FB

FB


Ads

Kamis, 14 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 045

Para pembaca yang pernah mengikuti pengalaman-pengalaman pendekar sakti Gak Bun Beng di waktu dia masih kecil, yaitu dalam cerita Sepasang Pedang Iblis, mungkin masih ingat ketika pendekar sakti itu di waktu masih kecil terlempar ke dalam air Sungai Huang-ho yang amat deras, kemudian dia diseret oleh pusaran air, disedot ke bawah dan dihanyutkan melalui terowongan aneh sampai dia mendarat di lambung gunung! Terowongan yang menembus dalam tubuh gunung itu merupakan terowongan maut dan hanya secara “kebetulan” saja dia dapat selamat dan tiba di tempat yang luar biasa anehnya, tempat yang penuh dengan binatang setengah kera setengah anjing (baboon) di mana dia menemukan sepasang pedang iblis dan kitab-kitab Sam-po Cin-keng yang mujijat.

Di tempat luar biasa itulah adanya jamur panca warna yang dimaksudkan oleh Sai-cu Kai-ong. Dan memang benar seperti yang dituturkan oleh Sai-cu Kai-ong, tempat itu tidak pernah atau tidak mungkin didatangi manusia. Pendeta Buddha yang kebetulan dapat tersesat ke situ adalah seorang hwesio pencari daun-daun obat yang hanya kebetulan saja dapat tiba di situ.

Hwesio ini ketika sedang mencari obat di tebing dan menginjak sebuah batu telah tergelincir dan dia terjatuh ke dalam jurang yang amat terjal itu. Akan tetapi secara aneh, tubuhnya yang pingsan itu “diterima” oleh sebatang pohon yang tumbuh di tebing. Tubuh itu ditangkap oleh cabang, ranting dan daun-daun pohon dan pohon kecil itu jebol, terbawa melayang turun dan akhirnya setelah mencelat ke sana-sini, tubuh itu terjatuh ke air!

Itulah air anak sungai yang terbentuk dari air hujan dan yang mengalir masuk ke air terowongan yang dulu menghanyutkan pendekar sakti Gak Bun Beng! Dan karena kebetulan yang luar biasa ini hwesio itu dapat berada di situ. Setelah siuman dia lalu mencari jalan keluar, menemukan jamur panca warna yang belum diketahui khasiatnya dan hanya diambil karena sifatnya yang luar biasa. Setelah dia berusaha mati-matian sampai berbulan dan sampai lupa jalan, akhirnya dapat juga dia keluar dari tebing maut itu, melalui perjalanan yang amat jauh dan yang tidak dapat diingatnya kembali karena perjalanan itu menyusup-nyusup, naik turun jurang kecil dan memakan waktu sampai sebulan lebih baru dia dapat “keluar” dari sana!.

Akan tetapi Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil bukanlah seorang manusia biasa, melainkan seorang pemuda yang telah memiliki kepandaian amat hebat. Maka setelah dia tiba di tempat yang dimaksudkan, dia menjenguk ke tepi tebing dan mengerutkan alisnya. Memang tidak mungkin bagi seorang manusia untuk menuruni tebing itu, tepat seperti yang dikatakan oleh Sai-cu Kai-ong. Agaknya keturunan pengemis sakti pendiri Khong-sim Kai-pang itu telah pula berdiri di tepi tebing ini, pikir Kian Bu. Dia sendiri kalau dalam keadaan biasa, tentu lebih baik cepat-cepat menjauhkan diri dari tebing itu, apalagi harus mencari jalan turun! Akan tetapi dalam keadaan seperti saat itu, untuk mencarikan obat bagi kakaknya, jangankan hanya tebing yang curam, biar lautan api pun tentu akan ditempuhnya!

Dengan mempergunakan ketajaman pandang matanya, Kian Bu dapat mengerti mengapa tidak mungkin ada orang dapat menuruni tebing itu. Kalau hanya curam saja, asalkan ada tempat untuk berpijak kaki dan berpegang tangan, pasti dia akan mampu menuruninya, betapa terjal sekalipun. Atau biarpun amat terjal, kalau dia sudah tahu bagaimana keadaan dasar tebing itu, tentu dia pun akan berani mempergunakan ilmunya Sin-ho-coan-in untuk berloncatan ke bawah dengan menggunakan dinding tebing sebagai penahan luncuran dan tempat menjejakkan kakinya.

