FB

FB


Ads

Sabtu, 16 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 053

“Ihhhhh....!”

See-thian Hoat-su adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, juga seorang ahli sihir yang amat pandai, akan tetapi dia bergidik juga ketika melihat berkelebatnya cahaya hijau kehitaman yang mendirikan bulu roma itu.

“Penculik hina dina!” Ceng Ceng memaki. “Engkau telah berani menculik kakakku, Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, maka engkau akan tewas di tanganku!”

Berkata demikian, wanita perkasa itu sudah menerjang dan terdengar suara bercicit nyaring ketika Ban-tok-kiam meluncur ke depan mencari korban dengan ganasnya!

“Heiii.... nanti dulu....!” See-thian Hoat-su mencelat ke belakang, berjungkir balik sampai empat kali dan ketika dia turun, dia mengangkat kedua lengan ke atas sambil berseru, “Nanti dulu, nanti dulu!”

“Kau mau bicara apa lagi?”

Ceng Ceng membentak, matanya memandang tajam dan mengeluarkan sinar seperti mata seekor naga berapi sehingga kembali See-thian Hoat-su terkejut dan merasa ragu-ragu apakah dia akan mampu menguasai lawan yang memiliki mata seperti itu dengan sihirnya.

“Engkau mengaku kakak kepada Syanti Dewi? Dan menuduh aku menculiknya? Sungguh aneh sekali. Heiii, Sang Puteri, ke sinilah dan coba jelaskan keanehan ini! Benarkah aku penculik? Dan benarkah dia ini adikmu?”

Akan tetapi, tentu saja tidak ada jawaban terhadap teriakan See-thian Hoat-su itu karena Syanti Dewi sudah tidak berada di tempat itu lagi. Mendengar kata-kata kakek itu, Ceng Ceng juga terkejut, lalu dia menoleh dan mencari Syanti Dewi.

“Enci Syanti Dewi....! Enci Syanti, di mana kau? Keluarlah!” teriaknya pula.

Akan tetapi sia-sia belaka. Mereka berdua berteriak memanggil-manggil dan mencari-cari, namun Puteri Bhutan itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.

“Celaka....!” See-thian Hoat-su membanting-banting kakinya. “Selagi kita berdua saling hantam, ada orang ke tiga yang datang dan membawanya lari!”

Ceng Ceng terkejut dan membenarkan dugaan itu.
“Dia tentu belum lari jauh. Mari kita berpencar dan mengejar!”

Tanpa menanti jawaban, tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. See-thian Hoat-su juga meloncat dan mencari-cari.

Sia-sia saja mereka berdua mengejar dan mencari sampai malam terganti pagi. Akhirnya mereka kembali ke depan gua dan saling berjumpa di depan gua dengan alis berkerut. Kini mereka dapat saling memandang dengan jelas dan Ceng Ceng merasa seperti pernah melihat wajah kakek botak berambut putih itu.

“Siapakah Locianpwe? Dan bagaimanakah Locianpwe dapat membawa Enci Syanti ke sini?” tanyanya sambil memandang tajam.

See-thian Hoat-su bersungut-sungut.
“Kalau kau benar adiknya, mengapa datang malam-malam seperti pencuri? Kalau datangmu biasa saja di waktu siang hari, tentu aku tidak menyerangmu dan Sang Puteri tidak akan lenyap. Akan tetapi sudahlah! Aku adalah See-thian Hoat-su, dan siapakah Nona yang masih muda akan tetapi memiliki kepandaian hebat sekali dan memiliki pedang yang demikian mengerikan?”

Ceng Ceng membelalakkan matanya.
“Aihhh! Kiranya Locianpwe See-thian Hoat-su!”

Tentu saja dia pernah mendengar nama ini, bahkan pernah pula melihat orangnya ketika terjadi perang melawan Tambolon dan pasukannya, karena kakek inilah yang merobohkan nenek Durganini dan membawanya pergi.

