FB

FB


Ads

Kamis, 14 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 044

Selain ayat dari To-tik-khing itu, juga masih banyak wejangan keluarga turun-temurun yang mengingatkan mereka akan pentingnya kekosongan, antara lain dinyatakan bahwa di dalam setiap langkah kaki, jarak yang dilewati antara kedua kaki, yaitu yang tidak terinjak, yang kosong itulah yang berguna karena tanpa itu tidak akan ada kemajuan dalam langkah kaki. Juga keindahan dan kenikmatan sebuah lagu tidak akan terasa lagi tanpa adanya jarak-jarak yang kosong antara satu dan lain nada!

Serangan yang dilancarkan oleh Sai-cu Kai-ong hebat bukan main. Kelihatannya sih ringan dan kosong saja, akan tetapi begitu anginnya menyambar, seorang sakti seperti koksu dari Nepal itu sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat dia mengelak. Jubahnya yang lebar dan merah itu sampai berkibar terkena hembusan hawa pukulan yang sifatnya kosong namun berisi penuh dengan kekuatan dahsyat itu!

Dia cepat membalas dengan pukulan yang tidak kalah dahsyatnya sehingga Sai-cu Kai-ong juga terkejut dan cepat melompat ke samping karena dia tidak berani menyambut pukulan yang amat hebat itu.

Terjadilah pertandingan hebat dan keadaan sekeliling tempat itu disambar oleh hawa-hawa pukulan kuat sekali sehingga dua puluh orang lebih pengawal yang mengiringkan Ban Hwa Sengjin terpaksa mundur karena kuda mereka meringkik ketakutan dan gelisah sekali. Bahkan Pangeran Yung Hwa juga cepat bersembunyi di balik tubuh Siauw-hong karena merasa ngeri.

Akan tetapi, seorang yang sudah menjadi koksu sebuah negara, bahkan kini menjadi utusan raja, tentu saja adalah seorang yang memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Dahulu, di jaman Kerajaan Beng-tiauw, seorang utusan kaisar seperti Panglima Besar The Hoo juga merupakan seorang yang luar biasa saktinya, juga semua utusan raja-raja dari semua negara tentulah merupakan seorang tokoh pilihan yang berilmu tinggi.

Demikian pula dengan Ban Hwa Sengjin ini. Ilmu kepandaiannya amat tinggi karena boleh dibilang dia merupakan tokoh nomor satu yang dikenal orang di negara Nepal, maka tentu saja dia telah membekali dirinya dengan ilmu-ilmu yang amat hebat. Tidak hanya ilmu silat, akan tetapi juga dia mahir sekali dalam ilmu sihir dan ilmu perang, juga ahli dalam soal-soal kenegaraan!

Kini, menghadapi seorang lawan yang demikian lihainya seperti Sai-cu Kai-ong, dia merasa gembira dan dia tidak mau menggunakan ilmu sihirnya selama ilmu silatnya masih belum kalah. Dan dia selama ini menganggap bahwa tidak mungkin ilmu silatnya dapat dikalahkan orang lain!

Memang, amat berbahayalah bagi seorang manusia yang merasa telah mempelajari ilmu sampai tinggi, apalagi kalau sudah menerima sanjungan-sanjungan orang lain! Seorang yang dipuji-puji orang lain, kepalanya menjadi seperti sebuah balon karet yang ditiup, penuh oleh angin pujian sehingga kepalanya melembung besar dan dia merasa bahwa dialah orang yang terpandai, terbaik dan segala macam “ter” lagi.

Dan kalau sudah demikian, dia menjadi orang yang setolol-tololnya, sebodoh-bodohnya dan patut dikasihani. Maka, seorang bijaksana akan selalu waspada akan semua kekurangan dan kebodohan diri sendiri sampai saat kematian tiba, karena hanya dengan kewaspadaan ini saja maka dia dapat melihat betapa bahayanya semua pujian yang diterimanya dalam keadaan bagaimanapun juga.

