FB

FB


Ads

Rabu, 20 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 061

"Ayah, kemanakah kita pergi? Apakah akan kembali ke Pulau Neraka?" tanya Hwee Li kepada ayahnya ketika mereka dibawa terbang di atas punggung garudanya.

"Tidak, Hwee Li. Pulau Neraka terlalu jauh dan aku sudah tidak suka tinggal di tempat buruk itu. Aku malah tidak mau kembali lagi ke sana."

"Kalau begitu, kita pergi ke mana?"

"Ke tempatku yang baru."

"Di mana itu, Ayah?"

"Ha-ha, kau sudah pernah mengunjunginya. Di lembah Huang-ho."

"Lembah Huang-ho?" Dara itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. "Maksudmu di sarang Huang-ho Kui-liong-pang?"

"Ha-ha-ha, engkau memang anakku yang amat cerdik. Benar di sana. Tempat indah itu menjadi tempat tinggal kita yang baru."

"Eh, bukankah di sana tinggal ketua Kui-liong-pang, musuh besar Ayah sendiri, yaitu Hek-hwa Lo-kwi?"

"Hemmm, dalam hal ini engkau masih bodoh dan tidak mengerti, anakku. Ada waktunya menjadi musuh, ada pula waktunya menjadi sahabat, semua disesuaikan dengan waktu dan keadaan. Ha-ha-ha!"

Hwee Li paling tidak suka melihat ayahnya tertawa. Kalau ayahnya bersikap biasa, maka ayahnya kelihatan sebagai seorang raksasa yang berwibawa. Akan tetapi kalau sudah tertawa dan kelihatan gigi yang bertaring itu, dia merasa jijik dan malu. Kalau tertawa, ayahnya amat menyeramkan seperti iblis saja, atau seperti seekor binatang buas!

"Kenapa Ayah tinggal di tempat orang lain!"

"Hek-hwa Lo-kwi bukan orang lain, anakku. Dia seorang sekutu!"

"Hemmm, agaknya Ayah sudah main-main lagi dengan persekutuan. Apakah Ayah tidak jera setelah mengalami kegagalan ketika Ayah membantu pemberontak she Liong dahulu itu? Hampir saja Ayah celaka dan kehilangan banyak anak buah."

"Hemmmm, sekali ini lain lagi persoalannya, anakku. Bukan pemberontak biasa yang kubantu, melainkan seorang pangeran tulen, dari kerajaan besar Nepal."

"Ahhh.... Ayah maksudkan orang she Liong itu? Peranakan Nepal putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong itu?"

"Benar, murid dari Ban Hwa Seng-jin, Koksu Nepal yang sakti. Dia seorang muda yang amat pandai, seorang calon kaisar yang amat hebat, heh-heh-heh!"

"Dan aku amat benci padanya!" tiba-tiba Hwee Li berkata.

"Ehhh, mengapa, anakku?"

"Kulitnya hitam coklat...."

"Menambah manis dan jantan!"

"Hidungnya melengkung...."

"Tanda dia bernafsu besar dan kuat, heh-heh!"

"Matanya cekung...."

"Itu menunjukkan bahwa dia memiliki kecerdikan...."

"Ah, pendeknya aku tidak suka kepadanya. Pandang matanya cabul dan genit, Ayah. Aku sudah ingin menamparnya ketika kami bertemu di sana dan dia memandangku dengan mata seolah-olah hendak menelanjangiku. Huh!"

"Ha-ha-ha, begitulah kalau seorang pria sudah jatuh cinta! Dan pria mana yang tidak akan tergila-gila kepada anakku yang cantik jelita dan manis ini? Haha-ha!"

"Ah, aku tidak suka kalau Ayah bicara seperti itu!"

Hwee Li bersungut-sungut dan menjambak bulu di leher garudanya sehingga garuda itu memekik kesakitan dan terbang makin cepat lagi. Ayahnya hanya tertawa-tawa akan tetapi tidak bicara lagi karena maklum bahwa puterinya masih marah-marah.

Benarkah ucapan Hek-tiauw Lo-mo, ayah Hwee Li itu, bahwa dia kini telah menjadi sekutu dari Hek-hwa Lo-kwi ketua Huang-ho Kui-liong-pang di lembah Huang-ho? Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan betapa dahulu, Hek-tiauw Lo-mo pernah bermusuhan secara hebat dengan Hek-hwa Lo-kwi.

