kobar.

Hwee Li merasa takut sekali. Dia teringat akan jalan satu-satunya untuk membunuh diri. Maka dia melupakan segalanya, menutup ingatannya dan menahan napasnya.

Pangeran itu sudah meraba pakaian dalamnya ketika melihat wajah Hwee Li. Dia terkejut sekali.
"Ahhhhh...." Dan cepat dia turun dari atas tubuh Hwee Li yang sudah ditindihnya, kini dia mengguncang-guncangkan pundak dara itu dengan muka pucat. "Hwee LI....! Hwee Li.... jangan.... jangan....aihhh, Hwee Li, aku tidak akan memaksamu.... jangan begitu nekat....!"

Dia menggunakan tangannya untuk mengurut leher dan ulu hati gadis itu, dalam keadaan panik dan khawatir itu dia tidak lagi merasakan betapa tangannya tanpa disengaja menyentuh dua buah bukit dada yang sedang mekar itu. Lenyap sama sekali nafsu berahinya karena sama sekali dia tidak ingat lagi akan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Kini pikirannya penuh dengan kekhawatiran melihat betapa wajah dara itu kebiruan dan napasnya sama sekali terhenti, dadanya mekar penuh dengan hawa yang ditahan-tahan dan tidak dikeluarkan.

"Hwee Li....!" Dia mengeluh dengan suara seperti orang menangis.

Akhirnya, karena dipaksa oleh pijatan dan urutan tangan Liong Bian Cu, Hwee Li bernapas lagi, terengah-engah dan terbatuk-batuk. Dia sadar kembali, membuka matanya dan melihat bahwa tubuhnya masih tertutup pakaian dalam, tahulah dia bahwa dia belum ternoda. Dia melihat pangeran itu berlutut dan ada air mata di kedua pipi pemuda itu!

"Hwee Li.... ah, Hwee Li, apa yang akan kulakukan tadi? Kau ampunkan aku, Hwee Li, percayalah, semua yang kulakukan kepadamu terdorong oleh rasa cintaku yang besar...." Liong Bian Cu meratap.

"Hemmm, kau tahu sekarang bahwa setiap saat aku dapat membunuh diri dan kau sama sekali tidak akan mampu mencegahku? Aku sudah berjanji, dan kau ternyata hendak melanggar, padahal kau pun berjanji akan membebaskan aku."

"Akan kubebaskan.... sekarang juga, akan tetapi kau pun harus berjanji tidak akan membunuh diri...."

Hwee Li tersenyum.
"Aku tidak akan begitu bodoh untuk membunuh diri, Pangeran. Akan tetapi, kau tidak boleh menyentuhku, tidak boleh menciumku seperti tadi, apalagi menggunakan kekerasan untuk memperkosa. Kalau kau melakukan satu kali saja, aku akan mencoba untuk membunuhmu, dan kalau aku gagal, aku akan membunuh diri sendiri. Kau boleh memiliki tubuhku sebagai mayat!"

"Tidak...., tidak...., kau maafkanlah aku, sayang. Nah, lihat, aku akan membebaskanmu sekarang juga."

Dia meraba belenggu, akan tetapi berhenti lagi. Diam-diam Hwee Li gemas bukan main. Pangeran ini amat berbahaya, juga amat besar curiga dan hati-hati, amat licin dan cerdik!

"Tapi, kau benar-benar mau menjadi isteriku, bukan? Jawablah, Hwee Li sekarang juga. Karena kalau kau suka berjanji untuk menjadi isteriku, apa pun akan kulakukan demi engkau, sayang. Sebaliknya, aku tidak mau disiksa menantikan sesuatu yang tidak akan terjadi, tidak mau disiksa dengan harapan kosong yang tidak akan terpenuhi. Kalau kau tidak mau, katakan saja tidak mau. Aku tidak akan memaksamu, aku terlalu cinta padamu untuk melihat engkau menderita di bawah tanganku, akan tetapi.... hemmm, kalau tidak mau, aku akan hadiahkan engkau kepada anak buahku!"






Hwee Li merasa ngeri. Dia maklum bahwa gertakan pangeran ini bisa saja dilaksanakan kalau dia membuat pangeran ini putus harapan dan marah.