Akan tetapi tanpa mengetahui keadaan dasar tebing, padahal tenaga luncuran berat tubuhnya tentu akan luar biasa kuatnya dari tempat setinggi itu, berarti mempertaruhkan nyawa secara konyol. Dia dapat pula menggunakan Ilmu Pek-houw-yu-jong (Cecak Bermain-main di Tembok) dengan sinkang yang mengeluarkan daya sedot pada kaki tangannya yang telanjang untuk merayap menuruni tebing. Akan tetapi tentu saja ilmu itu hanya dapat dipergunakan untuk pendakian yang tidak begitu tinggi atau penurunan yang tidak securam tebing ini. Dia tentu sudah akan kehabisan tenaga sebelum mencapai seperempat jarak tebing itu dan kehabisan tenaga berarti akan melayang jatuh dan mati dalam keadaan tubuh hancur lebur!

Menggunakan tali? Mana mungkin mencari tali yang panjangnya seperti itu? Pula, merayap turun ke tebing menggunakan tali berarti menggantungkan nyawa pada tali itu, padahal tali itu terikat di atas tebing. Sekali bacok saja tali di atas tebing itu oleh musuh, nyawanya akan melayang.

Kian Bu duduk termenung di tepi tebing dengan alis berkerut. Betapapun juga, dia tidak akan menyerah begitu saja! Dia harus mencari akal dan kembali dia menjenguk ke bawah. Memang terjal bukan main sampai dia tidak dapat melihat jelas keadaan di bawah sana. Jangankan seorang manusia, bahkan seekor monyet sekalipun kiranya tidak akan mungkin menuruni tebing ini, pikirnya. Kadang-kadang ada kabut melayang di bawah sehingga menutupi keadaan bawah tebing sama sekali.

Tiba-tiba dia melihat seekor burung terbang melayang. Seekor burung walet hitam dan dia memandang dengan penuh iri. Kalau aku bersayap seperti burung itu! Alangkah akan mudahnya menuruni tebing ini, pikirnya. Jangankan baru tebing ini, biar naik ke langit pun tiada sukarnya bagi seekor burung yang bersayap!

Kembali dia menjenguk ke bawah, bahkan tubuh atasnya condong ke tepi tebing. Dia tidak melihat bahwa ada bayangan hitam berkelebat di belakangnya. Kalau saja perhatiannya tidak tercurah sepenuhnya ke bawah tebing dan untuk mencari jalan turun ke bawah, tentu pendengarannya yang sudah terlatih dan menjadi tajam luar biasa berkat sinkangnya itu akan dapat menangkap gerakan si bayangan hitam ini, betapapun cekatan dan ringan gerakan si bayangan hitam ini.

“Heiii, jangan coba bunuh diri....!”

Tiba-tiba terdengar seruan halus dan nyaring itu yang membuat Kian Bu terkejut bukan main. Dalam keadaan melamun dan menjenguk ke dalam tebing seperti itu lalu tiba-tiba mendengar bentakan yang demikian nyaring, benar-benar amat membahayakan. Seorang yang lemah jantungnya tentu akan terperanjat dan dapat saja terjungkal ke dalam jurang! Dia cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak memandang, kemudian dia mengerutkan alisnya dengan hati mengkal. Kiranya di situ telah berdiri gadis cantik jelita berpakaian serba hitam yang membawa-bawa ular dahulu itu, yang pernah menyerangnya kalang-kabut hanya karena berbeda pendapat tentang diri Cui Lan dan karena menyangka bahwa dia mengejar-ngejar gadis ini!

Setelah dia membalik, gadis itu pun terkejut, lalu tersenyum mengejek. Begitu tersenyum, seketika tercipta dua lesung pipit di kanan kiri bibirnya. Manis bukan kepalang! Lalu bibir itu merekah membentuk senyum sehingga deretan gigi kecil yang putih bersih berkilau sesaat di antara belahan bibir yang merah basah. Cantik sekali!

