FB

FB


Ads

Kamis, 14 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 050

Kian Bu berusaha menangkis dengan tangan kanannya yang masih dapat digerakkan, namun suling yang mengarah kepala itu tertangkis meleset dan masih mengenai tengkuknya.

“Desss....!” Kian Bu mengeluh dan roboh pingsan!

“Omitohud....!”

Sesosok bayangan berkelebat dan demikian cepat gerakan bayangan ini sehingga tahu-tahu nikouw itu telah berada di situ, berlutut dan memeluk tubuh Kian Bu yang sudah tidak bergerak lagi, dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah!

Kakek itu dan muridnya terkejut, akan tetapi mengenal siapa adanya orang yang demikian cepat gerakannya itu, Sin-siauw Seng-jin lalu berkata,

“Kiranya Kim Sim Nikouw dari Kwan-im-bio. Hemmm, mengapa kau mencampuri urusan kami?”

“Siancai, siancai, siancai....!” Kim Sim Nikouw berkata halus. “Seorang yang gagah perkasa seperti Locianpwe, mengapa bisa berlaku rendah, menyerang orang yang sudah tidak berdaya lagi? Mengapa di hari tua tidak mencari jalan terang, melainkan menambah kegelapan yang kelak hanya akan menggelapkan perjalanan sendiri. Omitohud.... semoga semua manusia sadar akan dosa-dosanya.... Omitohud....!”

Wajah kakek itu menjadi pucat, lalu merah dan tanpa berkata apa-apa dia memasuki rumah gedungnya, diikuti oleh muridnya. Terdengar daun pintu dibanting keras dan nikouw itu lalu memondong tubuh Kian Bu dan dibawa pergi. Agak berat juga baginya memondong tubuh pemuda itu, maka lalu dipanggulnya dengan gerakan kaki yang cepatnya luat biasa, nikouw itu lalu berlari seperti terbang menuju ke lereng sebelah barat dari Gunung Tai-hang-san, tidak begitu jauh dari puncak bukit itu.

Perlahan-lahan Kian Bu membuka matanya akan tetapi lalu ditutupnya kembali karena pandang matanya berkunang dan dia melihat cahaya merah kuning biru menari-nari menyilaukan matanya.

Sentuhan jari tangan halus di dahinya dirasakan hangat dan menenangkan, lalu dibukanya kembali kedua matanya. Tubuhnya lemah sekali dan dia segera teringat akan keadaan dirinya. Dia teringat bahwa dia telah roboh oleh Sin-siauw Sengjin. Tubuhnya mati sebelah!

Kini pandang matanya berusaha menembus kesuraman itu dan nampaklah segores wajah yang lembut, sepasang mata yang memandangnya penuh kasih sayang. Mata ibunya? Siapa lagi orangnya yang memiliki mata sebening dan seindah itu, semesra itu memandangnya kalau bukan mata ibunya? Siapa lagi yang dapat mengangkatnya dari jurang maut kalau bukan tangan ibunya? Jari tangan siapa yang menyentuh demikian halus dan lembutnya di dahinya tadi, yang mengusir semua kepeningan kalau bukan jari tangan ibunya?

“Ibuuu....” Dia memanggil dengan suara bisikan panjang.

Mulut itu tersenyum dan dua buah mata yang bening itu menjadi basah! Ibunya menangis? Belum pernah dia melihat mata ibunya menjadi basah. Ibunya bukan orang cengeng, melainkan seorang wanita perkasa yang belum pernah dilihatnya menangis!

Kian Bu membuka lebar matanya dan kini dia dapat melihat lebih terang. Kiranya bukan ibunya yang duduk di tepi pembaringannya, melainkan seorang nikouw yang berkerudung kain kuning. Seorang nikouw yang pernah dijumpainya di lereng bukit, nikouw pemetik daun obat yang memiliki ginkang amat luar biasa itu, yang seolah-olah pandai terbang!

“Suthai....” Kian Bu memanggil lirih.

“Omitohud.... terima kasih kepada kemurahan Sang Buddha....! Engkau sudah siuman, Suma-sicu? Aihhh, betapa khawatir hati pinni (aku) melihat engkau menggeletak begitu lama seperti.... seperti.... sudah tak bernyawa lagi....”

