FB

FB


Ads

Kamis, 14 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 046

“Sungguh aneh! Engkau Siluman Kecil dan kakakmu Suma Kian Lee. Lalu siapa namamu sebenarnya?

“Namaku Suma Kian Bu.... “

“Ahhh....!”

Gadis itu berseru demikian keras sehingga burungnya terkejut dan agak miring. Hwee Li cepat menepuk-nepuk punggungnya menenangkan.

“Jadi engkau dan kakakmu itu putera-putera Pulau Es?”

Kian Bu kini yang terkejut. Bagaimana gadis ini dapat mengenal kakaknya dan tahu pula bahwa dia dan kakaknya itu dari Pulau Es? Akan tetapi karena dia mengharapkan bantuan gadis itu, dia tidak mau banyak bertanya lebih dulu.

“Benar, Nona.”

“Pantas engkau begini lihai!”

“Hemmm....”

”Dan pantas saja engkau agaknya sudah biasa menunggang garuda.”

“Memang kami juga mempunyai rajawali di sana....“

Hwee Li mengangguk.
“Aku tahu....”

Hening sejenak dan terdengar oleh Kian Bu gadis itu bicara kepada diri sendiri, lirih, “Kiranya dari Pulau Es....” Tak lama kemudian gadis itu berkata lagi, “Aku tahu bahwa Suma Kian Lee juga amat lihai seperti engkau, bagaimana dia sampai dapat menderita luka parah?”

Kian Bu hampir tidak dapat menjawab pertanyaan itu karena dia sekarang makin gelisah duduknya. Sejak tadi jantungnya sudah berdebar keras tidak karuan dan makin lama makin hebat gelora di dalam hatinya. Dia duduk begitu rapat sehingga tubuh depannya menempel ketat pada tubuh belakang gadis itu!

Dan kehangatan tubuh itu sampai terasa olehnya kelunakan dan kehalusan kulit di balik pakaian itu, tercium olehnya bau keringat, bau badan yang khas, dan mulailah dia membayangkan yang bukan-bukan. Teringatlah dia ketika dia mengalami permainan cinta yang amat mesra dan hebat ketika dia untuk beberapa lamanya dahulu terpikat oleh seorang wanita cantik yang berwatak cabul, yaitu Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, si Siluman Kucing.

Membayangkan semua pengalamannya dengan Lauw Hong Kui yang lalu, sedangkan di depannya duduk seorang dara yang malah jauh lebih cantik menarik daripada Lauw Hong Kui, lebih muda, lebih menggairahkan, maka seketika naiklah darah ke kepala Kian Bu dan sejenak menggelapkan mata batinnya.

Dia memejamkan mata akan tetapi makin terbayanglah adegan-adegan mesra antara dia dan Lauw Hong Kui ketika bermain cinta, dan wajah Hong Kui itu berubah menjadi wajah dara yang duduk di depannya! Dia berusaha untuk menekan perasaan ini dan mengusir bayangan-bayangan itu, maka terjadilah perang hebat di dalam hati dan pikirannya pada saat itu.

Tidak salah lagi, timbulnya segala macam nafsu keinginan, termasuk nafsu birahi adalah dari ingatan yang bertumpuk di dalam pikiran. Biarpun kita duduk dikelilingi oleh puluhan orang wanita cantik manis, kalau kita menghadapi mereka dengan wajar dan dengan pikiran bebas, tidak akan terjadi sesuatu dalam batin kita.

Akan tetapi, begitu pikiran mengusik dan mengingat pengalaman-pengalaman yang lalu, baik pengalaman itu kita alami sendiri dengan wanita maupun pengalaman orang lain yang kita dengar atau baca, terbayanglah adegan-adegan mesra antara kita dengan wanita atau laki-laki lain dengan wanita. Dan kalau sudah begitu, timbullah keinginan untuk menikmati kesenangan itu, bangkitlah nafsu berahi, timbul nafsu untuk memiliki.