Hek-hwa Lo-kwi dahulu bernama Thio Sek, seorang pelayan dari manusia dewa yang amat terkenal sebagai penghuni Istana Gurun Pasir dan dikenal sebagai Go-bi Bu Beng Lojin atau juga Si Dewa Bongkok. Sebagai pelayan manusia sakti ini, tentu saja Hek-hwa Lo-kwi juga memiliki kepandaian tinggi. Pada suatu hari, muncullah Hek-tiauw Lo-mo untuk mencuri kitab pusaka milik Si Dewa Bongkok. Dengan hekerja sama bersama Thio Sek, berhasillah dua orang ini mencuri sebuah kitab pusaka tentang ilmu pukulan beracun.






Keduanya lalu melarikan kitab itu, akan tetapi, di tengah jalan mereka bercekcok dan saling memperebutkan kitab. Mereka bertanding dan karena keduanya memiliki tingkat kepandaian yang seimbang, akhirnya mereka menguasai seorang separoh dari kitab yang terobek dalam perebutan itu. Mereka mempelajari bagian masing-masing dan sampai bertahun-tahun menjadi musuh, akan tetapi keadaan mereka selalu seimbang.

Dua orang yang tadinya menjadi kawan ketika maling kitab, berubah menjadi musuh. Akan tetapi kini, dengan munculnya Liong Bian Cu, Pangeran Nepal yang pandai menarik hati orang-orang kang-ouw itu, mereka menjadi sekutu lagi. Sekali ini, keduanya yang sudah merasa tua ingin sekali memperoleh kedudukan, mengandalkan kedudukan Pangeran Nepal itu, agar mereka kelak akan mengakhiri kehidupan mereka sebagai pembesar-pembesar terhormat!

Ketika Hek-tiauw Lo-mo mengunjungi lembah itu, tadinya dengan maksud menentang Hek-hwa Lo-kwi, dia bertemu dengan Liong Bian Cu, Ban Hwa Sengjin dan para pembantu pangeran itu. Liong Bian Cu berhasil membujuk Hek-tiauw Lo-mo dan akhirnya Hok-tiauw Lo-mo terpikat pula, bahkan lalu masuk dalam persekutuan itu, apalagi ketika dia melihat betapa keadaan Liong Bian Cu sebagai pangeran dan sebagai murid Koksu Nepal, amatlah kuatnya.

Dia mendengar bahwa puterinya telah mewakili dia mengunjungi lembah itu, dan giranglah hatinya ketika dalam pembicaraannya dengan Pangeran Nepal itu, dia mendengar bahwa pangeran itu ternyata amat tertarik dan agaknya jatuh hati kepada puterinya! Kalau saja dia dapat menjadi mertua dari Pangeran Nepal ini. Dan kelak, kalau pangeran ini menjadi Raja Nepal, dia menjadi mertua raja! Apalagi kalau pangeran ini berhasil menjadi kaisar, dia menjadi mertua kaisar.

Pangkat dan kemuliaan apalagi yang dapat lebih tinggi lagi daripada itu? Maka dia lalu berpamit dari lembah dan pergi untuk mencari puterinya, dengan satu tujuan di dalam benaknya, yaitu dengan cara apa pun dia akan menyerahkan puterinya kepada Liong Bian Cu sebagai isterinya! Beberapa orang anak buahnya membantunya mencari Hwee Li! dan akhirnya dia menemukan puterinya itu di tempat tinggal Sai-cu Kai-ong.

Atas petunjuk Hek-tiauw Lo-mo, Hwee Li menyuruh garudanya menukik turun. Dari atas dia sudah melihat lembah itu dan dia memandang heran. Lembah yang dikenalnya sebagal tempat tinggal atau sarang Hek-hwa Lo-kwi itu kini telah berubah. Masih sukar untuk didatangi dari darat tanpa melalui jalan rahasia, akan tetapi kini dari atas nampak betapa lembah itu telah dikurung air!

Ternyata bahwa air yang meluap dan membanjiri lembah akibat ledakan-ledakan alat peledak Siluman Kucing dahulu itu, telah membentuk genangan air seperti telaga di sekitar lembah dan oleh Hek-hwa Lo-kwi, air itu malah dipergunakan untuk memperkuat bentengnya.