“Saya adalah adik angkat dari Enci Syanti Dewi, yaitu dahulu ketika saya masih tinggal di Bhutan. Sekarang, saya telah menjadi isteri dari suami saya yang dikenal sebagai si Naga Sakti dari Gurun Pasir.”






“Aaahhhhh....! Kiranya begitukah? Pantas saja kepandaianmu hebat sekali, Toanio! Dan maafkan kalau aku menyerangmu tadi karena kusangka engkau adalah penculik yang membayangi kami sampai di sini.”

“Sayalah yang harus minta maaf, Locianpwe, dan saya menyesal sekali karena saya tahu sekarang, bahwa saya salah duga dan saya yang menyebabkan lenyapnya Enci Syanti Dewi. Tidak salah lagi, tentu ini perbuatan dewa hitam itu!”

“Dewa hitam? Apa maksudmu, Toanio?” See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi melihat wajah nyonya muda itu nampak lesu dan muram, juga kelihatan lelah sekali, dia cepat berkata, “Mari kita bicara di dalam, Toanio. Agaknya banyak hal yang perlu saling kita tuturkan.”

Memang Ceng Ceng merasa lesu dan muram wajahnya, hal ini karena dia selama ini berada dalam kecemasan memikirkan nasib puteranya yang lenyap dan belum juga dapat dia temukan. Kini ditambah lagi menghadapi urusan Syanti Dewi lenyap diculik orang, tentu saja dia merasa makin gelisah dan berduka. Maka ketika kakek itu mempersilakan dia masuk ke dalam gua besar, dia Mengangguk dan mereka lalu memasuki tempat itu.

Setelah duduk berhadapan, Ceng Ceng lalu menceritakan betapa dia mendengar tentang Syanti Dewi dari orang-orang dusun di sepanjang jalan yang menceritakan bahwa mereka melihat seorang dara cantik dipondong dan dilarikan oleh seorang kakek, dan betapa kemudian muncul seorang kakek hitam bersorban yang memberi tahu mereka bahwa puteri itu adalah Puteri Bhutan yang diculik oleh seorang jahat. Penghuni dusun lalu menyebar luaskan berita itu dengan cerita bahwa Puteri Bhutan diculik setan dan dikejar oleh seorang dewa hitam yang hendak menolong sang puteri.

“Mendengar puteri itu disebut Puteri Bhutan, saya sudah merasa tertarik sekali, menduga Enci Syanti Dewi yang dimaksudkan, maka saya pun lalu melakukan pengejaran. Ketika saya memanggil Enci Syanti Dewi keluar, kami bertemu dan berangkulan. Pada saat itulah saya diserang orang dari belakang. Saya mendorong Enci Syanti Dewi ke pinggir dan menangkis serangan orang itu sehingga dia terlempar ke belakang. Akan tetapi lalu Locianpwe muncul menyerang saya. Karena mengira bahwa tentu Locianpwe adalah sekutu penyerang pertama itu, maka saya tidak mempedulikan dia lagi dan melayani Locianpwe yang ternyata lebih lihai. Siapa kira, agaknya orang itulah yang disebut dewa hitam dan yang mempergunakan kesempatan selagi kita bertempur, lalu dia melarikan Enci Syanti.”

See-thian Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih.
“Orang hitam bersorban? Siapa gerangan dia? Apakah dia datang dari pesta itu dan terus membayangiku?”

“Pesta apa yang Locianpwe maksudkan?” Ceng Ceng bertanya.

Kakek itu menarik napas panjang.
“Sebaiknya kuceritakan dari permulaannya,” katanya. “Ketika itu aku sedang bertapa dan mengundurkan diri di gua ini setelah muridku yang bernama Siang In kuperbolehkan untuk merantau dan meluaskan pengalaman. Akan tetapi tiba-tiba datanglah nenek gila yang pernah menjadi isteriku itu....“ dia berhenti dan menghela napas panjang.

“Nenek Durganini....?”

