FB

FB


Ads

Sabtu, 16 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 056

Setelah berhasil memperoleh ramuan obat seperti yang dipesan oleh Sai-cu Kai-ong untuk mengobati kakaknya, Kian Bu dan Siauw Hong dengan cepat meninggalkan kota kecil di perbatasan Ho-pei sebelah barat itu untuk kembali ke puncak Nelayan di pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal Sai-cu Kai-ong.

Obat yang dicarinya itu agak sukar sehingga mereka berdua telah melewati beberapa buah kota, barulah dapat membeli di toko obat dalam kota di perbatasan itu, setelah melakukan perjalanan dua hari! Maka kini, khawatir kalau ditunggu-tunggu oleh Sai-cu Kai-ong, dua orang muda itu bergegas pulang.

Dalam perjalanan ini, Kian Bu mencoba ilmu kepandaian berlari cepat dari pengemis muda yang kini telah berpakaian biasa itu, dan dengan kagum dia mendapatkan kenyataan bahwa Siauw Hong benar-benar merupakan seorang pemuda remaja yang memiliki dasar ilmu kepandaian tinggi yang hanya perlu dimatangkan saja.

Ketika mereka melewati jalan sunyi dan berbatu-batu di luar sebuah dusun, ditimpa terik matahari lewat tengah hari yang masih bersinar sepenuh kekuatannya, tiba-tiba pada suatu tikungan jalan Siauw Hong berseru,

“Eh, ada orang berkelahi....!”

Kian Bu juga sudah melihatnya. Agak jauh di depan, dia melihat dua orang sedang berkelahi dan dari jauh sudah dapat dilihat bahwa dua orang yang sedang berkelahi itu keduanya menggunakan ilmu silat yang cukup hebat. Dan di tepi jalan nampak rebah seorang laki-laki yang bergerak-gerak lemah.

“Siauw Hong, jangan sembarangan mencampuri urusan mereka sebelum kita mengetahui duduk persoalan”, bisik Kian Bu dan Siauw Hong mengangguk.

Setelah mereka tiba di tempat itu, Siauw Hong melihat bahwa yang rebah itu adalah seorang laki-laki tua yang gagah kelihatannya, dan agaknya dia itu telah terluka. Dia menggigit bibir dan menahan rasa nyeri, akan tetapi tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya.

Ketika dia melihat mereka yang berkelahi, Siauw Hong terkejut karena dia mengenal bekas teman seperjalanannya, yaitu Kang Swi, si pemuda royal yang menjadi pengawal dari Gubernur Ho-nan! Adapun yang menjadi lawan Kang Swi adalah seorang gadis cantik berbaju hijau yang hidungnya mancung.

Siauw Hong tertarik sekali. Dia maklum betapa lihainya Kang Swi karena dia pernah bertanding dengan pemuda kaya raya itu di atas panggung lui-tai ketika diadakan sayembara pemilihan pengawal oleh Gubernur Ho-nan dan dia harus mengakui keunggulan Kang Swi. Akan tetapi kini, Kang Swi seperti terdesak oleh wanita baju hijau yang amat lihai itu!

Kian Bu juga memandang dengan tertarik dan kagum. Dia mengenal gadis baju hijau yang hidungnya mancung itu. Pernah dia bertemu dengan wanita ini di dalam restoran. Bahkan wanita ini pernah menjamu para tamu dan membayar harga makanan dan minuman mereka, termasuk dia. Dan kemudian muncul seorang pemuda yang kulitnya putih, matanya agak biru dan rambutnya coklat yang diakui sebagai suheng oleh wanita hijau itu dan mereka berdua kemudian terluka dan pingsan oleh jarum-jarum beracun dari huncwe yang dilepas oleh Boan-wangwe.

