FB

FB


Ads

Sabtu, 16 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 052

“Heiii, siapa....?”

Akan tetapi dua orang itu sudah jatuh terjungkal oleh kakek See-thian Hoat-su sebelum dua orang pengawal itu dapat melihat jelas. Dengan cepat See-thian Hoat-su lalu memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya melompati pagar tembok di taman belakang. Tanpa banyak halangan karena semua orang sedang sibuk berkelahi dan mengejar-ngejar penculik Syanti Dewi palsu, See-thian Hoat-su dapat membawa pergi puteri itu dari puncak Bukit Naga Api.

Setelah pergi jauh, Syanti Dewi berkata,
“Locianpwe, bagaimana dengan Siang In? Kenapa kita tidak menanti dia?”

Kakek itu menurunkan tubuh Puteri Bhutan dan menyeka peluhnya, lalu memandang ke angkasa yang indah penuh bintang.

“Ahhh, dia bukan anak kecil lagi, tentu dapat menjaga diri sendiri.”

“Akan tetapi.... tentu dia akan mencari-cari Locianpwe dan saya....”

“Dia tidak tahu bahwa aku berada di sini, dan biarlah dia mencarimu untuk meluaskan pengalamannya, ha-ha!”

Kakek yang aneh itu tertawa dan Syanti Dewi tidak membantah lagi. Kakek ini mempunyai watak yang luar biasa anehnya dan dia tahu bahwa memang orang-orang sakti di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang kadang-kadang mendekati watak orang gila!

“Lalu.... lalu kita akan pergi ke mana, Locianpwe?” tanyanya penuh keraguan.

“Ke tempatku di pantai Po-hai. Akhirnya Siang In tentu akan ke sana pula kalau dia tidak berhasil mencarimu. Dan kulihat engkau diperebutkan banyak orang, Puteri, maka untuk sementara waktu ini, kiranya akan lebih aman kalau kau berada di sana bersamaku”.
Syanti Dewi tidak membantah lagi. Dia meninggalkan Bhutan bersama Siang In, dan biarpun dia berniat mencari Tek Hoat, namun mencari seorang diri saja mana mungkin berhasil? Di bagian dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat yang amat lihai, dan tanpa seorang teman seperjalanan yang sakti seperti Siang In, dia merasa ngeri dan tidak sanggup untuk mencari Tek Hoat sendirian saja. Pula, kini dia ikut bersama guru dari Siang In, berarti dia berada di tangan yang aman dan tentu banyak harapan akan berjumpa kembali dengan gadis ahli sihir itu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, peristiwa penculikan atas diri Syanti Dewi dari gedung Hwa-i-kongcu Tang Hun itu menimbulkan kegegeran hebat. Rombongan Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Yang-liu Nio-nio sendiri berhasil menculik Syanti Dewi tanpa mereka sadari bahwa yang mereka culik adalah yang palsu.

Mereka telah mengorbankan banyak anak buah dan Syanti Dewi telah diserahkan kepada Ang Tek Hoat yang melarikannya, akan tetapi kemudian ternyata Syanti Dewi itu hanyalah seorang pelayan! Seperti kita ketahui, saking marahnya Yang-liu Nio-nio membunuh pelayan itu dan kemudian mayatnya dilemparkan kepada Siang In oleh Tek Hoat yang merasa gemas dan berkhawatir akan diri kekasihnya.

Siang In sendiri juga terkejut ketika melihat mayat yang disangkanya Puteri Bhutan itu ternyata hanya seorang pelayan. Tahulah dia bahwa Syanti Dewi telah lenyap tanpa dia ketahui siapa penculiknya. Jelas bukan Tek Hoat, bukan pula rombongan Hek-eng-pang, akan tetapi jelas telah lenyap dari rumah Hwa-i-kongcu. Habis, siapa yang telah menculiknya? Dia merasa penasaran sekali dan mulai melakukan pengejaran dan penyelidikan.