Dengan adanya air yang mengurung lembah itu, maka makin sukarlah bagi orang luar untuk dapat menyerbu ke lembah. Mereka harus lebih dulu menyeberangi air yang lebarnya lebih dari dua puluh tombak itu, air yang cukup dalam karena oleh Hek-hwa Lo-kwi telah digali dan diperdalam dan tidak ada jembatan yang menghubungkan lembah dengan seberang air seperti sungai atau telaga itu.

Garuda itu menukik turun dan akhirnya hinggap di atas tanah di depan bangunan besar yang menjadi tempat tinggal Hek-hwa Lo-kwi. Dari atas sudah nampak banyak orang berdiri di luar bangunan itu menyambut kedatangan ayah dan anak yang aneh itu.

Ketika Hwee Li dan ayahnya meloncat dari atas punggung garuda, dara ini memutar tubuh dan memandang. Alisnya berkerut ketika wajah pertama yang dilihatnya justeru adalah wajah yang amat dibencinya, wajah Liong Bian Cu sendiri! Laki-laki yang tinggi tegap ini memakai pakaian indah, dan dia sudah menjura dengan hormatnya dan tersenyum penuh keramahan kepada Hwee Li.

"Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, sungguh mengagumkan sekali betapa dalam waktu singkat Locianpwe dapat menemukan puterimu!" katanya kepada Hek-tiauw lo-mo yang tertawa bergelak penuh kebanggaan.

"Nona Hwee Li, selamat datang di lembah dan mudah-mudahan engkau tadi menikmati perjalanan menyenangkan sekali," katanya kepada Hwee Li sambil tersenyum.

Giginya putih dan rata, hidungnya yang agak melengkung itu bergerak-gerak. Sesungguhnya pria ini cukup tampan dan juga gagah sekali, akan tetapi entah mengapa, Hwee Li merasa tidak suka kepadanya. Agaknya hal itu ditimbulkan oleh pandang mata yang memang jalang dan menembus itu, yang terpancar dari sepasang mata yang cekung dan tajam bukan main.

"Hemmm....!" Hwee Li hanya mengeluarkan suara dari hidungnya tanpa menjawab.

"Hwee Li, engkau diajak bicara oleh Pangeran. Jawablah, jangan membikin malu Ayahmu seolah-olah engkau tidak pernah dididik kesopanan!" kata Hek-tiauw Lo-mo kepada puterinya.

Makin dalam kerut pada alis dara itu. Dia merasa makin tidak senang dan juga terheran-heran. Sejak kapankah ayahnya menjadi seorang penjilat dan seorang yang mengenal kesopanan? Biasanya, dahulu dia yang sering kali merasa malu karena ayahnya adalah seorang yang sama sekali tidak mempedulikan tata susila atau sopan santun! Karena di situ terdapat banyak orang, dan tentu, saja dia tidak mau membikin malu ayahnya, maka dia lalu balas menjura kepada pangeran itu dan berkata dengan suara kaku,

"Terima kasih, Ayahku memaksa aku berkunjung ke sini, mudah-mudahan tidak mengganggu siapa pun!" Sambil berkata demikian, dia melirik kepada Hek-hwa Lo-kwi yang dia tahu adalah tuan rumahnya.

Kembali dia terheran-heran, karena Hek-hwa Lo-kwi hanya mengangguk sambil tersenyum saja sedangkan yang menjawabnya adalah pangeran itu,

"Ha-haha.... tidak sama sekali, Nona! Saya percaya bahwa Hek-hwa Lo-kwi locianpwe bahkan akan merasa terhormat dan girang dengan kunjunganmu ini. Siapa yang tak kan merasa terhormat dan gembira menerima kunjungan seorang seperti engkau, Nona? Nona tentu telah merasa lelah sekali, maka silakan Nona beristirahat di kamar yang telah kami sediakan, menyegarkan diri baru kemudian kita makan dalam pesta yang kami selenggarakan untuk menyambut kedatangan Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dan Nona Kim Hwee Li!"

Pangeran itu bertepuk tangan dan muncullah empat orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu.

"Kalian antar Nona Hwee Li ke kamarnya dan layani baik-baik!" perintah pangeran itu.

"Silakan, Siocia...." seorang pelayan memberi hormat kepada Hwee Li.