"Aku berjanji, Pangeran. Akan tetapi aku bukanlah seorang wanita sembarangan saja. Aku hanya mau menjadi isterimu dalam pernikahan yang syah, pernikahan yang dirayakan secara meriah dan disaksikan oleh banyak tamu di dunia kang-ouw. Sebelum itu, sekali saja engkau menyentuhku, aku akan membunuh diri! Kehormatanku jauh lebih penting daripada nyawaku. Nah, aku sudah berjanji, terserah kepadamu!"

Bukan main girangnya hati Liong Bian Cu. Dia mengeluarkan kunci dari dalam saku bajunya dan segera membuka kunci belenggu kaki tangan Hwee Li. Dara itu bangkit duduk di atas pembaringan, menggosok-gosok pergelangan tangan dan kakinya, bergantian, untuk melancarkan jalan darah yang tadi terganggu oleh himpitan belenggu. Tiba-tiba dia teringat akan peristiwa tadi, betapa mulutnya dicium dengan lahapnya oleh mulut Liong Bian Cu. Teringat akan ini, tiba-tiba saja Hwee Li muntah-muntah!

"Ah, kau sakit....! Kalau pusing, engkau rebahlah, Hwee Li...."

Liong Bian Cu terkejut sekali melihat gadis itu muntah-muntah di atas lantai dekat pembaringan, lalu mendekati untuk memijat-mijat tengkuk gadis itu.

"Sudah, aku tidak apa-apa!"

Hwee Li berkata sambil melepaskan tangan yang memijit-mijit tengkuknya. Dia menggunakan lengan baju untuk mengusap mulutnya, diusapnya keras-keras karena dia bukan hanya mau menghapus bekas muntah tadi, melainkan hendak menghapus bekas ciuman dari kedua bibirnya.

"Sungguh engkau tidak apa-apa, Moimoi (Dinda)....?" tanya Liong Bian Cu, suaranya penuh kasih sayang dan dia bertepuk tangan memanggil pelayan.

Pelayan datang dan segera disuruh membersihkan lantai. Pelayan itu lalu disuruh keluar lagi setelah selesai mengerjakan perintah itu.

"Bekas belenggu itu menyakitkan tanganmu, Hwee Li?" Dia merayu lagi dan mendekati, membantu gadis itu menggosok-gosok pergelangan tangannya. "Biar kulancarkan jalan darahnya dengan urutan tangan dan....!"

Tiba-tiba pangeran itu menghentikan kata-katanya, karena dia merasa betapa tangan yang kecil halus namun mengandung tenaga yang amat kuat itu kini telah mencengkeram jalan darah di dekat ulu hatinya, jalan darah kematian!

"Jangan bergerak atau kau akan mampus!" Hwee Li menghardik.

"Aihhh, apa yang hendak kaulakukan ini, Moi-moi....?"

Pangeran itu mengeluh, tidak berani bergerak karena sekali saja dara itu mengerahkan sinkang dan mencengkeram, tidak ada yang dapat menolong nyawanya lagi.

"Dengar kau, Liong Bian Cu! Engkau tadi telah menghinaku, dan untuk.... ciuman itu saja engkau sudah layak mampus. Apalagi penghinaan lainnya tadi! Hayo kau antar aku keluar dari lembah ini, kalau tidak, engkau akan mampus sekarang juga."

"Ah, Hwee Li, apa kau kira aku takut mati? Akan tetapi, bukan kematianku yang kutakutkan, melainkan nasibmu. Kalau kau membunuhku, apa kau kira akan dapat lolos dari kematian? Engkau yang masih begini muda remaja, cantik jelita, pasti tidak akan lolos dari kematian di tangan Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo dan semua anak buahku dan anak buah Kui-Liong-pang. Aku mati, akan tetapi engkau juga mati, apa bedanya bagiku? Kita akan berkumpul juga di alam baka! Mati di tangan seorang yang kucinta seperti engkau adalah kematian yang menyenangkan, Hwee Li. Nah, kau bunuhlah dan aku akan menantimu di sana karena aku yakin engkau akan menyusulku cepat, dalam hari ini juga."