“Ya ampuuunnnnnn....! Kiranya engkau ini? Aha, kalau begitu lanjutkan usahamu itu, Siluman Kecil. Lanjutkan selagi aku menjadi saksi di sini. Aihhh, betapa akan senangnya menjadi orang satu-satunya yang menyaksikan betapa Siluman Kecil yang tersohor itu ternyata hanyalah seorang laki-laki yang berhati kecil pula seperti julukannya, seorang pengecut yang mudah patah hati, seorang laki-laki cengeng yang mudah mendapat dorongan hasrat untuk membunuh diri. Hi-hik, teruskanlah bunuh diri di depanku, aku akan senang sekali!”






Kian Bu bangkit berdiri dan memandang dengan melongo, lalu dia maju beberapa langkah, memandang wajah cantik jelita dan manis itu penuh selidik. Melihat sinar mata, yang mencorong dari pemuda berambut putih itu, diam-diam gadis itu bergidik. Gadis itu tentu saja adalah Hwee Li, puteri ketua Pulau Neraka!

“Ihhh! Kenapa kau memandang aku seperti itu?” bentaknya dengan suara dibikin galak untuk menutupi rasa ngerinya.

Dia sebenarnya merasa ngeri terhadap pemuda berambut putih ini yang dia tahu memiliki kepandaian amat tinggi sehingga dia sama sekali tidak akan mampu menang melawannya. Kalau dia bersikap angkuh dan berani, hal itu hanya dilakukan agar dia jangan dipandang rendah saja! Memang, biarpun dia sudah dewasa, Hwee Li masih belum dapat menghilangkan sifat kekanak-kanakannya.

Suma Kian Bu dahulunya adalah seorang pemuda yang berwatak penuh keriangan, gembira dan jenaka, juga bengal dan pandai bicara, pandai berdebat dan suka menggoda orang (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Setelah dia mengalami pukulan batin karena cinta kasihnya terhadap Puteri Syanti Dewi menemui kegagalan dan kekecewaan, kemudian ditambah lagi oleh latihan ilmu penggabungan tenaga Im dan Yang dari Pulau Es yang membuat rambutnya mengalami perubahan warna, dia menjadi seorang pendiam yang penuh rahasia.
Pendiam karena dia seperti terbenam dalam tumpukan kedukaan dan kekecewaan yang membuat dia menjadi pemurung, kadang-kadang ganas akan tetapi tentu saja sebagai seorang yang berjiwa satria, keganasannya hanya ditujukan kepada kaum penjahat saja.

Kini dia telah berjumpa dengan kakaknya dan hal ini membangkitkan atau setidaknya sedikit membongkar sifatnya yang tadinya sudah tertimbun oleh kedukaan itu, mengingatkannya akan keluarganya sehingga timbul kembali gairah hidupnya. Kini, bertemu dengan gadis berpakaian hitam yang amat lincah jenaka dan galak ini sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan wajahnya mulai agak berseri, seolah-olah mulai ditanggalkanlah sedikit demi sedikit topeng kedukaan yang selama ini menutupi wajah aselinya.

“Nona, apakah otakmu miring?”

Tiba-tiba Kian Bu yang sudah mulai “menemukan” kembali sifat kegembiraannya itu bertanya sambil memandang tajam. Dia bukan sekedar menggoda atau balas mengejek, melainkan bertanya sungguh-sungguh karena memang dia mulai menyangka dengan perasaan sayang bahwa gadis yang demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi itu agaknya gila. Buktinya, dulu pun sudah mencari keributan dengan dia untuk perkara yang bukan-bukan saja, dan sekarang bicaranya begitu tidak karuan!

Hwee Li merasa seperti disengat kalajengking ketika mendengar pertanyaan itu. Ada rasa kaget, heran akan tetapi marahlah yang lebih besar menguasainya sehingga biarpun matanya terbuka lebar amat indahnya, namun bibirnya cemberut meruncing dan sepasang alis yang hitam kecil panjang itu berkerut.

“Siluman Gila! Engkau adalah seorang gila, bunuh diri merupakan perbuatan gila, dan kau masih mengatakan orang lain gila. Sungguh gila!”

Hwee Li memberi tekanan kepada setiap kata “gila” sehingga dia seolah-olah telah membalas dengan makian gila kepada Siluman Kecil sampai empat kali gila!

Melihat cara gadis ini melampiaskan rasa mendongkolnya, Kian Bu tak dapat menahan diri lagi dan dia tersenyum. Senyum pertama semenjak dia berjuluk Siluman Kecil! Sebelum ini, kalau toh dia tersenyum, maka senyumnya itu tentulah hanya senyum untuk bersopan-sopan saja, senyum paksaan. Akan tetapi baru sekali ini dia tersenyum yang terdorong oleh kegembiraan hati.

