FB

FB


Ads

Sabtu, 16 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 057

“Aduhhhhh....!”

Kian Bu dan tiga orang ayah dan anak itu terkejut dan cepat menengok ke arah datangnya suara itu. Kian Bu melihat Siauw Hong terlempar dan roboh terbanting, pingsan! Sedangkan Kang Swi lari pergi dari bawah pohon sambil menangis terisak-isak, sebentar saja lenyap di antara pohon-pohon.

Kian Bu terkejut dan heran. Bukankah tadi Siauw Hong memondong tubuh Kang Swi yang terluka parah itu ke bawah pohon dan mengobatinya? Apa yang terjadi? Mengapa kini Siauw Hong terpukul sampai pingsan dan mengapa pula pemuda tampan yang kaya raya itu melarikan diri sambil menangis terisak-isak seperti itu? Kian Bu cepat meloncat dan berlutut memeriksa Siauw Hong. Tidak terluka parah dan dengan beberapa kali pijatan di kedua pundaknya dan tengkuknya, pemuda remaja itu telah siuman kembali. Begitu siuman, Siauw Hong bangkit duduk, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari.

“Kau mencari siapa?” Kian Bu bertanya.

“Dia.... mana dia....“ Siauw Hong bertanya.

“Kang Swi? Dia telah lari dan anehnya, dia lari sambil menangis seperti anak kecil. Siauw Hong, apakah yang telah terjadi?” Kian Bu bertanya.

Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya. Terbayanglah semua yang telah terjadi tadi. Biarpun dia merasa malu dan sungkan, akan tetapi demi untuk menyelamatkan Kang Swi yang ternyata adalah seorang dara remaja itu, terpaksa dia menempelkan telapak tangannya di dada itu, dada yang putih dan tangannya diapit sepasang bukit indah, menyalurkan sinkangnya dan perlahan-lahan memulihkan keadaan rongga dada yang terluka akibat guncangan pukulan tadi.

Selagi dia melakukan pengobatan, tiba-tiba saja Kang Swi membuka matanya. Dara itu menahan jeritnya lalu menghantam ke arah muka Siauw Hong. Pemuda ini terkejut, miringkan kepalanya sehingga hantaman itu meleset dan mengenai lehernya. Dia terlempar dan pingsan.

“Apa yang telah terjadi, Siauw Hong?” tanya pula Kian Bu mendesak ketika dilihatnya pemuda itu menunduk saja tanpa menjawab.

Siauw Hong menggeleng kepala
“Tidak apa-apa.... tidak apa....,dia memang orang aneh....“ jawabnya.

Tentu saja Siauw Hong merasa sungkan sekali untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Pula terdapat perasaan aneh di dalam hatinya terhadap Kang Swi. Kalau Kang Swi ternyata seorang dara yang menyamar tentu berarti dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia seorang gadis. Nah, biarlah tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia!

Sementara itu, bekas jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang tidak mau mencampuri urusan mereka, kini menghampiri Kian Bu dan orang tua gagah itu menjura sambil berkata,

“Kami telah menerima bantuan Sicu yang amat berharga. Kalau tidak ada Sicu, kiranya kami sudah terbunuh oleh wanita puteri pemberontak itu. Dan saya merasa seperti pernah mengenal wajah Sicu. Kami juga sudah mendengar akan nama besar Siluman Kecil, akan tetapi, bolehkah kami mengetahui nama Sicu?”

Pada saat itu, Kian Bu masih memandang kepada Siauw Hong dengan pandang mata penuh selidik. Dia mengerti bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang aneh antara Kang Swi dan Siauw Hong, dan dia ingin tahu apa adanya peristiwa itu.

Melihat pandang mata Kian Bu kepadanya Siauw Hong juga maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menyembunyikan rahasia kalau didesak oleh Siluman Kecil, maka mendengar pertanyaan bekas jenderal itu, untuk mengalihkan perhatian dan mengubah percakapan, dia cepat menjawab,

“Nama Taihiap ini adalah Suma....“

“Siauw Hong!”

