FB

FB


Ads

Sabtu, 16 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 059

Sai-cu Kai-ong kembali menghadapi Hwee Li setelah menoleh ke belakang, ke arah Siauw Hong yang sejak tadi diam saja dan mengikuti rombongan itu melihat-lihat.

"Ah, benarkah itu, Nona? Di mana?"

"Tentu saja di tangan Sin-siauw Seng-jin! Aku melihatnya beberapa bulan yang, lalu."

"Benarkah itu? Sin-siauw Seng-jin adalah pewaris dari ilmu-ilmu keluarga Suling Emas. Dia adalah cucu murid dari Gu Toan yang pernah menjadi pelayan setia dari Kam-taijin atau Kam Liong itu. Gu Toan inilah yang mewarisi semua pusaka dan kitab-kitab ilmu yang sakti dari keluarga Suling Emas, dan kemudian secara turun-temurun pusaka-pusaka itu tiba di tangan Sin-siauw Seng-jin. Dimanakah Nona bertemu dengan dia?"

Hwee Li menoleh kepada Kian Bu.
"Kalau kau ingin tahu, Kai-ong, kau tanyalah kepada Siluman Kecil ini! Dialah orangnya yang pernah mencoba keampuhan suling emas yang ternyata tidak berguna itu!"

"Jangan sembarangan bicara!" tiba-tiba terdengar suara bentakan dari belakang.

Hwee Li menoleh dan ternyata yang mengeluarkan suara membentak marah itu adalah Siauw Hong yang tadi berlutut menghadap kepada gambar Kam Liong dan kini sudah bangkit berdiri.

"Apa? Kau membentak-bentak aku, heh? Kau bocah ini belum pernah dihajar rupanya!"

Hwee Li sudah maju menghampiri dan mengepal tinjunya sedangkan Siauw Hong juga sudah siap dan memandang marah.

"Siapapun tidak boleh menghina kepada orang yang kami hormati dan junjung tinggi itu. Aku akan membelanya, dengan nyawaku!" kata pula Siauw Hong, suaranya penuh kesungguhan sehingga Kian Bu yang telah mengenalnya memandang dengan heran.

"Hwee Li!" Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. "Mundur kau dan hayo cepat kau minta maaf!"

Hwee Li masih mengepal tinju, akan tetapi dia menoleh ke arah subonya dan sejenak dua orang wanita itu saling "mengukur" tenaga dengan pandang mata mereka. Akhirnya Hwee Li mengeluh pendek, dan tersenyum, mata kirinya berkejap kepada subonya.

"Aku paling tidak kuat kalau melihat Subo marah kepadaku...." lalu dia menoleh kepada Sai-cu Kai-ong dan berkata, "Kai-ong, harap kau maafkan kelancanganku tadi, ya?"

Dia sama sekali tidak memandang kepada Siauw Hong dan sengaja minta maaf kepada Sai-cu Kai-ong. Dasar gadis yang berhati keras seperti baja, mana dia mau mengalah dan minta maaf kepada Siauw Hong yang dianggapnya masih bocah itu?

Akan tetapi, semua orang merasa heran ketika Sai-cu Kai-ong menghadapi Siauw Hong dan berkata,

"Nona Kim telah minta maaf, hendaknya dilupakan saja kata-kata tadi." Dan Siauw Hong mengangguk!.

"Paman Yu, benarkah itu.... bahwa Sin-siauw Seng-jin adalah ahli waris yang tulen dari Suling Emas?" Kian Bu bertanya sambil memandang tajam kepada Sai-cu Kai-ong.

Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk.
"Benar! Ketika pendekar sakti Kam Liong sebagai menteri dikeroyok oleh pasukan kerajaan dan sudah luka-luka parah, beliau berpesan kepada pelayannya yang setia itu, Gu Toan, untuk melarikan semua pusakanya. Kabarnya berkat bantuan manusia dewa Bu Kek Siansu sendiri akhirnya Gu Toan dapat membawa jenazah pendekar Kam Liong dan jenazah muridnya she Ku, juga membawa semua pusaka, kemudian memakamkan jenazah itu di kuburan keluarga Suling Emas dan menjaga kuburan di sana. Sin-siauw Sengjin adalah keturunan Gu Toan itu yang bertugas menjaga baik-baik semua pusaka, mempelajarinya agar kelak dapat diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari keluarga Kam, keluarga Suling Emas."