Akan tetapi Ban Hwa Sengjin terang tidak bijaksana. Dia sudah dihinggapi penyakit angkuh dan menganggap diri sendiri orang terpandai di dunia ini. Dan memang ilmu kepandaiannya hebat dan bahkan Sai-cu Kai-ong yang merupakan ahli waris dari ilmu keturunan yang amat mujijat itu ternyata kalah kuat dibandingkan dengan Ban Hwa Sengjin sehingga setelah lewat seratus jurus, Raja Pengemis itu terdesak hebat dan dalam satu pertemuan tenaga ketika kedua tangan mereka bertemu, Sai-cu Kai-ong terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Napasnya menjadi sesak dan kepalanya pening, tanda bahwa dia telah mengalami luka walaupun tidak sangat berat, akan tetapi dia harus berdiam diri dan cepat mengumpulkan hawa murni untuk menyembuhkan lukanya.

Siluman Kecil atau Suma Kian Bu menyerahkan Kian Lee kepada Siauw-hong. Dia akan maju sendiri.

“Hati-hati, Bu-te. Dia memang lihai sekali, aku sendiri pernah melawan dia dan hampir aku celaka....“ bisik Kian Lee kepada adiknya ketika dia diserahkan kepada Siauw-hong untuk dipondong karena dia tidak kuat untuk berdiri sendiri. Kian Bu mengangguk dengan sikap tenang

“Jangan khawatir, Koko.”

Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri Ban Hwa Sengjin. Koksu Nepal yang sudah memperoleh kemenangan itu menjadi makin sombong sikapnya. Melihat bahwa yang maju hanya seorang pemuda, tentu saja dia memandang rendah. Kakek yang berjuluk Raja Pengemis dan yang benar-benar sakti tadi saja tidak kuat melawannya. Apalagi pemuda ini? Masih begini muda, pantas menjadi anaknya, bahkan cucunya, biarpun rambut pemuda ini sudah putih semua!

“Kau mau apa?” tanyanya dengan sikap memandang rendah.

“Ban Hwa Senjin, kalau aku mampu mengalahkanmu, bagaimana?” Kian Bu bertanya.

“Kau? Mengalahkan aku? Ha-ha-ha, tidak mungkin, orang muda!”

“Kalau aku kalah, kami semua menyerah kepadamu, Ban Hwa Sengjin. Akan tetapi, bagaimana kalau kau yang kalah?”

“Ha-ha, bocah lancang. Dengar baik-baik. Kalau kau mampu mempertahankan diri terhadap seranganku selama dua puluh jurus saja, biarlah aku mengaku kalah dan kalian boleh lewat!

“Engkau adalah Ban Hwa Sengjin, jagoan besar dan koksu dari Kerajaan Nepal. Akan tetapi apakah omongan seorang koksu dari Nepal dapat dipercaya sepenuhnya? Apakah nanti engkau tidak akan menarik kembali omonganmu, menjilat kembali ludah yang telah dikeluarkan, dan benar-benar kalau aku mampu mempertahankan diri terhadap seranganmu selama dua puluh jurus, engkau mengaku kalah dan kami semua boleh lewat?” tanya Siluman Kecil yang sengaja menekankan hal pelanggaran janji itu agar menyinggung kehormatan koksu yang kelihatan lihai sekali ini.

Dan anak panah yang dilepaskan berupa kata-kata ini tepat mengenai sasarannya. Wajah Ban Hwa Sengjin menjadi merah sekali, seluruh muka sampai ke kepalanya yang botak menjadi merah, semerah mantelnya dan kedua tangannya yang besar itu dikepalkan. Dia menjadi marah dan tersinggung.






“Bocah bermulut lancang! Kau kira, aku orang macam apa? Orang-orang seperti aku, janji lebih berharga daripada nyawa, mengerti? Akan tetapi, sebaliknya kalau dalam dua puluh jurus kau tidak mampu mempertahankan diri, kalau kau tidak sampai kupukul mampus, engkau dan semua temanmu selain harus menyerah dan tunduk, juga harus mentaati semua perintahku!”