Ceng Ceng bertanya menegaskan, karena sesungguhnya dia sudah tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah nenek itu.

“Siapa lagi kalau bukan dia? Nenek gila itu mengganggu aku yang sedang siulian, datang-datang mengamuk dan hampir saja membunuhku kalau aku tidak segera sadar dari siulian. Dia datang dan marah-marah, katanya dia mendengar dari muridku bahwa aku hendak menghajarnya, maka dia datang dan menantang-nantang! Aku maklum bahwa tentulah muridku yang bengal itu yang menjadi gara-gara, akan tetapi aku pun mengerti bahwa tentu ada sebabnya yang amat memaksa maka Siang In sampai menggunakan akal itu untuk memancing Durganini datang ke sini. Maka aku berhasil menyabarkan hatinya dan si nenek gila itu mulai bercerita tentang Syanti Dewi.”

“Ahhh....? Sungguh heran mengapa Enci Syanti yang sudah pulang ke negerinya itu tiba-tiba dapat berada di sini lagi.”

“Aku pun baru mendengar tentang itu dari Puteri Syanti Dewi ketika aku membawanya lari ke sini. Akan tetapi biarlah kulanjutkan ceritaku. Durganini menceritakan bahwa dia telah mempunyai seorang murid baru, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang yang tinggal di puncak Bukit Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san. Secara kebetulan saja Tang Hun ini bertemu dengan muridku, Siang In, yang melakukan perjalanan bersama Puteri Syanti Dewi. Tang Hun jatuh cinta dan menangkap Syanti Dewi dan hendak dijadikan isterinya. Siang In tidak mampu melindunginya karena di situ terdapat isteriku si nenek gila itu, maka Siang In lalu menggunakan akal, membohongi nenek itu dan mengatakan aku berada di sini dan hendak menghajarnya.”

Kakek itu menarik napas panjang dan tersenyum geli teringat akan kenakalan muridnya.
“Nenek gila itu paling benci mendengar aku mengancamnya, maka dia lalu lari ke sini dan mengamuk. Dia menceritakan bahwa Syanti Dewi hendak diperisteri oleh Tang Hun dan mendengar ini, aku mengkhawatirkan keadaan muridku dan juga puteri itu. Aku lalu meninggalkan nenek gila itu dan pergi ke puncak Naga Api menyelidik. Ternyata cerita itu benar dan aku melihat betapa banyak orang bersiap-siap hendak menculik Syanti Dewi, di antaranya adalah muridku yang berusaha menolongnya. Akan tetapi karena aku melihat banyak orang lihai di situ, maka aku sendiri turun tangan dan membawa Sang Puteri lari sampai ke sini. Aku hendak menanti datangnya Siang In di sini, akan tetapi ternyata engkau datang lebih dulu dan Syanti Dewi terculik lagi.”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya.
“Dan bagaimana Enci Syanti Dewi meninggalkan negaranya dan berada di tempat ini?”

“Dia menceritakan kepadaku ketika dalam perjalanan menuju ke sini. Katanya terjadi keributan di negerinya, Raja Bhutan, yaitu ayahnya memutuskan tali pertunangan itu sehingga tunangannya, Ang Tek Hoat pergi dari Bhutan. Puteri Syanti Dewi ingin sekali menyusul, kebetulan Siang In datang mengunjunginya dan muridku itulah yang membantunya lolos dari istana Bhutan dan hendak mencari Tek Hoat, akan tetapi sebelum dapat bertemu telah ditangkap oleh ketua Liong-sim-pang.”

“Hemmm, sungguh kasihan Enci Syanti. Siapa kiranya yang kini menculiknya malam tadi?”

Kakek itu mengepal tinjunya.
“Salahku! Aku kurang hati-hati, Akan kuselidiki sampai dapat. Akan tetapi, Toanio, engkau yang tinggal di lstana Gurun Pasir, tempat rahasia yang seperti hanya terdapat dalam dongeng, mengapa pula kau berada di sini, kalau aku boleh bertanya?”