Kian Bu berseru sehingga Siauw Hong menjadi kaget dan tidak melanjutkan kata-katanya. Akan tetapi, sebutan she Suma itu sudahlah cukup bagi Kao Liang dan dua orang puteranya. Bekas jenderal itu melangkah maju, menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata tajam dan di baliknya terkandung kemarahan yang mengherankan hati Kian Bu.

“Jadi engkau adalah putera keluarga Pulau Es?” bentak bekas jenderal itu.

Dengan pandang mata masih terheran-heran, Kian Bu mengangguk karena tidak perlu lagi untuk menyembunyikan diri setelah she-nya diketahui orang.

“Keparat!”

Tiba-tiba saja jenderal itu bersama dua orang puteranya telah maju menyerang kalang-kabut!

“Ehhh....! Lhohhh....! Bagaimana pula ini....?”

Siauw Hong kebingungan dan berteriak-teriak. Akan tetapi tiga orang itu tetap saja menyerang terus sungguhpun orang yang diserangnya itu terus mengelak dengan mudah. Melihat ini, Siauw Hong hendak menyerbu dan membantu Kian Bu, akan tetapi Kian Bu melarangnya.

“Mundurlah kau, Siauw Hong! Paman dan Saudara-saudara Kao, hentikan serangan kalian! Ketahuilah bahwa aku bukan orang yang menculik keluarga Kao maupun mencuri harta benda keluarga kalian!”

Mendengar ini, Jenderal Kao dan dua orang puteranya menghentikan serangan, namun mereka masih memandang dengan penuh kecurigaan dan kemarahan.

“Apa maksudmu? Dan bagaimana kau bilang bahwa kau bukan orang yang melakukannya kalau kau mengetahui semua itu?”

Kian Bu menghela napas.
“Aku mendengar dari kakakku, Suma Kian Lee yang juga telah menceritakan betapa dia kalian serang kalang-kabut seperti tadi. Jelas bahwa kami berdua kakak beradik difitnah orang sehingga engkau menyangka kami yang melakukan semua itu, Paman Kao Liang. Sungguh aneh, Paman Kao tentu sudah mengenal baik keadaan kami sekeluarga. Apakah Paman dapat percaya begitu mudahnya mendengar bahwa kami kakak beradik dari Pulau Es kini menjadi perampok dan penculik? Begitu rendahkah Paman memandang kami berdua?”.






Wajah bekas jenderal itu menjadi merah. Dia menarik napas panjang dan menjawab,
“Kalau keadaan tidak seperti ini, tentu sampai mati pun kami tidak akan percaya. Akan tetapi, banyak bukti menunjukkan bahwa yang melakukan semua kekejian terhadap keluarga kami adalah orang-orang she Suma. Dan mengingat bahwa kami tidak terpakai lagi oleh kerajaan, mengingat bahwa ayah kalian adalah mantu kaisar, maka besar kemungkinannya keluarga kalian yang dipergunakan oleh sri baginda atau mereka yang berkuasa untuk membasmi kami. Bukan sebagai penculik atau perampok, melainkan sebagai pengemban perintah atasan.”

Lalu diceritakanlah semua pengalaman yang menimpa dia sekeluarganya itu kepada Kian Bu, dari awal sampai saat itu mereka belum juga dapat menemukan keluarga mereka.

“Demikianlah, Sicu. Semua bukti menunjukkan bahwa keluarga Suma yang melakukan ini, dan sekarang Sicu bersikap seperti ini. Sungguh membuat kami meragu dan bingung. Katakanlah, demi keadilan, demi kegagahan dan demi nama baik Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, katakanlah Suma-sicu, demi persahabatan antara keluarga kita, apakah kalian yang melakukan penculikan keluarga kami ataukah bukan?”