Dara ini tadinya hendak menolak. Tidak biasa dia diperlakukan seperti seorang puteri dan dilayani orang, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan mata ayahnya, dia melihat ayahnya menganggukkan kepala dan pandang mata ayahnya itu seperti dia memaksanya.

Dengan gerakan marah dia memutar tubuh lalu mengikuti para pelayan itu memasuki gedung yang besar dan akhirnya dipersilakan masuk ke sebuah kamar yang amat indah. Begitu masuk, Hwee Li terpesona. Hebat bukan main kamar ini. Selain besar dan luas, juga dihias seperti kamar seorang puteri istana saja layaknya.

Dia berdiri dan memandang ke kanan kiri. Sebuah dipan berada di tengah kamar, dipan yang terbuat dari kayu indah terukir dan terhias emas dan permata, terletak di atas permadani merah yang tebal dan berbulu, permadani yang terhampar memenuhi kamar itu. Di dekat pembaringan terdapat meja dengan empat kursinya dari kayu ukir-ukiran dan halus mengkilap amat indahnva, merupakan hasil seni ukir yang mentakjubkan.

Pot-pot bunga berukiran gambar naga dan burung dewata menghias sudut-sudut kamar dan di sebelah kiri nampak meja rias yang mungil, dengan piring cermin dari perak mengkilap tergantung di dinding, dan di atas meja itu nampak lengkap alat-alat rias seperti bedak, yan-ci (pemerah pipi), gincu, sisir, tusuk konde emas, minyak wangi dan sebagainya. Dan dari pintu kecil di belakang yang menyambung dengan kamar itu, yang daun pintunya terbuka sedikit, nampak kolam mandi dari batu pualam!

Sebuah kamar yang amat indah dan mewah dan dari jendela yang bentuknya seperti bulan purnama dan terhias pot-pot bunga itu dia dapat melihat sebuah kamar kecil yang indah pula di luar kamar. Benar-benar merupakan kamar seorang puteri raja!

"Siocia, mari kami bantu Siocia menanggalkan pakaian...."

"Biar kami membantu Siocia mandi...."

"Rambut Siocia kusut dan agak kotor terkena debu, perlu dikeramasi lalu disikat."

Empat orang pelayan itu menghampir Hwee Li dan mengulurkan tangan hendak membantu dara itu agar menanggalkan pakaian untuk mandi. Hwee Li membelalakkan matanya dan mengepal tinju, lalu menghardik,

"Pergi kalian dari sini!"

Empat orang pelayan itu terkejut, akan tetapi mereka telah menerima perintah dari majikan mereka untuk melayani nona ini sebaiknya,

"Siocia, kami...."

"Cukup! Cepat kalian menggelinding keluar dari kamar ini, kalau tidak, akan kulemparkan kalian satu demi satu!"

"Siocia...."

Mereka masih nekat. Mereka adalah empat orang di antara para pelayan Pangeran Nepal itu dan mereka adalah pelayan-pelayan terlatih yang menguasai ilmu silat dan ilmu gulat, maka ancaman Hwee Li tidak membuat mereka takut. Mereka sudah terlatih dan sudah biasa menghadapi dara cantik jelita yang dipersiapkan untuk melayani majikan mereka. Dan biarpun mereka sudah mendengar bahwa puteri Hek-tiauw Lo-mo ini memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak khawatir karena mereka mengira bahwa sepandai-pandainya seorang dara remaja seperti ini, mana mungkin dapat mengalahkan mereka berempat? Apalagi mereka melihat bahwa Hwee Li begitu cantik dan masih begitu muda, dan mereka dapat melihat dari sikap Pangeran Liong Bian Cu bahwa pangeran itu benar-benar jatuh cinta kepada dara ini sehingga sebelum dara ini tiba pun kamar yang amat indah itu telah dipersiapkan olehnya!

Maka, mereka berempat tentu saja tidak mau meninggalkan Hwee Li, karena kalau mereka mampu membujuk sehingga dara ini dengan hati terbuka mau melayani majikan mereka, mau menerima cintanya, tentu mereka akan menerima ganjaran besar!

"Siocia, kami hanya membantu...."

"Cerewet!" bentak Hwee Li, dan dia menggerakkan tangan kirinya untuk mendorong.