"Ah, mana mungkin itu?" Kian Lee membantah. "Menurut penuturan ayah, keluarga Kam dari pendekar Suling Emas telah habis, berhenti hanya sampai kepada pendekar Kam Liong itu saja. Pendekar Kam Liong tewas sebagai seorang menteri yang hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai isteri dan anak."

Sai-cu Kai-ong kembali melirik kepada Siauw Hong, lalu menarik napas panjang dan berkata,
"Memang demikianlah yang diketahui orang. Dan tentu saja cerita Suma-taihiap Majikan Pulau Es itu tidak salah, karena memang hal ini merupakan rahasia pribadi dari Menteri Kam Liong. Beliau kematian isterinya dan tidak mempunyai anak. Sebagai seorang yang berbakti kepada leluhurnya, tentu saja hal itu amat menyusahkan hatinya, karena dia merupakan putera tunggal dari pendekar Suling Emas. Untuk menikah lagi, hal itu berlawanan dengan hati nuraninya, maka untuk menyambung keturunan nenek moyangnya, Menteri Kam Liong diam-diam memiliki seorang wanita baik-baik dari antara para pelayannya. Dari wanita inilah dia memperoleh seorang putera."

"Ahhhhh....!" Kian Bu dan Kian Lee berseru kaget dan heran.






"Memang tidak ada yang tahu, bahkan sungguh amat mengharukan sekali, mendiang Menteri Kam Liong sendiri tidak mengetahuinya bahwa beliau mempunyai atau meninggalkan seorang keturunan, seorang putera!" kata Sai-cu Kai-ong.

"Eh, bagaimana pula itu?" Kian Lee bertanya kaget.

"Wanita yang diambilnya sebagai selir untuk menyambung keturunan itu baru diambilnya beberapa bulan lamanya sebelum beliau tewas sehingga beliau sendiri tidak tahu bahwa selir itu telah mengandung ketika beliau tewas. Tidak ada yang tahu akan hal itu kecuali pelayannya yang setia, yaitu Gu Toan. Karena khawatir kalau-kalau selir itu dan keturunan Menteri Kam Liong akan dibunuh karena dianggap sebagai keturunan pemberontak, maka selir itu lalu disingkirkan ke tempat aman oleh Gu Toan. Nah, keturunan dari Gu Toan inilah yang selalu mengikuti perkembangan keturunan tunggal itu dan sampai sekarang menjadi tugas Sin-siauw Seng-jin untuk menyerahkan semua pusaka dan ilmu dari Suling Emas kepada keturunan itu. Karena, hanya apabila terdapat keturunan langsung yang berbakat, barulah ilmu-ilmu itu akan diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari Pendekar Suling Emas. Dan putera selir itulah yang melanjutkan keturunan Suling Emas, karena putera lain dari keluarga Kam, yaitu yang bernama Kam Han Ki, adik sepupu Menteri Kam Liong, telah menjauhkan diri dari keduniaan dan tidak pernah mempunyai keturunan."

"Koai-lojin...."

Kian Lee dan Kian Bu berbisik. Mereka sudah mendengar cerita ayah mereka bahwa keluarga Suling Emas yang bernama Kam Han Ki dan murid terutama dari Bu Kek Siansu, hidup menyendiri dan setelah tua menjadi Koai-lojin yang sakti seperti dewa.

"Ah, kalau begitu ada keturunannya sekarang? Siapa dia....?"

Kian Lee bertanya penuh keheranan dan Kian Bu kembali memandang gambar dari laki-laki ganteng berpakaian sastrawan membawa kipas dan suling emas itu.

"Bukan menjadi hakku untuk membuka rahasia orang lain. Hanya Sin-siauw Sengjin seorang yang berhak," jawab Sai-cu Kai-ong.

Kian Bu bengong memandang gambar itu, terutama memandang ke arah kipas dan suling emas yang berada pada pria di dalam gambar itu. Dia merasa bingung sekali. Manakah yang asli sebenarnya? Milik orang tuanya ataukah milik Sinsiauw Seng-jin? Ibunya, Puteri Nirahai, memiliki sebatang suling emas yang juga dahulu katanya diterima dari kakek Gu Toan, dan juga ibu Kian Lee, bekas ketua Pulau Neraka, Lulu, menerima pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas dari kakek Gu Toan. Akan tetapi sekarang muncul keturunan kakek Gu Toan yang menyimpan semua pusaka itu!