Benar, dia mengenal wanita itu dan kini diam-diam dia memperhatikan betapa Kang Swi repot juga menghadapi wanita baju hijau yang gerakannya amat cepat dan aneh itu, mengandung gerakan liar yang tidak dia kenal. Entah dari cabang persilatan apakah ilmu silat yang dimainkan oleh wanita baju hijau ini.

Melihat Kang Swi terdesak dan gerakan pemuda tampan itu agak kaku, Kian Bu menarik napas panjang. Dia tahu bahwa pemuda tampan itu masih menderita luka akibat bentrok dengan dia ketika mereka memperebutkan Pangeran Yung Hwa di gubernuran Ho-nan. Beberapa kali Kang Swi terdesak dan terhuyung sambil menyeringai tanda bahwa dia merasa nyeri di dalam tubuhnya.

Akan tetapi baik dia sendiri maupun Siauw Hong, kini telah menganggap Kang Swi sebagai musuh karena pemuda itu telah menjadi kaki tangan Gubernur Ho-nan yang dianggap memberontak, maka mereka berdua hanya menonton saja ketika melihat Kang Swi terdesak.

Sementara itu, ketika Kang Swi melirik dan mengenal Kian Bu dan Siauw Hong, mukanya menjadi merah karena marahnya. Dua orang itu tadinya adalah sahabat-sahabat baiknya, yang tidak saja pernah melakukan perjalanan dengan dia, malah di dalam perjalanan mengobrol dan bergurau sebagai sahabat, bukan itu saja, malah dia telah membelikan kuda tunggangan untuk mereka!

Akan tetapi kini mereka hanya menonton, padahal dia terdesak oleh lawan yang lihai ini. Hatinya terasa mendongkol bukan main dan kemarahannya memuncak, maka dia lalu mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya meloncat dan menerjang ke arah lawan dengan pukulan tangan kanan yang dimiringkan. Melihat serangan dahsyat ini, Kian Bu terkejut. Dia mengenal pukulan sakti, maka karena dia mengkhawatirkan keselamatan gadis baju hijau itu, dia berseru,

“Awasss....!”

Namun terlambat sudah. Pukulan itu datang dengan dahsyatnya dan tidak mungkin dapat dielakkan lagi, kecuali ditangkis. Dan wanita baju hijau itu pun agaknya tidak takut menghadapi pukulan itu. Dia mengangkat lengannya menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya, apalagi karena mendengar seruan Kian Bu.

“Desssss....!”

Hebat sekali pertemuan antara dua lengan yang mengandung tenaga sinkang dahsyat itu. Akibatnya, tubuh Kang Swi terpelanting dan dia terbanting jatuh berdebuk, sedangkan kedua kaki gadis baju hijau itu ambles ke dalam tanah sampai setengah lutut dalamnya!






Sambil menyeringai, gadis berbaju hijau itu menarik kedua kakinya dari dalam tanah dan menggoyangkan lengan kanannya yang beradu dengan lengan lawan tadi karena terasa ngilu dan panas.

“Rettt....!”

Kagetnya bukan main melihat betapa lengan bajunya sebatas siku terlepas dan ternyata lengan baju itu robek dan putus seperti digunting dan copot dari lengannya. Dia cepat memeriksa lengannya dan di bagian lengan yang tadi bertemu dengan lengan lawan nampak terluka melintang dan mengucurkan darah, kulitnya robek seperti terkena bacokan pedang atau golok. Bukan main kaget dan herannya. Dia tahu jelas bahwa lawannya itu tadi ketika memukul tidak mempergunakan senjata apa pun, akan tetapi lengannya yang dipakai menangkis terluka, bahkan lengan bajunya terobek.

Memang jarang sekali orang menyaksikan ilmu seperti yang dipergunakan oleh Kang Swi tadi. Dia sendiri pun jarang mempergunakannya, bahkan ketika dia bertanding di atas panggung lui-tai, dia tidak mau mempergunakannya. Itulah ilmu pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) Biarpun dia belum melatihnya secara sempurna dan belum menguasai sepenuhnya, namun sudah demikian lihai dan berbahaya.

