FB

FB


Ads

Sabtu, 16 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 054

Warung nasi itu penuh dengan orang yang makan siang. Warung itu terkenal menjual nasi tim dan masakan-masakan yang cukup lezat dan terutama sekali murah harganya dibandingkan dengan harga makanan di restoran-restoran lain, maka selalu penuh dengan tamu, apalagi di waktu siang dan malam, waktunya orang-orang makan siang dan makan malam.

Siang itu hawanya panas bukan main, apalagi di dalam restoran kecil atau warung nasi itu, seolah-olah merupakan pertanda bahwa di situ akan terjadi hal-hal yang hebat. Selagi banyak orang makan minum sambil bercakap-cakap, masuklah seorang wanita dan seorang pemuda.

Wanita yang usianya mendekati empat puluh tahun namun masih kelihatan muda, cantik jelita dengan lirikan mata dan gerak bibir tersenyum genit, pakaiannya serba indah dan pesolek, bibirnya yang memang baik bentuknya itu kemerahan oleh gincu, juga kedua pipinya ditambahi bedak dan pemerah pipi, di punggungnya tergantung pedang.

Wanita ini memasuki restoran dengan lenggang yang lemah gemulai, kedua bukit pinggulnya yang terbungkus ketat oleh celana biru dari sutera itu menari-nari ketika dia melenggang, membuat beberapa orang yang sedang makan mi terpaksa harus menjulur-julurkan lehernya karena mi panjang yang ditelannya itu nyasar, mata mereka melotot dan melekat kepada buah pinggul yang menari-nari.

Pemuda di sebelah wanita itu masih muda, dua puluh tiga tahun kurang lebih, tampan dengan muka yang membayangkan kekerasan, agak muram dengan mata tajam dingin, mulutnya tertarik seperti orang mengejek, dan sikapnya tidak mempedulikan siapa pun.

Wanita itu adalah Lauw Hong Kui, tokoh sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li atau Siluman Kucing, dan yang berjalan di sebelahnya adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan dari kisah ini, mereka meninggalkan sarang perkumpulan Hek-eng-pang untuk mencari jejak Syanti Dewi.

Seperti kita ketahui, Ang Tek Hoat yang dibantu oleh Yang-liu Nio-nio, ketua Hek-eng-pang, telah menyerbu puncak Naga Api dan berusaha merampas Puteri Syanti Dewi dari tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun. Akan tetapi, ternyata yang mereka rampas dan mereka kira Syanti Dewi itu sebenarnya hanyalah seorang pelayan!

Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka menjadi korban kenakalan kakek See-thian Hoat-su yang telah membawa lari Syanti Dewi. Dan ketika Tek Hoat hendak pergi meninggalkan Yang-liu Nio-nio, Mauw Siauw Mo-li mengatakan bahwa dia melihat ada seorang gadis mencari-cari Puteri Syanti Dewi dan menawarkan bantuannya kepada Tek Hoat untuk membantu pemuda itu mencari kekasihnya.

Demikianlah, hari itu mereka tiba di kota di mana Mauw Siauw Mo-li berjumpa gadis yang mencari-cari Syanti Dewi, dan memasuki restoran di mana dia beberapa hari yang lalu melihat gadis itu. Dan Mauw Siauw Mo-li memang tidak berbohong. Di restoran ini, beberapa hari yang lalu ketika dia pergi mengunjungi muridnya, Yang-liu Nio-nio, dia memang melihat seorang gadis cantik yang mencari-cari Syanti Dewi dan gadis ini bukan lain adalah Siang In yang masih terus menyelidiki dan mencari sahabatnya itu.

Tentu saja Mauw Siauw Mo-li bukanlah seorang yang demikian baik hatinya untuk membantu orang lain tanpa ada pamrih lain di dalam hatinya. Begitu dia bertemu kembali dengan Ang Tek Hoat, pemuda yang pernah membangkitkan gairah berahinya lima tahun yang lalu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali), maka timbullah hasratnya untuk mendekati pemuda tampan dan gagah ini. Maka dia menawarkan bantuannya yang hendak dipergunakan menjadi jalan agar dia dapat mendekati Si Jari Maut, pendekar muda yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu.