Akan tetapi, dengan cepat wanita itu mengelak ke kanan dan tiba-tiba saja tangannya telah menangkap pergelangan tangan kiri Hwee Li. Itulah gerakan seorang ahli gulat yang amat cekatan dan biarpun pelayan itu berlaku hati-hati sehingga tangkapannya tidak akan menyakitkan orang, namun jelas bahwa di bawah kulit telapak tangannya terkandung getaran tenaga yang kuat sehingga tangkapan itu pun erat sekali!

"Kalian mencari mampus!"

Hwee Li berseru ketika tiga orang pelayan yang lain juga sudah memegangnya dari kanan kiri dan belakang. Tiba-tiba Hwee Li mengguncang tubuhnya sambil mengerahkan sinkangnya. Tentu saja empat orang pelayan itu sama sekali bukan lawan puteri majikan Pulau Neraka ini.

Mereka terguncang dan pegangan mereka terlepas semua, kemudian sebelum mereka tahu apa yang menimpa mereka, tubuh mereka satu demi satu melayang keluar dari pintu kamar mewah itu. Terdengar suara hiruk-pikuk ketika tubuh empat orang pelayan itu terbanting di luar kamar, diiringi keluhan dan rintihan mereka.

Tiba-tiba di luar pintu itu muncul Liong Bian Cu diiringi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu memandang kepada puterinya dan menegur,

"Eh, Hwee Li, apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan tadi?"

Kembali Hwee Li merasa terheran karena jelas bahwa di dalam pertanyaan ayahnya itu mengandung penyesalan terhadapnya dan terkandung rasa sungkan terhadap Sang Pangeran Nepal itu! Diam-diam dia merasa muak dan marah. Mengapa ayahnya menjadi seorang penjilat? Mana kegagahan ketua Pulau Neraka?

"Mereka layak dihajar!" katanya tak acuh dan sama sekali tidak takut menghadapi Pangeran Nepal itu.

Liong Bian Cu tersenyum lebar dan menjura, sikapnya halus memikat.
"Maaf, Nona. Apakah empat orang pelayan itu bersikap kurang ajar kepadamu? Apakah mereka tidak menyenangkan hatimu? Kalau begitu, katakanlah dan aku akan membunuh mereka atau menyiksa mereka di depan kakimu sekarang juga!"

Hwee Li cemberut. Sikap ayahnyalah yang membuat dia marah, bukan sikap pangeran itu. Kalau saja ayahnya tidak bersikap seperti itu, berubah sama sekali daripada biasanya, agaknya sikap pangeran ini akan menyenangkan hatinya juga. Maka kemarahannya lalu dia lontarkan kepada pangeran itu dengan kaku dan kasar dia menjawab,

"Mereka adalah orang-orangmu. Mau siksa atau mau bunuh terserah, tiada sangkut-pautnya dengan aku!" Lalu dia membuang muka, kedua pipinya merah dan terasa panas karena marahnya.

"Hwee Li!" Ayahnya membentak marah. "Pangeran telah bersikap demikian hormat dan ramah kepadamu, pantaskah sikap dan jawabanmu ini?"

Hwee Li menoleh kepada ayahnya. Mereka saling pandang dan baru sekarang Hwee Li melihat pandang mata ayahnya kepadanya demikian penuh kemarahan. Selamanya, pandang mata ayahnya kepadanya selalu lembut dan penuh kasih sayang, akan tetapi sekarang ayahnya memandangnya dengan mata melotot marah. Hal ini amat menyakitkan hatinya dan tak terasa lagi dua titik air mata membasahi matanya!

"Sudahlah, Locianpwe, jangan marah kepadanya. Nona Hwee Li, kalau para pelayanku tidak menyenangkan hatimu, biarlah aku yang minta maaf kepadamu!" Sambil berkata demikian, pangeran itu benar-benar menjura kepada Hwee Li!

Diam-diam gadis ini terkejut dan merasa heran juga. Pangeran ini ternyata seorang yang amat hormat kepadanya, sungguhpun pandang matanya amat menjijikkan dan membuat dia merasa seperti telanjang bulat kalau berhadapan dengan pangeran itu.