Seorang pertapa yang duduk samadhi seorang diri di puncak gunung, biarpun dalam jarak ratusan li jauhnya tidak ada wanita, namun kalau pikirannya membayangkan permainan cinta yang pernah dialaminya atau dialami orang lain dengan wanita, akan timbul pula nafsu berahinya.

Demikian pula dengan Suma Kian Bu. Selama lima tahun lebih ini dia tidak pernah mengalami hal seperti saat itu. Ketika dia duduk di atas punggung burung garuda bersama Hwee Li, duduk demikian dekatnya dan merapat ketat karena punggung itu miring sehingga tubuh depannya menempel rapat ke tubuh belakang Hwee Li, mula-mula tidak terjadi apa-apa.

Akan tetapi, setelah dia membayangkan adegan-adegan mesra yang pernah dialaminya bersama Lauw Hong Kui, maka mulailah terasa olehnya betapa dia seakan-akan sedang memeluk dara cantik jelita di depannya itu, memeluk dari belakang sehingga terasa dan tercium segala-galanya, kelembutannya, kepadatan tubuhnya, kehalusannya, kesedapannya, dan bangkitlah berahinya!

Karena sampai, lama tidak memperoleh jawaban, Hwee Li menoleh dan bertanya,
“Heiii, katakanlah, siapa yang melukai Suma Kian Lee?”






Ketika Hwee Li menoleh, muka mereka begitu berdekatan dan napas hangat dara itu menghembus di pipinya, membuat Kian Bu hampir tak kuat bertahan pula dan berahinya makin berkobar.

“Ihhhhh....!”

Tiba-tiba Hwee Li berseru dengan kaget dan geli dan pada saat itu Kian Bu menjawab gugup karena dia maklum mengapa dara itu menjerit.

“Akulah yang memukulnya....”

“Ahhhhh....!”

Kembali Hwee Li berseru kaget dan sekali ini seruannya adalah karena dua hal, pertama karena dia merasakan keadaan pemuda itu yang sedang diamuk berahi dan kedua kalinya mendengar bahwa pemuda itu yang memukul dan melukai Suma Kian Lee. Berbareng dengan seruannya itu, tangannya bergerak dan dua ekor kepala ular mematuk dari kanan kiri ke arah leher dan dahi Kian Bu.

“Heiii....!” Kian Bu berteriak keras dan cepat dua tangannya menangkis dengan pengerahan tenaga.

“Plak! Plak! Bukkkkk....!”

Dua ekor ular itu ditangkis remuk kepalanya, akan tetapi tangan Hwee Li telah mendorong dadanya sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kian Bu terguling jatuh dari atas punggung garuda!

Untung bagi Kian Bu bahwa pada saat itu, mereka telah tiba di atas dasar tebing itu, tidak begitu tinggi lagi sehingga ketika dia terguling, dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan meloncat ke arah sebatang pohon yang tumbuh di bawah itu dan menyambar cabang pohon sehingga dia dapat mendarat dengan selamat.

Cepat dia lalu meloncat turun ke atas tanah dan peristiwa berbahaya itu sekaligus mengusir semua bayangan yang tadi membuat dia kehilangan kesadaran dan diamuk oleh nafsu berahi. Mukanya menjadi merah sekali ketika dia teringat dan dia melihat kini burung garuda yang ditunggangi oleh Hwee Li itu terbang berputaran di atas kepalanya.

“Kau laki-laki cabul! Kau laki-laki kurang ajar, tidak tahu kesusilaan dan kau laki-laki porno!” terdengar Hwe Li memaki-maki sambil menjenguk dari atas punggung garudanya, suaranya penuh dengan kemarahan. “Dan engkau juga laki-laki kejam dan durhaka, memukul kakak sendiri!”

Kian Bu merasa malu bukan main mengingat apa yang terjadi di atas punggung garuda tadi. Tentu saja dara itu menjadi kaget kemudian menjadi geli dan jijik! Tentu saja dara itu merasa dan tahu bahwa dia diamuk berahi karena tubuh mereka begitu rapat seolah-olah dara itu tadi setengah dipangkunya!

