FB

FB


Ads

Sabtu, 16 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 055

“Tek Hoat.... ahhh, betapa besar rasa bahagia dan terima kasihku.... engkau telah menyelamatkan aku daripada penghinaan.... lihatlah pakaianku.... dan mereka.... mereka.... jahanam-jahanam itu....“

Mauw Siauw Mo-li meraba dadanya yang hampir telanjang sama sekali, menggerakkan jari-jarinya seperti membelai dadanya sendiri.

Tek Hoat membuang muka.
“Huh, kau.... kau telah menipuku, Mo-li!” Tek Hoat berseru marah dan kini dia memandangi lima orang yang telah menjadi mayat itu. “Kau pura-pura kalah oleh mereka, memancingku agar aku turun tangan”

“Tidak.... tidak.... aku.... aku hampir....“

“Cukup! Tak perlu bersandiwara lagi! Mereka itu hanyalah laki-laki lemah, sekali serang mereka roboh dan tewas. Engkau yang berkepandaian tinggi, jangankan baru dikeroyok lima orang seperti ini, biar ada lima puluh orang engkau tidak akan kalah. Akan tetapi engkau sengaja mengalah dan aku.... si tolol.... aku terjebak! Engkau wanita iblis! Siluman betina kejam!”

Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li terkekeh genit.
“Hi-hik, dan engkau Si Jari Maut telah memperlihatkan kehebatanmu! Lihat tapak jarimu di dahi dan pipi mereka, Tek Hoat. Bukankah engkau masih Si Jari Maut dan aku adalah Mauw Siauw Mo-li? Kita berdua memang cocok sekali bukan? Kita satu golongan dan pantas menjadi kawan akrab, bukan? Mana aku cocok dengan laki-laki macam mereka, yang lemah? Kita seperti sajak dengan nyanyian, apakah tidak terasa olehmu betapa tubuh kita saling membutuhkan, betapa nikmat ciuman tadi, Tek Hoat?”

“Wuuuuuttttt....!”

Jari tangan Tek Hoat menyambar namun dengan gesit Mauw Siauw Mo-li dapat mengelak dari sambaran jari tangan maut itu.

“Perempuan tak tahu malu!”

Tek Hoat memaki karena marah sekali, marah yang ditimbulkan oleh penyesalan mengapa dia tadi menyambut ciuman itu dengan sepenuh hatinya, mengapa tadi bibirnya menyambut dengan kecupan penuh rangsangan nafsu berahi! Tadi, ketika mulutnya bertemu dengan mulut Mauw Siauw Mo-li, seluruh kerinduannya terhadap Syanti Dewi tertumpahkan dan tersalurkan dalam ciuman itu dan tentu saja hal itu terasa oleh Mauw Siauw Mo-li.

“Hi-hik, Tek Hoat. Tak perlu engkau mengingkari suara hatimu sendiri, kebutuhan jasmanimu sendiri. Marilah, Tek Hoat, marilah ke dalam pelukanku. Sudah lama aku tergila-gila dan rindu kepadamu!”

“Wuuuttttt.... brakkkkk!”

Sebatang pohon roboh oleh hantaman tangan Tek Hoat, kemudian pemuda ini membalikkan tubuhnya dan dengan muka panas dia meninggalkan hutan itu. Mauw Siauw Mo-li mengejarnya, namun Tek Hoat tidak mau berhenti dan terus melangkah maju, meraba-raba dalam gelap, melawan hambatan duri-duri dan cabang-cabang pohon yang menjuntai ke bawah, tersaruk-saruk dalam kegelapan malam. Pada keesokan harinya, dia berhasil keluar dari hutan itu.

“Tek Hoat tunggu....!” Terdengar teriakan dari belakang.

“Keparat....!”

Tek Hoat berhenti dan membalikkan tubuh, matanya bernyala dan dia mengambil keputusan untuk membunuh wanita itu.






Mauw Siauw Mo-li menghampiri dan ketika dia melihat sikap Tek Hoat, melihat sinar maut dalam mata pemuda itu, dia berhati-hati dan tidak mau terlalu mendekat. Tangannya sudah siap di pinggangnya di mana tersimpan senjata rahasianya yang amat hebat, yaitu bahan peledak.

“Tunggu, Tek Hoat. Aku tidak akan main-main lagi, aku bicara dengan sungguh-sungguh. Dengarlah, engkau tidak akan berhasil menemukan Syanti Dewi tanpa bantuanku. Kau kira dimana engkau akan dapat menyusul Syanti Dewi?”

Bicara tentang Syanti Dewi, tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sungguhpun dia masih marah.
“Di pantai Po-hai, di mana lagi? Dan aku tidak butuh bantuanmu.”