Wanita baju hijau itu menjadi marah sekali. Lawannya telah menurunkan tangan kejam, maka dia cepat menghadapi Kang Swi yang sudah bangkit berdiri lagi. Dengan sepasang mata mengeluarkan sinar berapi, wanita baju hijau itu kini menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, lalu kedua tangan digerak-gerakkan dengan lingkaran-lingkaran di depan dadanya.

Kang Swi yang melihat betapa pukulannya tadi telah berhasil melukai lengan lawan, biarpun tangkisan itu membuat dia terbanting keras, kini memandang rendah kepada lawannya. Sambil mengeluarkan lengking panjang lagi, dia hendak mengulangi pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang dan menerjang dengan dahsyatnya. Gadis berbaju hijau itu menyambutnya dengan dorongan kedua tangan yang terbuka jari-jarinya.

Kian Bu terkejut bukan main. Dia mengenal pukulan hebat dari gadis berbaju hijau itu, karena dia pernah melihat suheng dari si nona baju hijau itu dahulu di restoran juga mempergunakan pukulan dahsyat ini terhadap para lawannya. Maklumlah dia bahwa Kang Swi yang tidak menduga apa-apa itu terancam bahaya maut.

Dia tidak begitu suka kepada pemuda tampan yang banyak lagak ini biarpun pemuda itu telah bersikap baik sekali kepadanya, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin melihat Kang Swi terkena hantaman yang demikian ampuh dan kejamnya, maka dari tempat dia berdiri, dia lalu mendorong dengan pukulan jarak jauh untuk membuyarkan tenaga serangan gadis baju hijau terhadap Kang Swi.

Hebat bukan main pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Kian Bru. Kedua orang yang sedang saling adu tenaga ini merasa seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat yang tak tampak, yang membuat tenaga mereka seperti tersedot lenyap. Oleh karena itu, ketika kedua tangan mereka bertemu, kekuatan mereka tidak sepenuhnya lagi.

“Plakkk!”

Biarpun tenaga gadis berbaju hijau dan Kang Swi hanya tinggal beberapa bagian saja karena telah dibuyarkan oleh tenaga sinkang yang didorongkan oleh Kian Bu, namun akibatnya masih parah bagi Kang Swi yang sudah terluka. Dia terjengkang dan terbanting, bergulingan dan rebah pingsan. Mukanya kelihatan biru seperti orang kedinginan.

Melihat Kang Swi roboh seperti orang mati, Siauw Hong tiba-tiba menjadi marah. Dia teringat akan kebaikan pemuda tampan itu dan kini melihat pemuda itu dipukul mati, dia berteriak marah dan membentak,

“Berani kau membunuh orang?”

Akan tetapi sebelum serangannya disambut oleh gadis berbaju hijau yang kelihatan sedang mengumpulkan kekuatan karena benturan tenaga dengan Kang Swi tadi membuat dia terengah sedikit, dari samping muncul seorang laki-laki bermata kebiruan dan berkulit agak putih, gerakannya tangkas ketika dia menangkis pukulan Siauw Hong yang ditujukan kepada gadis baju hijau tadi.

Mereka segera berkelahi dan dari tangkisan-tangkisannya, tahulah Siauw Hong bahwa laki-laki yang seperti orang asing ini memiliki tenaga yang amat kuat maka dia berlaku hati-hati dan memusatkan perhatian kepada gerakan-gerakannya.

“Tahan...., Siauw Hong, mundurlah dan jangan berkelahi!” Kian Bu berseru.

Mendengar ini, Siauw Hong lalu meloncat mundur dan cepat dia menghampiri Kang Swi yang masih menggeletak dengan muka biru.

Melihat Kian Bu, gadis baju hijau dan laki-laki asing itu segera mengenalnya dan cepat mereka berdua menjura.