Nikouw itu menghapus dua titik air mata dari bawah matanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar. Ketika Kian Bu hendak bangkit duduk dia mengeluh karena tubuhnya yang separuh tidak dapat digerakkan, nikouw itu lalu cepat mencegah dengan menggerakkan tangan dan memegang pundaknya, merapatkan duduknya.

“Jangan bergerak dulu.... lukamu amat parah dan hebat....”

“Ouhhhhh....!” Kian Bu mengeluh lagi. Kini pandang matanya sudah terang dan pulih kembali dan dia teringat akan semuanya. “Sudah berapa lama saya berada di sini, Suthai?”

“Sudah tiga hari tiga malam engkau rebah tak bergerak, seperti mati. Syukur pagi hari ini kau siuman, itu pertanda baik sekali.”

“Jadi.... Suthai yang menolong saya....?”

Nikouw itu menaruh telunjuk ke depan mulut.
“Ssst.... jangan banyak bicara dulu, anakku. Kau harus beristirahat dan memulihkan kembali kesehatanmu. Jangan khawatir, selama berpuluh tahun ini tidak percuma pinni mempelajari ilmu pengobatan. Pukulan keji Sin-siauw Sengjin tidak akan membunuhmu. Pinni yang membawamu ke sini, anakku, dan sekarang beristirahatlah.”

Nikouw itu cepat mengambil sebuah mangkok dari meja dan membantu Kian Bu untuk bangkit duduk dengan merangkul pundak pemuda itu dan memberinya minum tajin dari mangkok itu sampai habis.

“Nah, kau tidurlah sekarang, aku akan mengumpulkan dan memasak obat untukmu,” kata nikouw itu setelah merebahkan kembali Kian Bu dan menyelimutinya.

Kian Bu memaksa senyum dan memejamkan matanya, sebentar kemudian dia pun sudah tidur pulas.

Beberapa hari kemudian, Kian Bu sudah sadar benar, namun tubuhnya masih setengah lumpuh biarpun dia sudah dapat bangkit duduk namun dia belum dapat turun dan belum dapat menggerakkan kaki dan tangan kirinya. Ketika pagi hari itu dia melihat nikouw itu datang dan seperti biasa melayaninya untuk makan bubur, buang air dan sebagainya, Kian Bu tak dapat menahan rasa keharuan dan terima kasihnya.

Ingin dia menjatuhkan diri berlutut di depan nikouw itu, namun kaki kirinya tidak mengijinkannya. Melihat setiap hari nikouw itu merawatnya, membuangkan air kencing dan kotorannya, membersihkan tubuhnya, menyuapkan makanan, memberi obat, sungguh tiada ubahnya seperti seorang ibu sendiri! Dan nikouw itu selalu menyebutnya “anakku”!

“Nah, sekarang bahaya telah lewat!” pada pagi hari itu nikouw tua itu berkata dengan wajah berseri. “Engkau sudah tidak terancam maut lagi dan tinggal memulihkan tenaga.”






“Akan tetapi kaki tangan kiri saya belum dapat bergerak....”

“Jangan khawatir. Memang pukulan-pukulan itu hebat sekali, dapat menghancurkan seluruh rangkaian urat-uratmu. Untung Swat-im Sin-kang di tubuhmu melindungimu, anakku. Pinni yakin engkau akan sembuh kembali sama sekali.”

“Betapa, besar budi Suthai kepada saya....” Kian Bu berkata dan matanya terasa panas karena dia merasa terharu sekali.

Nikouw tua itu kini duduk di tepi pembaringan dan memegang lengannya.
“Sekarang engkau sudah tidak terancam bahaya. Boleh kita bicara. Suma Kian Bu, katakanlah sejujurnya, siapa nama ayahmu?”

“Ayah? Ayah bernama Suma Han....”

“Han Han....ah, sudah kuduga.... wajahmu, sikapmu.... dan Swat-im Sin-ciang itu....! Dugaanku tidak salah.... ah, Han Han....” Dan nikouw itu menghapus air matanya, mulutnya tersenyum ketika dia memandang pemuda itu melalui air matanya. “Engkau puteranya! Hemmm, sudah pinni duga dan engkau anakku, Suma Kian Bu, engkau anakku....”

