FB

FB


Ads

Kamis, 14 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 047

Seperti telah diceritakan di bagian terdepan dari cerita ini, Ang Siok Bi, ibu dari Ang Tek Hoat, menyusul puteranya ke Kerajaan Bhutan. Setelah wanita yang bernasib malang itu mengetahui bahwa dugaannya selama ini keliru, yaitu yang memperkosa dia di waktu dia masih gadis dahulu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali dan Sepasang Pedang Iblis) bukanlah Gak Bun Beng seperti yang selama itu disangkanya, melainkan Wan Keng In putera dari Lulu, isteri ke dua majikan Pulau Es, maka sakit hatinya berpindah kepada keluarga Pulau Es!

Dan untuk membalas dendamnya kepada keluarga Pulau Es, tentu saja dia merasa tidak mampu dan dia hendak menyuruh puteranya yang kini telah menjadi seorang sakti untuk membalas dendamnya kepada keluarga Pulau Es yang lihai itu.

Akan tetapi, Ang Tek Hoat yang sudah memperoleh kedudukan baik di Bhutan, sebagai panglima muda dan lebih-lebih lagi sebagai tunangan puteri raja, yaitu Puteri Syanti Dewi, menolak bujukan ibunya sehingga Ang Siok Bi menjadi marah. Ang Siok Bi lalu menemui Raja Bhutan dan membuka rahasianya sendiri bahwa calon mantu raja itu, puteranya yang bernama Ang Tek Hoat adalah seorang anak haram tanpa ayah.

Setelah meninggalkan kata-kata beracun yang kemudian berakibat hebat itu, Ang Siok Bi lalu meninggalkan Bhutan, kembali ke tempat tinggalnya di puncak Bukit Angsa, di lembah Huang-ho di mana dia hidup mengasingkan diri, hanya ditemani oleh seorang pembantunya yang setia, yaitu Cui-ma, seorang janda yang telah lama ikut bersama dia.

Sebagai teman satu-satunya, tentu saja dia mengajarkan ilmu silat kepada Cui-ma, sekedar untuk menjaga kesehatan dan untuk dipakai bela diri apabila perlu. Cui-ma ini yang selalu menemaninya dalam semua kesengsaraannya hidup menyendiri itu.

Ketika melihat Ang Siok Bi pulang dan begitu tiba di pondoknya lalu menangis sejadi-jadinya, penuh kedukaan dan kekecewaan, Cui-ma cepat memeluknya dan menghiburnya, akan tetapi pelayan dan teman yang setia ini pun ikut menangis ketika mendengar cerita nyonya majikannya betapa Ang Tek Hoat, kongcu yang ditunggu-tunggu kedatangannya, yang diharap-harapkan akan dapat menghibur ibunya itu, ternyata menolak ajakan ibunya untuk meninggalkan Bhutan.

“Cui-ma, mulai saat ini kita harus berhati-hati....“

Setelah tangisnya mereda, Ang Siok Bi berkata, lalu cepat-cepat dia menutupkan daun pintu yang tadi terbuka, menutupkan pula semua daun jendela pondoknya yang terbuka.

Melihat sikap nyonya majikannya ini, Cui-ma terkejut dan merasa heran. Tempat itu biasanya sunyi dan selama ini keamanan mereka tidak pernah terganggu orang maupun binatang. Kenapa sekarang nyonya majikannya kelihatan begitu gelisah dan menutupi daun pintu dan jendela seperti orang ketakutan? Padahal, andaikata ada bahaya mengancam sekalipun, apa yang perlu ditakutkan? Bukankah nyonya majikannya memiliki kepandaian yang lihai?

“Toanio, apakah yang telah terjadi? Siapa yang mengancam keselamatan kita?”

“Panglima dari Bhutan.... kalau tidak salah, Mohinta namanya, putera panglima tertinggi di Bhutan. Beberapa hari yang lalu aku melihat dia, dan dia bersama orang-orangnya berusaha untuk menangkap aku, melihat gelagatnya dia agaknya bertekad untuk membunuhku. Kita harus siap menghadapi mereka, Cui-ma.”

“Mengapa, Toanio? Siapa mereka dan mengapa?”