"Bohong!" bentak Hwee Li. "Kalau kau mampus, ayah tentu tidak melihat kegunaannya lagi berada di sini dan mengorbankan aku. Ayah tentu akan membantuku melarikan diri. Betapapun juga, dia adalah ayah kandungku sendiri!"

Tiba-tiba pangeran itu tertawa dan Hwee Li memperkuat cengkeramannya sehingga kuku-kuku jarinya sudah mulai terbenam sedikit ke dalam baju dan menyentuh kulit di dada Liong Bian Cu.

"Ha-ha-ha-ha! Ayah kandungmu? Hwee Li, kalau dia ayah kandungmu, mana mungkin dia sengaja menyerahkan engkau kepadaku, bahkan dia menasihatkan aku untuk memperkosamu? Kalau dia ayah kandung yang mencinta puterinya, mana mungkin dia tega melakukan hal itu? Sedangkan aku saja, seorang pria muda yang mencintamu, masih tidak tega memperkosamu seperti yang kau lihat sendiri tadi. Dia bukan ayah kandungmu, Hwee Li, engkau adalah anak pungut dari Hek Tiauw Lo-mo!"

"Bohong....!" Hwee Li menjerit dan dia lupa dengan ancamannya, kini tangannya bergerak menampar.

"Plakkk!"

Pipi Liong Bian Cu ditamparnya dan tubuh pemuda bangsawan itu terhuyung ke belakang. Akan tetapi dia hanya tersenyum dan mengelus pipinya yang menjadi merah sekali oleh tamparan tadi.

"Bohong kau....! Bohong....!" bentak Hwee Li, wajahnya pucat dan air matanya menitik turun.

"Tidak, Hwee Li, aku tidak bohong. Ayahmu sendiri yang akan menceritakan kepadamu,dan kau boleh bertanya kepadanya. Semua peristiwa itu diketahui Hek-hwa Lo-kwi, dahulu sahabat ayahmu, dan aku mendengar dari Hek-hwa Lo-kwi. Hek-tiauw Lo-mo tidak pernah punyak anak, dan engkau bukan puterinya."

Mata yang indah itu terbelalak, kedua kakinya menggigil.
"Bohong...! Bohong...!"

Dara itu meloncat ke luar dari kamar dan berlari sambil menutupi mukanya dan menangis terisak-isak.

Malam telah tiba. Di luar sudah gelap. Akan tetapi tidak terlalu gelap karena bulan telah muncul di angkasa timur. Biarpun bukan bulan purnama, namun bulan yang tiga perempat itu cukup mengusir kegelapan dan menimbulkan cahaya remang-remang yang sejuk dan kehijauan.

Hwee Li berlari terus sambil menangis dan akhirnya dia baru berhenti ketika tiba di tepi sungai yang mengurung lembah. Dia menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis sejadi-jadinya. Ia mengingat akan semua pengalamannya dengan ayahnya, waktu yang belasan tahun itu seperti membayang semua di benaknya.

Ayahnya selalu memanjakannya, selalu mencintanya. Hanya akhir-akhir ini berubah. Dan dia mendengar ucapan ayahnya ketika bercakap-cakap di luar kamar tadi. Apa kata ayahnya ke pada Pangeran Liong Bian Cu? Terngiang di telinganya sebagian dari kata-kata ayahnya yang sukar dia lupakan,

"Hanya kalau dia satu kali sudah menjadi milik pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu."

Ah, ayahnya hanya bilang bahwa ibunya telah meninggal dunia ketika dia masih kecil. Dia sama sekali sudah tidak ingat lagi kepada ibunya. Dan dia percaya! Siapakah ibunya? Siapa pula ayahnya? Apa yang terjadi dengan mereka? Dan bagaimana dia bisa menjadi anak Hek-tiauw Lo-mo dan tinggal di Pulau Neraka?

Hwee Li masih menangis, akan tetapi sekarang pikirannya bekerja. Kalau benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, tentu dia tidak bisa mengharapkan bantuan dari kakek itu. Dia sendirian saja dikurung di dalam lembah itu, bahkan ayahnya itu juga membantu Pangeran Liong Bian Cu. Dia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa, dan kalau dia ingin selamat, dia harus mengandalkan dirinya!