"Kian Bu, bagaimana engkau sampai bertanding dengan Sin-siau Seng-jin?"

Sai-cu Kai-ong bertanya, akan tetapi yang ditanya masih bengong memandangi gambar itu. Ketika Sai-cu Kai-ong hendak mendesak, tiba-tiba seorang muridnya tergopoh-gopoh masuk dan melaporkan bahwa di luar lembah terjadi pertempuran antara orang-orang yang tidak dikenal.

Mendengar ini, Sai-cu Kai-ong berlari keluar diikuti oleh Suma Kian Lee, Ceng Ceng, Hwee Li, Siauw Hong, bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, dan bergegas lari ke arah pertempuran itu. Dalam ketegangan itu, mereka sampai tidak tahu bahwa Kian Bu masih tetap terlongong memandangi gambar Kam Liong.

Ketika mereka tiba di lembah bawah puncak, benar saja di sana terjadi pertempuran dahsyat sekali. Yang bertempur adalah seorang kakek raksasa yang menyeramkan melawan seorang kakek tua renta yang bersenjata sebatang suling emas!

Hwee Li, Ceng Ceng, dan Jenderal Kao segera mengenal kakek raksasa itu yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lomo, ketua Pulau Neraka, ayah dari Hwee Li! Sedangkan kakek tua yang bersenjata suling emas itu adalah Sin-siauw Sengjin. Dua orang ini bertempur dengan seru dan hebatnya dan terdengar suara berdengung dari suling ditangan Sin-siauw Seng-jin.

Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh sehingga keduanya saling serang dengan dahsyatnya. Sedangkan tak jauh dari situ, beberapa orang anak buah Hek-tiauw Lomo yang berwajah serem-serem sedang bertanding melawan pengikut-pengikut Sin-siauw Seng-jin yang jumlahnya lima orang.

Melihat ayahnya bertanding dengan pewaris Suling Emas itu, Hwee Li segera meloncat ke depan dan berseru,

"Ayah....! Aku berada di sini!"

Sai-cu Kai-ong terkejut ketika mendengar nona berpakaian hitam itu menyebut ayah kepada lawan Sin-siauw Seng-jin, maka dia pun cepat maju dan berkata kepada sahabatnya itu,

"Sengjin, hentikan pertempuran di antara orang sendiri!"

Mendengar seruan Sai-cu Kai-ong ini, Sin-siauw Seng-jin terkejut dan meloncat mundur, mengelebatkan sulingnya dan berteriak menyuruh Gin-siauw Lo-jin dan empat orang murid lain untuk mundur dan menghentikan pertempuran pula. Sepuluh orang anak buah Hek-tiauw Lomo yang serem-serem itu pun mundur dan berkelompok.

Hek-tiauw Lo-mo sendiri ketika mendengar suara Hwee Li, sudah menarik kembali golok gergajinya, menyimpannya di punggung. Kakek ini memandang kepada Hwee Li dengan mata terbelalak lalu tertawa bergelak.

Semua orang merasa ngeri ketika melihat kakek ini tertawa karena nampak gigi seperti taring di mulut kakek itu! Sungguh seorang kakek yang mengerikan, seperti iblis saja. Tubuhnya tinggi besar, kelihatan kokoh kuat seperti batu karang. Di punggungnya nampak golok gergaji dan tombak tulang ikan, sedangkan di pinggangnya tergambar sebatang pedang.

"Ha-ha-ha! Kiranya benar engkau di sini, anakku! Melihat garuda terbang di atas sini, aku sudah menduga bahwa engkau tentu berada di sini. Ha-ha-ha, dan ternyata engkau bersama orang-orang yang berkepandaian tinggi yang berkumpul di lembah ini. Hebat.... hebat...."

"Ayah, aku bersama Subo di sini...."

"Hemmm, aku tahu." Hek-tiauw Lo-mo lalu menjura dengan kaku ke arah Ceng Ceng sambil berkata, "Terima kasih atas bimbinganmu kepada puteriku, Toanio. Akan tetapi, hari ini terpaksa aku hendak mengajak puteriku pergi."