“Mereka orang-orang Bhutan yang telah menjebak puteraku, mengikat puteraku dan agaknya mereka itu diperintah oleh raja mereka untuk membunuh aku karena aku dianggap menghalangi rencana mereka mengikat anakku Tek Hoat....“

Dengan cemas karena maklum bahwa dia menghadapi orang-orang yang sudah merencanakan kematiannya, mulai hari itu Ang Siok Bi dibantu oleh Cui-ma lalu mengatur persiapan untuk menghadapi musuh-musuh itu.

Ang Siok Bi adalah seorang wanita yang berani dan berhati baja, maka biarpun dia sering kali kelihatan gelisah, namun dia membuat persiapan yang teliti, bahkan di balik daun pintu dan jendelanya dia pasangi alat-alat rahasia yang akan secara otomatis menggerakkan jarum-jarum hitam yang dipasangnya menyerang siapa saja yang membuka pintu atau jendela dari luar dengan paksa!

Tiga hari tiga malam Ang Siok Bi berjaga-jaga, tidak berani tidur, jarang makan dan tidak pernah berganti pakaian sejak dia pulang. Cui-ma menjadi khawatir sekali melihat keadaan nyonya majikannya itu.

Pada malam yang ke dua rumah itu telah diserbu orang ketika mereka tertidur saking lelahnya. Terdengar suara gedebugan dan ketika mereka memeriksa pada keesokan harinya, jelas nampak bekas kaki orang di luar pintu, daun pintu terbuka dan ada darah berceceran di situ. Jelas bahwa anak panah yang dipasang pada belakang daun pintu telah mengenai korbannya, yaitu orang-orang yang membuka pintu itu semalam. Sejak itu, Siok Bi dan Cui-ma tidak lagi berani tidur!

“Cui-ma, dengar baik-baik. Tidak boleh kita berdua mati di sini. Kalau kita berdua berjaga di sini sampai akhirnya musuh dapat menerjang masuk dan kita berdua mati, tentu anakku tidak akan tahu apa yang telah terjadi dengan ibunya. Kau harus pergi dari sini!”

“Ah, lebih baik kita pergi berdua saja, Toanio. Mengapa kita harus menanti datangnya musuh di sini? Marilah kita pergi dan bersembunyi di lain tempat.”

Ang Siok Bi menggeleng kepala.
“Percuma, mereka sudah membayangi dan mengejarku sejak dari Bhutan. Hendak bersembunyi ke mana? Tentu akhirnya akan mereka dapatkan juga. Dan kalau aku mati di tangan mereka, aku ingin mati di rumahku sendiri dan dapat melakukan perlawanan sebaiknya, daripada mati di tempat asing. Kau pergilah, Cui-ma.“

“Tidak, Toanio. Kalau Toanio tidak mau pergi, biar aku mati bersamamu di sini.”

“Jangan banyak membantah!” Siok Bi membentak marah. “Aku sudah cukup mengenal kesetiaanmu. Aku menyuruh kau pergi bukan karena sayang nyawamu atau tidak percaya kepada kesetiaanmu. Justeru kalau engkau setia, engkau harus pergi, harus hidup dan kelak kau ceritakan kepada Ang Tek Hoat anakku bagaimana ibunya mati dan oleh siapa. Mengertikah engkau? Katakan bahwa yang membayangi ibunya adalah Mohinta dan anak buahnya, orang-orang dari Bhutan. Mengerti?”

Sambil menangis akhirnya Cui-ma mentaati perintah majikannya dan sore hari itu pergilah dia meninggalkan rumah sewaktu menjelang senja dan cuaca sudah mulai gelap. Ang Siok Bi berjaga-jaga seorang diri di dalam kamarnya, matanya menatap ke arah pintu dan jendela kamarnya secara bergantian.






Di balik pintu telah dia pasangi anak panah dan kalau pintu itu terbuka dari luar, tentu anak panah akan menyambar ke luar. Sedangkan di jendela kamarnya dia pasangi jarum-jarum hitamnya yang juga akan menyambar keluar apabila daun jendela dibuka dengan paksa dari luar. Dia sendiri rebah terlentang melepaskan lelah dengan pedang terhunus di atas mejanya.

Malam itu sunyi sekali. Rasa kantuk hampir tak tertahankan lagi, namun Ang Siok Bi mempertahankan rasa kantuk itu dengan mencoret-coret pada kayu pembaringannya, menggunakan jarum hitamnya menuliskan huruf-huruf kecil di kayu itu dengan cara menggores-goreskannya.