“Nona.... kau maafkanlah aku....“

Dia berkata dengan pengerahan khikang sehingga suaranya pasti dapat terdengar dari atas punggung garuda yang terbang berputaran di atas kepalanya beberapa tombak tingginya itu.

“Engkau.... engkau begitu cantik dan kita duduk begitu berdekatan dan aku.... aku hanya orang lemah....“ Kian Bu menunduk, kemudian berkata lagi, “Aku menyesal sekali, Nona. Percayalah!”

Pemuda ini memang benar-benar merasa malu dan amat menyesal mengapa dia tadi membiarkan saja pikirannya melamun dan mengingat-ingat hal yang dapat membangkitkan berahinya.

Dia tidak tahu betapa di atas punggung garuda, Hwee Li yang marah-marah itu menjadi merah mukanya karena jengah atau malu teringat akan keadaan pemuda itu tadi yang duduk mepet di belakangnya sehingga pinggulnya dapat merasakan kebangkitan berahi pada pemuda itu.

Mendengar ucapan Kian Bu, diam-diam Hwee Li memuji kejujuran pemuda itu dan dia memang sudah memaafkannya karena bukankah sesungguhnya pemuda itu tidak melakukan sesuatu terhadap dirinya? Kalau pemuda itu sudah menggerakkan tangan untuk merabanya misalnya, barulah hal itu dapat dianggap sebagai suatu kekurangajaran.

Yang membuat dia penasaran adalah ketika mendengar betapa Siluman Kecil itu memukul dan melukai Suma Kian Lee. Berahi yang timbul pada diri Siluman Kecil tadi bahkan membuktikan bahwa dia memang mempunyai kecantikan dan daya tarik istimewa sehingga seorang tokoh besar seperti Siluman Kecil, yang dia melihat sendiri menolak cinta kasih seorang gadis cantik jelita seperti Cui Lan, ternyata timbul berahinya terhadap dia!

“Aku tidak mau bicara tentang itu!” bentak Hwee Li dari atas dan dia membiarkan garudanya terus beterbangan perlahan mengelilingi pemuda itu. “Akan tetapi engkau telah memukul Suma Kian Lee, padahal, dia kakakmu sendiri!”

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, lima enam tahun yang lalu, Kim Hwee Li pernah bertemu dengan Suma Kian Lee ketika pemuda ini terluka pahanya oleh senjata rahasia peledak yang dilepas oleh Mauw Siauw Mo-li dan Kim Hwee Li yang ketika itu baru berusia sebelas dua belas tahun, telah menolong pemuda itu, menyembunyikannya dan mengobatinya.

Melihat Suma Kian Lee yang tampan dan gagah, di dalam hati gadis kecil yang ketika itu baru menjelang dewasa, telah terdapat perasaan kagum dan memuja, dan Kian Lee merupakan pemuda atau pria pertama yang pernah menggoncangkan perasaan wanitanya. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa Kian Lee terluka parah dan yang memukulnya adalah pemuda yang mengaku adiknya itu sendiri, tentu saja dia menjadi marah bukan main. Apalagi, ketika menangkis serangan ular-ularnya tadi, Siluman Kecil telah memukul mati kedua ularnya!

Kian Bu mengerti bahwa hanya dengan bantuan gadis itu dia dapat mencapai dasar tebing, dan juga tanpa bantuan gadis dengan garudanya itu, agaknya akan sukar bahkan tidak mungkin baginya untuk mendaki tebing yang amat tinggi itu. Dia tidak takut menghadapi ancaman bahaya terkurung di situ, akan tetapi kalau tidak dibantu, tentu dia akan terlambat sekali membawa obat untuk kakaknya.