“Kiranya Taihiap yang berada di sini....” Gadis baju hijau itu berkata dan sikapnya agak canggung dan gugup.

“Mengapa Ji-wi berkelahi dengan dia?”

Kian Bu bertanya sambil memandang tajam, tanpa menoleh kepada Siauw Hong yang sudah memondong tubuh Kang Swi. Siauw Hong merasa kasihan sekali melihat Kang Swi rebah seperti mati, mukanya menjadi biru pucat, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Kang Swi masih bernapas, sungguhpun napas yang senin-kemis, dia lalu memondongnya dan membawanya ke tempat teduh di bawah sebatang pohon besar, agak jauh dari tempat perkelahian itu. Dia tidak lagi mendengarkan apa yang sedang diperbincangkan oleh Kian Bu dan dua orang itu.

Melihat napas yang empas-empis dan muka yang pucat kebiruan, tahulah Siauw Hong bahwa bekas temannya ini menderita luka dalam yang cukup berbahaya dan tentu akan dapat menyebabkan kematian kalau tidak cepat diobati.

Sebagai murid terkasih dari Sai-cu Kai-ong si ahli obat, tentu saja Siauw Hong juga mempelajari ilmu pengobatan dan terutama sekali ilmu mengobati luka-luka bekas pukulan, baik luka luar maupun luka dalam. Tahulah dia bahwa tanpa bantuan dari luar, Kang Swi terancam bahaya maut karena dalam keadaan setengah pingsan itu tentu saja Kang Swi tidak dapat menyalurkan sinkang untuk mengobati lukanya.

Tanpa ragu-ragu lagi dan tanpa mempedulikan Kian Bu yang kelihatan masih bercakap-cakap dengan dua orang itu, Siauw Hong lalu membuka kancing baju Kang Swi. Dia melihat betapa di balik baju itu terdapat pula baju dalam. Hemm, pikirnya. Dasar pemuda royal dan banyak lagak, pakaian saja sampai berangkap-rangkap dan pakaian dalamnya menutupi tubuh dari leher ke bawah!

Karena melihat bahwa baju dalam itu tidak dapat dibuka semua, hanya terdapat kancing kecil di bagian pembukaan yang menyerong ke pundak, dia membuka dua buah kancing itu, lalu tangan kanannya menyusup ke dalam untuk meraba dada mendekati ulu hati Kang Swi agar dia dapat menyalurkan sinkang melalui telapak tangannya dan membantu pemuda tampan itu mengobati luka di dalam dadanya yang agaknya tergoncang oleh pertemuan tenaga dahsyat tadi.

“Ehhh....!”

Dia menahan seruannya dan seperti orang menyentuh api, tangannya yang menyusup di balik pakaian dalam Kang Swi itu ditariknya keluar, lalu dia memandang wajah yang pingsan kebiruan itu dengan bengong terlongong. Wajah yang amat tampan, terlalu tampan malah. Dia bengong seperti tidak percaya akan apa yang dialaminya. Setelah meragu sejenak dia kembali memasukkan tangannya untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang dialaminya bukan dalam mimpi.

“Uhhh....!”

Kembali tangannya dicabut keluar dan seluruh mukanya dari bawah rambut kepala sampai leher menjadi merah sekali. Tidak salah lagi. Tangannya yang menyusup tadi memang meraba sesuatu yang aneh! Dia menoleh dan melihat betapa Kian Bu masih bicara dengan tegang bersama empat orang. Entah dari mana datangnya dan kapan, di situ kini telah terdapat dua orang laki-laki muda lain lagi dan mereka semua kelihatan bercakap-cakap dengan sikap tegang.