“Tiga malam aku tidak tidur, menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di sini, engkau akan mampus....”

Tiba-tiba dia menghentikan goresan jarumnya karena dia mendengar sesuatu di luar kamarnya. Siok Bi cepat meloncat turun dan dengan pedang di tangan, matanya memandang tajam ke arah jendela dan pintu, juga dia melirik ke atas, kalau-kalau ada musuh yang datang masuk melalui genteng.

Akan tetapi suara itu lenyap dan selanjutnya tidak ada gerakan apa-apa lagi. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi lalu dia tenang kembali. Tentu hanya tikus, pikirnya dan dia merebahkan diri lagi di atas pembaringan, meletakkan pedang di dekat pembaringan, di atas meja sehingga sewaktu-waktu dia dapat menyambarnya. Gangguan suara yang mencurigakan itu menambah semangat dan mengusir rasa kantuknya yang tadi hampir tidak dapat ditahankannya lagi itu.

Dia membayangkan puteranya dan tak terasa air matanya berlinang. Harapan satu-satunya hanya kepada puteranya. Dia telah menderita tekanan batin belasan tahun lamanya. Dia merasa sakit hati semenjak ada orang memperkosanya, orang yang disangkanya semula adalah pendekar sakti Gak Bun Beng akan tetapi yang ternyata bukan pria yang pernah menjatuhkan hatinya itu, melainkan Wan Keng In, putera dari Lulu yang kini menjadi isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es.

Dan Tek Hoat, puteranya yang diharap-harapkan akan dapat menebus penghinaan dan membalaskan sakit hatinya itu, ternyata telah mengecewakan! Bahkan kini dia dikejar-kejar oleh rombongan orang-orang Bhutan yang dipimpin oleh panglima Mohinta itu!

Jangan-jangan rombongan itu disuruh pula oleh puteranya! Mungkinkah itu? Dia menggigit bibir dan teringatlah dia akan dongeng kuno tentang seorang janda yang puteranya setelah menjadi seorang besar lalu melupakan ibunya. Bukan hanya melupakan ibunya yang miskin, bahkan karena tidak ingin orang mengetahui bahwa wanita janda miskin itu adalah ibunya, si anak yang telah menjadi orang besar itu menyuruh membunuh ibunya sendiri!

Akan demikian pulakah nasibnya? Sedemikian jahat dan durhakakah puteranya? Membayangkan kemungkinan yang dibantahnya sendiri ini, Ang Siok Bi tidak dapat menahan lagi tangisnya dan air matanya bercucuran.

Akan tetapi, dia merasa mengantuk sekali. Rasa kantuk yang tidak dapat ditahannya lagi dan karena menangis tadi, maka dia menjadi lengah, tidak melihat betapa ada asap halus memasuki kamarnya dari lubang di dekat pintu!

Setelah asap itu mengenai mukanya, timbullah rasa kantuk yang amat hebat, yang tidak dicurigainya karena selama tiga hari tiga malam boleh dibilang dia tidak berani memejamkan mata. Dan sekarang, bersedih karena membayangkan kemungkinan puteranya akan berbuat keji dan durhaka terhadap dirinya, Siok Bi menjadi lemah dan bersikap masa bodoh, maka dia pun tidak melawan rasa kantuk itu dan akhirnya tertidurlah wanita ini dengan nyenyaknya.

Tak lama kemudian ada suara gerakan di atas kamar itu. Genteng dibuka dan sesosok bayangan melayang masuk. Ketika bayangan itu melihat betapa Siok Bi telah tidur, dia tertawa di balik saputangan yang dipergunakan sebagai kedok menutupi mulut dan hidungnya, kemudian dia mengeluarkan suara suitan perlahan. Dari atas genteng melayang turun lagi seorang yang juga memakai kedok saputangan dan orang ini mengangguk-angguk.

“Dia sudah pulas, Tuan Muda Mohinta,” kata orang pertama dalam bahasa Bhutan.

Laki-laki ke dua yang ternyata adalah Mohinta itu, mencabut pedangnya dan dengan tenang saja dia menggerakkan tangannya. Pedang meluncur dan menusuk dada Ang Siok Bi, tepat mengenai ulu hatinya dan menembus sampai ke punggung!

Cepat Mohinta mencabut pedang itu dan tubuh Ang Siok Bi berkelojotan, darah muncrat-muncrat dari dada dan punggungnya, lalu dia terdiam dan tewas tanpa dapat bersuara lagi, hanya matanya yang terbelalak memandang kepada dua orang yang membunuhnya secara curang itu.