Siluman Kecil diam-diam merasa girang dan kini dia yakin bahwa tentu si botak tinggi besar ini tidak akan ada muka lagi untuk melanggar janjinya sendiri.

“Baik, kalau sampai aku roboh sebelum dua puluh jurus, engkau memang pantas menjadi kakek buyutku yang harus kutaati!”

“Nah, sambutlah ini jurus pertama!”

Ban Hwa Sengjin berseru, dan tubuhnya yang tinggi besar itu sudah bergerak cepat ke depan, demikian cepat gerakannya sehingga mantelnya yang merah itu sampai berkibar di belakangnya seperti layar perahu tertiup angin. Kedua tangannya sudah melancarkan serangan dahsyat sekali, tangan kiri membentuk cakar garuda mencengkeram ke arah batok kepala Siluman Kecil atau Kian Bu, sedangkan tangan kanannya dengan jari tangan terbuka menghantam ke arah dada!

Cakaran tangan kiri itu kelihatannya amat menyeramkan dan agaknya kalau mengenai kepala, akan remuklah kepala itu, dan dilakukan dengan amat cepat sedangkan tangan kanan yang menghantam ke arah dada itu sebaliknya gerakannya lambat dan perlahan.

Namun, Kian Bu yang sejak kecil menerima gemblengan ilmu-ilmu yang amat tinggi sudah tahu bahwa cakaran itu hanya merupakan kembangan saja atau gertakan, sedangkan serangan yang sesungguhnya dan merupakan inti pukulan adalah yang dilakukan oleh tangan kiri itu, karena tangan kiri kakek raksasa itu melakukan pukulan yang mengandung tenaga mujijat yang dapat disebut Hun-kin Coh-kut (Memutuskan Otot dan Melepaskan Tulang). Kalau pukulan itu mengenai dadanya dengan tepat, tentu akan copot semua tulang iganya!

Karena maklum akan hebatnya serangan jurus pertama ini, Kian Bu cepat melindungi dirinya dengan Ilmu Silat Sin-coa Kun-hoat (Ilmu Silat Ular Sakti). Kedua lengannya bergerak cepat dan meliuk-liuk seperti gerakan ular dan tubuhnya juga dapat meliuk cepat sekali sehingga tidak sukarlah baginya untuk mengelak dan menangkis dua lengan lawan itu dari samping dengan meminjam tenaga pukulan lawan.

Ilmu Silat Sin-coa Kun-hoat ini adalah merupakan satu di antara banyak ilmu-ilmu silat yang tinggi dari ibunya, yaitu Puteri Nirahai, yang telah diwariskan kepada Kian Bu. Tentu saja, gerakan ilmu silat yang bagaimana tinggi pun tidak akan banyak manfaatnya tanpa dilandasi tenaga sinkang yang kuat, maka gerakan Sin-coa Kun-hoat ini oleh Kian Bu didorong dengan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang panas.

“Plak-plak....!”

Kedua lengan kakek raksasa botak itu kena ditangkis sehingga menyeleweng karena tangkisan dari samping itu mendorong tenaga serangannya dan dia merasa kedua lengannya panas sekali.

“Ehhh....!”

Ban Hwa Sengjin terkejut. Kalau pemuda itu hanya dapat mengelak atau menangkis serangannya yang pertama itu, tidaklah amat mengejutkan karena seorang pemuda yang sudah berani menghadapinya tentulah mempunyai juga sedikit kepandaian. Akan tetapi, tangkisan pemuda itulah yang membuat dia tanpa disadarinya mengeluarkan seruan kaget karena dia merasakan adanya tenaga mujijat yang panas sekali menyerang dirinya melalui pertemuan kedua lengan itu.

Sebagai seorang yang sudah berpengalaman banyak, Ban Hwa Sengjin segera dapat mengenal sifat gerakan lawan. Dia mengenal ilmu silat yang mendasarkan gerakannya dan sifatnya dengan sifat dari gerakan ular. Semua ilmu silat yang mendasarkan gerakan dan sifatnya dengan ular adalah gerakan yang memupuk tenaga Khi (hawa) yang dilatih dengan aturan pernapasan.