“Heemmm.... aneh....“ dia berbisik dan kembali dia menatap wajah Kang Swi yang tampan. “Kalau tidak cepat kutolong, dia bisa tewas. Akan tetapi dia.... tidak boleh aku menjamahnya.... ah, tapi dia bisa mati.... dia....“

Terjadi perang hebat di dalam hati pemuda remaja ini. Akan tetapi, melihat wajah yang pucat kebiruan itu, napas yang tersendat-sendat, Siauw Hong makin khawatir dan semua perasaan lain disapu bersih oleh rasa khawatir ini, maka dia memutuskan untuk cepat menolong Kang Swi dan membuktikan dugaannya.

Dia membukai semua kancing, lalu menarik baju dalam itu ke bawah sehingga terobek sedikit dan dia memejamkan mata dan membuang muka ketika melihat dua buah bukit tersembul keluar dan nampaklah dada putih yang dihias dua bukit dada itu. Kedua tangannya menggigil, akan tetapi cepat Siauw Hong menutupkan kembali baju dalam itu, menutupi dada dan juga menutupi tangan kanannya yang menempel di dada itu, tepat di tengah-tengah di antara dua buah bukit dada yang ranum. Dengan jantung berdebar Siauw Hong mengerahkan sinkangnya namun tetap saja seluruh tubuhnya panas dingin dan agak menggigil biarpun dia sudah menenteramkan hatinya.

“Ahhh.... ohhhhh.... tolol kau....!”

Dia memaki diri sendiri dalam hatinya.
“Biar dia perempuan, laki-laki atau banci, peduli apa kau? Yang penting adalah mengobatinya agar dia terbebas dari cengkeraman maut, jangan memikirkan dada yang indah itu!”

Akan tetapi, suara hatinya berhenti pada kalimat “dada yang indah itu” dan terus saja dada yang putih dengan sepasang bukit yang bentuknya indah itu terbayang di depan matanya, walaupun dia telah memejamkan kedua matanya. Mulailah Siauw Hong mengobati Kang Swi sambil memejamkan matanya dan memerangi sendiri ketegangan hatinya yang timbul ketika dia memperoleh kenyataan bahwa Kang Swi adalah seorang dara muda!

Sementara itu, Kian Bu sedang sibuk melerai orang-orang yang sedang ngotot dan hendak saling serang. Siapakah dua orang pemuda yang baru datang itu? Mereka ini bukan lain adalah Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, dua orang putera dari Jenderal Kao Liang! Sedangkan laki-laki gagah yang rebah terluka tadi adalah Jenderal Kao Liang sendiri.

Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya ini telah kehilangan seluruh keluarga mereka ketika keluarga mereka itu bersama harta benda mereka diculik dan dicuri orang tanpa mereka ketahui dengan pasti siapa yang melakukannya.

Hanya akhirnya mereka yakin bahwa yang memusuhi mereka tentulah keluarga Pulau Es, yaitu putera-putera dari Suma Han yang mereka duga tentulah diperalat oleh kaisar untuk menyingkirkan atau membasmi mereka mengingat bahwa ayah mereka itu adalah mantu kaisar! Karena mereka merasa tidak kuat menghadapi keluarga Suma yang amat sakti itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari putera sulung jenderal itu yaitu Sin-liong Kao Kok Cu, si Naga Sakti dari Gurun Pasir. Hanya putera sulungnya itulah yang akan mampu menghadapi musuh-musuh tangguh itu, pikir Jenderal Kao.

Akan tetapi, di tengah perjalanan ayah dan anak ini bertemu dengan rombongan gadis baju hijau dan suhengnya yang bule dan bermata kebiruan itu bersama lima orang anak buah mereka. Dan tanpa bicara apa-apa lagi, gadis berbaju hijau dan suhengnya itu, dibantu oleh orang-orang mereka, langsung saja menyerang Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya!

Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi dan selain kalah banyak, juga jenderal dan dua orang puteranya itu kalah lihai. Akhirnya jenderal atau lebih tepat lagi bekas Jenderal Kao Liang tertawan akan tetapi sebelum roboh dan tertangkap dia meneriaki dua orang puteranya untuk cepat melarikan diri dan minta bantuan kakak mereka.