“Apa maksudnya ini, Suthai?”

Kian Bu bertanya penuh keheranan. Dia adalah anak Suma Han dan Puteri Nirahai, mengapa nikouw ini mengaku dia sebagai anaknya? Nikouw itu kembali menghapus air matanya dan melihat betapa mulutnya tersenyum di antara tangisnya, mengertilah Kian Bu bahwa tangis wanita itu bukan karena berduka, melainkan karena terharu dan gembira!

“Jangan salah mengerti anakku. Tentu saja engkau anak dari Suma Han dan.... eh, siapa ibumu?”

“Ibu adalah Puteri Nirahai.”

“Hemmm, pantas.... pantas....! Kuulangi lagi, jangan kau salah mengerti. Tentu saja engkau anak ayah bundamu itu, dan aku.... aku hanyalah bekas sahabat baik ayahmu, bahkan dahulu.... dahulu sekali puluhan.... tahun yang lalu, ketika namaku masih Kim Cu, antara ayahmu dan aku masih ada pertalian saudara seperguruan. Karena itu aku mengenal pukulan Swat-im Sin-ciang yang kau gunakan tadi. Dan dahulu.... dahulu.... sekali.... aku dan ayahmu senasib sependeritaan, dan aku.... aku mencintanya. Namun nasib memisahkan kami, dan kini nasib pula yang mempertemukan aku dengan engkau, puteranya! Karena engkau adalah puteranya, maka engkau seakan-akan anakku sendiri, Kian Bu.”

Kian Bu mendengarkan penuh keharuan. Nikouw ini di waktu mudanya tentu cantik jelita. Dan mencinta ayahnya! Akan tetapi mereka dipisahkan oleh nasib!

“Bagaimana keadaan ayahmu, Kian Bu?” tanya nikouw itu sambil mengusap air matanya untuk ke sekian kalinya.

“Baik, Suthai. Baik sekali. Ayah dan ibu dan semua keluarga berada di Pulau Es, dan saya.... telah beberapa lama meninggalkan Pulau Es.

“Jadi ayahmu hidup bahagia?” Kian Bu mengangguk.

“Terima kasih kepada Sang Buddha yang maha kasih! Nikouw itu berseru. “Betapa bahagianya mendengarkan dia dalam keadaan sehat dan bahagia!”

Kian Bu memandang wanilta itu dan ada sesuatu yang membuatnya terharu sekali, dan yang memaksanya bertanya,

“Di wakktu muda dahulu, Suthai.... mencinta ayahku?”

Nikouw itu memandangnya, mengangguk dan menarik napas panjang.
“Sampai detik ini tak pernah aku berhenti mencintanya.”

“Dan ayah.... apakah ayah juga membalas cinta kasih Suthai?”

Nikouw itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Dia suka dan kasihan kepadaku, akan tetapi cinta? Mungkin sekali, ya aku yakin bahwa dia tidak mencintaku seperti aku mencintanya....”

“Dan Suthai tidak menderita sengsara? Tidak berduka, bahkan bergembira mendengar berita tentang ayah?” Kian Bu makin terheran.

“Puluhan tahun aku menderita, akan tetapi sudah lama pinni sadar bahwa semua penderitaan itu bukan akibat cinta, melainkan akibat dari iba diri. Seorang yang mencinta, barulah benar-benar di katakan bahwa cintanya itu murni, apabila dia merasa bergembira kalau melihat orang yang dicintanya itu bahagia, baik orang itu menjadi jodohnya ataupun tidak. Pinni gembira mendengar dia bahagia, Han Han seorang yang amat baik....” dia berhenti sebentar.

“Entah berapa puluh tahun setiap hari pinni bersembahyang mohon belas kasihan dari Kwan Im Pouwsat agar kehidupan Han Han diberkahi dan dia dapat hidup berbahagia. Ternyata doa pinni terkabul, dia hidup berbahagia dan mempunyai putera yang seperti engkau. Tentu saja pinni merasa gembira sekali....”