Melihat sikap yang amat hormat ini, juga amat merendah, padahal pemuda berusia tiga puluhan tahun ini benar-benar seorang pangeran yang kaya raya dan berpengaruh, pula melihat betapa ayahnya marah-marah kepadanya, maka kemendongkolan hatinya agak mereda. Biarpun sikapnya masih acuh tak acuh, namun suaranya tidaklah sekaku dan sekasar tadi ketika dia berkata kepada Liong Bian Cu.

"Mereka tidak apa-apa, hanya aku tidak senang dilayani, aku ingin tinggal sendiri di kamar ini"

"Eh, begitukah? Baiklah, Nona."

Dia lalu menoleh kepada empat orang pelayan wanita yang sudah berlutut di situ dengan muka pucat dan sikap ketakutan. Hwee Li percaya bahwa sekali dia bilang "mati", agaknya tak dapat diragukan lagi pangeran itu tentu akan membunuh mereka berempat.

"Hei, dengarkan baik-baik kalian berempat! Kalian sama sekali tidak boleh masuk ke dalam kamar ini, melainkan siap di luar kamar dan baru masuk kalau Siocia memanggil dan membutuhkanmu. Mengerti?" Empat orang itu lalu memberi hormat dengan dahi menyentuh lantai.

"Nah, beristirahatlah, Nona Hwee Li. Sebentar lagi kita bertemu lagi di ruang dalam, di mana akan diadakan pesta perjamuan makan untuk menyambut kedatanganmu."

Pangeran itu menjura lagi lalu pergi, diikuti oleh Hek-tiauw Lo-mo yang melirik penuh desakan kepada puterinya.

Setelah mereka pergi, dan melihat empat orang pelayan itu masih berlutut di situ, Hwee Li menutupkan daun pintu keras-keras dengan hati mengkal. Lalu dia menjatuhkan diri di atas pembaringan. Kasur itu bergoyang-goyang naik turun, mengayun-ayun tubuhnya. Ternyata pembaringan itu selain berkasur tebal juga dipasangi per sehingga amat enak di tiduri.

Hwee Li memejamkan matanya, lalu membukanya lagi, termenung. Dia sungguh merasa penasaran dan heran melihat perubahan pada watak ayahnya. Akan tetapi, ayahnya adalah seorang yang dikenalnya sebagai orang yang amat cerdik. Tidak mungkin ayahnya menjadi penjilat. Tentu ada apa-apa di balik semua sikap ayahnya itu. Ayahnya sedang bersiasat!

Pikiran ini mengusir rasa penasaran di hatinya, dan tak lama kemudian wajah yang cantik itu telah berseri kembali. Sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia duduk di depan meja rias dan memandangi wajahnya sendiri. Dia membuat berbagai gerakan dengan lehernya, menggerakkan kepalanya miring ke kanan dan ke kiri, lalu menggerak-gerakkan alisnya, matanya, hidungnya dan mulutnya. Dia merasa puas. Dia cantik memang! Dan timbul rasa bangga di hatinya.

Pangeran hidung betet itu agaknya tergila-gila kepadanya! Kini baru terasa olehnya betapa mesra pandang mata pangeran itu, betapa halus dan hormat sikapnya. Bahkan pangeran itu tidak segan-segan untuk menjura dan minta maaf kepadanya untuk urusan kecil tadi!

Hwee Li adalah seorang gadis yang mempunyai watak lincah jenaka dan gembira, maka dia tidak bisa lama-lama berada dalam keadaan marah atau berduka. Sesaat kemudian dia sudah merendam tubuhnya di kolam mandi dan terdengar mulutnya bersenadung!

Setelah merasa tubuhnya segar sekali, dia keluar dari kolam, mengeringkan tubuhnya dengan kain bersih yang tersedia di situ, kemudian keluar dari kamar mandi, kembali ke dalam kamar dalam keadaan telanjang bulat. Seperti seekor kijang muda dia melangkah kecil-kecil menuju ke depan meja rias, memutar-mutar tubuhnya yang telanjang di depan cermin perak, mengagumi bentuk tubuhnya sendiri yang padat dengan lekuk lengkung sempurna itu, kulitnya yang putih halus, mengagumi dadanya yang sebagian tertutup oleh rambutnya yang hitam halus, membayangkan bukit-bukit dadanya dan timbul kebanggaan di dalam hatinya.