Melihat wajah yang pucat dan muram penuh kekhawatiran dan kedukaan itu, melihat pandang mata yang penuh harapan itu, Kian Bu merasa terharu dan dengan tegas dia menjawab,

“Bukan kami, demi kehormatan keluarga kami!”

“Ohhh....!”

Dan bekas jenderal itu menjatuhkan diri berlutut dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Dua orang puteranya cepat berlutut dan memegang lengan ayah mereka.

“Ayah....!” Kok Han mengeluh.

“Ayah, kuatkanlah perasaan Ayah” kata Kok Tiong, dia sendiri menjadi pucat mukanya dan menahan air matanya.

Hati siapa tidak akan menjadi gelisah memikirkan lenyapnya isterinya di antara keluarga itu, juga dua orang anaknya? Kao Liang menurunkan kedua tangannya. Pipinya basah akan tetapi dari kedua matanya tidak lagi ada air mata mengalir.

“Hatiku lega mendengar bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan perbuatan biadab itu,” katanya setelah dia berdiri lagi. “Akan tetapi bersama dengan kelegaan itu hatiku menjadi makin khawatir karena kami sama sekali tidak tahu siapa gerangan pelakunya.”

“Ayah, mari kita cepat melanjutkan perjalanan mencari Twako,” kata Kok Tiong.

Ayahnya mengangguk-angguk.
“Benar, akan tetapi tempat tinggal kakakmu terlalu jauh, aku khawatir kalau-kalau akan terlambat....“

Tiba-tiba Kian Bu berkata,
“Paman, jangan khawatir. Aku dan kakakku sudah memperbincangkan urusan kalian itu dan kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membongkar rahasia ini. Bukan hanya untuk menolong keluargamu dan mencari harta bendamu, melainkan juga untuk membersihkan nama kami yang difitnah orang. Kakakku menderita sakit, terluka parah dan sedang berobat, bahkan sekarang pun aku sedang membelikan obat untuknya. Tunggu kalau dia sudah sembuh, kami berdua tentu akan menyelidiki hal ini dan menangkap orangnya yang telah melakukan semua perbuatan secara sembunyi itu dan menggunakan nama kami!” Kian Bu bicara penuh semangat.

“Ah, kami menyesal sekali, kami pernah pula menyerang kakakmu. Hal itu adalah karena kami masih mengira....“

“Sudahlah, Paman Kao. Kakakku juga mengerti bahwa kalian salah paham dan tidak menaruh penyesalan.”

“Betapapun juga, kami harus menengoknya.”

“Kalau begitu, marilah, Paman.”

Berangkatlah Kian Bu, Siauw Hong, diiringkan oleh Kao Liong dan dua orang puteranya itu, menuju ke puncak Nelayan yang tidak berapa jauh lagi dari situ. Siauw Hong merasa girang dan lega sekali karena percakapan yang serius antara Kian Bu dan keluarga Kao tadi agaknya membuat semua orang, terutama Kian Bu, lupa akan keadaan Kang Swi sehingga tidak lagi bertanya-tanya. Mereka melakukan perjalanan cepat mendaki puncak dan matahari sudah mulai berkurang panasnya.

Ketika mereka tiba di lembah bawah puncak Nelayan, tiba-tiba terdengar seruan,
“Sute....!”

Kian Bu dan Siauw Hong cepat menengok dan cepat pula mereka berlari ke arah datangnya suara itu, diikuti oleh Kao Liang dan dua orang puteranya yang merasa terheran-heran melihat bahwa yang memanggil itu adalah seorang berpakaian pengemis yang usianya sudah enam puluh lima tahun lebih. Pengemis ini berdiri bersandarkan batang pohon dan terikat pada batang pohon itu dari dada sampai ke kaki, sama sekali tidak mampu bergerak!

“Suheng....! Kau kenapa....?”

Siauw Hong bertanya penuh keheranan dan cepat dia bersama Kian Bu melepaskan ikatan itu.