Akan tetapi selama tiga hari tiga malam ini, dia sama sekali belum berhasil “mendekati” Ang Tek Hoat yang bersikap dingin dan tak acuh kepadanya! Bahkan pagi hari tadi, ketika mereka melewatkan malam di hutan dan pagi tadi dia sengaja mandi di sumber air dengan bertelanjang bulat dan berusaha menarik perhatian Tek Hoat, pemuda itu malah marah-marah dan berdiri membelakanginya, sedikit pun tidak pernah mau melirik, apalagi mengagumi keindahan bentuk tubuhnya!

Diam-diam Mauw Siauw Mo-li menjadi gemas dan marah sekali, hatinya terasa sakit sekali. Tidak mengindahkan dan tidak menyatakan kagum terhadap keindahan tubuhnya merupakan penghinaan! Dan kalau saja bukan Tek Hoat, tentu dia sudah akan membunuh pria yang berani menghinanya seperti itu.

Akan tetapi terhadap Tek Hoat dia tidak berani main-main karena dia maklum betapa lihainya pemuda ini dan betapa berbahayanya untuk memusuhi Si Jari Maut di tempat sunyi itu tanpa pembantu. Maka dia menahan kesabarannya dan mengambil keputusan untuk berhati-hati dan bersikap cerdik menghadapi pemuda ini, akan perlahan-lahan memasang jaringnya untuk menjebak Tek Hoat ke dalam pelukannya.

Semua mata para tamu yang terdiri dari kaum pria itu tidak ada yang tidak memandang kepada Mauw Siauw Mo-li, atau setidaknya tentu mengerling kagum. Seorang wanita yang cantik manis dan sudah matang! Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tidak mempedulikan mereka, melainkan tersenyum bangga dan sadar akan kekaguman yang membanjiri dirinya dan matanya memandang ke arah seorang pelayan gendut lalu dia menggapai ke arah pelayan itu.

Pelayan itu sedang membawa baki melayani beberapa orang tamu, ketika melihat Mauw Siauw Mo-li menggapai kepadanya, dia cepat-cepat menyerahkan baki berisi masakan kepada seorang rekannya dan dia sendiri tergesa-gesa menghampiri wanita cantik itu dan terbongkok-bongkok dan tersenyum-senyum dengan sikap penuh hormat dan penjilatan.

“Ahhh.... apakah Toanio dan Kongcu yang terhormat ingin makan? Mari, saya pilihkan tempat yang kosong dan enak bagi Ji-wi (Anda berdua).”

Mauw Siauw Mo-li mengangguk dan pelayan itu dengan terbongkok-bongkok lalu mengantar mereka ke sudut di mana terdapat meja kosong yang cepat dibersihkannya dengan kain yang selalu tergantung di pundaknya.

“Toanio hendak pesan apa? Dan Kongcu?” tanyanya ramah.

“Keluarkan mi, daging dan sayur terbaik untuk dua orang, kemudian harus engkau sendiri yang melayani kami karena kami ingin bicara denganmu.”

Pelayan itu membelalakkan matanya yang kecil sipit, akan tetapi lalu tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk seperti seekor ayam sedang makan beras.

“Baik, Toanio, baik....“ dan dia lalu mengundurkan diri untuk memenuhi pesanan Mauw Siauw Mo-li itu.






“Dialah yang ketika itu ditanyai oleh gadis yang kumaksudkan, maka aku minta dia yang melayani kita,” bisik wanita cantik itu kepada Tek Hoat yang hanya mengangguk.

Pelayan itu datang membawa masakan dan arak yang dipesan, kemudian setelah mengatur semua itu di atas meja, dia berdiri tak jauh dari situ sambil tersenyum-senyum dan siap untuk melayani dua orang ini kalau-kalau membutuhkan sesuatu.