"Ah, tidak, Ayah! Aku masih ingin bersama Subo....!" Dan gadis berpakaian hitam itu menoleh, bukan kepada subonya, melainkan kepada Kian Lee!

"Hushhh! Lima tahun lamanya aku membiarkan engkau pergi meninggalkan aku menahan hati yang rindu. Anakku, setelah kini bertemu, apakah engkau masih tidak kasihan kepada ayahmu? Aku rindu padamu, ingin mengajakmu berkumpul. Apakah engkau hendak menjadi searang anak yang sama sekali tidak berbakti terhadap ayahmu? Aku hanya memiliki engkau seorang, Hwee Li anakku...."

Aneh sekali, kakek raksasa yang segala-galanya kelihatan kasar dan keras itu, kini suaranya terdengar menggetar seperti mengandung isak!

"Hwee Li, engkau tahu bahwa Subomu dan Suhumu sedang sibuk menghadapi banyak urusan. Sekarang, Ayahmu telah datang dan sebagai seorang anak yang berbakti engkau tidak boleh menyakitkan hati Ayahmu. Sudah menjadi kewajibanmu, untuk menghibur hati Ayahmu. Kelak masih banyak waktu untuk kita saling bertemu lagi."

Mulut yang manis itu cemberut, lalu tiba-tiba Hwee Li menghampiri Kian Lee dan bertanya,
"Bagaimana pendapatmu, Kian Lee? Apakah benar bahwa aku harus turut dengan Ayah?"

Kian Lee terkejut. Tak disangkanya bahwa dia akan ditanya oleh Hwee Li tentang hal itu. Dan tentu saja semua orang juga merasa heran, hanya Ceng Ceng yang mengerutkan alisnya karena guru yang sudah bertahun-tahun mengenal watak muridnya itu merasakan sesuatu yang membuat dia merasa tidak enak. Dia tahu bahwa muridnya itu jatuh cinta kepada Kian Lee!

"Eh.... ini.... ini.... memang sebaiknya begitu, Hwee Li. Seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya, dan kurasa ada baiknya kalau engkau ikut bersama ayahmu karena aku yakin bahwa dengan adanya engkau di sampingnya, engkau akan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik."

Dengan ucapan ini Kian Lee hendak mengatakan bahwa dara itu dapat mencegah ayahnya melakukan kejahatan-kejahatan karena dia sudah mengenal siapa adanya Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka yang ganas dan keji seperti iblis itu.

Mulut itu makin cemberut.
"Tapi.... kita baru saja saling berjumpa.... dan kau baru saja sembuh. Aku masih belum puas bercakap-cakap denganmu, Kian Lee."

"Hwee Li, jangan banyak membantah. Ayahmu sudah mengajak, aku sebagai gurumu telah menyetujui, dan.... Paman Kian Lee telah menganjurkan pula, mengapa engkau masih banyak membantah?"

Hwee Li membanting-banting kaki kanannya, lalu mulutnya mengeluarkan lengkingan panjang dan tak lama kemudian terdengar lengking panjang menjawab. Itulah garudanya yang segera melayang turun. Hwee Li sekali lagi membanting kaki kanannya dan menghampiri ayahnya.

"Ha-ha-ha! Apakah kau marah, anakku? Apakah gurumu terlalu galak kepadamu? Apakah ada orang yang membuatmu tidak senang? Katakan, siapa dia dan aku akan mengeluarkan isi perutnya, ha-ha-ha!"

Semua orang bergidik mendengar ucapan ini, apalagi mata yang lebar dan liar itu menyapu semua orang yang berada di situ tanpa terkecuali, seolah-olah dia sama sekali tidak memandang mata kepada mereka.

"Sudahlah, Ayah. Mari kita pergi”. Dia menoleh ke arah Kian Lee dan berkata lagi, "Benarkah aku harus pergi?"

Kian Lee hanya mengangguk karena dia merasa sungkan dan malu untuk menjawab.

"Subo, sampai jumpa. Sampaikan hormatku kepada Suhu," kata Hwee Li kepada Ceng Ceng.

Wanita itu mengangguk dan hatinya merasa tertusuk ketika dia melihat Hwee Li meloncat ke atas punggung garuda sambil menangis! Tahulah dia bahwa sebenarnya hati dara itu berat sekali harus pergi bersama ayahnya.