Dia bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar, bagaikan sebutir buah yang sedang meranum. Kesadaran bahwa dia cantik dan memiliki tubuh yang indah, mendatangkan kebanggaan dan dia berjanji dalam hati tidak akan menyerahkan dirinya secara murah kepada siapa pun, apalagi kepada pangeran berhidung betet itu!

Ketika Hwee Li mengambil pakaiannya yang tadi ditanggalkannya dan ditumpuknya di atas pembaringan, alisnya berkerut. Tubuhnya sudah segar dan bersih, akan tetapi pakaiannya itu sudah kusut dan kotor! Dia teringat akan lemari yang berdiri di sudut kamar. Dihampirinya lemari itu dan dibukanya. Penuh dengan pakaian! Pakaian wanita, serba indah dan semua terbuat daripada kain sutera yang mahal!

Dipilihya pakaian dalam dan celananya yang terbuat dari kain tipis licin berwarna merah muda, didekatkan kepada tubuhnya. Ukurannya persis! Dia terheran-heran. Milik siapakah pakaian-pakaian ini? Kenapa semua masih baru dan belum ada yang bekas? Dan kenapa pula ukuran tubuh pemilik pakaian itu sama benar dengan ukuran tubuhnya?

Dipakainya pakaian dalam itu. Dan memang benar dugaannya. Persis betul seperti memang sengaja dibuat untuk dia! Dipilihnya baju dan celana berwarna biru. Dia paling suka memakai pakaian hitam, akan tetapi pakaian selemari itu tidak ada yang hitam, maka dia memilih yang biru tua, satu-satunya warna yang mendekati warna hitam. Lalu dipakainya pula.

Ketika dia sedang menyisir rambutnya di depan kaca rias, daun pintunya terketuk dari luar. Hwee Li mencelat kaget. Dia merasa "berdosa" karena telah memakai pakaian orang lain dan tiba-tiba daun pintu terketuk, maka tentu saja dia kaget bukan main.

"Siapa?" bentaknya, karena dia mengira bahwa yang mengetuk pintu tentulah pangeran ceriwis itu, maka disambutnya lebih dulu dengan suara ketus.

"Hwee Li, bukalah pintunya. Aku mau bicara denganmu."

Suara ayahnya! Hwee Li lalu menghampiri pintu dan sebelum membukanya dia bertanya,
"Ayah datang dengan siapa? Kalau sendirian baru aku mau membuka pintu."

"Ha-ha-ha, anak bodoh. Tentu saja aku datang sendirian. Bukalah!"

Hwee Li membuka pintu dan ayahnya masuk ke dalam kamar sambil membelalakkan matanya, hidungnya yang besar berkembang-kempis dan dia memandang puterinya dengan sinar mata penuh kagum.

"Hemmm, harumnya! Dan kau begini segar, dan pakaian biru itu pantas sekali bagimu!"

"Ayah, aku lebih senang pakaian hitamku sendiri. Akan tetapi pakaianku kotor dan aku pinjam pakaian orang yang berada di dalam lemari itu...." Dia menuding ke arah lemari di sudut.

"Pakaian orang? Ha-ha-ha, anak bodoh. itu adalah pakaianmu semua! Dan hal itu membuktikan kebaikan hati Pangeran Liong Bian Cu kepadamu, kepada kita! Sungguh, selama hidupku belum pernah aku bertemu orang sebaik dia. Selain kamar ini yang sudah dipersiapkan sebelum kau datang, juga pakaian-pakaian itu telah disuruhnya buat untukmu, Hwee Li"

"Ahhh....!" Hwee Li terkejut sekali. "Dia membuatkan pakaian untukku? Bagaimana bisa, begini pas ukurannya?"

"Ha-ha-ha, tentu. saja aku yang memberi tahu."

"Ayah! Kenapa Ayah begitu.... merendah kepadanya? Kalau ini pakaian yang sengaja dia buatkan untukku, biarlah aku memakai pakaianku sendiri!" Hwee Li sudah memegang bajunya seperti orang hendak menanggalkannya.

"Eh, eh.... jangan begitu Hwee Li. Kau tidak tahu! Duduklah dan dengarkan kata-kataku."

Hwee Li menjadi girang. Tepat dugaannya. Tentu ada apa-apanya di balik sikap ayahnya yang seperti menjilat-jilat pangeran itu. Maka dia lalu duduk menghadapi ayahnya, terhalang oleh meja berukir indah itu.