“Ah, betapa mulia hatimu, Suthai. Cintamu terhadap ayah demikian suci murni....dan sekarang Suthai telah menyelamatkan nyawa saya....ah, bagaimana saya akan dapat membalas semua budi Suthai ini, budi Suthai yang telah dilimpahkan dalam cinta kasih yang demikian suci murni terhadap ayah dan dalam pertolongan kepada saya?”

“Budi? Membalas budi? Omitohud.... manusia selalu mengikat dan melibatkan diri dalam budi dan dendam, itulah biang segala pertentangan! Akan tetapi, karena hal itu telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai tingkat kemanusiaan, maka agar hatimu jangan merasa penasaran dan jangan merasa berhutang budi, baiklah kau balas dengan cara.... mau kuanggap sebagai anakku. Ketahuilah Kian Bu, ketika engkau baru siuman tempo hari dan menyebut ibu kepadaku, aku seperti lupa diri, lupa bahwa aku adalah seorang nikouw, dan aku merasa seolah-olah engkau adalah anakku sendiri.”

Kian Bu menggigit bibirnya. Bukan main wanita tua ini! Demikian halus perasaannya, demikian mulia hatinya dan siapakah yang tidak akan merasa bangga kalau mempunyai seorang ibu seperti wanita tua ini? Tanpa ragu-ragu dia lalu menggerakkan tangan kanannya menyentuh dada sambil berkata,

“Ibu....” Kim Sim Nikouw merangkulnya dan menangis!

Sampai lama nikouw itu menangis sambil memeluk Kian Bu, kemudian dia dapat menekan perasaannya, duduk dan dengan muka basah air mata namun bibirnya tersenyum dan sinar matanya bercahaya, dia mengelus dahi pemuda itu.

“Terima kasih, anakku, terima kasih. Percayalah, aku akan menyembuhkanmu, engkau akan dapat bergerak lagi seperti sediakala.”

“Terima kasih, Ibu. Akan tetapi sungguh aneh, aku belum mengetahui nama Ibu.” Kian Bu tertawa, Kim Sim Nikouw juga tertawa dan suasana menjadi gembira.

“Dahulu aku bernama Kim Cu, anakku, akan tetapi sekarang aku adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio ini dengan beberapa orang nikouw pembantu yang menjadi murid-muridku dalam hal keagamaan dan melayani orang-orang yang datang bersembahyang ke kuil ini”

“Aku ingin sekali cepat sembuh, Ibu.”

“Jangan khawatir, akan tetapi kita harus bersabar, anakku. Kiranya tidak percuma aku mempelajari pengobatan selama puluhan tahun ini.”

“Aku harus cepat sembuh agar dapat mencari Sin-siauw Sengjin” kata Kian Bu sambil mengepal tinju kanannya.

Kim Sim Nikouw mengerutkan alisnya dan memandang wajah anak angkatnya itu.
“Kau mendendam karena kekalahan itu dan hendak membalasnya?”

Kian Bu juga memandang dan ketika bertemu pandang mata yang sinarnya lembut dan penuh teguran itu, dia cepat menggeleng kepalanya,

“Tidak, Ibu. Bukan karena kekalahan itu, melainkan karena aku harus merampas kembali kitab-kitab peninggalan pendekar sakti Suling Emas yang telah dicurinya.”

Kim Sim Nikouw membelalakkan matanya.
“Apa maksudmu?”

“Jelas bahwa Sin-siauw Sengjin itu seorang penipu atau seorang pencuri. Dia dapat memainkan ilmu-ilmu dari Suling Emas, padahal sepanjang pengetahuanku, ilmu-ilmu itu terjatuh ke tangan ibu tiriku yang berada di Pulau Es. Tentu dia telah mencurinya, atau mungkin juga memalsukan ilmu-ilmu itu. Maka, setelah sembuh aku harus menghadapinya lagi dan membongkar rahasia ini.”

Nikouw itu mengerutkan alisnya.
“Ah, dia amat lihai. Bahkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang kau pergunakan pun tidak mampu mengalahkannya.”

“Betapapun, setelah sembuh, akan kucoba lagi menandinginya, Ibu.”

“Kau dapat belajar, anakku! Dan jangan kira bahwa ibumu ini selama ditinggalkan oleh ayahmu, selama puluhan tahun ini, hanya menganggur saja! Tidak, aku telah mempelajari teori ilmu-ilmu baru, anakku.”