Karena tenaga Khi inilah maka seekor ular kelihatan lunak dan lembut tanpa tenaga kalau tubuhnya menyentuh sesuatu, akan tetapi dia dapat menarik kekuatan hebat luar biasa setiap saat! Seperti baja yang terbaik, dapat menjadi benda yang paling keras, akan tetapi juga dapat dibuat menjadi kawat yang paling lembut dan lemas. Gerakan ilmu silat ular amat lemas dan cekatan, terus-menerus bergerak lembut namun kuat. Kedua jari telunjuk dan jari tengah mematuk-matuk seperti lidah ular dan merupakan serangan totokan yang ampuh.

Karena sudah mengenal sifat Sin-coa Kun-hoat, maka Ban Hwa Sengjin tahu bagaimana harus menghadapinya. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas, seperti seekor burung garuda hendak menyerang seekor ular dia menerjang dan menyerang Kian Bu dengan jurus yang ke dua.

Akan tetapi, Kian Bu adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat cara penyerangan lawan, dia pun maklum bahwa menggunakan Sin-coa Kun-hoat untuk menyambut serangan dari atas itu amat berbahaya, maka secara otomatis dia sudah mengubah gerakan tubuhnya, kini dia bergerak menurut Ilmu Silat Pat-mo Kun-hoat, juga ilmu warisan dari ibunya yang memang kaya dengan segala macam ilmu silat itu. Gerakannya menjadi kacau-balau tidak karuan, membingungkan lawan akan tetapi di dalam kekacauan ini terdapat gerakan inti yang amat tertib.

“Des-des-plakkk!”

Kini tubuh Ban Hwa Sengjin yang masih di udara itu terpental dan dia meloncat turun dengan mata terbelalak lebar dan muka makin merah karena penasaran dan marahnya. Ternyata jurus ke duanya itu dihancurkan oleh pemuda itu dengan amat mudah dan aneh sekali, seolah-olah pemuda itu tahu ke mana dia hendak menyerang dan mendahuluinya dengan tusukan sehingga terpaksa dia menangkis sampai dua kali dan akhirnya terpental karena tahu bahwa kalau dia tidak cepat-cepat menjauhkan diri, dia malah yang terancam bahaya, maka dalam pertemuan tangkisan berikutnya dia telah meminjam tenaga lawan dan melemparkan dirinya ke belakang sehingga terpental.

“Hemmm, kau boleh juga!” katanya dengan tenang untuk menutup rasa kagetnya, kemudian sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau terluka, dia sudah menyerang dan kini dia bergerak cepat sambil memutar tubuhnya seperti gasing!

Itulah ilmunya yang amat diandalkan oleh koksu dari Nepal ini. Ilmu ini adalah ilmu yang dinamakan Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) yang diumpamakan seperti mengamuknya angin taufan yang mengandung angin puyuh berputaran, seperti badai dahsyat yang amat mengerikan. Dan memang hebat bukan main gerakan dari kakek botak ini.

Tubuhnya berputaran seperti gasing, kedua lengannya yang panjang bergerak-gerak dan dalam putaran itu seolah-olah kedua tangan telah berubah menjadi puluhan maut yang amat cepat tidak terduga dan dari gerakan memutar itu meniup angin yang seperti angin puyuh ke arah lawan.

Hebat bukan main dan bahkan Suma Kian Bu sendiri sampai terkejut sekali. Selama ini, baru dua kali dia bertemu lawan yang benar-benar amat hebat, yaitu yang pertama adalah Sin-siauw Seng-jin yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Sakti Suling Emas, dan ke dua adalah koksu dari Nepal inilah. Tentu saja perlawanannya ketika menghadapi kakaknya sendiri tidak masuk hitungan.