Maka dia mengambil keputusan untuk mengaku terus terang kepada gadis yang aneh itu. Siapa tahu gadis yang aneh itu mempunyai watak gagah yang dapat mempertimbangkan keadaan dengan adil. Buktinya gadis itu pun telah menghabiskan saja urusan yang timbul karena bangkitnya nafsu berahinya tadi, dan hal ini saja sudah menunjukkan bahwa gadis itu mempunyai kebijaksanaan dan kegagahan.

“Nona dengarlah baik-baik. Kakakku itu kena pukulanku karena kami berdua berkelahi dalam keadaan saling menyamar. Aku menyamar sebagai kakek-kakek dan dia menyamar sebagai seorang jagoan Gubernur Ho-nan sehingga kami tidak saling kenal dan saling serang. Setelah dia roboh dan penyamarannya terbuka, barulah kami saling mengenal. Melihat dia terluka parah, aku pergi ke sini untuk mencarikan obat penyembuhnya. Nah, terserah apakah engkau mau percaya atau tidak. Aku hendak mencari obat itu sekarang juga.”

Dia lalu membalikkan tubuhnya dan tidak lagi mempedulikan nona itu, melainkan meneliti keadaan di situ untuk mencari anak sungai seperti yang telah digambarkan oleh Sai-cu Kai-ong kepadanya. Biarpun dia maklum bahwa dia membutuhkan bantuan nona itu dan burung garudanya untuk dapat menyampaikan obat, kalau sudah ditemukannya, kepada kakaknya, namun bukanlah watak Suma Kian Bu untuk mengemis-ngemis bantuan orang. Maka dia pun tidak merasa kecewa ketika melihat burung itu terbang naik meninggalkan dirinya, dan dia melanjutkan penyelidikannya.

Akhirnya ditemukanlah anak sungai tidak jauh dari situ dan tepat seperti yang digambarkan oleh kakek itu dari hwesio yang secara kebetulan menemukan tempat itu, dan Kian Bu cepat mengikuti aliran sungai kecil itu sampai anak sungai itu memasuki sebuah gua yang gelap.

Tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu turun ke air sungai yang dalamnya hanya selutut itu karena untuk mengikuti aliran sungai dari tepi sudah tidak mungkin lagi sekarang. Ketika dia hendak memasuki gua, dia melihat burung garuda itu menukik dan nona yang duduk di atas punggung burung itu memandang penuh perhatian, akan tetapi dia tidak mau mempedulikan lagi dan terus memasuki gua yang gelap.

Dia tidak tahu berapa jauhnya dia menempuh jalan yang amat gelap dan sukar itu karena dia harus terus berjalan di dalam sungai dengan air kadang-kadang sampai sedalam dadanya dan dasar sungai itu kadang-kadang amat licin dan kadang-kadang penuh dengan batu-batu runcing.

Akan tetapi, setelah melewati waktu yang agaknya tiada habisnya itu, akhirnya Kian Bu melihat cahaya terang di sebelah depan dan tibalah dia di daerah terbuka. Dia lalu mendarat di tepi sungai yang penuh dengan batu-batu besar hitam dan hatinya lega ketika dia melihat bahwa tempat itu terbuka, langit dapat kelihatan dari situ sungguhpun daerah itu merupakan sumur raksasa yang amat dalam dan sekeliling tebingnya terjadi dari dinding batu yang amat licin dan tidak mungkin sama sekali untuk mendaki naik.

Akan tetapi di bawah dinding licin yang amat tinggi itu terdapat banyak batu-batu karang besar dan terdapat pula gua-gua yang besar dan hitam sehingga tempat yang terpencil itu kelihatan menyeramkan sekali.

Kian Bu menjadi bingung. Menurut petunjuk Sai-cu Kai-ong, setelah tiba di tempat terbuka, dia harus memasuki sebuah gua karena di dalam gua yang katanya merupakan terowongan panjang itulah dia akan menemukan jamur panca warna yang akan menjadi obat bagi kakaknya.

Akan tetapi gua yang mana? Dilihat dari tempat dia berdiri, agaknya di sekeliling tempat yang merupakan lambung gunung terhimpit tebing itu terdapat ratusan buah gua! Mana dia bisa tahu gua yang manakah yang benar? Dia tidak menyalahkan Sai-cu Kai-ong karena kakek itu sendiri belum pernah tiba di tempat ini dan hanya mendengar dari orang lain.