Kok Tiong dan Kok Han terpaksa lari karena maklum bahwa ayahnya benar. Kalau mereka terus melawan, akhirnya mereka akan roboh juga sehingga selain tidak ada yang akan dapat melapor kepada kakak mereka, juga tidak ada harapan lagi menolong keluarga mereka. Akan tetapi, ketika mereka melihat ayah mereka dibawa pergi, mereka tidak tega meninggalkan, dan diam-diam mereka membayangi rombongan gadis baju hijau yang menawan ayah mereka itu.

Akhirnya, pada hari itu, rombongan yang menawan Kao Liang bertemu dengan Kang Swi. Melihat orang tua gagah itu ditawan serombongan orang, Kang Swi menegur dan terjadi bentrok antara dia dan gadis baju hijau.

Si gadis baju hijau yang merasa memiliki kepandaian tinggi, melarang suhengnya dan lima orang anak buahnya untuk membantunya dan dia melawan sendiri pemuda tampan itu sehingga mereka berkelahi dengan seru sampai muncul Siluman Kecil atau Suma Kian Bu yang cepat melerai mereka. Ketika melihat munculnya pendekar yang ilmunya amat tinggi itu, baik si gadis baju hijau maupun Kang Swi yang sudah mengenalnya menjadi kaget dan jerih untuk melanjutkan pertandingan itu.

Kao Liang yang terluka itu kini dapat bercerita kepada Kian Bu setelah pemuda ini bertanya dengan suara tenang.

“Kalian berdua telah mengenal aku dan tahu bahwa Siluman Kecil selalu mencegah terjadinya permusuhan di antara orang-orang sendiri. Kalau kalian berdua mempunyai urusan dan di antara kalian terdapat penasaran, mari kita perbincangkan dengan seadilnya.”

Kao Liang yang sudah bangkit berdiri itu melihat betapa gadis baju hijau dan penolongnya si pemuda tampan itu kelihatan jerih terhadap pemuda berambut putih yang baru tiba, apalagi mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, dia terkejut dan cepat-cepat dia lalu menceritakan pengalamannya itu.

Betapa dia dan putera-puteranya sama sekali tidak mengenal gadis baju hijau yang menangkap mereka, dan betapa pemuda tampan itu datang untuk menolongnya. Kao Liang dan kedua orang puteranya juga menghaturkan terima kasih kepada Kang Swi yang telah mencoba untuk menolong orang tua itu, kemudian bekas jenderal itu menudingkan telunjuknya kepada muka gadis baju hijau sambil berkata,

“Dia ini tentulah seorang di antara kaum sesat karena hanya orang-orang dari golongan hitam sajalah yang akan memusuhi keluarga kami!”

Tentu saja Kian Bu mengenal Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang agaknya tidak mengenalinya karena rambutnya putih semua itu menutupi sebagian dari mukanya. Akan tetapi, bukanlah menjadi watak Kian Bu untuk membantu orang yang telah dikenalnya begitu saja tanpa menyelidiki lebih dulu urusannya. Maka dia lalu menghadapi wanita baju hijau itu dan bertanya,

“Nona, benarkah cerita mereka bahwa Nona menyerang dan menawan Paman ini tanpa sebab?”

Wanita baju hijau itu tersenyum dingin.
“Nama Siluman Kecil telah menggemparkan kolong langit dan kami berdua saudara seperguruan sudah lama merasa kagum, apalagi semenjak peristiwa di restoran itu. Karena Taihiap yang datang melerai, maka memandang muka Taihiap, kami menyabarkan diri. Akan tetapi hendaknya Taihiap ketahui bahwa dia itu,” sampai di sini gadis baju hijau itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Kao Liang dan memandang dengan penuh kebencian. “Dia itu adalah bekas Jenderal Kao Liang. Dialah yang telah membasmi seluruh keluargaku. Seluruh keluarga, tua muda laki perempuan, semua dihukum mati karena dia, dan hanya secara kebetulan saja ketika itu aku masih berada di tempat Subo sehingga tidak sekalian dibunuh. Kao Liang, urusan lima enam tahun yang lalu di utara, ketika engkau membasmi keluarga Kim, aku tidak akan dapat melupakannya begitu saja!”