Akan tetapi, kepandaiannya masih jauh daripada cukup untuk menghadapi orang-orang seperti mereka, yang amat lihai itu. Satu-satunya yang boleh diminta tolong dan diandalkannya hanyalah otaknya, kecerdikannya. Dia harus cerdik, kalau dia tidak ingin terhina dan mati konyol. Dan dia tidak ingin mati. Dia harus mencari akal!

"Moi-moi....!"

Hwee Li tahu siapa yang datang dan dia menangis makin keras. Dia terisak-isak sambil berlutut di atas rumput, akan tetapi kini tangisnya berbeda dengan tadi. Kalau tadi, dia menangis sepenuhnya terdorong oleh rasa penasaran, marah, kecewa dan duka. Akan tetapi kini tangisnya sebagian besar terkendali oleh kecerdikannya.

"Hwee Li, kau maafkanlah aku. Aku tidak sengaja melukai hatimu. Akan tetapi percayalah, bahwa satu-satunya orang di dunia ini hanya aku yang dapat kau percaya, hanya aku yang mencintamu. Jangan kau memikirkan lagi ayah angkatmu itu. Aku akan membahagiakan hidupmu, Moi-moi."

Hwee Li masih menangis, kemudian ketika dia merasa ada tangan menyentuh pundaknya, sentuhan penuh kasih sayang, dia mendorong perlahan tangan itu, bangkit berdiri dan menghadapi pangeran itu dengan muka basah air mata.

"Pangeran, betapa sedih hatiku mendengar bahwa dia bukan ayah kandungku. Dan aku tahu akan kebaikanmu, akan tetapi, engkau pun tahu bahwa aku tidak sudi untuk dijadikan perempuan sembarangan. Kalau kau berlaku sopan, kalau kau dapat menghormati dan menghargai aku sebagai gadis baik-baik, mungkin akan lebih mudah bagiku untuk kelak menjadi jodohmu."

Tiba-tiba pangeran yang sudah tergila-gila dan benar-benar jatuh cinta kepada dara itu menjatuhkan dirinya berlutut.

"Lihat, kekasihku, lihat. Aku Pangeran Liong Bian Cu yang biasa disembah-sembah orang. Aku tidak malu-malu untuk berlutut di depan kakimu. Aku bersumpah akan memenuhi janjiku, tidak akan mengganggumu sebelum kita menikah dan menjadi suami isteri yang syah. Engkau tahu bahwa aku mempunyai cita-cita yang maha besar, dan agaknya, tanpa engkau di sampingku, aku merasa tidak cukup kuat untuk melaksanakan tugas berat itu. Akan tetapi, dengan engkau di sampingku, Moi-moi, aku sanggup untuk menaklukkan seluruh dunia!"

"Baiklah, Pangeran. Aku percaya kepadamu, dan kuharap mulai sekarang aku boleh bebas di tempat ini."

"Tentu saja kekasihku. Akan tetapi, kuharap engkau jangan mencoba untuk melarikan diri karena engkau tahu bahwa hal itu selain tidak mungkin terjadi, juga ketahuilah bahwa dengan jarum beracun pemberian Hek-hwa Lo-kwi, aku telah terlanjur menusukkan jarum itu di tubuhmu sehingga kini racun itu telah berada di dalam tubuhmu. Racun itu tidak akan bekerja sebelum satu tahun, akan tetapi dalam satu tahun, racun itu akan dapat mematikan, Moi-moi. Akan tetapi, jangan khawatir, obat penawarnya selalu berada di tanganku."

Pangeran itu bangkit berdiri dan tersenyum.
“Jadi jelas bahwa mencoba untuk melarikan diri, selain tidak mungkin, juga berarti engkau kelak akan tewas dalam keadaan tersiksa sekali. Maka, kuharap engkau tidak sebodoh itu."

Demikianlah, dalam keadaan tersudut, Hwee Li yang cerdik itu bermain sandiwara, pura-pura menerima kehendak sang pangeran untuk memperisterinya. Setiap hari dia hidup dengan bebas di lembah itu, dihormati semua orang yang tahu bahwa dara cantik jelita ini adalah tunangan Pangeran Nepal itu.