Wajah Gu Sin-kai, pengemis itu, menjadi merah sekali.
“Celaka,” katanya. “Gadis setan itulah yang melakukannya!”

Siauw Hong terkejut.
“Seorang gadis? Dan dia mampu mengalahkanmu dan membelenggumu seperti ini, Suheng?”

Tentu saja Siauw Hong kaget bukan main. Suhengnya itu, Gu Sin-kai, adalah murid pertama dari gurunya, ilmu kepandaiannya tinggi, akan tetapi kini dapat dibelenggu oleh seorang gadis!

Melihat pengemis itu ragu-ragu dan kelihatan seperti malu untuk menceritakan karena di situ terdapat banyak orang, Kian Bu lalu berkata,

“Gu Sin-kai, harap kau tidak ragu-ragu untuk menceritakan semuanya. Mereka ini bukan orang lain, melainkan Paman bekas Jenderal Kao Liang yang terkenal itu dan dua orang puteranya.”

Memang nama Kao Liang amat terkenal, apalagi hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw mengenal nama ini dengan perasaan hormat, maka begitu mendengar bahwa kakek gagah perkasa yang datang bersama sutenya dan Siluman Kecil itu adalah bekas panglima yang amat terkenal itu, dia cepat menjura dengan hormat.

“Ah, kiranya Kao tai-ciangkun....“

Kao Liang tersenyum.
“Jangan menyebutku Tai-ciangkun karena aku sekarang bukan lagi seorang panglima, bahkan perajurit pun bukan.”

Gu Sin-kai mengangguk.
“Maafkan saya, Kao-enghiong.” Lalu dia bercerita kepada Kian Bu dan Siauw Hong. “Tadi ada seorang gadis remaja yang liar naik ke sini. Ketika bertemu denganku, dia mengatakan bahwa dia hendak bertemu dengan Taihiap Suma Kian Lee. Aku merasa curiga dan mengatakan bahwa tidak boleh sembarangan bertemu dengan Suma-taihiap, akan tetapi dengan lagak sombong dia mengatakan bahwa kalau aku tidak mau menunjukkan, dia akan memukulku. Tentu saja aku makin curiga dan marah. Kami bertempur dan ternyata dia lihai bukan main....“

“Hemmm, gadis itu apakah pakaiannya serba hitam?” tiba-tiba Kian Bu bertanya.

“Ya benar! Apakah kau mengenalnya, Taihiap?” tanya Gu Sin-kai.

Kian Bu menahan senyumnya dan membayangkan wajah Hwee Li. Siapa lagi kalau bukan gadis liar yang lihai itu yang dapat membelenggu Gu Sin-kai? Gadis itu liar, ganas, aneh dan ilmu kepandaiannya tinggi. Sukar diduga apa saja yang akan dilakukan oleh seorang dara seperti Hwee Li.

“Mari kita cepat naik ke puncak!” katanya tanpa menjawab pertanyaan Gu Sin-kai tadi.

Semua orang mengikutinya dan mereka mendaki puncak dengan cepat. Apa yang dikhawatirkan oleh Kian Bu memang benar terjadi. Ketika dia dan yang lain-lain tiba di depan pintu gerbang tempat tinggal Sai-cu Kai-ong, mereka melihat keributan sedang terjadi di situ. Dari jauh sudah nampak dua orang sedang bertanding dengan serunya. Para pengemis yang menjadi anak buah Sai-cu Kai-ong hanya mengurung dengan senjata di tangan, tidak berani turun tangan.

Kian Bu maklum bahwa Sai-cu Kai-ong adalah seorang tua yang angkuh dalam hal pertandingan, sama sekali tidak memperbolehkan anak buahnya melakukan pengeroyokan. Padahal dia terdesak hebat dalam perkelahian itu! Di dekat situ nampak Hwee Li berdiri sambil meringis kesakitan memegangi lengan kanannya yang agaknya terluka.