Mauw Siauw Mo-li mengajak Tek Hoat makan minum tanpa berkata-kata. Baru setelah dia merasa kenyang dan menyusut bibirnya yang merah dan berminyak itu dengan saputangan, dia memberi isyarat kepada pelayan itu untuk mendekat. Si pelayan mendekat dan membongkokkan tubuhnya agar kepalanya lebih dekat dengan wanita itu untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan wanita itu.

“Aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu dan kau harus menjawab sejujurnya dan sebenarnya. Kalau kau memberi keterangan yang menyenangkan, jangan khawatir, aku akan memberi hadiah kepadamu. Akan tetapi kalau kau membohong atau menyembunyikan sesuatu, pedangku tidak akan segan-segan untuk menyembelih lehermu.”

“Uhhhhh....! Ti.... tidak.... mana saya berani....“ Pelayan gendut itu berkata dan tubuhnya menggigil.

Mauw Siauw Mo-li terkekeh sehingga empat orang pria yang duduk di meja yang tidak jauh dari situ menoleh semua. Melihat wanita cantik itu terkekeh genit dan matanya mengerling penuh daya tarik kepada mereka, empat orang laki-laki yang melihat pakaiannya tentu terdiri dari kongcu yang beruang itu juga tersenyum-senyum.

Bahkan seorang di antara mereka yang termuda, usianya paling banyak tiga puluh tahun, pakaiannya rapi dan indah, mengedipkan mata kepada Mauw Siauw Mo-li. Sambil terkekeh genit wanita ini membalas dengan kedipan mata kanan sehingga laki-laki itu kelihatan girang bukan main lalu minum araknya lalu mereka berempat tertawa-tawa dan berbisik-bisik. Tek Hoat melihat ini semua dengan hati muak, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan diam saja, hanya memandang kepada pelayan gendut itu.

Setelah sedikit gangguan main mata dengan empat orang pria itu, Mauw Siauw Mo-li kembali menghadapi pelayan dan mulailah dia bertanya,

“Beberapa hari yang lalu aku juga makan di sini....“

“Ah, saya ingat, Toanio. Saya ingat, maka ketika Toanio datang tadi, saya cepat menyambut karena saya merasa pernah melihat Toanio....“ pelayan itu cepat berkata.

“Dan pada waktu itu, engkau melayani seorang gadis cantik berbaju sutera merah indah dan membawa payung. Dia bertanya kepadamu tentang seorang gadis cantik yang dibawa dengan paksa oleh seorang kakek.”

Mauw Siauw Mo-li membiarkan pelayan itu mengerutkan alis mengingat-ingat. Ketika dia membayangi gadis yang dijumpainya di tepi jalan di dusun Khun-kwa tak jauh dari kota ini, dia terus mengikuti gadis itu sampai gadis itu memasuki rumah makan di kota ini.

Akan tetapi karena pada waktu itu terdapat banyak sekali tamu dan suasana amat berisik, maka dia tidak dapat mendengarkan percakapan antara gadis itu dan pelayan gendut ini dengan jelas, hanya melihat si gendut ini menggerak-gerakkan tangan. Pada waktu itu dia tidak begitu memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan urusan itu, akan tetapi setelah dia berniat membantu Tek Hoat, barulah dia teringat bahwa yang dimaksudkan oleh gadis itu tentulah Puteri Syanti Dewi.

“Ah, sekarang saya ingat, Toanio. Benar...., gadis membawa payung....“

“Nah, dengarlah. Aku juga ingin mencari gadis yang dibawa oleh kakek itu. Ke manakah mereka?” Lalu dia menambahkan, “Awas, jangan berbohong kau!”

“Aihhh, mana saya berani berbohong? Saya akan menceritakan kepada Toanio seperti yang saya ceritakan kepada nona itu, seperti yang saya ketahui. Memang ada kakek dan gadis seperti yang dimaksudkan itu makan di sini, akan tetapi tentu saja saya tidak tahu ke mana mereka pergi. Hanya di waktu makan, saya mendengar kakek itu menyebut-nyebut pantai Laut Po-hai. Hanya itulah yang saya ketahui dan demikian pula saya ceritakan kepada gadis itu, Toanio.”