“Nona ular.“

“Engkau makin kurang ajar!” Hwee Li membanting kaki kanannya.

“Harus disebut apa kalau tidak mau dinamakan nona ular? Engkau ke mana-mana membawa ular yang menjijikkan!”

“Tidak lebih menjijikkan daripada manusia, apalagi yang gila seperti engkau!” Hwee Li balas menyerang.

“Hemmm.... kau mengingatkan aku akan sebuah syair.”

“Wah, orang gila mau bersyair, coba kudengarkan sampai di mana kegilaannya!”

“Manusia adalah mahluk gila yang tidak mengenal kegilaannya!
Yang gila mengaku waras yang waras dimaki gila!
Adakah yang lebih gila daripada manusia?”

Hwee Li bersorak.
“Bagus, bagus! Nah, syair itu menggambarkan keadaan dirimu sendiri, hi-hik! Sudah kusangka bahwa engkau memang Siluman Gila, Siluman Gila yang kecil!”

Kian Bu yang belum pulih semua kelincahannya merasa kewalahan juga menghadapi dara yang ternyata pandai sekali berdebat ini.

“Nona, kau tadi datang-datang membentak sampai aku kaget, lalu tiada hujan tiada angin kau memaki aku pengecut, cengeng, rendah dan gila yang akan membunuh diri. Sikapmu itulah yang membuat aku mengira engkau berotak miring.”

“Habis, mau apa engkau melongok-longok ke bawah tebing securam itu kalau bukan untuk bunuh diri? Ataukah engkau bercanda dengan kabut yang melayang di bawah kaki? Nah, itu pun merupakan tanda-tanda bahwa engkau gil....”

“Sudahlah, jangan engkau mengobral makian. Sungguh tidak pantas maki-makian keluar dari mulut yang begitu indah.”

Sepasang mata itu terbelalak, lalu dia mengangguk-angguk.
“Hemmm, sekarang baru aku mengerti mengapa Cui Lan jatuh hati kepadamu. Kiranya engkau adalah seorang laki-laki yang selain berkepandaian tinggi, berwajah tampan dan berambut aneh, juga pandai merayu!”

Kian Bu bengong.
“Aku? Merayu?”

“Menyangkal lagi! Baru saja kau bilang mulutku indah....“

“Kalau memang benar mulutmu indah, harus berkata bagaimana aku ini? Lihat, bentuk bibirmu amat indah, kemerahan dan segar, kalau tersenyum gigimu kecil berderet rata dan putih berkilau, dan lesung pipit di kanan kiri mulutmu mengintai. Benar-benar indah mulutmu. Apakah aku harus bilang mulutmu buruk dan jelek? Aku tidak merayu, hanya bicara sebenarnya. Salahkah itu?”

Kian Bu mulai menemukan kembali kepandaiannya berdebat dan kini Hwee Li yang menjadi bengong, mencari-cari jawaban yang tepat. Akan tetapi sekali ini sukar dia membantah. Wanita mana yang tidak suka akan pujian? Dan pujian dari Siluman Kecil itu begitu wajar dan terbuka, begitu langsung dan jelas bukan pujian kosong! Tanpa disadarinya, warna kemerahan menjalar di kedua pipi yang halus putih itu.

“Sudahlah!” katanya gemas karena tidak berdaya untuk menangkis. “Ketahuilah, Siluman Kecil, hatiku masih penasaran dan benci kepadamu kalau aku teringat kepada Cui Lan!”

“Hemmm, mengapa tidak kau lupakan saja dia?”

“Huh, pantas! Apa kau tidak peduli betapa dara yang cantik jelita dan halus budi pekertinya itu jatuh cinta kepadamu? Dia tergila-gila kepadamu, sungguh tolol mengapa seorang gadis seperti dia bisa tergila-gila kepada seorang sepertimu ini. Dia tergila-gila kepadamu, hatinya merana penuh kerinduan kepadamu, dan kau bersikap tidak peduli kepadanya! Bukankah hal itu membuktikan bahwa engkau sebenarnya adalah seorang yang kejam, keji, dan jahat, suka melihat kesengsaraan yang diderita seorang wanita?”