Dua orang laki-laki itu lalu meloncat keluar melalui genteng, di mana terdapat beberapa orang teman mereka dan pergilah mereka menghilang ditelan kegelapan malam. Tidak ada seorang pun yang menyaksikan pembunuhan keji itu.

Demikianlah peristiwa pembunuhan atas diri Ang Siok Bi dan ketika Ang Tek Hoat muncul di dalam pondok ibunya, dia hanya mendapatkan kerangka ibunya, coretan tulisan di atas kayu pembaringan, dan pedang ibunya, tanpa dapat mengerti siapa yang telah membunuh ibunya.

Tentu saja cerita yang disampaikan oleh Cui-ma kepada Suma Kian Bu tidak lengkap, dan dia hanya bercerita tentang Ang Siok Bi sampai dia disuruh pergi oleh majikannya di waktu senja itu, kemudian dia menangis lagi sesenggukan.

“Lalu bagaimana, Cui-ma? Bagaimana dengan.... Ibuku?”

Suma Kian Bu mendesah, masih terus bersandiwara melayani si gila itu yang menyangka dia adalah Ang Tek Hoat putera dari Ang Siok Bi.

“Karena tidak berani membantah, sore hari itu aku meninggalkan rumah, akan tetapi aku tidak pergi jauh dan pada keesokan harinya, aku kembali ke pondok. Aku tidak berani membuka pintu atau jendela yang dipasangi senjata rahasia, maka aku mengintai dan aku melihat nyonya majikan.... Ibumu itu hu....huuukkk.... dia telah tewas....“

Kian Bu terkejut juga, terkejut dan marah walaupun dia tahu bahwa yang diceritakan itu bukanlah ibunya sendiri.

“Celaka!” serunya sambil mengepal tinju. “Siapa yang membunuhnya, Cui-ma? Siapa?”

“Tadinya aku pun tidak tahu siapa.... hu-hukkk.... akan tetapi tiba-tiba mereka itu muncul dan menangkapku.

“Mereka siapa?”

“Orang-orang Bhutan itu, yang dipimpin oleh Mohinta, seperti diceritakan Toanio kepadaku. Mereka menangkapku, membawaku dengan paksa ke sungai dan melemparkan aku ke pusaran air maut di Huang-ho....“

“Pusaran maut?”

“Ya, aku tidak berdaya. Aku dilempar di air dan pusaran air menyedot dan menarikku. Aku tidak tahu apa-apa lagi dan ketika aku sadar, ternyata aku telah berada di sini....di tepi sungai yang memasuki terowongan itu.“ Kembali dia menangis.

Suma Kian Bu tertegun dan terheran-heran. Kiranya di samping hwesio yang tergelincir ke dalam jurang dan menemukan tempat ini secara aneh, juga dia yang dapat turun dibantu oleh gadis yang memiliki burung garuda, ada seorang lain yang dapat tiba di sini secara lebih aneh lagi, yaitu Cui-ma ini. Melalui pusaran air dan sungai yang memasuki terowongan! Kemudian dia teringat akan keperluannya sendiri. Mungkin Cui-ma ini mengetahui tentang jamur panca warna!

“Cui-ma, setelah mendengarkan ceritamu, maukah engkau menolongku?”

“Tentu saja, Kongcu. Akan tetapi engkau harus membalaskan kematian Ibumu.”

“Sudah pasti akan kulakukan itu, Cui-ma. Sekarang katakanlah, apa engkau tahu di mana adanya jamur panca warna yang berada di dalam satu di antara gua-gua ini?” tanya Kian Bu sambil memandang wanita itu penuh harapan.

“Jamur panca warna....?”

Wanita itu memandang kepada Kian Bu dengan sinar mata tidak seliar tadi. Agaknya pertemuannya dengan pemuda yang disangka putera majikannya itu, dan cerita yang dituturkan sambil menangis, telah banyak mengurangi tekanan batinnya.

“Ya, jamur panca warna untuk obat.” Kemudian Kian Bu teringat bahwa mungkin Cui-ma tidak mengenal nama jamur itu. “Jamur itu kalau siang biasa saja, akan tetapi kalau malam mengeluarkan sinar lima macam seperti pelangi dan berada di dalam satu di antara gua-gua itu.”