Pertempuran itu memang hebat sekali. Kian Bu menjadi bengong dan kagum. Lawan dari Sai-cu Kai-ong adalah seorang wanita muda yang amat luar biasa gerakannya. Melihat betapa Sai-cu Kai-ong sampai mempergunakan tongkatnya melawan wanita yang bertangan kosong itu, dan masih terdesak, dapat diduga betapa lihainya wanita ini, wanita cantik yang pandang matanya tajam mencorong namun alisnya berkerut seperti orang sedang marah atau berduka. Kian Bu, Siauw Hong, Kao Liang dan dua orang puteranya itu segera mengenal wanita itu.

“Ceng Ceng....!”

Terdengar bekas jenderal itu menahan seruannya ketika dia mengenal mantunya. Kian Bu yang tadinya teringat bahwa wanita itulah yang disebut “subo” oleh Hwee Li, mendengar disebutnya nama ini menjadi terkejut sekali dan kini dia pun teringatlah bahwa guru Hwee Li itu adalah Ceng Ceng! Adapun Siauw Hong juga mengenal wanita perkasa itu ketika Ceng Ceng dan suaminya, Kao Kok Cu, berada di dalam restoran di mana Kok Cu membagi-bagikan masakan kepada para pengemis.

Melihat bahwa wanita itu adalah Ceng Ceng, yang baru sekarang diingatnya, Kian Bu cepat meloncat ke depan dan berseru.

“Tahan....! Kita berada di antara teman sendiri!”

Ceng Ceng menahan gerakannya dan kini dia berdiri tegak, sepasang matanya mencorong memandang ke arah pemuda berambut putih yang berdiri di depannya. Sejenak mereka berpandangan dengan sinar tajam penuh selidik, kemudian terdengar Kian Bu berkata lirih,

“Ceng Ceng, Lupakah kau kepadaku? Aku Suma Kian Bu....“

“Ohhh....!” Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu tersenyum dan dia cepat menjura. “Ahhh, kiranya Paman....“ katanya agak gagap karena memang belum terbiasa olehnya menganggap pemuda dari Pulau Es ini sebagai pamannya.

“Ceng Ceng....!”

Wanita itu terkejut dan menengok. Bukan main kagetnya ketika dia melihat bahwa ayah mertuanya berada di situ pula.

“Twa-so....!” Kok Tiong dan Kok Han juga berseru.

“Ayah....! Adik Tiong dan Adik Han....!” Ceng Ceng cepat menghampiri dengan wajah berseri. “Ayah di sini?” Dia cepat memberi hormat.

“Ceng Ceng, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Mana suamimu? Kami sedang hendak mencari kalian di utara”

“Kami sudah lama meninggalkan utara, Ayah. Puteramu tidak jauh dari sini dan kami.... ah, panjang ceritanya, Ayah. Akan tetapi mengapa Ayah dan kedua adik berada di sini?”

Bekas jenderal itu menarik napas panjang. “Ceritanya juga panjang, nanti kuceritakan semua kepadamu....” Dia menoleh ke arah Kian Bu. “Ceng Ceng, sebaiknya urusanmu di sini dibereskan dulu. Apa yang terjadi dan kenapa kau berkelahi?”

“Benar, Ceng Ceng, kenapa kau berkelahi dengan Paman Sai-cu Kai-ong? Paman, apakah yang telah terjadi dan mengapa kalian berdua bertempur?” Kian Bu juga bertanya.

“Ahhh, semua adalah gara-gara Hwee Li yang bengal! Hwee Li, hayo kau ceritakan semua perbuatanmu yang mengakibatkan aku sampai bertempur dengan Locianpwe ini!”

Ceng Ceng berkata kepada Hwee Li sambil menghampiri muridnya itu dan memeriksa luka di lengan muridnya, mengobatinya dan membalutnya dengan saputangan.