Akan tetapi penjagaan terhadap dirinya sungguh amat ketat, apalagi di situ selalu ada Hek-hwa Lo-kwi atau Hek-tiauw Lo-mo yang membayanginya. Selain itu, juga semua perahu selalu dijaga sehingga tanpa memiliki perahu, tidak mungkin dia dapat menyeberangi sungai.

Adapun sikap pangeran itu terhadapnya kini tidak begitu merisaukan hati Hwee Li karena pangeran yang amat mencintanya itu benar-benar tidak pernah mau mengganggunya, sikapnya amat manis, ramah dan mesra dan pangeran itu jelas berusaha keras untuk menundukkan hatinya dengan memupuk segala macam kebaikan dan keramahan.

Hwee Li mengimbanginya dengan sikap manis sambil selalu mengincar kesempatan untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Bahkan dia pandai menyimpan penasaran hatinya sehingga dia tidak melontarkan rasa penasaran itu secara kasar kepada Hek-tiauw Lo-mo.

Ketika beberapa hari kemudian Liong Bian Cu mengundang makan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi di taman bunga untuk menikmati bulan purnama bersama Hwee Li, barulah dara ini dengan hati-hati mengajukan pertanyaan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Mereka telah selesai makan dan Hek-tiauw Lo-mo telah minum banyak sekali arak pada malam hari itu.

"Ayah, jangan Ayah merasa heran bahwa aku telah mendengar bahwa Ayah sesungguhnya bukan ayah kandungku."

"Ehhh?"

Hek-tiauw Lo-mo menoleh kepada Hek-hwa Lo-kwi dengan alis berkerut, akan tetapi kakek muka tengkorak yang tinggi kurus itu tidak perduli dan tenang-tenang saja makan manisan angco.

"Sayalah yang menceritakan kepadanya, Locianpwe," tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu berkata. "Untuk melenyapkan rasa penasaran di hatinya."

Hek-tiauw Lo-mo memandang kepada pangeran itu, akan tetapi lalu mengangguk-angguk dan minum arak dari cawannya, kemudian meletakkan cawan kosong dan memandang kepada Hwee Li sambil tersenyum lebar.

"Bagus kalau engkau sudah tahu. Kalau Pangeran tidak memberi tahu, sebetulnya aku pun hendak memberitahukan kepadamu, Hwee Li. Engkau sudah dewasa dan sudah waktunya mengetahui riwayatmu."

"Ayah," kata Hwee Li tenang sambil memandang tajam.

Dia memaksa diri menyebut ayah, padahal di dalam hatinya dia tidak sudi lagi menyebut kakek yang kejam ini sebagai ayahnya. Semenjak dia bukan kanak-kanak lagi dan sudah mengerti dan dapat membedakan antara baik dan buruk, dia memang sudah merasa kecewa dan tidak senang kepada ayahnya. Sikap ayahnya itulah yang membuat dia tidak kerasan berdekatan dengan ayahnya itu.

"Ayah telah memeliharaku sejak kecil dan untuk itu, aku berterima kasih sekali. Akan tetapi, aku berhak untuk mengetahui siapa orang tuaku yang sebenarnya dan di mana adanya mereka."

Hwee Li menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan perasaan dan dia menelan kembali keinginannya untuk menangis. Lalu dia menambahkan,

"Kurasa Ayah adalah seorang tokoh yang terlalu terkenal dan gagah untuk tidak menyembunyikan semua perbuatan yang Ayah lakukan terhadap orang tuaku itu."

"Ha-ha-ha! Kim Hwee Li, engkau tentu sudah cukup mengenal watakku. Aku bukanlah orang yang suka menyesalkan semua perbuatanku sendiri, dan aku bukanlah orang yang suka mengingkari perbuatan sendiri. Aku berani berbuat dan berani pula bertanggung jawab. Ha-ha-ha! Sekarang dengarlah penuturanku dan setelah kau mendengarnya, terserah apa yang akan kau pikirkan terhadap diriku."