Tiba-tiba ada bayangan hitam didekat kakinya. Cepat dia melihat ke atas dan benar saja, jauh sekali di atas tebing tebing itu nampak titik hitam yang bukan lain adalah burung garuda tadi! Tentu saja seekor burung yang terbang dapat memeriksa keadaan sekeliling itu dan dapat menemukan “sumur raksasa” ini, akan tetapi kalau harus mendatangi tempat ini melalui atas, dengan jalan kaki sungguh merupakan hal yang sama sekali tidak mungkin.

Burung itu lewat dan samar-samar dia melihat gadis aneh yang duduk di punggung burung itu menjenguk ke bawah. Akan tetapi dia tidak mempedulikan gadis pemarah itu karena dia masih menghadapi pekerjaan yang banyak dan sukar sekali. Tanpa membuang banyak waktu lagi, mulailah Kian Bu memeriksa dan memasuki gua itu satu demi satu! Sungguh hal ini merupakan pekerjaan yang amat sukar dan melelahkan.

Gua-gua itu ternyata banyak sekali yang amat dalam, merupakan terowongan--terowongan panjang dan berliku-liku, akan tetapi setelah dimasuki dan diikuti, ternyata hanya merupakan gua-gua kosong dan buntu, tidak ada nampak jamur sama sekali di situ. Karena tidak dimasuki sinar matahari, lumut pun tidak nampak, apalagi jamur panca warna!

Baru belasan lubang gua yang diperiksanya dengan sia-sia, hari telah mulai gelap. Kian Bu merasa heran sekali ketika keluar dari gua dan melihat matahari telah lenyap dan tempat itu cepat sekali gelap. Tadi ketika dia membonceng gadis itu turun, hari masih pagi dan dia membuang waktu untuk memeriksa gua-gua itu hanya makan waktu empat lima jam saja. Mengapa sekarang tahu-tahu telah menjadi remang-remang, menjadi senja dan hampir malam?

Akan tetapi ketika dia berdongak memandang ke sekeliling di atas tempat yang seperti sumur raksasa itu, mengertilah dia. Tentu saja di tempat ini, waktu yang diukur dengan sinar matahari amatlah berbeda dengan di atas sana, di lapangan terbuka di mana sinar matahari dapat bercahaya sepenuhnya. Di sini, matahari cepat lenyap terhalang ujung tebing di barat dan biarpun di dasar tempat itu sudah gelap, namun dia dapat menduga bahwa di atas sana tentu masih terang dan baru lewat tengah hari!

Karena gelap, terpaksa Kian Bu menunda pekerjaannya memeriksa gua-gua itu. Dia duduk di atas batu yang halus permukaannya dan banyak terdapat di tempat itu, sambil termenung dan memandang ke sekeliling. Di tempat ini tidak ditumbuhi pohon karena lantainya penuh dengan batu. Ada pohon-pohon tumbuh di lereng tebing dan pohon-pohon itu merupakan pohon-pohon liar yang tidak mengandung buah yang dapat dimakan.

Akan tetapi, dia tidak lapar dan sebagai seorang yang terlatih, tidak makan beberapa hari saja bagi pemuda Pulau Es ini tidaklah merupakan hal yang menyiksa. Juga dia tidak perlu membuat api unggun karena hawa dingin tidak akan mengganggu tubuhnya yang sudah biasa dengan hawa yang jauh lebih dingin ketika dia berlatih di Pulau Es. Maka duduklah Suma Kian Bu di atas batu itu, bersila dan mulai melakukan siulan untuk mengumpulkan hawa murni, memulihkan tenaga dan memberi kesempatan kepada tubuhnya untuk mengaso.