“Aku telah melihat bahwa ginkang ibu amat luar biasa.”

“Itu satu di antaranya. Aku telah mempelajari ilmu meringankan tubuh itu dan telah menciptakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), akan tetapi itu belum dapat diandalkan untuk menandingi kakek itu. Dahulu aku bersama ayahmu pernah mempelajari Ilmu Swat-im Sin-ciang dari Ma-bin Lo-mo, dan aku tahu bahwa ayahmu telah pula mempelajari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang yang menjadi lawannya. Biarpun aku bukan ahli Hwi-yang Sin-ciang, namun aku tahu akan sifat-sifatnya dan aku telah mencoba untuk menggabungkan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sendiri tidak berhasil melatihnya, akan tetapi menurut perhitunganku, maka baik Hwi-yang Sin-ciang maupun Swat-im Sin-ciang tidak akan mampu menandinginya.”

“Ah, kalau begitu Ibu harus mengajarkannya kepadaku!” Kian Bu berseru dengan girang sekali, akan tetapi alisnya lalu berkerut karena ketika dalam kegirangannya itu dia mencoba bergerak, ternyata kaki tangan kirinya masih lumpuh. “Ah, mana mungkin aku dapat belajar dalam keadaan begini?”

“Kau harus bersabar, anakku. Keadaanmu memang parah dan kurasa dalam waktu setahun barulah boleh diharapkan engkau akan sembuh. Dan mempelajari Jouw-sang-hui-teng bukanlah hal yang mudah, memerlukan waktu lama, latihan dan ketekunan. Apalagi melatih penggabungan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sudah mencoba sampai belasan tahun belum juga berhasil.”

“Ah, kalau begitu akan sukar sekali! Dan aku ingin secepatnya menemui Sin-siauw Sengjin!”

“Hemmm, lupakah kau bahwa engkau berjanji akan menemuinya lagi setelah lewat lima tahun?”

“Apa? Apakah maksudmu, Ibu?” Kian Bu berseru kaget.

Nikouw itu tersenyum.
“Agaknya pukulan kakek itu hebat sekali sehingga engkau sampai tidak ingat lagi apa yang kau ucapkan. Engkau telah berjanji kepadanya bahwa engkau mengaku kalah dan dalam waktu lima tahun lagi engkau akan membuat perhitungan.”

“Ah, kenapa begitu lama?”

“Sebaiknya begitu malah, anakku. Engkau dapat menunggu sampai sembuh sama sekali, lalu engkau masih banyak waktu untuk berlatih dan meningkatkan kepandaianmu agar kelak kalau engkau menghadapinya, engkau tidak akan kalah lagi. Pula, janji seorang pendekar pasti tidak akan diingkari sendiri, bukan?”

Kian Bu menarik napas panjang dan terpaksa dia membenarkan kata-kata ibu angkatnya itu dan semenjak hari itu, dia dirawat dan diobati oleh Kim Sim Nikouw yang amat tekun itu.

“Demikiahlah, Lee-ko, riwayatku semenjak kita saling berpisah dan itu pula sebabnya mengapa aku tidak pernah pulang ke Pulau Es.” Kia Bu mengakhiri ceritanya. “Selama kurang lebih tiga tahun aku memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan ibu angkatku itu, Kim Sim Nikouw dan selain aku dapat sembuh sama sekali, aku juga dapat menguasai Jouw-sang-hui-teng. Dari ilmu ginkang yang diajarkan oleh ibu angkatku ini, aku lalu menciptakan Ilmu Sin-ho-coan-in (Bangau Sakti Menerjang Mega), yaitu ginkang istimewa itu kugabungkan dengan dasar-dasar gerakan dari ilmu ayah Soan-hong-lui-kun.”

Semenjak tadi, Kian Lee mendengarkan penuh perhatian, dengan hati terharu dan kagum.
“Dan pukulanmu yang membuat tubuh seperti disiram air panas itu....?” tanyanya kagum.

“Itulah hasil dari melatih diri menggabungkan dua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, yang teorinya diberikan oleh ibu angkatku. Memang amat sukar dan berbahaya sekali melatih penggabungan itu sehingga engkau dapat melihat sendiri rambutku.”