Sementara itu, seperti telah diceritakan pula di bagian depan, di dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu itu terdapat pula seorang tamu yang amat lihai, bahkan tamu itu telah membuyarkan kekuatan sihir dari Siang In ketika gadis yang menyamar sebagai penari dan pemain sulap ini memperlihatkan kepandaiannya. Orang itu adalah Gitananda, kakek tokoh Nepal yang tinggi besar, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut itu.

Seperti kita ketahui, Gitananda juga mencoba untuk menahan diri Yang-liu Nio-nio yang dianggapnya telah menculik pengantin perempuan, akan tetapi Yang-liu Nio-nio yang dibantu banyak anak buahnya itu dapat meloloskan diri dan Gitananda tidak berani melakukan pengejaran dalam gelap karena dia tahu bahwa hal itu amat berbahaya, mengingat bahwa rombongan penculik itu terdiri dari orang-orang pandai.

Gitananda adalah seorang di antara pembantu-pembantu Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang mengemban tugas untuk menghubungi pembesar-pembesar yang condong untuk menentang kekuasaan kaisar. Koksu Nepal yang cerdik itu maklum bahwa untuk memperkuat kedudukannya, dia harus menghubungi tokoh-tokoh kang-ouw di dunia timur ini, dan sedapat mungkin berbaik dengan tokoh-tokoh dari golongan hitam.

Oleh karena itulah, maka dia menyebar para pembantunya, dan ketika mendengar akan pernikahan di puncak Naga Api, yaitu pernikahan dari Hwa-i-kongcu Tang Hun yang didengarnya sebagai ketua Liong-sim-pang, seorang pemuda yang selain kaya raya, juga amat lihai bahkan akhir-akhir ini kabarnya menjadi murid Durganini, tentu saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu dan mengutus Gitananda mewakilinya dan menghadiri pesta itu. Durganini adalah seorang nenek ahli sihir dari India dan Ban Hwa Sengjin sudah mengenalnya.

Sebetulnya, ketika Gitananda mendengar bahwa yang menjadi pengantin puteri adalah Syanti Dewi dari Bhutan, dia terkejut sekali. Betapa akan senangnya koksu kalau sampai dia bisa mendapatkan puteri itu. Puteri itu dapat dipergunakan untuk memaksa Pemerintah Bhutan tunduk kepada Nepal!

Akan tetapi tentu saja dia tidak boleh membikin marah Hwa-i-kongcu, lebih-lebih Durganini, maka Gitananda juga tidak mau mengganggu pengantin puteri. Akan tetapi ketika terjadi penculikan atas diri pengantin puteri, tentu saja Gitananda melihat kesempatan yang amat baik! Puteri itu diculik orang, kalau saja dia bisa merampasnya kembali dari tangan penculik. Bukan untuk diserahkan kembali kepada Hwa-i-kongcu, sungguhpun hal itu akan berarti melepaskan Liong-sim-pang sebagai sahabat.

Kiranya akan lebih penting lagi diri Puteri Bhutan itu bagi Nepal, daripada persahabatan Liong-sim-pang. Pula, kalau dia bisa mendapatkan puteri itu di luar tahu Liong-sim-pang, bukankah tetap akan menjadi sahabat untuk dapat bekerja sama sewaktu-waktu jika keadaan membutuhkan karena Hwa-i-kongcu sudah melihat sendiri betapa dia telah membantu untuk melawan para penculik, biarpun tidak berhasil.

Dia harus dapat mengejar penculik dan merampas kembali Puteri Bhutan tanpa diketahui oleh Hwa-i-kongcu! Maka setelah para penculik itu kabur, Gitananda melakukan pengejaran seenaknya karena dia perlu untuk diam-diam kembali ke kamarnya, lalu pergi lagi turun dari puncak ke tempat yang sunyi.






Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Gitananda melepaskan seekor burung berwarna hijau yang paruhnya merah, burung kecil yang menjadi burung peliharaannya, amat terlatih dan merupakan burung yang amat cerdik.

Dengan dalih memeriksa kamar pengantin wanita yang terculik malam tadi dia berhasil memasuki kamar pengantin dan berhasil pula memperoleh sehelai saputangan yang tadinya dipakai oleh Syanti Dewi, dari seorang pelayan yang disogoknya dengan sepotong emas! Kini, dia melepaskan burung itu yang membawa robekan saputangan di antara paruhnya yang merah dan kuat.