"Muridku yang baik, hati-hatilah menjaga diri dan kelak kita bertemu kembali!" katanya melambaikan tangan ketika garuda itu mulai menggerakkan sayapnya dan terbang meninggalkan tempat itu.

"Heiii, Hwee Li, aku ikut....!" Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berseru keras.

"Ayah mengikuti dari bawah saja!" teriak Hwee Li.

Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak, dari tangannya menyambar sinar hitam yang halus dan tahu-tahu tubuh raksasa ini sudah melayang naik bergantung kepada benda halus hitam yang telah mengait kaki garuda yang terbang tadi.

Kiranya kakek itu menggunakan sehelai jala tipis lembut yang tadi ditujukan ke arah kaki garuda dan kini dia bergantung kemudian memanjat naik dengan cekatan dan tak lama kemudian dia sudah duduk di atas punggung garuda di belakang puterinya! Semua orang terkejut dan kagum karena memang hebat sekali kakek raksasa itu. Anak buahnya lalu berlari-larian mengikuti arah terbangnya burung garuda.

Setelah orang-orang Pulau Neraka itu lenyap, Sin-siauw Seng-jin lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Sai-cu Kai-ong. Tentu saja kakek ini menjadi terheran-heran dan cepat dia menghampiri sahabatnya itu dan memeluknya.

"Seng-jin, apa artinya ini? Kau aneh sekali, Twako! Kenapa engkau berlutut di depan adikmu seperti ini?"

Akan tetapi, kakek itu tidak menjawab, melainkan menundukkan mukanya yang menjadi pucat dan kelihatan berduka sekali, hampir menangis malah. Makin heranlah Sai-cu Kai-ong dan dia berkata lagi,

"Eh, kakakku, Sin-siauw Seng-jin, apakah yang terjadi? Lihatlah dia itu...." Sai-cu Kai-ong menuding ke arah Siauw Hong, "Telah kudidik dia sesuai dengan persetujuan antara kita lima belas tahun yang lalu. Lihat, dia telah menjadi seorang dewasa dan telah memiliki dasar kepandaian yang cukup kuat. Dan manakah cucuku yang kutitipkan kepadamu? Mengapa tidak kau bawa bersamamu? Ah, tentu dia sudah dewasa sekarang!"

Sin-siauw Seng-jin tetap berlutut dan kini memejamkan mata seperti hendak menahan keluarnya air matanya.

"Kai-ong adikku yang baik.... kau.... kau bunuhlah saja aku sekarang...." akhirnya kakek tua renta itu berkata.

Sai-cu Kai-ong terkejut bukan main.
"Apa.... apa maksudmu.... Twako?"

"Cucumu.... cucumu itu.... baru dua tahun berada bersamaku, lalu diculik orang...., sampai sekarang...."

"Ahhh....!"

Sai-cu Kai-ong meloncat berdiri dan mukanya menjadi pucat sekali. Dia memandang kakek yang masih berlutut itu, kemudian dia menarik napas panjang dan menarik tangan Sin-siauw Seng-jin.

"Seng-jin, marilah kita bicara di dalam. Marilah kita menenangkan pikiran dulu dan kemudian kita bicara di antara sahabat-sahabat ini," katanya dan dia menggandeng tangan Sin-siauw Seng-jin, diajak naik ke puncak dan mereka semua lalu masuk istana tua itu, duduk mengelilingi meja besar di ruangan tamu.

Sementara itu, setelah tadi mendengar bahwa kakek itu adalah Sin-siauw Seng-jin, Kian Lee mencari-cari dengan pandang matanya dan merasa heran karena baru dia tahu bahwa Kian Bu tidak berada di situ. Dia merasa tidak aneh, karena bukankah Sin-siauw Seng-jin pernah bertanding melawan adiknya? Tentu adiknya itu menyembunyikan diri agar jangan terjadi pertemuan yang tidak enak, pikirnya dan diam-diam memuji kebijaksanaan adiknya itu.

Setelah duduk, pandang mata Sin-siauw Seng-jin ditujukan kepada orang-orang asing yang ikut duduk di situ. Melihat ini, Sai-cu Kai-ong berkata,

"Tenangkan hatimu, Twako. Mereka ini adalah sahabat-sahabat sendiri. Beliau ini adalah bekas Panglima Kao Liang bersama dua orang puteranya, dan nyonya ini adalah mantunya, dan Sicu ini adalah putera Majikan Pulau Es. Semua adalah orang-orang sendiri...."
Sin-siauw Seng-jin memandang kagum dan mengangguk-angguk.
"Sudah lama mendengar nama-nama Cu-wi yang mulia...." katanya, akan tetapi kembali dia terbenam ke dalam kedukaan.