“Hemmm, rambutmu lalu menjadi putih semua?” Kian Lee memandang kepala adiknya itu. “Itu disebabkan melatih sinkang mujijat itu?”

“Sebagian dari sebab itu, sebagian pula mungkin karena akibat pukulan Sin-siauw Sengjin, dan sebagian pula karena kedukaan yang menyiksaku selama itu. Setelah selesai berlatih selama tiga tahun dan berhasil, aku masih harus menanti dua tahun lagi untuk memenuhi janjiku terhadap Sin-siaw Sengjin. Maka dalam waktu dua tahun itu aku berusaha untuk menentang kejahatan di sekitar daerah Ho-nan sehingga banyak orang kang-ouw mulai mengenalku dan memberi julukan Siluman Kecil kepadaku.”

Kian Lee mengangguk-angguk.
“Sudah lama aku mendengar dan mengenal namamu itu, Bu-te. Semenjak aku mendengar nama itu memang aku sudah ingin sekali bertemu dengan orangnya, sungguhpun aku sama sekali tidak menyangka bahwa kaulah orangnya. pertama-tama, aku ingin bertemu karena ketika aku terancam bahaya, orang-orang yang tunduk kepadamulah yang menolongku, dipimpin oleh Nona Phang Cui Lan. Dan kedua kalinya aku ingin sekali bertemu dengan Siluman Kecil untuk menegurnya.”

Kian Bu memandang kepada kakaknya dengan heran.
“Menegurnya?”

“Benar, dan sekarang aku akan langsung menegurmu, Bu-te. Aku mengenalmu sebagai seorang yang suka menggoda orang, terutama sekali kepada wanita. Akan tetapi apa yang kau lakukan terhadap Nona Cui Lan sungguh keterlaluan!”

“Eh, ada apa dengan dia?” Kian Bu bertanya dengan mata terbelalak.

“Dia seorang gadis yang begitu baik, lemah lembut, halus budi pekertinya, hatinya penuh dengan cinta kasih yang murni terhadap dirimu, akan tetapi engkau melupakan dia begitu saja dan membiarkan dia merana. Bagaimana engkau dapat bersikap demikian kejam terhadap seorang gadis yang sebaik dia, Bu-te?”

Kian Lee lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Cui Lan di istana Gubernur Ho-nan, kemudian tentang keberanian gadis itu ketika menolong Gubernur Ho-pei dan ketika mengerahkan teman-teman untuk menyelamatkannya, tentang pengakuan gadis itu kepadanya, akan cinta kasihnya terhadap Siluman Kecil yang dinyatakan dalam nyanyiannya yang penuh kerinduan.

Mendengar semua penuturan Kian Lee yang disertai teguran keras itu, Kian Bu menundukkan mukanya dan berulang kali dia menarik napas panjang. Setelah Kian Lee berhenti bercerita dan menegurnya, dia berkata,

“Justeru karena aku tahu bahwa dia mencintaku maka aku sengaja menjauhkan diriku, Koko. Aku sudah tahu dari semula ketika aku menolongnya bahwa gadis itu jatuh cinta kepadaku, maka aku sengaja menjauhkan diri bahkan bersikap tidak manis kepadanya dengan maksud agar dia membenciku karena hanya itulah yang kukira dapat mengobati cintanya yang hanya sepihak. Koko yang baik, salahkah aku kalau Cui Lan jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak dapat membalas cintanya? Salahkah aku kalau sampai saat ini pun aku masih mencinta Syanti Dewi dan tidak mungkin jatuh cinta kepada orang lain? Koko, apakah hanya untuk tidak merusak hati Cui Lan aku harus pura-pura membalas cintanya dan bersikap palsu?”

Kian Lee menjadi terharu dan memegang tangan adiknya yang menjadi agak pucat wajahnya. Dia menghela napas.

“Tentu saja tidak, adikku. Asal engkau tidak mempermainkannya, dan mendengar ceritamu, agaknya memang engkau tidak pernah menggodanya dan bukan salahmu kalau dia mencintamu tanpa dapat kau balas karena engkau mencinta orang lain. Aihhh, mengapa kita berdua menjadi korban cinta dan mengalami banyak kesengsaraan karena cinta? Sungguh kasihan sekali Nona Phang Cui Lan, dan kasihan pula engkau, adikku....”