Kegelapan kini menyelimuti tempat itu dan hanya sinar bintang-bintang di langit yang hanya seperempat luasnya daripada langit biasanya di tempat terbuka, yang mendatangkan cahaya remang-remang. Sunyi sekali di sekitar tempat itu, kesunyian yang makin terasa karena adanya suara gemercik air yang tiada hentinya dan yang kini terdengar amat jelas.

Berbeda dengan waktu siangnya yang hariya pendek sekali, sebaliknya waktu malamnya di tempat itu amat panjang dan lama karena matahari yang di permukaan bumi sudah muncul dan naik tinggi, di dasar sumur raksasa itu masih belum nampak! Kian Bu sudah tidak melihat adanya bintang-bintang di langit yang sudah disapu bersih oleh sinar matahari, namun tempat itu masih gelap.

Tiba-tiba dia mendengar suara, di belakangnya. Cepat dia menoleh dan biarpun Kian Bu merupakan seorang pemuda gemblengan, seorang pendekar sakti yang berkepandaian tinggi, tidak urung bulu tengkuknya meremang. ketika dia melihat sesosok tubuh berindap-indap keluar dari sebuah di antara ratusan gua itu.

Akan tetapi segera dia melenyapkan rasa takut itu dengan dugaan bahwa tentu orang itu adalah dara cantik yang tentu saja dapat turun dengan bantuan garudanya. Maka dia pun bersikap dingin saja dan melanjutkan siulannya.

Bayangan orang itu dapat bergerak cepat dan kini telah tiba di dekat Kian Bu, lalu tiba-tiba saja bayangan itu menyerang dengan cengkeraman dari belakang ke arah tengkuk dan kepala pemuda itu. Kian Bu terkejut dan cepat dia meloncat ke depan sehingga cengkeraman itu luput. Akan tetapi orang itu dengan marah menerjangnya terus dengan pukulan-pukulan yang aneh.

“Nona, berhenti dulu! Mengapa kau menyerangku? Nona....!”

Kian Bu mengelak ke sana-sini dan dia makin terheran ketika memperoleh kenyataan bahwa gerakan orang ini sungguh jauh berbeda daripada gerakan nona pemilik garuda. Dara cantik pemilik garuda itu memiliki gerakan yang berdasarkan gerakan ilmu silat tinggi, lihai sekali, akan tetapi sebaliknya orang ini menyerangnya dengan gerakan kasar, hanya gerakannya lebih nekat dan liar.

“Heh-heh-heh, hi-hik, kau menyebutku Nona? Hi-hi-hik!”

Wanita itu terkekeh dan Kian Bu makin terkejut dan terheran ketika dia mendapat kenyataan dari suara wanita ini bahwa dia sama sekali bukanlah dara pemilik burung garuda! Akan tetapi cuaca masih terlalu gelap untuk dapat mengenal orang ini yang hanya tampak bayangannya saja.

“Siapakah kau? Dan kenapa kau menyerangku?” tanyanya.

“Hik-hik, kau pembunuh keji! Kau manusia jahat, masih tanya mengapa aku menyerangmu? Heh-heh, aku hendak membunuhmu untuk membalaskan kematian nyonya majikanku!”

Dan wanita itu menyerangnya lagi. Kian Bu kembali mengelak ke sana ke mari dengan amat mudahnya karena ternyata kini bahwa serangan-serangan itu hanya sembarangan saja dan sama sekali tiada artinya bagi dia. Akan tetapi dia merasa tidak enak untuk merobohkan seorang wanita, apalagi seorang wanita yang agaknya tidak waras otaknya.

“Aku tidak membunuh nyonya majikanmu! Siapa sih nyonya majikanmu itu?” tanya lagi Kian Bu sambil tetap mengelak ke sana-sini dan terus main mundur.

Wanita itu terus mengejar dan mendesaknya, melancarkan serangan-serangan nekat dan membabi-buta.