Tiba-tiba Cui-ma nampak ketakutan dan bergidik seperti melihat sesuatu yang mengerikan. Dia memandang ke kiri, ke arah sebuah gua besar dan berkata,

“Kau.... kau maksudkan.... ihhhhh.... mata-mata iblis itu, mata setan yang kalau malam mengejar-ngejarku.... hiiihhhhh, sungguh mengerikan, di gua tengkorak itu penuh tengkorak bayi dan anak kecil, di situ terdapat pula mata iblis yang hidup kalau malam aku takut, Kongcu, aku takut....!”

Wanita yang mengalami banyak tekanan dan penderitaan batin itu menjerit dan melompat hendak lari. Akan tetapi Kian Bu lebih cepat lagi dan sudah memegang lengannya.

“Tenanglah, Cui-ma, tidak ada apa-apa dan jangan takut. Ada aku di sini. Yang kau maksudkan dengan gua tengkorak itu yang mana? Yang besar itu? Yang di depannya ada tumpukan tiga buah batu besar itu?” Dia menuding ke arah kiri di mana terdapat sebuah gua yang agak besar.

Wanita itu menoleh dan memandang ke arah gua itu dan matanya makin terbelalak berputaran. Gilanya kumat lagi.

“Benar.... benar.... aku takut.... takuttt....!” Dan dia menangis terisak-isak dalam pelukan Kian Bu yang merasa kasihan sekali kepada wanita ini.

“Hemmm, katanya mencari jamur, kiranya hanya mencari perempuan untuk dicumbu-rayu. Huh, dasar laki-laki cabul!”

Kian Bu terkejut bukan main. Dia menoleh dan kiranya dara cantik jelita itu telah berdiri di atas batu dan burung garudanya hinggap di pohon yang tumbuh tinggi di dinding tebing. Tentu saja sukar mendengarkan suara halus dari gerakan sayap yang menahan peluncuran mereka tadi dan tahu-tahu gadis itu telah berada di situ, mengeluarkan kata-kata yang mengejek dan dengan pandang mata yang marah dan mengandung hinaan pula.

“Ah, jangan sembarangan bicara!” bentaknya marah, akan tetapi tentu saja dengan perasaan tidak enak dia melepaskan pelukannya yang tadi dilakukan untuk mencegah Cui-ma lari dan membiarkan wanita itu menangis.

Tiba-tiba Cui-ma menjerit nyaring sekali.
“Siluman.... datang hendak mencabut nyawaku.!”

Dia menoleh ke arah dara itu, lalu melarikan diri dengan cepat berloncatan ke atas batu-batu yang besar-besar dan berserakan di tempat itu.

“Cui-ma....!”

Kian Bu berteriak mengejar. Akan tetapi seperti orang nekat Cui-ma telah lari cepat berloncatan membabi-buta. Tiba-tiba dia tergelincir dan terbanting jatuh ke depan. Terdengar suara “prakkk” dan tubuhnya terguling, tidak bergerak lagi.

“Cui-ma....!”

Kian Bu melompat dan cepat berlutut di atas batu di mana Cui-ma roboh tadi. Dia memeriksa dan menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah dara cantik yang masih berdiri itu.

“Dia telah mati.“ katanya seperti orang mengeluh.

“Mati.?”

Gadis itu cepat berlari menghampiri dan terbelalak memandang wanita setengah tua yang kini kepalanya pecah berlumuran darah. Kiranya ketika terjatuh tadi, kepalanya menimpa batu keras dan pecah sehingga dia tewas seketika! Dan baru sekarang Hwee Li mendapat kenyataan bahwa wanita yang dipeluk oleh Kian Bu tadi ternyata adalah seorang wanita setengah tua yang mukanya kotor menjijikkan dan yang agaknya adalah seorang wanita yang tidak waras otaknya.

“Dia siapa? Kenapa?” tanyanya sambil memandang kepada Kian Bu.

Akan tetapi Kian Bu masih merasa marah, sedih dan kecewa melihat nasib Cui-ma sehingga dia tidak menjawab pertanyaan gadis itu, malah tidak mempedulikannya lagi dan dia memondong mayat Cui-ma, dibawanya ke tempat yang ada tanahnya. Dia menggali lubang tanpa bicara sepatah kata pun, kemudian mengubur mayat Cui-ma di situ, di depan sebuah gua. Akhirnya dia membersihkan kedua tangannya sambil menghela napas.