“Carilah sampai dapat!” teriak Gitananda sambil melepaskan burung itu.

Burung hijau itu terbang seperti kilat cepatnya ke atas, tinggi sekali lalu mulai terbang tinggi berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin luas. Binatang yang cerdik itu mulai mencari-cari, menggunakan nalurinya mengandalkan benda yang berada di paruhnya. Sepasang matanya yang kecil melirak-lirik ke bawah, tajam sekali.

Gitananda menanti sampai hampir menjelang tengah hari. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya di atas rumput ketika dia melihat sinar hijau melayang telah kembali! Benar saja, terbang sampai tiba di atas melepaskan robekan saputangan dan mengeluarkan suara mencicit.

“Burung yang baik, kau telah menemukan dia?”¬

Burung itu mencicit dan terbang ke atas lagi. Gitananda lalu mengikutinya dan burung itu sengaja terbang tidak terlalu cepat sehingga Gitananda yang memiliki ilmu berlari cepat itu dapat mengikutinya dari bawah!

Dan burung itu terbang menuju ke timur! Jenggotnya yang panjang berkibar-kibar, ujung sorbannya juga berkibar sehingga kakek ini nampak gagah dan juga aneh, seperti seorang dewa dalam dongeng.

Sementara itu, See-thian Hoat-su yang sedang berjalan seenaknya bersama Syanti Dewi, ketika keluar dari sebuah hutan kecil, tiba-tiba melihat seekor burung hijau terbang berputaran di atas mereka. Mula-mula Syanti Dewi yang melihat burung itu. Dara bangsawan ini sedang memandang ke atas, seolah-olah hendak mencari berita dari awan-awan di angkasa di mana adanya Ang Tek Hoat pada saat itu.

“Eh, burung apakah itu demikian aneh?” katanya sambil menuding ke atas.

See-thian Hoat-su juga memandang ke atas dan dia mengerutkan alisnya. Biarpun usianya jauh lebih tua, akan tetapi kakek ini memiliki sepasang mata yang terlatih baik sekali dan dia dapat mengerahkan kekuatan pandang matanya untuk melihat jauh sehingga burung itu nampak jelas olehnya.

“Puteri, katakan, apakah engkau mempunyai sehelai saputangan kuning?” tiba-tiba dia bertanya sambil memandang ke arah burung hijau yang terbang berputaran itu.

“Saputangan kuning....?”

Tentu saja Syanti Dewi merasa kaget dan heran mendengar pertanyaan tiba-tiba yang janggal itu.

“Ya.... ya, saputangan sutera kuning. Apakah engkau memakai benda itu ketika berada di puncak Naga Api, di tempat tinggal Hwa-i-kongcu?”

“Benar.... akan tetapi kutinggalkan di kamar....”

“Ah, celaka....! Benar, dia tentu burung mata-mata!” teriak See-thian Hoat-su dengan kaget, apalagi ketika dia melihat burung itu tiba-tiba saja meluncur cepat sekali ke barat, tentu akan melapor kepada majikannya bahwa dia telah menemukan orang yang dicarinya! “Kita harus cepat pergi dari sini!”

Berkata demikian, kakek itu memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya berlari cepat sekali sehingga Syanti Dewi memejamkan matanya karena merasa ngeri. Saking khawatirnya kalau-kalau dia akan tersusul oleh para pengejarnya yang dia tahu tentu terdiri dari orang-orang pandai sehingga membahayakan keadaan Syanti Dewi, maka See-thian Hoat-su tidak mempedulikan pandangan para penghuni dusun-dusun yang dilewatinya. Tentu saja orang-orang dusun itu terkejut dan terheran-heran melihat seorang dara cantik jelita dipondong dan dibawa lari oleh seorang kakek botak yang larinya seperti setan!