“Pantai Lautan Po-hai?” Tek Hoat mengulang dan alisnya berkerut. “Kalau begitu, aku akan menyusul ke sana!” katanya dan alisnya berkerut makin dalam ketika dia melihat Mauw Siauw Mo-li sudah tersenyum-senyum dan bermain mata lagi dengan laki-laki berbaju kuning di meja lain itu.

Ternyata Siluman Kucing ini sama sekali tidak mendengarkan atau mempedulikan keterangan si pelayan, melainkan asyik bermain mata dengan laki-laki itu! Tiba-tiba laki-laki itu yang agaknya sudah setengah mabuk dan tidak kuat menyaksikan permainan mata dan bibir Mauw Siauw Mo-li, berdiri dan dengan langkah agak terhuyung dia menghampiri meja wanita itu, berpegang pada ujung meja dan dengan berdiri tidak lurus, agak tergoyang-tergoyang, dia tersenyum lebar kepada Mauw Siauw Mo-li.

“He-he-he, engkau.... he-he, cantik seperti bidadari.... marilah kita makan minum bersama.... he-he-he, tentu kita berdua akan senang sekali....”

“Prattt....!”

Laki-laki itu menjerit dan menutupi mukanya yang disiram kuah panas oleh Mauw Siauw Mo-li. Bukan hanya karena kuah itu panas yang membuat laki-laki itu kini berggulingan di atas lantai sambil menjerit-jerit, akan tetapi karena kuah itu dilemparkan dengan pengerahan tenaga sakti oleh Mauw Siauw Mo-li yang kini tertawa terkekeh-kekeh dan suara ketawa ini mengandung suara seekor kucing! Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi duduk saja dengan tenang.

Tentu saja tiga orang laki-laki lain yang duduk di meja sebelah menjadi terkejut dan marah sekali melihat teman mereka bergulingan seperti itu. Mereka menyangka bahwa teman mereka itu dipukul atau terkena senjata lain karena kalau hanya kuah, tidak mungkin teman mereka sampai menderita seperti itu. Serentak mereka bangkit dan lari menghampiri meja Mauw Siauw Mo-li.

“Kau apakan teman kami?” bentak mereka.

“Hi-hik, dia terlalu mabuk dan kalian juga!”

Kini berhamburanlah mangkok-mangkok dan sumpit-sumpit dari atas meja di depan wanita itu dan terdengar suara berteriak-teriak kesakitan dan tiga orang laki-laki ini pun terpelanting dan roboh bergulingan seperti teman mereka yang pertama. Muka mereka luka-luka, ada yang tertusuk sumpit matanya, ada yang pecah pelipisnya terkena sambaran mangkok yang menghantam kepala sampai pecah mangkok itu dan pecahannya melukai muka. Tentu saja restoran itu menjadi geger dan para tamu banyak yang lari keluar.

Melihat ini, hati Tek Hoat terasa muak dan dia lalu bangkit berdiri, terus keluar dari tempat itu tanpa mempedulikan Mauw Siauw Mo-li lagi. Wanita ini Cepat memburu.

“Eh, nanti dulu, Angsicu....!”

Dia mengejar, akan tetapi Tek Hoat tidak menengok lagi, bahkan tidak peduli ketika Mauw Siauw Mo-li melangkah di sampingnya dan mereka keluar dari kota itu.

Setelah mereka jauh meninggalkan pintu gerbang kota, dan melihat Tek Hoat sama sekali tidak mempedulikannya, Mauw Siauw Mo-li berkata,

“Ang-sicu, apakah kau marah kepadaku?”

Tek Hoat tidak menjawab dan ketika untuk kedua kalinya Mauw Siauw Mo-li bertanya sambil memegang tangannya, Tek Hoat mengibaskan tangan itu terlepas dan membalik, matanya memancarkan sinar berkilat.