“Hemmm, jangan sombong kau, Tek Hoat. Pantai Po-hai merupakan pantai yang amat luas, apakah kau hendak menjelajahi seluruh pantai di sepanjang teluk itu? Sampai berapa tahun kau akan berhasil? Sebaliknya, kalau kau mau menerima bantuanku, aku tahu dan mengenal seorang kakek yang tinggal di pantai Pohai, seorang kakek yang lihai dan aku berani bertaruh bahwa agaknya kakek itulah yang dimaksudkan orang, kakek yang singgah di restoran itu bersama Syanti Dewi.”

Tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sekali, akan tetapi dia masih curiga dan tidak mau percaya begitu saja.

“Mo-li, kalau engkau mempermainkan aku sekali ini, demi Tuhan, aku tentu akan membunuhmu!”

“Hi-hik, kau kira aku wanita macam apa mudah saja kau bunuh? Pula, perlu apa aku main-main denganmu kalau aku benar-benar cin.... eh, suka kepadamu?”

“Kalau begitu, katakan siapa kakek itu dan di mana tempat tinggalnya!”

“Hemmm, nanti dulu, jangan mau enaknya saja. Sudah kukatakan bahwa aku suka sekali kepadamu, Tek Hoat. Engkaulah satu-satunya pria yang cocok berada di sampingku, sebagai.... apapun, pendeknya, sebagai sahabat. Karena itu, tidak mungkin aku memberi tahu kepadamu lalu engkau pergi meninggalkan aku begitu saja. Kalau kau mau berbaik denganku, mau melakukan apa yang kuminta, aku akan mengantarmu ke tempat kakek itu dan aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan kembali Puteri Syanti Dewi. Bagaimana?”

Tek Hoat mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Dia tidak mungkin dapat memaksa wanita ini untuk mengaku. Andaikata dia dapat mengalahkan Mauw Slauw Mo-li sekalipun, agaknya wanita seperti dia itu tidak akan mau mengaku biar dibunuh sekalipun. Lebih menguntungkan berbaik dengan orang seperti ini daripada memusuhinya, apalagi dia memang amat membutuhkan petunjuknya agar dapat menemukan kembali Syanti Dewi yang hilang.

“Baiklah, Mo-li, akan tetapi engkau pun tahu bahwa orang macam aku tidak akan menuruti permintaanmu begitu saja kalau permintaan itu tidak cocok dengan rasa hatiku. Seperti juga engkau, aku pun tidak takut mati. Kita bersahabat, cukup sekian saja, jangan mengharapkan yang bukan-bukan.”

Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita yang sudah banyak mengenal pria, sudah memiliki banyak sekali pengalaman, maka jawaban ini tidak mengecilkan hatinya. Dia maklum bahwa dalam hubungan antara pria dan wanita, yang terpenting adalah keakraban lebih dulu, karena dari keakraban ini mudah sekali berubah menjadi cinta!

Pendekatan antara minyak dengan api memang tidak begitu saja menimbulkan kebakaran, akan tetapi setidaknya membuka kesempatan besar sekali untuk terjadinya kebakaran itu, dan dengan pengalamannya, dengan kecantikannya dan tubuhnya yang masih padat dan nampak muda, dia akan dengan mudah menimbulkan kebakaran itu!

“Baiklah, Tek Hoat. Dan langkah pertama setelah kita menjadi sahabat adalah agar engkau jangan menyebutku Mo-li (lblis Betina) lagi. Betapa tidak enaknya mendengar sebutan itu dari mulut seorang.... sahabat. Namaku adalah Lauw Hong Kui. Nama yang indah sekali, bukan? Memang mendiang orang tuaku pandai memilih nama untuk anaknya. Nah, mulai sekarang kau sebut saja namaku seperti aku menyebut namamu.”

Tentu saja hal semacam itu tidak terlalu dipedulikan benar oleh Tek Hoat.
“Baiklah, Hong Kui. Dan mari kita melanjutkan perjalanan.”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum manis, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan mendengar namanya disebut oleh Tek Hoat.

“Mari, Tek. Hoat, mari kita datangi kakek itu!”

Kedua orang itu melanjutkan perjalanan, jalan berendeng dan kalau dilihat dari jauh memang mereka itu serasi sekali. Yang pria tampan gagah, yang wanita cantik manis. Hanya kalau dilihat dari dekat dengan penuh perhatian baru dapat diketahui bahwa yang wanita jauh lebih tua dan memang banyak berbeda usia mereka.

Tek Hoat berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, sedang Lauw Hong Kui, Siluman Kucing itu, sedikitnya berusia tiga puluh lima tahun. Mereka melakukan perjalanan menuju ke timur, menuju ke pantai Teluk Po-hai.

**** 055 ****