Lebih-lebih lagi keheranan mereka ketika beberapa lama kemudian, muncul pula. seorang kakek berkulit hitam, tinggi besar, kepalanya memakai sorban, jenggotnya panjang sampai ke perut dan dengan suara kaku dan asing kakek ini bertanya kepada mereka apakah mereka melihat seorang dara yang cantik jelita, yang kulitnya putih kemerahan, matanya lebar seperti sepasang bintang, sikapnya lemah lembut, halus budi dan agung, lewat di dusun itu.

“Ah, kami melihat seorang dara cantik jelita, akan tetapi dia dipondong dan dibawa lari seorang kakek botak....”

“Yaaa! Itulah dia! Ke mana mereka pergi?”

Gitananda bertanya dengan girang karena dia tidak merasa ragu lagi bahwa itulah dara yang dicarinya dan benar saja, agaknya Sang Puteri Bhutan itu dilarikan seorang penculik!

Kini para penghuni dusun merasa ragu-ragu karena mereka kurang percaya kepada orang asing bersorban yang bicaranya kaku ini, akan tetapi Gitananda cepat berkata,

“Agaknya kalian belum tahu. Kakek botak itu adalah seorang penjahat besar, seorang penculik! Dan dara yang diculik itu adalah seorang puteri! Puteri Raja Bhutan dan aku adalah seorang petugas yang akan menolong sang puteri. Harap kalian cepat memberi tahu, kemana mereka itu pergi?”

Tentu saja para penghuni dusun merasa kasihan sekali kepada sang puteri dan berfihak kepada orang asing ini yang hendak menolong sang puteri yang terculik penjahat, maka berebutlah mereka memberi tahu ke mana arah larinya kakek botak yang memondong dan menculik sang puteri.

Setelah mendengar bahwa kakek botak itu melarikan sang puteri menuju ke timur. Gitananda cepat melakukan pengejaran bersama burung hijaunya. Maka ramailah para penghuni dusun itu membicarakan peristiwa yang aneh itu sehingga cerita tentang kakek botak yang seperti iblis menculik Puteri Bhutan lalu dikejar oleh kakek seperti dewa hitam tersiar luas di dusun itu dan bahkan keluar sampai ke dusun-dusun lain.

Sementara itu. See-thian Hoat-su yang memondong tubuh Syanti Dewi, melakukan perjalanan cepat sekali menuju ke timur dan akhirnya, beberapa hari kemudian setelah melakukan perjalanan yang hampir tidak pernah ditundanya kecuali kalau malam gelap sekali dan untuk makan, tibalah kakek ini bersama Syanti Dewi di Gua Tengkorak. tempat pertapaan See-thian Hoat-su selama bertahun-tahun ini!

Syanti Dewi merasa lega ketika kakek itu mengatakan bahwa mereka telah tiba di tempat pertapaan yang tersembunyi. dan dia lalu memeriksa tempat itu. Tempat yang amat indah akan tetapi juga menyeramkan. Gua besar itu dalamnya seperti sebuah rumah saja, amat lebar dan dibagi-bagi menjadi beberapa buah kamar, bahkan ada tempat dapurnya yang terisi perabot dapur lengkap.

Gua itu terletak di antara batu-batu karang yang besar-besar sehingga tersembunyi, dan menghadap ke luar Teluk Po-hai. Suara ombak memecah di batu-batu karang terdengar setiap saat siang malam, merupakan dendang yang tidak hentinya dan menciptakan suasana yang aneh dan berbeda sekali dari suasana di darat dan pegunungan.

Angin bersilir terus jarang berhenti, dan di atas gua itu adalah sebuah bukit batu karang yang di bagian atasnya ditumbuhi bermacam pohon yang tahan hidup di tepi pantai. Di sebelah kiri gua terdapat air tawar yang bercucuran dari celah-celah batu yang pecah oleh akar-akar pohon, air yang merupakan berkah bagi penghuni gua karena memudahkan pengambilan air tawar yang amat dibutuhkan. Gua itu sendiri kalau dilihat dari jauh memang berbentuk seperti tengkorak manusia.

“Jangan terlalu jauh meninggalkan gua,” kata See-thian Hoat-su yang memanggil kembali Syanti Dewi yang berjalan-jalan di sekitar tempat itu sampai ke pantai Po-hai.