Mulut yang indah bentuknya itu cemberut, matanya yang tajam menyambar ke kanan kiri, mengamati semua orang dan agak lama berhenti di wajah Kian Bu. Lalu dia berkata kepada Kian Bu,

“Eh, kau sudah kubantu mendapatkan obat untuk kakakmu, apakah engkau juga akan menyalahkan aku dan membantu tuan rumah yang galak ini?” Dia menuding ke arah Sai-cu Kai-ong.

Kian Bu menahan senyumnya. Dara itu sebenarnya bukan kanak-kanak lagi, baik dilihat dari wajahnya yang cantik jelita maupun bentuk tubuhnya, akan tetapi sikapnya benar-benar seperti seorang anak kecil!

“Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, kita berada di antara orang-orang sendiri, maka sebaiknya semua kesalah fahaman diselesaikan dengan damai. Hwee Li, mengapa engkau membelenggu Gu Sin-kai ini di bawah sana, mengikatnya pada sebatang pohon?”

Hwee Li tersenyum.
“Siluman Kecil, kau sudah tahu namaku sekarang?”

“Tentu saja! Dan Lee-koko sangat berterima kasih kepadamu.”

“Ah, bagaimana dengan dia? Ketahuilah, ketika aku mendengar darimu bahwa.... dia terluka parah, aku lalu menyusul ke sini dan aku ingin sekali menengoknya. Aku pernah mengenalnya, pernah mengobati pahanya dan kini mendengar dia menderita luka parah, aku ingin menengoknya. Salahkah itu? Akan tetapi.... para jembel ini....“

“Hwee Li!” Ceng Ceng menghardiknya.

Hwee Li melirik ke arah Ceng Ceng dengan mulut cemberut.
“Subo, harap Subo lihat pakaian mereka,” dia menuding ke arah anak buah Sai-cu Kai-ong, “Bukankah mereka itu pengemis semua dan bukankah pengemis juga boleh disebut jembel?”

“Hemmm, bocah bengal! Jangan kurang ajar kau!” kembali Ceng Ceng menghardik.

Sering kali nyonya muda ini merasa kewalahan menghadapi muridnya yang bengal dan pandai bicara itu, dan sering dia memarahi Hwee Li sungguhpun di dalam hatinya dia sayang sekali kepada dara ini dan hal ini pun diketahui oleh Hwee Li sehingga murid ini tidak pernah merasa sakit hati dimarahi oleh subonya.

“Baiklah, Subo. Siluman Kecil, ketahuilah, ketika aku hendak menengok kakakmu, aku dilarang naik ke puncak oleh jem.... eh, oleh kakek itu.” Dia menuding ke arah Gu Sin-Kai. “Kami bertempur dan dia lalu kuikat di pohon agar tidak menghalangiku. Masih baik aku tidak mengetuk kepalanya....!”

Dia melerok ke arah Gu Sin-kai yang hanya menundukkan mukanya dan masih terheran-heran dan penasaran bagaimana dia telah dikalahkan oleh dara remaja yang sikapnya masih seperti anak kecil itu!

“Kemudian, ketika tiba di depan pintu gerbang ini, muncul jem.... eh, kakek tua yang lihai ini. Aku kalah dan untung datang Subo yang membantuku setelah lenganku terluka oleh tongkat bututnya.”

“Aku tadinya tidak tahu akan duduk perkaranya, akan tetapi melihat Hwee Li terluka oleh Locianpwe ini, tentu saja aku lalu membelanya, Paman,” kata Ceng Ceng kepada Kian Bu sehingga Sai-cu Kai-ong dan para murid serta anak buahnya terheran-heran mengapa nyonya muda itu menyebut paman kepada Kian Bu, padahal usia mereka sebaya.

Tentu saja bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah cucu isteri Pendekar Super Sakti, tahu akan hubungan mereka dan tidak menjadi heran.