Jenderal Kao Liang terbelalak.
“Keluarga Kim....?” Dia mengingat-ingat. “Maksudmu keluarga pemberontak dan pengkhianat Kim Bouw Sin?”

“Tutup mulutmu!” Gadis baju hijau itu membentak marah. “Engkau sudah membasmi keluargaku dan kau masih berani memaki ayahku?” Kini kedua mata gadis itu menjadi basah.

“Ahhhhh.... kiranya Nona adalah puteri dari Kim Bouw Sin?” Kao Liang menarik napas panjang dan mengangguk-angguk, lalu meraba-raba jenggotnya. “Pantas....! Pantas engkau marah-marah dan membenci kami sekeluarga. Akan tetapi agaknya karena engkau tidak tahu akan duduknya persoalan yang sebenarnya, Nona. Kulihat engkau seorang yang berkepandaian tinggi, tentu berwatak gagah dan dapat mempertimbangkan keadaan. Baik kau dengar penuturanku mengapa keluarga ayahmu sampai terhukum semua. Semua itu adalah gara-gara perbuatan mendiang ayahmu.”

Bekas Jenderal Kao Liang lalu bercerita tentang peristiwa yang terjadi lima enam tahun yang lalu. Ketika itu, Kao Liang masih menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal gagah perkasa yang amat ditakuti oleh para pemberontak dan musuh-musuh negara yang berada di luar tapal batas.

Jenderal Kao Liang bermarkas besar di utara karena pada waktu itu, musuh yang paling ditakuti adalah suku-suku liar dari utara, di luar tembok besar. Yang menjadi pembantunya, bahkan menjadi wakil panglima di utara itu adalah Kim Bouw Sin, seorang panglima yang lebih muda dan yang pandai pula, dipercaya sebagai wakil oleh Jenderal Kao.

Akan tetapi, seperti banyak di antara para pembesar, Panglima Kim Bouw Sin dapat dibujuk oleh dua orang pangeran yang merencanakan pemberontakan, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong.

Panglima Kim Bouw Sin dijanjikan kedudukan tertinggi oleh dua orang pangeran yang memberontak itu sehingga dia tertarik dan memberontaklah panglima ini, berusaha menguasai bala tentara yang berada di bawah kekuasannya di utara (baca cerita Sepasang Rajawali).

Usahanya itu ternyata gagal sama sekali, dan tentu saja sebagai seorang pemberontak, dia sekeluarganya dijatuhi hukuman mati.

“Demikianlah,” Jenderal Kao Liang mengakhiri penuturannya secara singkat itu. “Keluargamu terbasmi karena gara-gara pengkhianatan ayahmu terhadap kerajaan, Nona. Tidak ada permusuhan pribadi antara kami dan ayahmu. Ayahmu terkena bujukan Pangeran Liong Khi Ong dan Pangeran Liong Bin Ong. Dua orang pangeran khianat itulah yang menjadi biang keladi pemberontakan dan penyelewengan ayahmu.”

“Orang she Kao! Kalau engkau tidak berhenti memaki ayahku, terpaksa aku akan menghancurkan mulutmu!”

Tiba-tiba pemuda berkulit putih dan bermata kebiruan itu melangkah maju dan mengepal tinju mengancam Kao Liang. Dua orang putera bekas jenderal itu cepat maju untuk melawan. Kian Bu melerai dan menyuruh kedua fihak mundur.

Kao Liang kini memandang pemuda asing itu dengan alis berkerut.
“Orang asing, apakah maksudmu?” tanyanya.