“Pergilah dan jangan membikin aku marah!” hardiknya, Dia sudah siap untuk menyerang!

“Eh, eh, Ang Tek Hoat!” Mauw Siauw Mo-li berkata dengan alis berkerut. “Berhari-hari aku selalu bersikap hormat dan baik kepadamu, akan tetapi mengapa engkau sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadaku? Lupakah engkau bahwa aku berada di sampingmu karena hendak membantumu mencari Syanti Dewi?”

Tek Hoat menghela napas. Benar juga, betapapun wanita ini telah berusaha membantunya menemukan kembali jejak Syanti Dewi. Kembali dia menarik napas panjang dan kemarahannya mereda.

”Sepak terjangmu membuat aku kesal dan marah.”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Mulut yang bibirnya merah basah itu terbuka sehingga nampak deretan gigi yang rapi dan putih, rongga mulut yang merah seperti daging mentah yang masih segar. Melihat pemuda itu reda kemarahannya, hati wanita ini menjadi gembira kembali.

“Sepak terjangku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu?” tanyanya halus, sikapnya merendah.

Tek Hoat merasa tidak enak hatinya. Mengapa dia mempedulikan benar apa yang dilakukan oleh wanita ini?

“Perbuatanmu terhadap empat orang di restoran itu memuakkan hatiku!” akhirnya dia berkata dengan terus terang menyatakan isi hatinya.

“Ehhh?? Hi-hik, Ang-sicu yang baik. Mereka adalah laki-laki tak berharga yang sudah sepantasnya dihajar! Perlukah orang-orang macam mereka itu diperlakukan dengan baik dan dihormati?”

Mereka saling pandang sejenak dan Tek Hoat mendengus lalu membuang muka.
“Aku tidak membela mereka atau siapapun juga. Akan tetapi, engkau telah bermain mata dengan mereka, lalu menyiksa mereka. Siapa tidak menjadi sebal melihatnya?”

Senyum itu melebar, mata yang masih indah itu terbelalak dan dari kerongkongannya terdengar suara lembut seperti suara seekor kucing kalau dibelai.

“Jadi engkau.... engkau memperhatikan semua itu? Dan hatimu tidak senang melihat aku bermain mata dengan mereka?” Pandang mata itu kini penuh selidik. Wajah Tek Hoat menjadi merah.

“Sudahlah! Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan, akan tetapi di depanku selama kita melakukan perjalanan bersama, kau tidak boleh bertindak seperti itu yang hanya menimbulkan kekesalan hatiku.”

“Aihhh.... Sicu. Sungguh aneh sekali mendengar ini dari mulutmu. Bukankah aku berhadapan dengan Si Jari Maut? Bukankah dalam hal kekerasan, aku sendiri masih boleh berguru kepada Si Jari Maut? Kita berdua adalah orang-orang dari golongan hitam, tindakan kekerasan merupakan kesenangan kita, kepandaian dan kekerasan merupakan hukum kita. Ataukah terjadi hal mujijat di mana Si Jari Maut telah berubah menjadi lemah dan lunak, si harimau ganas yang gagah perkasa telah berubah menjadi seekor domba yang jinak?”

“Sudahlah! Jangan sebut-sebut tentang Si Jari Maut.... Aku benci kepadanya! Aku benci....!”

Tek Hoat lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya ke timur. Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan mengikutinya terus tanpa berani bicara apa-apa lagi sampai mereka berdua berhenti di dalam hutan karena malam telah tiba dan malam itu gelap sekali tiada bulan, hanya ada sedikit bintang yang tidak cukup terang untuk memungkinkan mereka melakukan perjalanan melewati hutan lebat itu.

Seperti biasa, Tek Hoat tidak pernah mau repot-repot dan setelah bersamadhi beberapa lama lalu tidur sambil bersandar pada batang pohon, dan kembali Mauw Siauw Mo-li yang bekerja mengumpulkan kayu dan daun kering, membuat api unggun dan duduk melamun. Sampai lama wanita ini memandang ke arah Tek Hoat yang sudah tidur pulas karena kehangatan api unggun mendatangkan kantuk pada matanya yang dibayangi kedukaan dan kekhawatiran dan pada tubuhnya yang lelah.