Ceng Ceng menarik napas panjang, teringat akan puteranya yang lenyap.
“Sudah berbulan-bulan saya dan suami saya meninggalkan Istana Gurun Pasir dan menjelajahi Tiong-goan, Locianpwe. Kami suami isteri juga sedang tertimpa malapetaka. Putera kami telah hilang.”

“Hilang?”

“Ya, hilang tanpa meninggalkan jejak. Tentu diculik orang pula, seperti halnya Enci Syanti Dewi. Kami telah mencari dan kadang-kadang menemukan jejaknya, akan tetapi lalu hilang lagi sehingga sampai kini kami belum berhasil.”

“Aihhh, manusia mana yang berani main gila menculik puteri si Naga Sakti dari Gurun Pasir? Iblis pun akan berpikir panjang untuk melakukan hal itu,” kata See-thian Hoat-su dengan heran.

Nama besar si Naga Sakti ditakuti oleh seluruh dunia kang-ouw seperti juga nama besar lainnya, misalnya Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Juga Naga Sakti tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw, bagaimana ada orang berani menculik puteranya?

“Buktinya ada yang menculiknya!” kata Ceng Ceng gemas. “Kalau saja aku dapat menangkap penculik hina itu!” Dan dia mengepal tinjunya.

See-thian Hoat-su sendiri bergidik mendengar ancaman yang terkandung dalam suara itu. Dia tadi sudah merasakan kelihaian nyonya muda ini, apalagi pedangnya yang mengerikan itu. Baru nyonyanya sudah demikian hebat, entah bagaimana si Naga Sakti sendiri! Benar-benar si penculik itu mencari penyakit!

“Aku akan mencari Puteri Syanti Dewi, akan tetapi juga akan membuka mata dan telinga untuk membantumu mencari puteramu, Toanio. Berapakah usianya dan bagaimana ciri-cirinya?”

“Banyak terima kasih atas kebaikan hati Locianpwe,” kata Ceng Ceng yang sebagai seorang ibu, hatinya gelisah sekali dan tentu akan terasa bersyukur kalau ada orang membantunya menemukan puteranya. “Nama putera kami adalah Kao Cin Liong, usianya sekitar lima tahun, mukanya bundar putih dan matanya lebar, di bawah telinga kirinya terdapat sebuah tahi lalat kecil. Hanya itu ciri-cirinya.”

“Baik, aku akan membuka mata dan telinga. Sekarang pun aku berangkat hendak mencari jejak Syanti Dewi sambil mendengarkan tentang puteramu.”

“Terima kasih, Locianpwe.”

Mereka keluar dari dalam gua dan keduanya lalu pergi mengambil jalan terpisah. Di sepanjang jalan See-thian Hoat-su mengeluh panjang pendek. Dia sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya, sudah bosan dengan urusan dunia yang hanya menimbulkan banyak persengketaan dan permusuhan.

Tadinya, setelah muridnya, Siang In, meninggalkannya dia menganggap bahwa tugasnya telah selesai, bahwa dia boleh menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan tenang dan tenteram di dalam tempat pertapaannya, di Gua Tengkorak dan hidup penuh damai dengan diri sendiri dan dengan alam di tempat sunyi itu sampai dia mati. Siapa kira, belum ada setahun saja dia sudah terseret lagi dalam urusan dunia! Dan setelah kini melihat Syanti Dewi diculik orang dari tangannya, tentu saja dia akan selalu merasa salah dan menyesal sebelum dia dapat menyelamatkan Puteri Bhutan itu kembali.

“Uuuuuhhh, sialan kau, tua-tua tidak dapat menikmati hidup damai....“ gerutunya, namun tetap saja dia melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Puteri Bhutan itu. Dari jejak-jejak kaki di dekat guanya, dia melihat jejak kaki itu menuju ke utara, maka dia pun tidak membuang waktu dan mengejar ke utara.

**** 053 ****