Dengan wajah tenang namun hatinya penuh dengan segala macam perasaan, Hwee Li mendengarkan penuturan kakek itu. Belasan tahun yang lalu, di dalam perantauannya setelah dia menemukan dan menundukkan orang-orang di Pulau Neraka dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua Pulau Neraka, pada suatu hari Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin yang terkenal sebagai seorang panglima yang suka berhubungan dengan orang-orang berilmu tinggi di dunia kangouw.

Karena tertarik akan berita bahwa Kim Bouw Sin amat menghormati orang-orang kang-ouw, maka Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng itu. Benar saja, Panglima Kim Bouw Sin menyambutnya penuh penghormatan, bahkan lalu mengadakan pesta untuk menyambut tamu agung ini. Di dalam pesta itu, Panglima Kim Bouw Sin berkenan menghibur tamunya dengan tari-tarian yang dilakukan oleh seorang selirnya yang terkasih. Selir ini cantik sekali dan masih muda belia, seorang ahli menari yang amat pandai.

Sebenarnya, Hek-tiauw Lo-mo pelarian dari Korea itu, biarpun pernah menjadi raja orang-orang liar, bahkan pernah mempunyai kebiasaan makan daging manusia, amat kejam dan membunuh orang seperti membunuh lalat saja, dia bukan termasuk seorang laki-laki yang lemah terhadap nafsu berahi.

Akan tetapi, dalam keadaan setengah mabuk melihat selir panglima itu menari-nari dengan tubuh yang lemah gemulai, dengan dada montok penuh karena wanita muda ini mempunyai anak yang baru tiga bulan usianya, Hek-tiauw Lo-mo menjadi tergila-gila, dan pada malam hari itu, tanpa pamit, lenyaplah Hek-tiauw Lo-mo dari dalam kamar itu dan bersama dia, lenyap pula selir cantik itu bersama anaknya yang baru berusia tiga bulan!

Panglima Kim Bouw Sin terkejut sekali, akan tetapi melihat betapa tamunya yang seperti raksasa itu dapat menculik selir dan anaknya, melarikan diri dari sebuah benteng yang terjaga ketat, tahulah dia bahwa tamunya itu lihai sekali. Dan sebagai seorang panglima yang bercita-cita besar, yang ingin mengambil hati orang-orang berilmu di dunia kangouw, Panglima Kim Bouw Sin tidak mau ribut-ribut tentang penculikan ini, sungguhpun diam-diam dia menggerakkan orang-orangnya untuk mencari tanpa hasil.

Selir muda yang cantik itu menangis ketika dia dibawa masuk ke rumah Hek-tiauw Lo-mo di Pulau Neraka. Mula-mula dia menolak semua bujuk rayu raksasa itu, dan memilih mati. Akan tetapi, ketika Hek-tiauw Lo-mo menangkap anaknya, menempelkan golok gergajinya di leher anak yang baru berusia tiga bulan itu, wanita muda ini menyerah!

Demi menjaga nyawa anaknya, dia mau menyerahkan diri setelah Hek-tiauw Lo-mo berjanji tidak akan mengganggu dan tidak akan membunuh anak itu, bahkan mengambil anak itu sebagai anaknya sendiri. Barulah wanita muda itu menyerahkan diri, penyerahan yang dilakukan dengan terpaksa dan dengan hati hancur. Hek-tiauw Lo-mo, raksasa yang kasar itu, mempermainkan wanita itu di luar batas kekuatan si wanita sehingga dalam waktu tiga bulan saja, wanita itu tidak kuat bertahan dan tewas!

Biarpun dia seorang liar dan kejam, namun Hek-tiauw Lo-mo merasa sebagai orang gagah, maka dia pantang untuk menjilat janjinya sendiri. Maka, setelah wanita itu meninggal dunia, dia benar tidak membunuh anak itu dan memeliharanya sebagai anak sendiri. Makin besar anak itu, makin sayanglah dia, apalagi setelah anak perempuan itu memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia kelak akan menjadi seorang wanita yang cantik jelita seperti ibunya!