“Suma Kian Bu, kau menganggap dirimu ini siapa sih? Sikapmu begitu sombong!”

Hwee Li yang sejak tadi diam saja dan menonton semua yang dilakukan Kian Bu sambil duduk di atas batu besar, kini menegur dengan wajah cemberut karena dia merasa sama sekali tidak diacuhkan oleh pemuda itu.

Kian Bu menengok dengan alis berkerut.
“Engkau telah membuat dia ketakutan dan menjadi sebab kematiannya, dan kau sama sekali tidak menyesal?”

“Eh, eh! Siluman Kecil, ngawur saja bicaramu! Bagaimana duduk perkaranya maka kau katakan bahwa aku menjadi sebab kematiannya?” Hwee Li berseru sambil bangkit berdiri dan bertolak pinggang, wajahnya merah karena marahnya.

Hemmm, pemarah benar gadis ini, pikir Kian Bu. Akan tetapi dia tidak mau kalah karena memang dia merasa kasihan sekali kepada Cui-ma dan mendongkol melihat kedatangan gadis itu yang mengejutkan Cui-ma.

“Kau telah mengejutkan dia, mengira engkau siluman maka dia lari lalu terjatuh. Apa kau tidak melihat itu?”

“Huh, kalau dia menganggap aku siluman, apakah itu kesalahanku? Kalau dia takut melihat aku lalu lari seperti gila, apakah itu juga kesalahanku? Kalau kau yang dekat dengan dia tidak mampu mencegah dia lari, apakah itu pun kesalahanku? Kalau memang wajahku jelek sekali seperti siluman sehingga membikin dia takut, apakah itu juga kesalahanku?”

Diberondong oleh ucapan yang nadanya menantang dan mengejek, namun tak dapat dibantah kebenarannya itu membuat Kian Bu merasa tidak enak dan serba salah. Memang kalau dipikir benar-benar, tentu saja munculnya gadis itu tidak salah dan tidak sengaja hendak mengagetkan Cui-ma.

“Kau tidak berwajah jelek.“ saking bingungnya dia membantah kalimat terakhir itu.

“Sudah jelas dia menyangka aku siluman sehingga dia ketakutan! Wajahku jelek seperti siluman, dan apa dayaku?”

Kalau dia diserang dengan kata yang mengandung kemarahan, agaknya Kian Bu akan dapat membalas karena dia pun terhitung seorang yang pandai bicara, bahkan dulu sebelum dia menjadi Siluman Kecil, dia adalah seorang pemuda yang lincah jenaka dan pandai menggoda orang lain dengan kata-kata, akan tetapi kini melihat dara itu memburuk-burukkan diri sendiri, dia menjadi makin tidak enak.

“Tidak, tidak...., sebaliknya malah, kau cantik sekali.“

“Huh, sudah keluar pula sifat cabulnya!” Hwee Li mengejek.

Kian Bu makin bingung. Celaka, gadis ini benar-benar membikin orang menjadi kewalahan dan mendongkol sekali!

“Maksudku, kau tidak jelek dan karena cantik itu agaknya dia menyangka kau siluman. Tentu saja bukan salahmu, akan tetapi, ah, aku kasihan sekali padanya. Nasibnya demikian Buruk sampai matinya.“ Dan pemuda itu memandang ke arah gundukan tanah campur batu yang menjadi kuburan Cui-ma itu.

Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari pemuda itu, Hwee Li juga mereda rasa penasarannya dan dia bertanya sambil memandang ke arah kuburan itu,

“Siapakah dia itu?”

“Namanya Cui-ma, dia pelayan dari Ang Siok Bi yang telah menjadi gila karena tekanan batin yang hebat dan dia sampai di sini karena dilempar ke Sungai Huang-ho dan hanyut oleh pusaran air.”

“Ihhh....! Siapa yang melakukannya dan kenapa? Siapa pula itu Ang Siok Bi?

“Dia adalah ibu Ang Tek Hoat.”

“Tek Hoat....? Tek Hoat? Serasa pernah aku mendengar nama itu!” Hwee Li mengerutkan alisnya sambil mengingat-ingat.

“Mungkin saja. Dia pernah terlibat dalam urusan pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong. Dia terkenal dengan julukannya si Jari Maut, Ang Tek Hoat.”