“Sekarang belum aman benar. Siapa tahu orang yang mempunyai burung hijau dapat mengejar sampai ke sini. Siapapun mereka, jangan harap akan dapat merampasmu dari sampingku, Puteri. Akan tetapi kalau kau berkeliaran terlalu jauh, dan mereka menculikmu, tentu saja aku tidak tahu dan tidak berdaya untuk mencegah mereka.”

Mendengar itu, Syanti Dewi tidak lagi berani pergi jauh dan mulailah puteri ini membersihkan gua, kemudian memasak air dan menanak nasi yang semua bahannya terdapat di tempat itu. Biarpun dia seorang puteri raja, namun pengalaman beberapa tahun yang lalu ketika dia meninggalkan Kota Raja Bhutan (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali) membuat dia tidak canggung untuk melakukan pekerjaan rumah, bahkan untuk hidup secara sederhana sekali.

Melihat kecekatan puteri ini, diam-diam See-thian Hoat-su merasa kagum sekali. Seorang puteri raja namun demikian gapah memainkan sapu dan pengebut bulu ayam, dan demikian cekatan untuk bergaya di dalam dapur!

Malam itu Syanti Dewi menyalakan lilin sebagai penerangan di dalam gua. Heran dia mengapa di sebelah dalam gua itu tidak ada angin, padahal kalau dia berdiri di depan gua, angin bersilir tiada hentinya. Namun di dalam gua, api lilin tidak bergoyang sedikit pun, tanda bahwa di situ tidak dimasuki angin sama sekali!

Tentu saja dara ini tidak tahu bahwa hawa bersifat seperti air, hanya akan mengalir masuk tempat yang berlubang dan ada tembusannya. Gua itu merupakan lubang yang rapat di bagian belakangnya sehingga telah penuh dengan hawa dan tidak memungkinkan lagi hawa dari luar mengalir masuk.

Setelah mereka makan dengan sederhana, yaitu hanya nasi dengan lauk panggang ikan yang ditangkap oleh See-thian Hoat-su dari teluk, makan malam sederhana yang amat lezat karena hati tenang dan perut lapar ditambah tubuh lelah, mereka lalu mengaso. Saking lelahnya setelah berlari sambil memondong Syanti Dewi beberapa hari lamanya, sebentar saja See-thian Hoat-su sudah tidur mendengkur.

Akan tetapi, Syanti Dewi tidak dapat tidur. Hatinya gelisah memikirkan nasibnya. Memang benar bahwa dia telah selamat dan aman di tangan guru Siang In, akan tetapi kapankah dia dapat berjumpa dengan Siang In? Dan terutama sekali, kapankah dia akan dapat bertemu dengan Tek Hoat dan bagaimana sikap Tek Hoat kalau berhadapan dengan dia? Teringat akan semua pengalamannya, Syanti Dewi menarik napas panjang. Apakah yang akan dialaminya selanjutnya.?

Baru beberapa bulan yang lalu dia masih menjadi seorang puteri di istana ayahnya, hidup bahagia sekali dan menghadapi masa depan gilang gemilang, dengan Ang Tek Hoat sebagai tunangannya yang gagah perkasa dan amat dicintanya, dan pernikahan antara mereka hanya tinggal menanti saatnya saja. Akan tetapi tiba-tiba saja terjadi malapetaka yang amat hebat, yaitu datangnya ibu kandung Tek Hoat yang membikin marah ayahnya dengan pengakuannya yang menggemparkan, yaitu bahwa Ang Tek Hoat adalah seorang anak haram.
Ayahnya marah dan memutuskan pertunangan itu sehingga Tek Hoat merasa malu dan lolos dari Bhutan! Dia menarik napas panjang. Dia mencinta Tek Hoat, mencinta pribadinya. Apa artinya riwayat hidup keluarga pemuda itu baginya? Dia dulu pun sudah tahu bahwa Tek Hoat pernah menjadi seorang tersesat, bahkan membantu pemberontak. Akan tetapi, bukankah pemuda itu sudah sadar dan kembali ke jalan benar? Betapapun juga, dia mencinta Tek Hoat, dan dia tidak peduli apa pun yang menjadi latar belakang riwayat hidup ayah dan ibu pemuda itu.