“Ahhh, sungguh kesalahan terletak pada kami,” Sai-cu Kai-ong berkata dan menjura ke arah Ceng Ceng. “Kepandaian Toanio sungguh amat hebat luar biasa dan harap suka memaafkan kami yang terlalu mencurigai orang. Suma Kian Lee sedang terluka parah dan tidak boleh sembarang ditengok orang, apalagi kami belum mengenal muridmu ini, maka kami melarangnya.”

Akan tetapi Ceng Ceng sudah tidak memperhatikan lagi kata-kata itu. Dia menoleh kepada Kian Bu dan bertanya dengan wajah agak berubah,

“Paman Kian Lee terluka parah....?” Dia bertanya.

“Benar, Subo. Dan aku yang mencarikan obatnya. Kalau tidak ada aku, tidak mungkin Siluman Kecil bisa mendapatkannya dengan mudah.”

“Kenapa kau tidak rnenceritakan kepadaku? Ah, bocah bodoh. Hayo kita cepat menengok Paman Kian Lee!”

Kian Bu cepat memperkenalkan mereka semua, keluarga Jenderal Kao Liang dan Ceng Ceng serta muridnya kepada Sai-cu Kai-ong. Kakek ini terkejut sekali mendengar bahwa para tamunya adalah orang-orang yang telah lama dikagumi dan dijunjung tinggi namanya, apalagi nama bekas Jenderal Kao Liang, dan dia terkejut mendengar bahwa nyonya muda bekas lawannya itu adalah isteri dari pendekar si Naga Sakti dari Istana Gurun Pasir!

Dengan ramah dan penuh hormat dia lalu mempersilakan mereka semua masuk dan mereka langsung mengunjungi Suma Kian Lee yang masih rebah di atas pembaringan di dalam kamar. Akan tetapi setelah tiba di luar pintu, Sai-cu Kai-ong menahan mereka dan berkata halus,

“Harap Cu-wi sekalian sudi memaafkan saya. Biarpun Kian Lee telah terbebas dari bahaya maut, akan tetapi tubuhnya masih lemah sekali, maka kunjungan banyak orang tentu akan mengejutkannya dan melelahkannya. Oleh karena itu, sebaiknya kunjungan dilakukan secara bertahap dan terpisah, dan sebaiknya kalau satu demi satu?”

“Aku akan menengoknya lebih dulu!”

Hwee Li sudah melangkah maju. Melihat ini, yang lain mengalah dan diam-diam Ceng Ceng mengerutkan alisnya menyaksikan sikap muridnya itu. Akan tetapi di depan banyak orang, dia diam saja tidak mencegah dan pintu kamar itu dibuka oleh Sai-cu Kai-ong yang membiarkan Hwee Li menyelinap masuk.

Hwee Li melangkah perlahan mendekati pembaringan di mana Kian Lee rebah terlentang dengan mata terpejam. Wajahnya yang tampan masih agak pucat dan tubuhnya agak kurus. Hwee Li berdiri dekat pembaringan, pandang matanya menatap wajah itu tanpa berkedip. Selama bertahun-tahun ini, semenjak dia mengobati paha Kian Lee ketika terluka dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali), dia tidak pernah melupakan Kian Lee yang dikaguminya.

Kini, melihat pemuda itu, jantungnya berdebar aneh dan baru pertama kali ini selama hidupnya Hwee Li yang keras hati itu merasa terharu dan hampir saja dia meneteskan air mata kalau dia tidak cepat-cepat memejamkan mata dan mengeraskan hati menekan perasaan.

Ketika dia membuka kembali matanya, dia melihat bahwa Kian Lee telah sadar dan menengok kepadanya, memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Akan tetapi segera Kian Lee tersenyum dan mengenalnya, bahkan sudah bangkit duduk.

“Ahhh, kiranya engkau yang datang, Hwee Li,” kata Kian Lee dengan wajah gembira.

Hwee Li cepat duduk di atas bangku dekat pembaringan.
“Kau masih mengenal aku?” Suaranya agak gemetar karena dia masih terharu.