Melihat dara itu hendak nerocos terus menyerangnya dengan kata-kata tajam, Kian Bu cepat mengangkat tangan ke atas.

“Stop! Engkau salah mengerti dan tidak mengerti, Nona. Aku memang pernah menolong Nona Cui Lan. Dan dia jatuh cinta kepadaku, hal ini aku mengetahuinya. Akan tetapi, salahkah aku kalau ada seorang gadis jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak membalas cintanya? Engkau sungguh tidak mengerti. Hanya karena aku merasa amat kasihan kepadanya sajalah maka aku sengaja bersikap tidak peduli dan kasar kepadanya. Memang sikap itu kusengaja!”

Sepasang mata yang bening itu melotot.
“Coba, betapa gilanya! Kasihan kepada orang dan menyatakan rasa kasihan itu dengan sikap tidak peduli dan kasar! Seperti baris terakhir dari syair gilamu itu: Adakah yang lebih gila daripada itu?”

“Engkau seperti anak kecil saja, dan memang engkau seorang anak-anak yang belum tahu tentang seluk-beluk cinta.”

Makin meradang hati Hwee Li.
“Engkau makin besar kepala dan sombong saja. Baiklah, Guru Besar, berilah kuliah kepada hamba tentang cinta karena Guru Besar tentu merupakan seorang yang berpengalaman dan ahli tentang cinta!” Hwee Li menjura dengan sikap mengejek.

Akan tetapi Kian Bu tidak mempedulikan sikap ini.
“Aku sengaja bersikap kasar kepadanya agar dia membenciku! Aku tahu betapa sengsaranya hati yang menderita karena cinta gagal, dan kurasa penderitaannya itu hanya akan berakhir kalau cintanya terhadap aku berubah menjadi benci. Dengan demikian barulah dia akan dapat melupakan aku dan itulah sebabnya aku bersikap kasar kepadanya!”

Kian Bu bicara penuh semangat dan Hwee Li menjadi bengong melihat betapa wajah tampan yang tadinya mulai berseri dan bersemangat itu kini kembali menjadi muram sekali, penuh duka yang membayang di dalam sinar mata dan tarikan mulutnya.

“Ohhh.... begitukah? Kenapa kau tidak dapat mencintanya? Dan bagaimana kau tahu bahwa cinta gagal menimbulkan penderitaan hebat!”

“Karena aku sendiri.... ah, sudahlah, Nona. Harap kau tidak lagi menggangguku. Aku sedang menghadapi kepentingan yang amat besar di sini dan kedatanganmu hanya mengganggu terlaksananya kepentingan besar itu. Maaf, aku tidak dapat lama-lama menunda urusanku.”

Akan tetapi gadis itu tentu bukan Hwee Li kalau dapat “digebah” sedemikian mudahnya. Dia adalah seorang dara yang keras kepala, lebih keras daripada baja sehingga dia tidak akan mudah saja disuruh pergi sebelum dia sendiri menghendakinya untuk pergi!

“Eh, apakah tempat ini milikmu maka kau berani mengusir aku pergi dari sini? Kalau aku tidak mau pergi, kau mau apa?” tantangnya.

Siluman Kecil melirik dan menarik napas panjang. Dia tahu bahwa kalau dilayani, hal itu hanya akan berkepanjangan dan mungkin sekali mereka akan bertarung lagi.

“Terserah kepadamu, akan tetapi jangan ganggu aku dengan bicaramu lagi.”

Setelah itu, dia lalu menghampiri tepi tebing, merenung kembali sambil mengasah otaknya, mencari jalan bagaimana dia dapat turun ke dasar tebing itu.

Setiap orang manusia tentu mempunyai sifat ingin tahu. Hwee Li tidak terkecuali. Melihat pemuda itu longak-longok memandang ke bawah tebing, dia tidak dapat menahan lagi hasrat ingin tahunya dan dia pun lalu menghampiri tepi tebing dan mulai pula ikut longak-longok memandang ke bawah tebing, seolah-olah hendak mencari sesuatu yang sedang dicari-cari pula oleh pemuda itu.