“Syanti Dewi....!”

Tiba-tiba dia mendengar suara halus datang dari luar Gua Tengkorak. Suara seorang wanita yang halus memanggilnya! Mimpikah dia? Syanti Dewi bangkit duduk dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika dia melirik ke arah kamar di sebelah kamarnya, dia masih mendengar suara dengkur See-thian Hoat-su. Dia harus berhati-hati. Bukankah kakek itu mengatakan bahwa boleh jadi orang-orang jahat yang hendak merampasnya kembali datang ke tempat itu?

“Enci Syanti Dewi....!”

Kembali terdengar bisikan yang terdengar olehnya seperti desis seekor ular. Siapakah dia? Siang In? Hanya Siang In yang menyebutnya enci Syanti Dewi! Akan tetapi mungkinkah Siang In? Dia curiga. Kalau benar Siang In, mengapa harus memanggilnya dengan suara lirih dari luar gua? Bukankah gua ini tempat tinggal See-thian Hoat-su, kakek yang menjadi gurunya sendiri? Mengapa gadis itu tidak langsung masuk saja menemuinya dan memanggil dari luar secara mencurigakan?

Syanti Dewi sudah banyak mengalami hal-hal hebat dan tahulah dia bahwa orang-orang jahat di dunia kang-ouw amat licik dan curang, maka dia tetap saja diam saja mendengarkan, tidak mau tergesa-gesa keluar. Kembali sunyi keadaannya, sunyi yang menegangkan hati Puteri Bhutan itu. Tak lama kemudian, terdengarlah lagi suara itu, kini agak keras biarpun masih dengan suara mendesis agar tidak terlalu nyaring dan terdengar oleh kakek yang sedang tidur.

“Kalau benar bahwa yang berada di dalam itu Puteri Syanti Dewi, harap ke luar, adikmu Candra Dewi berada di sini!”

Syanti Dewi terkejut, jantungnya berdebar keras. Candra Dewi! Ceng Ceng! Dia tidak ragu-ragu lagi karena dia mengenal suara itu. Turunlah dia dari atas pembaringan dan dengan berindap-indap dia keluar dari kamarnya, terus berjalan keluar gua yang gelap karena penerangan hanya ada di dalam kamarnya dan di kamar See-thian Hoat-su saja. Di luar gua juga gelap, remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit.

Dia melihat sesosok tubuh seorang wanita berdiri di luar gua itu. Syanti Dewi tidak berani segera ke luar, mengintai dulu dan jantungnya berdebar penuh kegirangan ketika dia mengenal bahwa orang itu memang Candra Dewi atau Ceng Ceng adanya!

Wanita itu memang benar Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau nyonya Kao Kok Cu si Naga Sakti dari Gurun Pasir! Dahulu, ketika dia masih tinggal di Bhutan, Ceng Ceng diakui adik oleh Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi (baca Kisah Sepasang Rajawali). Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita perkasa ini bersama suaminya, si Naga Sakti dari Gurun Pasir Kao Kok Cu, terpaksa meninggalkan tempat mereka yang terasing dari dunia ramai, jauh di utara di gurun pasir, memasuki dunia ramai di selatan untuk mencari putera mereka yang hilang!

Mereka mencium jejak putera mereka itu dibawa orang ke selatan, namun sampai sekian lamanya belum juga mereka berhasil menemukan kembali Kao Cin Liong, putera mereka yang berusia lima tahun itu. Kini Ceng Ceng kembali melakukan penyelidikan dengan terpisah dari suaminya, karena dengan melakukan penyelidikan terpisah, lebih banyak harapan untuk mendapatkan kembali jejak yang hilang itu.

Di dalam perjalanannya melakukan penyelidikan dan mencari puteranya itulah Ceng Ceng mendengar desas-desus di dalam dusun-dusun yang dilaluinya tentang seorang puteri yang terculik oleh seorang penjahat dan dikejar-kejar oleh seorang kakek seperti dewa. Ketika dia mendengar bahwa ada “Puteri Bhutan” dilarikan iblis dan dikejar dewa, dia masih belum menduga bahwa itu adalah Syanti Dewi.