“Huh, engkau masih pura-pura lagi bertanya? Nyonyaku tentu saja Ang Siok Bi, siapa lagi? Dan dia sudah kalian bunuh secara kejam, dan kalian telah melemparkan aku ke sungai, ke pusaran maut. Heh-heh, akan tetapi kalian keliru, aku tidak mati dan sekarang aku akan membalaskan kematian majikanku, hik-hik!”

Kian Bu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh wanita ini. Sementara itu, cahaya matahari mulai menerangi tempat itu dan akhirnya dia dapat melihat bahwa yang menyerangnya mati-matian itu adalah seorang wanita yang usianya sudah tiga puluh tahun lebih, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya juga seperti pakaian seorang jembel terlantar, seluruh tubuhnya menunjukkan bahwa wanita itu telah lama menderita di tempat ini. Sepasang matanya yang berputar-putar itu menandakan bahwa wanita ini memang tidak waras lagi otaknya.

Kian Bu mengelak ke samping dan kini jari tangannya menyambar. Robohlah wanita itu terkena totokannya. Setelah Kian Bu, dapat melihat keadaan wanita itu, maka dia tidak ragu-ragu lagi untuk merobohkannya dengan totokan yang tidak berbahaya, hanya membuat kaki tangan wanita itu lumpuh.

Wanita itu memandang kepada Kian Bu dengan mata terbelalak, kemudian menangis.
“Hu-hu-huuukkkkk.... kiranya engkau adalah Tuan Muda Ang Tek Hoat....! Hu-huuuk, Tuan Muda, Ibumu telah mati dibunuh orang....!”

Kini Kian Bu terkejut bukan main mendengar wanita ini menyebut nama Ang Tek Hoat. Tentu saja dia mengenal nama ini, mengenalnya dengan baik sekali. Bukankah Ang Tek Hoat ini yang telah menjadi penyebab kehancuran hatinya dan kehancuran kehidupannya? Dia telah jatuh cinta kepada Puteri Syanti Dewi, mencinta puteri itu dengan seluruh jiwa raganya, kemudian hatinya hancur berkeping-keping ketika dia mendapat kenyataan bahwa puteri yang dicintanya itu ternyata mencinta Ang Tek Hoat, pemuda yang tadinya amat jahat itu!

Pemuda yang sebenarnya masih terhitung keponakannya sendiri, karena Ang Tek Hoat adalah cucu dari ibu Suma Kian Lee (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Dan wanita ini menyebut Ang Tek Hoat sebagai tuan muda, dan mengatakan bahwa ibu Ang Tek Hoat mati dibunuh orang!

Kian Bu maklum bahwa jalan satu-satunya untuk menghadapi seorang gila adalah melayani kegilaannya. Dia disangka Tek Hoat, maka akan percuma saja kalau dia menyangkal di depan seorang gila. Biarlah dia berpura-pura menjadi Tek Hoat untuk mendengar tentang kematian ibu Tek Hoat itu.

“Bibi yang baik, engkau siapakah? Aku sudah lupa lagi,” katanya sambil duduk di atas batu dan membebaskan totokannya sehingga wanita itu kini dapat bergerak dan duduk pula di atas batu sambil menangis.

“Ah, Kongcu (Tuan Muda), engkau sudah lupa lagi kepadaku? Aku Cui-ma, pengasuhmu di waktu kau masih kecil.”

“Hemmm, Cui-ma, tentu saja aku lupa karena sekarang engkau menjadi seperti ini. Ceritakanlah, Cui-ma, kenapa kau bisa berada di sini dan apa yang telah terjadi dengan.... Ibuku?”

Dengan sikap seorang gila yang mengerikan, kadang-kadang menangis, kadang-kadang tertawa, mulailah wanita itu bercerita yang didengarkan oleh Kian Bu dengan penuh perhatian. Karena cerita itu menyangkut Ang Siok Bi, ibu dari Ang Tek Hoat seorang di antara tokoh-tokoh besar cerita ini, maka sebaiknya kalau kita mengikuti sendiri apa yang telah dialami oleh wanita she Ang itu, daripada mendengarkan cerita Cui-ma yang tidak karuan.

**** 046 ****