Kian Bu sudah tenggelam dalam renungannya mencari-cari akal maka dia tidak peduli, bahkan hampir tidak sadar bahwa tak jauh dari situ ada seorang gadis yang juga longak-longok seperti dia menjenguk ke bawah tebing. Akhirnya dia menarik napas panjang dan menggeleng kepala, dan seperti dalam mimpi dia melihat Hwee Li juga menjenguk ke bawah tebing lalu gadis itu mengangkat muka memandangnya. Mereka saling bertemu pandang dan Hwee Li bertanya secara otomatis,

“Sudah ketemu?”

Secara otomatis pula Kian Bu menggeleng kepala sambil menjawab,
“Belum....“ baru dia terkejut dan sadar, maka sambungnya dengan bentakan. “Ketemu apanya?”

“Tentu barang yang kau cari-cari itu, apa lagi? Tentu buntalan pakaianmu tadi terjatuh ke bawah tebing ini, bukan? Maka kau sejak tadi mencari-cari. Kurasa tidak mungkin dapat kelihatan dari sini buntalan itu dan....“

“Buntalan hidungmu!” Kian Bu membentak dengan hati mengkal karena dia merasa digoda terus-terusan.

Hwee Li meloncat berdiri dan kedua tangannya bertolak pinggang. Hampir bertemu jari-jari kedua tangannya di sekeliling pinggang itu saking rampingnya pinggang gadis ini. Mukanya merah dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.

“Sombong, benar! Engkau berani menghidung-hidungkan orang, ya? Aku sudah susah payah ikut mencari-cari, engkau malah memaki orang sebagai balasan! Hayo berdirilah dan kita selesaikan penghinaan ini di ujung kedua kaki tangan!”

Kian Bu menarik napas panjang.
“Sudahlah, Nona. Kita ribut-ribut untuk urusan kosong belaka. Aku tidak mencari buntalan apa pun, tidak ada kehilangan apa pun. Aku sedang mencari akal bagaimana aku dapat turun ke dasar tebing ini. Nah, Nona manis, sudah puaskah engkau sekarang dan sudikah engkau meninggalkan aku untuk melanjutkan usahaku ini?”

Hwee Li kembali menjenguk ke bawah tebing, lalu mendengus.
“Huh, disebut gila tidak mau akan tetapi mau turun ke dasar tebing! Mau apa sih engkau hendak turun ke sana?”

Dengan setengah hati Kian Bu terpaksa menjawab, dengan maksud agar dara itu cepat pergi setelah rasa penasarannya dipenuhi,

“Aku hendak mencari obat untuk kakakku yang terluka parah, dan obatnya hanya terdapat di dasar tebing itu. Nah, sudah cukupkah penyelidikanmu, Nona? Silakan meninggalkan aku sekarang.”

Tiba-tiba Hwee Li tertawa dan Kian Bu mengerutkan alisnya. Terjadi perang di dalam hatinya melihat dara itu tertawa. Di satu fihak, ingin dia menempiling perawan ini, di lain fihak dia kagum melihat wajah itu ketika tertawa. Bukan main indah dan cantiknya ketika tertawa, seperti matahari di senjakala! Cerah namun tidak menyengat! Karena tertawa dara itu tidak dibuat-buat melainkan wajar, maka dia bertanya,

“Kenapa kau tertawa?”

“Karena sekarang engkau harus bersikap sopan dan ramah kepadaku kalau engkau ingin dapat turun ke dasar tebing sana.”

“Hemmm, apa maksudmu?”

“Karena, biarpun engkau berjuluk Siluman Kecil, biarpun engkau memiliki kepandaian amat tinggi sehingga engkau mampu mengalahkan Sin-siauw Seng-jin, namun engkau tidak akan mungkin turun ke dasar tebing ini kecuali kalau kau hendak membunuh diri. Karena, hanya aku seoranglah yang dapat menolongmu turun ke sana dengan selamat.”

“Jangan main-main, Nona!”

“Siapa main-main? Aku berani bertaruh potong leher bahwa aku dapat membawamu dengan selamat sampai di bawah tebing sana.”

Kian Bu mengerutkan alisnya.
“Nona, jangan main-main. Aku menghadapi urusan yang amat penting dan aku tahu bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi sedikit banyak aku telah mengukur kepandaianmu itu dan aku yakin bahwa engkau tidak mungkin dapat menggunakan kepandaianmu itu untuk menuruni tebing ini.”

“Tentu saja! Siapapun tidak mungkin dapat menuruni tebing ini, akan tetapi dengan terbang, betapa akan mudahnya!”