Akan tetapi ketika dia teringat bahwa beberapa hari yang lalu dia melihat Mohinta, putera panglima tua di Bhutan yang pernah dikenalnya, berkeliaran dengan beberapa orang pembantunya, mulailah dia curiga. Jangan-jangan Syanti Dewi yang lagi-Iagi menimbulkan geger di tempat ini!

Karena hatinya merasa penasaran, dia lalu melakukan pengejaran pula dan akhirnya dia tiba di depan Gua Tengkorak pada malam hari itu. Dia tidak berani lancang menyerbu ke dalam, maka dia lalu menggunakan tenaga khikangnya untuk memanggil, karena wanita sakti ini yakin bahwa kalau mendengar suaranya, tentu Syanti Dewi akan keluar, kalau memang benar Syanti Dewi puteri yang terculik itu.

“Adik Ceng....!” Syanti Dewi yang kini tidak ragu-ragu lagi itu berseru sambil lari keluar.

“Enci Syanti....!”

Dua orang wanita ini saling rangkul.
“Aih, kiranya benar engkau, Enci Syanti!”

“Adik Candra.... betapa girangnya hatiku bertemu denganmu....“

Pada saat itu, dari balik batu besar meloncat sesosok bayangan yang tinggi besar dan bayangan ini langsung menerkam ke arah Ceng Ceng. Wanita perkasa ini cepat mendorong tubuh Syanti Dewi,

“Enci, menjauhlah!” katanya dan dia cepat membalik, menggerakkan lengannya untuk menangkis karena mengelak sudah tidak sempat lagi. Serangan bayangan hitam itu cepat bukan main.

“Desss....!”

Tangkisan Ceng Ceng yang dilakukan dengan cepat itu mengandung tenaga sinkang mujijat. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa nyonya ini di waktu belum menikah dahulu, bersama Topeng Setan yang ternyata adalah Kao Kok Cu yang kini menjadi suaminya, telah berhasil memperoleh anak naga yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw di Telaga Sungari, biarpun untuk itu Kao Kok Cu telah mengorbankan sebelah lengannya yang dicaplok oleh naga di telaga itu.

Setelah Ceng Ceng minum darah anak naga untuk mengobati luka dan penyakit yang dideritanya, tidak saja dia sembuh dari lukanya di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi juga dia memperoleh tenaga mujijat dari khasiat darah anak naga itu. Tentu saja setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, dia telah dilatih oleh suaminya yang sakti itu dan kini dia telah dapat menguasai tenaga mujijat itu dengan baiknya, di samping ilmunya yang sudah memperoleh kemajuan pesat sekali.

Tubuh Gitananda, kakek tinggi besar yang menyerangnya itu, sampai terlempar jauh ketika lengan mereka saling bertemu dengan kerasnya. Kakek itu terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa wanita yang diserangnya memiliki sinkang sedemikian dahsyatnya.

Tadi, kakek ini hanya mengintai dan menanti kesempatan baik untuk merampas Syanti Dewi. Dia tidak berani sembrono menyerbu ke dalam gua dan hanya menanti saat baik selagi puteri itu keluar sendiri. Munculnya seorang wanita yang memanggil-manggil dari luar gua membuat dia terheran-heran, akan tetapi giranglah hatinya melihat Syanti Dewi benar-benar keluar dari dalam gua dan cepat dia lalu menerjang wanita itu dengan maksud merobohkannya kemudian melarikan Syanti Dewi. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika wanita itu menangkis dengan tenaga yang demikian hebatnya sehingga tubuhnya terlempar ke belakang sampai jauh!

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan Ceng Ceng harus cepat mengelak karena dari dalam gua sudah muncul seorang kakek yang menyerangnya kalang-kabut dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin berputaraan. Tahulah dia bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka Ceng Ceng lalu membalas dengan tamparan-tamparan kedua tangannya yang ampuh.