“Ahhh....! Benar! Wah, dia terkenal sekali dan orang itu amat menarik. Kau bilang bahwa wanita tadi adalah pelayan ibu si Jari Maut?”

Melihat betapa Hwee Li amat tertarik, maka dengan singkat Kian Bu lalu menuturkan tentang pertemuannya dengan Cui-ma dan tentang cerita Cui-ma bahwa ibu dari Tek Hoat telah dibunuh oleh orang-orang Bhutan yang dipimpin oleh orang yang bernama Mohinta, seorang panglima dari Bhutan yang lihai. Hwee Li mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia kembali memandang ke arah kuburan itu.

“Maafkan aku, tadinya kusangka.“

“Kau sangka apa?”

“Dari atas kulihat engkau memeluk seorang wanita, kelihatan kalian seperti sedang bercinta-cintaan dan bermesra-mesraan.”

Kian Bu sudah mendapatkan kembali sifatnya yang nakal dan suka menggoda orang.
“Andaikata benar demikian, mengapa?”

Kedua pipi itu berubah merah dan matanya bersinar marah.
“Aku sih tidak peduli! Akan tetapi karena kau bilang hendak mencarikan obat untuk Suma Kian Lee, dan melihat kau bermain gila, maka aku sudah menegurmu.”

“Obat? Ah, benar! Agaknya aku sudah menemukan tempatnya, berkat petunjuk dari Cui-ma,” berkata demikian, Kian Bu lalu melangkah menuju ke gua yang ditunjuk oleh Cui-ma tadi.

Hwee Li cepat mengikutinya dan mereka berdiri di depan gua besar yang agak gelap karena sinar matahari tidak dapat langsung masuk ke dalamnya. Akan tetapi lambat-laun mata mereka sudah menjadi biasa dan ketika mereka memasuki gua, kelihatanlah oleh mereka banyak sekali kerangka kecil di situ.

“Hemmm, Cui-ma bilang bahwa gua ini penuh tengkorak bayi dan anak kecil. Agaknya inilah gua tengkorak itu....“ kata Kian Bu sambil memandang tengkorak dan tulang-tulang berserakan.

“Tidak ada tengkorak bayi atau anak kecil. Ini adalah tengkorak dan kerangka binatang, semacam monyet, hanya mukanya seperti anjing. Hemmm, tidak salah lagi, ini adalah kerangka binatang baboon yang tubuhnya monyet dan mukanya anjing. Ini agaknya menjadi kuburan mereka.”

“Dan Cui-ma bilang di sini terdapat mata iblis.“ kata pula Kian Bu.

Mereka masuk terus ke dalam gua yang agak panjang itu. Tiba-tiba Hwee Li berseru,
“Ihhhhh....” dan otomatis tangannya memegang tangan Kian Bu.

Pemuda ini pun terkejut sehingga dia pun membalas pegangan tangan itu. Mereka saling berpegang tangan dan jantung mereka berdebar tegang. Jauh di sebelah dalam, di tempat gelap, nampak banyak mata yang mencorong dan bersinar-sinar memandang ke arah mereka! Bukan mata manusia, bukan pula mata binatang, dan agaknya itulah mata iblis yang ditakuti oleh Cui-ma.

Tiba-tiba Hwee Li tertawa dan melepaskan tangannya.
“Ah, memang benda yang berkilau dan mengeluarkan sinar, akan tetapi lihat, sinarnya tidak pernah bergerak. Bukan mata, melainkan benda-benda bersinar.”

“Benar engkau, Nona. Dan agaknya inilah yang kucari. Lihat, bukankah sinarnya berubah-ubah dan seperti warna pelangi? Inilah jamur panca warna itu! Menurut penuturan Sai-cu Kai-ong, jamur itu hanya mengeluarkan sinar di tempat gelap, kalau di tempat terang tidak bersinar.”

Kian Bu mendekat, berjongkok dan menggunakan tangannya mencabuti jamur-jamur itu. Jamur-jamur itu masih bersinar-sinar di tangannya ketika dia bawa keluar, akan tetapi setibanya di luar, jamur-jamur itu kehilangan sinarnya dan berubah sebagai jamur biasa saja!

“Inilah obatnya, tidak salah lagi!” Kian Bu berseru dan menoleh ke arah kuburan Cui-ma sambil berkata, “Terima kasih, Cui-ma, engkau telah menyelamatkan kakakku.”