Berkali-kali Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, mengamati wajah yang ditimpa api unggun itu, wajah seorang pemuda yang kelihatan masih remaja kalau sedang tidur memejamkan mata seperti itu. Lenyaplah garis-garis kekerasan di wajah Tek Hoat. Di waktu tidak tidur, maka tarikan dagu yang mengeras, pandang matanya yang memancarkan ketajaman yang menusuk, bayangan muram pada wajah yang kelihatannya tidak acuh, semua itu membuat wajah Si Jari Maut menjadi matang dan menyeramkan.

Akan tetapi di waktu tidur seperti itu, lenyaplah sifat-sifat Si Jari Maut dan wajah itu membayangkan seorang pemuda yang patut dikasihani. Teringat betapa selama berhari-hari dia tidak berhasil “mendekati” pemuda ini, Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang penuh penyesalan, kekecewaan dan juga penasaran. Jarang ada pria yang sanggup bertahan terhadap rayuan mautnya. Baru kerling dan senyumnya saja tadi telah membuat empat orang laki-laki di restoran itu tergila-gila. Dan rayuan-rayuannya dahulu pernah menundukkan putera dari Pendekar Siluman!

Kalau dia mengenang kembali peristiwa itu, terdapat rasa kebanggaan yang luar biasa di dalam lubuk hatinya. Entah sudah berapa ratus, berapa ribu orang pria yang jatuh bertekuk lutut di depan kakinya, yang mabuk kepayang dalam pelukan dan belaiannya, namun kalau dia terkenang kepada Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, jantungnya berdebar penuh kebanggaan!

Betapa bangganya mengenangkan betapa pemuda Pulau Es itu, yang tampan sekali dan gagah perkasa, pernah mabuk kepayang di dalam pelukan dan belaiannya, pernah menjadi kekasihnya. Dialah yang memperoleh perjakanya pemuda sakti itu!

Kembali dia memandang wajah Tek Hoat. Pemuda ini tidak banyak selisihnya dengan Suma Kian Bu. Sama muda, sama tampan, dan sama gagah perkasa. Ada perbedaannya, yaitu kalau Suma Kian Bu adalah seorang tokoh dari golongan putih yang selalu menentang kejahatan, adalah Tek Hoat sebaliknya seorang tokoh hitam yang mengerikan, yang berjuluk Si Jari Maut! Jadi lebih cocok dengan dia!

“Aihhh.... mengapa engkau begitu angkuh....?” keluhnya, membayangkan betapa akan nikmatnya kalau malam itu dia dapat terbuai dalam pelukan pemuda itu.

Sudah berhari-hari dia tidak pernah berdekatan dengan pria, padahal Tek Hoat si pemuda ganteng ini setiap hari berada di sampingnya. Sungguh keadaannya seperti seekor kucing kelaparan yang dekat dengan daging segar akan tetapi tidak dapat menerkam daging yang menggairahkan itu!

Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mendengar suara yang tidak wajar. Dia lalu bangkit dan melirik ke arah Tek Hoat. Masih tidur nyenyak pemuda itu. Dengan gerakan ringan dan tanpa mengeluarkan suara, Mauw Siauw Mo-li meninggalkan api unggun, menyelinap di antara pohon-pohon yang gelap.

Tak lama kemudian dia melihat lima orang laki-laki dan di antara mereka terdapat dua yang dikenalnya, karena dua orang ini adalah dua orang di antara empat orang yang tadi dihajarnya di restoran.

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Dia sedang “haus” dan kini datang lima orang laki-laki. Setidaknya ada dua orang di antara mereka yang masih cukup muda dan tidak buruk. Lumayan untuk memuaskan kehausannya yang menyiksa karena selalu dekat dengan Tek Hoat yang tidak mempedulikannya.

Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan senyumnya melebar. Mengapa tidak? Mungkin ini merupakan jalan dan siasat yang amat baik, pikirnya. Cepat dia membuka kancing bajunya luar dalam sehingga dadanya kelihatan terbuka dan sebagian dari bukit-bukit dadanya nampak. Lalu dia berjalan memapaki lima orang itu.

“Ohhh....!” Dia menahan seruannya ketika sudah berhadapan dengan mereka.

Lima orang laki-laki itu terkejut, akan tetapi seorang dari mereka yang mengenal Mauw Siauw Mo-li berseru,

“Ini dia siluman itu!”

Dan mereka berlima lalu menyerbu Mauw Siauw Mo-li? Wanita ini mengelak ke sana-sini dan menangkis, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan mengenal pundaknya dan dia terhuyung. Lima orang itu menerkam dan Mauw Siauw Mo-li mempertahankan diri mati-matian sehingga pakaiannya koyak-koyak.

“Toloooooonggggg....! Tolooonggggg.... Ang-sicu....!” Terdengar dia menjerit-jerit.

Tek Hoat terbangun dan terkejut mendengar jeritan itu. Otomatis dia meloncat dalam keadaan sadar sepenuhnya dan di lain saat dia telah berlari cepat menuju ke arah datangnya suara itu. Dan ketika dia tiba di tempat itu, apa yang dilihatnya membuat Tek Hoat mengerutkan alis saking marahnya.

Dia melihat Mauw Siauw Mo-li rebah terlentang di atas tanah, pakaiannya tidak karuan dan di sana-sini terbuka, sedangkan lima orang laki-laki sedang memegangi tubuh yang meronta-ronta itu! Dia tidak tahu betapa di dalam gelap itu, Mauw Siauw Mo-li masih sempat melirik ke arah Tek Hoat.

“Uhhh.... uhhhhh.... keparat kalian.... iiihhhhh, tolooonggggg....!”

“Jahanam....!”

Tubuh Tek Hoat mencelat ke tempat itu, kemudian kaki tangannya bergerak-gerak, jari tangannya seperti senjata ampuh menyambar-nyambar lima kali dan lima orang laki-laki itu terlempar ke sana-sini dan roboh tak dapat bangkit kembali, di dahi dan muka yang tercium jari-jari tangan itu kini terdapat bekas tapak tangan menghitam dan tubuh mereka tidak bernyawa lagi!

“Uuuhhhhh.... hu-huuuk, Sicu....!”

Mauw Siauw Mo-li mengeluh, bangkit berdiri lalu lari menubruk Tek Hoat sambil menangis. Kedua lengannya merangkul leher pemuda itu dan mukanya menangis di atas dada Tek Hoat.

Pemuda ini tertegun dan bengong memandang ke arah lima orang laki-laki yang telah menjadi mayat itu. Dia menunduk, memandang ke arah muka yang tersembunyi di dadanya sambil bertanya,

“Kenapa.... apa yang terjadi....?”

Akan tetapi tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mengangkat mukanya dan menyambut muka pemuda yang menunduk itu dengan ciuman pada mulutnya!

Sejenak saking kagetnya Tek Hoat tak dapat berbuat apa-apa dan sepenuhnya merasakan ciuman yang berapi-api itu. Bibir Mauw Siauw Mo-li terasa basah dan panas sekali. Akan tetapi ketika Tek Hoat merasakan lidah wanita itu menjilat-jilat, dia cepat melepaskan rangkulan wanita itu dan melangkah mundur, memandang kepada wajah yang merah itu, mata yang meredup seperti mengantuk, cuping hidung yang kembang-kempis, pernapasannya yang memburu, terengah-engah dan mulut yang agak terbuka itu.

“Apa yang kau lakukan ini?” dia membentak.

“Tek Hoat.... ahhh, Tek Hoat....”

Mauw Siauw Mo-li mengembangkan kedua lengannya, akan memeluk lagi, akan tetapi Tek Hoat memandangnya dengan bengis dan melangkah mundur lagi.

“Mo-li, apa yang kau lakukan ini?” kembali dia membentak.