“Lee-ko, tidak perlu engkau mengasihani dia atau aku. Dan setelah aku bertemu dengan ibu angkatku, Kim Sim Nikouw, baru terbuka mataku bahwa memang selama ini kita berdua amat lemah, bahkan sampai saat ini pun aku masih melihat kelemahanku sendiri dalam persoalan cinta. Kita sebenarnya bukanlah mencinta orang lain melainkan mencinta diri sendiri, Koko. Karena itulah maka kita menderita ketika orang yang kita cinta tidak membalas cinta kita, dan kita berduka karena kita kehilangan orang yang kita cinta. Cinta kasih seperti yang terdapat dalam hati ibu angkatku, itulah baru cinta kasih yang suci murni namanya, dan sungguh ayah kita berbahagia sekali dicinta oleh seorang seperti ibu angkatku itu”

“Memang luar biasa sekali Kim Sim Nikouw seperti yang kau ceritakan itu, adikku. Dan agaknya seperti dia pulalah Nona Phang Cui Lan, dan mudah-mudahan dapat pula mengatasi tekanan batinnya karena cinta tidak terbalas seperti nikouw itu. Dan aku girang mendengar bahwa engkau tidak menggodanya, Bute”

“Ah, aku bukan lagi adikmu yang suka menggoda orang seperti lima tahun yang lalu, Lee-ko. Aku sudah cukup banyak menderita karena wanita, dan agaknya akan sukar bagiku untuk jatuh cinta lagi kepada wanita lain.”

Biarpun mulutnya berkata demikian, namun tanpa disadarinya sendiri, tahu-tahu wajah Hwee Li yang amat cantik itu terbayang di depan matanya! Dia cepat melawan ini dengan kata-kata,

“Dan aku akan mencontoh ibu angkatku, aku akan berbahagia sekali kalau mendengar bahwa Syanti Dewi hidup berbahagia di samping orang yang dicintanya, yaitu Ang Tek Hoat. Kasihan dia, mungkin dia belum tahu bahwa ibunya telah tewas oleh orang-orang Bhutan.” Dia lalu menceritakan lagi tentang wanita gila, bekas pelayan dari Ang Siok Bi, ibu Ang Tek Hoat itu.

Mendengar penuturan ini, Kian Lee menarik napas panjang.
“Sungguh aku khawatir sekali bahwa kenyataannya tidak seperti yang kau harapkan itu, adikku.”

“Apa maksudmu, Lee-ko?”

“Tentang kebahagiaan Syanti Dewi di samping Tek Hoat itu. Belum lama ini aku bertemu dengan Ang Tek Hoat, dan agaknya dia telah tersesat lagi. Dia membantu orang-orang jahat, bahkan dia tidak segan-segan untuk mengeroyok aku di tempat kediaman penjahat-penjahat.”

Kian Lee lalu menceritakan semua pengalamannya, tentang perjalanannya mencari adiknya itu, kemudian pertemuannya dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang menyerangnya dan menuduhnya mencuri harta pusaka Jenderal Kao dan menculik keluarganya. Kemudian tentang pengalamannya ketika dia berada di istana Gubernur Ho-nan, dan selanjutnya ketika dia mengawal Phang Cui Lan dan Gubernur Ho-pei sampai pertemuannya dengan Tek Hoat dan dia dikeroyok dan dirobohkan.

Mendengar cerita kakaknya itu bermacam perasaan mengaduk di hati Kian Bu. Dia terharu sekali mendengar akan sepak terjang Phang Cui Lan yang patut dipuji, dan dia marah dan khawatir mendengar betapa Ang Tek Hoat membantu Hek-eng-pangcu, dan betapa Tek Hoat telah menjatuhkan fitnah kepada dirinya yang dikatakan merampas harta benda keluarga Kao Liang. Akan tetapi kekhawatirannya lebih besar daripada kemarahannya terhadap Tek Hoat, yaitu khawatir tentang diri Syanti Dewi.