"Sekarang ceritakanlah tentang diri cucuku, Twako."

"Dua tahun setelah dia ikut bersamaku, pada suatu hari dia diculik orang yang amat tinggi kepandaiannya. Aku dan para murid mengejar, akan tetapi setelah dia lari jauh ke luar dari daerah Tai-hang-san, tentu saja aku tidak berani melanjutkan pengejaran. Seperti telah kau ketahui, Kai-ong, aku dan para murid telah bersumpah tidak akan meninggalkan puncak Tai-hang-san selama hidup sebelum aku dapat menguasai secara sempurna semua ilmu warisan itu, kecuali kalau aku dikalahkan orang dalam pibu. Lima belas tahun telah lewat dan baru-baru ini sebelum aku berhasil menguasai semua ilmu dengan sempurna, aku telah dikalahkan orang, maka aku dapat turun puncak dan berkunjung kepadamu untuk mengabari tentang lenyapnya cucumu itu lima belas tahun yang lalu. Aihhh, Kai-ong, aku merasa bersalah dan selanjutnya terserah kepadamu...." Dia berhenti sebentar.

"Ketika aku tiba di lembah itu, aku melihat raksasa itu sedang mencari-cari orang, sikapnya mencurigakan dan kami bentrok. Ternyata dia lihai bukan main. Ah, sampai setua ini ternyata aku belum juga dapat menguasai ilmu-ilmu keluarga Suling Emas!" Dia menarik napas panjang.

"Andaikata aku sudah berhasil, tidak mungkin pemuda itu dapat mengalahkan aku, dan juga raksasa tadi tentu sudah dapat kurobohkan. Dasar aku yang bodoh dan tidak berbakat...."

Lalu dia memandang kepada Siauw Hong yang sejak tadi mendengarkan saja dan duduk anteng, dan kakek ini lalu bangkit berdiri, menjura ke arah pemuda itu sambil berkata,

"Kongcu.... kuharap saja engkau tidak akan mengecewakan.... leluhurmu...." suaranya seperti tercekik keharuan.

Siauw Hong balas menjura.
"Mudah-mudahan saja, Locianpwe," jawabnya singkat.

Semua orang saling pandang dengan heran. Kian Lee mengerutkan alisnya karena dia sama sekali tidak mengerti apa artinya semua itu. Melihat ini, Saicu Kai-ong lalu berkata kepada Sin-siauw Seng-jin,

"Twako, di depan para sahabat yang gagah perkasa ini, kiranya kita tidak perlu merahasiakan lagi, apa pula karena kita boleh mengharapkan bantuan mereka untuk mencari cucuku yang hilang."

Sin-siauw Seng-jin yang sudah tua sekali itu menarik napas panjang dan mengangguk-angguk.
"Sebaiknya memang demikian. Sudah terlampau lama rahasia itu tersimpan di antara keturunan kami sehingga menjadi beban yang amat menggelisahkan, dan sekarang setelah terdapat keturunan majikan kami yang tepat untuk mewarisi ilmu dan pusaka dari Pendekar Suling Emas, sudah sepatutnya pula kalau rahasia ini kubuka saja di depan orang-orang gagah."

Mereka semua mendengarkan penuh perhatian terutama sekali Kian Lee karena pemuda ini pernah mendengar riwayat keluarga Suling Emas yang diceritakan oleh orang tuanya di Pulau Es. Bahkan sebetulnya, di antara leluhurnya dan keluarga Suling Emas terdapat hubungan yang amat dekat, yaitu antara nenek moyang keluarga Suma dan nenek moyang keluarga Kam.

Hanya sayangnya, di antara keluarga Suma, yaitu nenek moyangnya, muncul banyak orang-orang jahat yang mengganggu keluarga Kam yang terkenal gagah perkasa itu. Bahkan kehancuran keluarga Kam sejak Menteri Kam Liong, adalah karena hasil perbuatan jahat dari seorang she Suma, yaitu Suma Kiat, kakek buyut dari ayahnya sendiri!