“Hemmm, Kao Liang, engkau tadi memaki ayahku. Pangeran Liong Bin Ong adalah ayah kandungku. Ibuku adalah seorang puteri Mongol yang berdarah orang kulit putih. Dengarlah, orang she Kao. Kami, aku dan Sumoiku ini menyadari akan kesalahan orang-orang tua kami yang melakukan pemberontakan terhadap kerajaan, maka kami tidak akan mengulang kesalahan mereka. Akan tetapi, sebagai anak-anak yang berbakti, kami harus membalaskan kematian keluarga kami itu kepada yang bersangkutan! Karena hancurnya keluarga Kim-sumoi ini adalah karena engkau, maka Sumoi hendak membalaskan dendam keluarganya kepadamu!”

Mendengar bahwa pemuda asing ini adalah putera mendiang pemberontak Liong Bin Ong, semua orang tercengang.

“Ahhh.... sungguh aneh dan luar biasa. Mengapa anak-anak mereka juga dapat menjadi saudara-saudara seperguruan?” Kao Liang berseru heran.

“Kao Liang, dalih apa pun yang kau kemukakan, tetap saja kuanggap bahwa engkau menjadi biang keladi terbasminya keluargaku, oleh karena itu aku harus membalas kepadamu!” Gadis baju hijau itu berseru. “Aku Kim Cui Yan bersumpah takkan mau sudah sebelum musuh besar keluargaku dapat terbasmi pula!”

Sepasang matanya memandang penuh kebencian kepada Kao Liang dan dua orang puteranya itu yang sudah siap lagi untuk menghadapi terjangan wanita yang menjadi berbahaya karena sakit hati itu.

“Dan mengingat bahwa engkau dahulu pun merupakan musuh dari mendiang ayahku, maka aku akan selalu membantu Sumoi menghadapi engkau dan keluargamu, orang she Kao!” si pemuda asing berseru. “Aku Liong Tek Hwi juga sudah bersumpah akan membasmi musuh-musuh orang tuaku!”

Melihat kedua fihak sudah mau bergerak saling serang lagi, Kian Bu cepat melangkah maju dan membentak.

“Cukup! Selagi aku berada di sini, aku tidak akan membiarkan pertempuran lagi. Aku tidak membantu siapapun juga, akan tetapi aku akan menghadapi siapa saja yang hendak memamerkan kepandaian!” bentaknya keras dan sikapnya menyeramkan sehingga Kim Cui Yan dan Liong Tek Hwi yang berkepandaian tinggi itu menjadi gentar.

Mereka bukan penakut, akan tetapi mereka merasa segan untuk melanggar larangan Siluman Kecil yang selain hebat kepandaiannya, juga pernah menolong mereka. Juga, nama Siluman Kecil sudah cukup membuat mereka tunduk dan mengalah.

Kim Cui Yan menjura kepada Kian Bu.
“Baiklah, Taihiap. Memandang muka Taihaip dan nama Siluman Kecil, biarlah kami mengalah dan tidak akan menggunakan kekerasan di depan Taihiap.”

Lalu dia menoleh kepada bekas jenderal itu.
“Akan tetapi, orang-orang she Kao, ingatlah bahwa selama aku Kim Cui Yan masih hidup, jiwa kalian selalu akan dibayangi oleh pembalasanku! Liong suheng, mari kita pergi!”

Dua orang itu lalu melangkah pergi diikuti oleh lima orang anak buahnya, berjalan cepat tanpa menoleh lagi. Jenderal Kao Liang mengelus jenggotnya dan berkata seperti kepada diri sendiri namun cukup jelas terdengar oleh orang lain yang berada di situ.

“Aihhh...., kekerasan...., kekerasan...., dalam bentuk apa pun juga, tentu mendatangkan kekerasan yang lain lagi, sebab akibat, balas-membalas tiada berkeputusan seperti lingkaran setan. Betapa menyedihkan.!”