“Apakah yang telah terjadi dengan Syanti Dewi?” katanya dengan alis berkerut. “Andaikata Syanti Dewi berada di sisi Tek Hoat, tidak mungkin orang itu melakukan penyelewengan! Kalau Tek Hoat sudah kumat lagi gilanya, hal itu tentu berarti bahwa Syanti Dewi tidak lagi berada di dekatnya. Tentu telah terjadi sesuatu!” Dia mengepal tinju dan kelihatan gelisah. “Dan aku sendiri yang akan menghajar Tek Hoat kalau dia menghancurkan kehidupan Syanti Dewi!”

“Tenanglah, Bu-te. Dalam keadaan seperti kita sekarang yang belum tahu semua persoalannya, tidak baik untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan dan dugaan-dugaan, apalagi mengandung kemarahan di dalam hati terhadap seseorang. Bahkan aku sendiri yang sudah dia jatuhkan dalam pengeroyokan, aku masih ingin tahu mengapa dia melakukan hal itu, karena aku yakin bahwa tentu ada sesuatu yang mendorongnya berbuat demikian.”

“Hemmm, aku sudah tahu bahwa dia jahat, Koko. Akan tetapi....”

Kian Bu tidak melanjutkan kata-katanya karena dia maklum bahwa Tek Hoat adalah keponakan kakaknya ini, keponakan langsung dari ibunya, karena Tek Hoat adalah cucu kandung dari ibu Kian Lee. Karena teringat akan hal ini maka dia diam saja.

Mereka lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing selanjutnya. Kian Bu bercerita tentang pembalasannya yang berhasil terhadap Sin-siauw Sengjin, dan tentang pusaka-pusaka Suling Emas yang agaknya sebagian telah dicuri oleh Ang-siocia dan menurut tantangan gadis itu, dia akan menanti di pantai Po-hai di teluk sebelah utara.

“Hemmm, banyak persoalan kita hadapi, adikku. Urusan Jenderal Kao Liang masih belum beres, muncul pula urusan warisan Suling Emas yang juga harus kita jernihkan.”

“Akan tetapi engkau belum sehat benar, Lee-ko. Biarlah kita menanti sampai engkau sudah sehat benar, nanti kita bersama menyelidiki persoalan-persoalan itu sampai beres. Nah, itu dia tabibmu sudah menyusul!”

Benar saja, muncullah Sai-cu Kai-ong.
“Wah, jangan lama-lama membiarkan dari ditiup angin sejuk, Kian Lee taihiap!” Kakek itu menegur. “Mari kita pulang dan sudah waktunya Taihiap minum obat!” Kemudian dia berkata kepada Kian Bu, “Dan aku membutuhkan beberapa macam ramuan obat yang telah habis dan obat-obat itu hanya bisa dibeli di kota besar. Maka, kuharap engkau suka menemani Siauw Hong untuk mencari dan membelikan ramuan obat untuk kakakmu itu, Kian Bu taihiap.”

“Tentu saja saya akan suka sekali pergi, Locianpwe. Akan tetapi, Locianpwe, kami kakak beradik yang menerima banyak budi Locianpwe, menganggap Locianpwe sebagai paman sendiri, maka harap buang saja sebutan taihiap kepada kami,” kata Kian Bu.

“Benar apa yang dikatakan adikku, Locianpwe,” sambung Kian Lee.

“Ha, kalau begitu kalian harus membuang sebutan locianpwe dan sebut saja paman kepadaku.”

Mereka bertiga tertawa dan Kian Lee lalu dipondong lagi oleh adiknya, kembali ke tempat tinggal kakek itu yang seperti istana kuno dikelilingi tembok tebal seperti benteng. Ketika tiba di pintu gerbang dan melihat dua orang kakak beradik itu memandang kagum, Sai-cu Kai-ong berkata,

“Biarlah kelak kalau Kian Lee telah sembuh, kalian akan kubawa berkeliling dan melihat-lihat rumah peninggalan nenek moyangku ini.”

Mereka memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang anak buah Sai-cu Kai-ong yang berpakaian pengemis dan setelah merebahkan kakaknya di atas pembaringan dalam kamar, Kian Bu lalu berangkat bersama Siauw Hong mencarikan obat-obat yang dibutuhkan oleh kakek itu.

**** 050 ****