"Ha-ha-ha engkaulah anak itu, Hwee Li!" Hek-tiauw Lo-mo menutup ceritanya yang dilakukan terang-terangan tanpa menyembunyikan sesuatu untuk membuktikan "kegagahannya". "Melihat engkau menjadi dewasa dan persis ibumu, tadinya aku mempunyai keinginan untuk menarik engkau di sampingku sebagai pengganti ibumu yang kucinta sungguh. Akan tetapi, setelah aku menjadi makin tua, aku kehilangan gairah terhadap wanita, apalagi setelah berjumpa dengan Pangeran Liong, aku mengambil keputusan untuk menyerahkan engkau kepadanya demi kebahagiaanmu, anakku! Ha-ha-haha-ha!"

Dapat dibayangkan betapa muak, benci dan sakitnya hati Hwee Li mendengar semua itu. Biarpun ayahnya mengaku cinta kepada ibunya, namun dia tahu bahwa akibat paksaan ayah angkat atau ayah tirinya inilah maka ibunya sampai tewas. Dan sesungguhnya, orang ini sama sekali tidak pantas dia sebut ayah, bahkan sebagai ayah tiri sekalipun, karena ibunya menjadi isteri orang ini tidak secara suka rela dan tidak syah, melainkan diculik dan dipaksa! Orang ini sama sekali bukan ayahnya, bukan ayah angkat atau ayah tirinya, melainkan musuh besarnya, pembunuh ibunya!

Panglima Kim Bouw Sin? Dia teringat akan peristiwa pemberontakan lima enam tahun yang lalu. Ketika itu, usianya baru kurang lebih sebelas tahun, akan tetapi dia sudah tahu akan apa yang telah terjadi. Dia mendengar nama Panglima Kim Bouw Sin ini. Bukankah itu panglima pembantu Jenderal Kao Liang yang kemudian memberontak dan bersekutu dengan Pangeran Liong Khi Ong dan akhirnya panglima itu terbunuh? Jadi ibunya dan ayahnya yang sebenarnya, ayah ibu kandungnya, semua telah mati? Dia masih penasaran dan bertanya dengan suara kering,

"Dan ayah kandungku....?"

"Panglima Kim Bouw Sin? Ha-haha, dia sekeluarga telah dihukum mati karena memberontak. Jadi akhirnya engkau malah harus berterima kasih kepadaku, Hwee Li. Karena andaikata aku tidak melarikan ibumu dan engkau ikut, tentu engkau dan ibumu juga akan mengalami nasib yang sama, dihukum mati sebagai anggauta keluarga pemberontak," kata Hek-tiauw Lo-mo.

Dengan muka pucat akan tetapi tidak begitu kentara karena taman itu hanya diterangi oleh sinar bulan purnama yang sudah membuat segala sesuatu nampak pucat, Hwee Li berkata lirih,

"Kalau begitu engkau bukan ayahku, Hek-tiauw Lo-mo...."

Pangeran Liong Bian Cu menyentuh tangan Hwee Li dan berkata,
"Moi-moi, jangan bilang begitu. Betapapun juga, Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo adalah ayah tirimu dan dia sudah memeliharamu sejak kecil, mendidikmu dengan segala macam ilmu. Aku akan selalu menganggap dia sebagai ayahmu."

Pikiran Hwee Li bekerja. Dia melihat Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepadanya dan di balik pandang matanya itu terdapat ancaman hebat. Dia tahu bahwa kakek itu melakukan semua ini dengan harapan untuk membonceng kemuliaannya kalau dia kelak menjadi isteri Liong Bian Cu.

Tentu saja kalau tidak diaku sebagai ayah, harapan kakek itu menjadi hancur dan mungkin saja dia melakukan sesuatu yang akan merugikan dirinya. Selagi dia masih berada di lembah itu, selagi dia masih mencari-cari kesempatan untuk lolos, tidak baik kalau dia menanamkan kebencian dan ancaman baru dalam diri Hek-tiauw Lo-mo.

"Tentu saja, Pangeran. Aku tidak dapat melupakan segala kebaikan Ayah”, katanya sambil minum araknya beberapa teguk. Dia melirik ke arah Hek-tiauw Lo-mo dan melihat kakek ini tertawa-tawa senang mendengar ucapannya itu.

**** 064 ****