Terjadilah pertempuran yang amat seru dan dahsyat di depan gua, di dalam cuaca yang remang-remang itu dan mereka berdua lebih mengandalkan ketajaman pendengaran mereka untuk mengikuti gerakan lawan daripada ketajaman pandangan mata yang tentu saja amat berkurang di dalam cuaca remang-remang itu.

Syanti Dewi tadi merasa terkejut sekali ketika dia didorong ke pinggir oleh Ceng Ceng, dan dia melihat betapa Ceng Ceng tadi diserang oleh kakek tinggi besar. Kemudian, melihat Ceng Ceng diserang kakek botak dari dalam gua, dia terkejut. Kakek itu adalah See-thian Hoat-su!

Dia segera melangkah maju dan bibirnya telah bergerak untuk berseru agar mereka berhenti berkelahi karena mereka bukanlah musuh, akan tetapi tiba-tiba ada bayangan hitam menyambar. Syanti Dewi berusaha untuk mengelak, akan tetapi tingkat kepandaian silatnya jauh sekali dibandingkan dengan tingkat Gitananda dan sekali kakek itu menepuk tengkuknya, tubuh Syanti Dewi menjadi lemas dan pingsanlah puteri itu. Gitananda cepat memondongnya dan menyelinap pergi di dalam kegelapan malam.

Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su yang sedang bertanding dengan hebat itu sama sekali tidak melihat bahwa Syanti Dewi dirobohkan dan dibawa pergi orang lain. Mereka masih saling serang dengan hebat dan sungguh-sungguh karena mereka mendapatkan kenyataan bahwa lawan masing-masing amat lihai.

“Plak-plakkk!”

Untuk ke sekian kalinya kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan tubuh Ceng Ceng terdorong mundur, akan tetapi See-thian Hoat-su juga merasa betapa tubuhnya tergetar hebat! Dia terkejut sekali, maklum bahwa wanita yang dilawannya memiliki sinkang yang amat mujijat dan kalau pertandingan itu dilanjutkan beberapa kali mengadu tenaga seperti itu, amatlah berbahaya bagi jantungnya yang dapat tergetar dan rusak! Maka dia lalu mulai berkemak-kemik, hendak menggunakan ilmu sihir untuk mengalahkan lawannya.
Kalau saja cuaca tidak segelap itu, dengan pengaruh pandang matanya agaknya dengan mudah, dia akan dapat menguasai lawan ini. Akan tetapi cuaca amat gelap dan dia kini hendak menggunakan sihir, akan tetapi justeru pada saat itu lawannya mendesaknya dengan pukulan-pukulan ampuh sehingga belum beranilah kakek ini membagi tenaganya untuk menggunakan sihir karena sekali saja terkena pukulan wanita itu tanpa dilawan dengan sinkang sepenuhnya, amatlah berbahaya baginya.

Sementara itu, Ceng Ceng juga makin terkejut dan heran. Disangkanya bahwa yang menculik Puteri Bhutan itu seorang penjahat biasa saja. Kiranya puteri itu benar Syanti Dewi dan penculiknya ternyata adalah seorang yang berkepandaian tinggi! Hal ini membuat dia menjadi marah bukan main dan dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan, hijau kehitaman. Itulah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) yang bukan main ampuhnya.

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa Ceng Ceng menerima pedang itu dari seorang iblis betina berjuluk Ban-tok Mo-li dan betapa pedangnya itu pernah terampas oleh Tambolon dan kawan-kawannya tewas dalam perang oleh Tek Hoat dan para orang gagah, Ceng Ceng akhirnya berhasil memperoleh pedangnya kembali dan semenjak dia menikah, pedang itu selalu disimpannya saja dan tidak pernah dipergunakannya.

Hanya ketika puteranya lenyap, dan dia bersama suaminya meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk mencarinya, dia membawa Ban-tok-kiam, hanya untuk berjaga-jaga saja karena dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, sebenarnya dia tidak usah memerlukan bantuan pedangnya. Akan tetapi, melihat ada orang menculik Syanti Dewi dan orang itu sedemikian lihainya, Ceng Ceng menjadi marah dan mencabut Ban-tok-kiam yang mengerikan itu.