“Terbang? Jangan bilang bahwa kau pandai terbang....“

“Aku sih bukan kupu-kupu yang mempunyai sayap. Akan tetapi burung garudaku tentu bisa!”

Kian Bu terbelalak.
“Kau.... kau mempunyai burung garuda?”

“Tentu saja, kalau tidak, perlu apa aku banyak bicara kepadamu?”

Gadis itu lalu bangkit berdiri, menaruh kedua tangan di kanan kiri mulutnya kemudian terdengarlah bunyi lengking aneh seperti suara burung dari mulut yang dilindungi dua tangan itu. Kian Bu terkejut. Lengking itu memang bunyi lengking untuk memanggil burung seperti rajawali atau garuda! Berkali-kali Hwee Li mengeluarkan suara melengking nyaring itu dan tiba-tiba dia menuding ke atas.

“Nah, itu dia garudaku!”

Benar saja. Seekor burung garuda yang besar menukik turun dan terbang berputaran di atas kepala mereka. Berdebar jantung Kian Bu. Memang inilah jalan satu-satunya turun ke sana. Naik punggung garuda! Dan dia bukanlah seorang yang asing dengan pengalaman seperti itu. Dia sudah sering kali naik punggung rajawali ketika dia masih berada di Pulau Es.

“Ah, sungguh hebat kau, Nona! Maafkan semua kekasaranku tadi dan sekarang aku percaya. Kau tolonglah aku, Nona. Biarkan aku meminjam burungmu itu untuk turun ke sana mencarikan obat untuk kakaku.”

“Enaknya! Pinjam! Apa kau kira akan dapat menguasai Sin-eng-cu (Garuda Sakti)? Kau boleh kuboncengkan ke bawah sana, asal engkau mau minta maaf kepadaku dan mengatakan siapa adanya kakakmu yang terluka itu. Aku hampir tidak percaya bahwa seorang yang berjuluk Siluman Kecil masih mempunyai seorang kakak.”

Karena Kian Bu tahu bahwa hanya dengan pertolongan gadis ini sajalah dia akan dapat memperoleh obat untuk kakaknya itu dengan cepat dan pasti, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjura dan berkata halus,

“Nona, harap kau suka maafkan semua kesalahanku. Kakakku menderita luka dalam yang cukup hebat, kini dirawat oleh Sai-cu Kai-ong, obatnya hanya terdapat di daerah bawah tebing itu. Kakakku bernama Suma Kian Lee dan....“

“Kian Lee....? Aihhh, kenapa tidak dari tadi-tadi kau bilang.!”

Hwee Li melonjak kaget dan cepat dia melengking keras memanggil garudanya. Burung itu menukik dan hinggap di atas tanah di depan gadis itu, mengeluarkan suara nguk-nguk manja, kemudian mendekam.

“Hayo cepat, nanti saja kau ceritakan bagaimana Suma Kian Lee sampai terluka hebat. Kau boleh duduk di belakangku. Sin-eng-cu, kau antarkan kami ke bawah sana!”

Berkata demikian, Hwee Li melompat ke punggung garuda itu lalu menggeser ke depan sedikit untuk memberi tempat kepada Kian Bu. Pemuda itu yang sudah biasa menunggang burung besar, lalu meloncat dengan ringan agar tidak mengejutkan burung itu dan dia telah duduk di belakang Hwee Li.

“Sin-eng-cu, berangkatlah!”

Hwee Li menepuk leher burung itu yang mengeluarkan suara keras, menggerakkan kedua sayapnya, kedua kakinya menggenjot dan melayanglah dia ke atas, lalu terbang melayang ke bawah tebing.

“Sekarang ceritakan, benarkah kakakmu itu Suma Kian Lee?”

“Benar,” jawab Kian Bu dan jantungnya mulai berdegup tidak karuan.

Punggung garuda itu agak melengkung di tengah-tengahnya, sehingga dia yang duduk di bagian belakang, tentu saja selalu melorot ke depan sehingga tubuhnya merapat dengan tubuh belakang dara itu. Rambut dara itu tertiup angin dan menyapu-nyapu muka dan hidungnya, selain mendatangkan rasa geli juga bau harum menyergap hidungnya dan rambut halus itu mengusap-usap mukanya seperti membelainya!