Agaknya Ban Hwa Sengjin setelah melihat kelihaian lawan selama dua jurus tadi, merasa khawatir kalau-kalau dia sampai kalah, maka langsung saja dia mainkan ilmu silat kosong yang menjadi andalannya itu untuk mencoba merobohkan lawan.

Dan memang Kian Bu menjadi kaget sekali. Masih banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang dikuasainya, baik yang diwarisi dari ayahnya maupun dari ibunya. Namun dia maklum bahwa menghadapi ilmu silat lawan yang amat aneh dan dahsyat ini, dia tidak boleh percaya kepada ilmu-ilmu silat lain yang dikuasainya, karena hal itu dapat membahayakan dirinya.

Sukar sekali untuk menghadapi serangan dari bayangan yang berpusing seperti gasing itu sehingga dia tidak lagi dapat melihat jelas bagian-bagian tubuh lawan, bahkan serangan-serangan lawan yang mencuat dari pusingan itu sukar pula diduga-duga.

Maka terdengarlah suara melengking dari mulut Siluman Kecil ini dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat dan lenyap dari pandangan para pengikut Ban Hwa Sengjin dan yang lain-lain. Demikian cepatnya gerakan Kian Bu yang tubuhnya mencelat ke sana-sini seperti kilat menyambar-nyambar sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata. Itulah ilmunya yang baru, ilmu ciptaannya sendiri yang disebut Sin-ho-coanin. Dengan gerakan seperti itu, semua serangan dari Ban Hwa Sengjin menjadi gagal!

Ban Hwa Sengjin amat terkejut. Setiap kali tubuhnya yang berpusing itu menyerang dengan pukulan tangan yang cepat tak terduga, tiba-tiba saja tubuh lawan itu melesat dan lenyap! Dan berturut-turut dia telah menyerang sampai sembilan belas jurus! Kurang satu jurus lagi dan dia akan kalah! Tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang selain lihai sekali, juga amat cerdik.

Pemuda itu sama sekali tidak mau balas menyerang! Dengan demikian, pemuda itu dapat memusatkan seluruh perhatiannya pada perlindungan diri saja sehingga akan dapat melewati dua puluh jurus dan tidak dapat dirobohkan, berarti menang! Kalau pemuda itu balas menyerang, tentu pertahanan dirinya menjadi berkurang kuatnya, akan tetapi satu kalipun Kian Bu tidak mau membalas serangan lawan.
Tentu saja Ban Hwa Sengjin menjadi khawatir sekali. Tentu kalah dia kalau dalam jurus terakhir ini dia tidak mampu mengalahkan atau merobohkan pemuda ini. Dia harus menggunakan sihirnya! Dari sepasang matanya memancarkan cahaya amat aneh berpengaruh, dia menarik napas panjang mengumpulkan kekuatan mujijat lalu terdengar suara yang dalam dan berpengaruh sekali, mengandung kumandang aneh, berseru,

“Lihat nagaku menerkammu!”

Kian Bu terkejut bukan main dan terbelalak memandang ke atas ketika tiba-tiba saja dia melihat seekor naga hitam yang menyemburkan api menyerangnya dari atas udara. Tentu saja menghadapi ancaman hebat ini, seluruh perhatiannya tercurah ke atas dan dia tidak tahu bahwa pada saat itu Ban Hwa Sengjin siap melancarkan serangan jurus terakhir!

Semua orang, termasuk Kian Lee, menjadi khawatir sekali melihat adiknya itu tiba-tiba saja berdiri bengong memandang terbelalak ke atas, seolah-olah tidak lagi mempedulikan lawannya yang sudah siap untuk menerjangnya!

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, tertawa merdu halus akan tetapi juga nyaring dan mengandung pengaruh yang mujijat. Lalu oleh Kian Bu yang seperti baru sadar ketika mendengar suara ketawa itu, tampak seekor naga merah yang menyambar dan menerkam naga hitam itu.

Terdengar suara keras dan naga hitam itu lenyap bersama naga merah dan sadarlah Kian Bu bahwa dia berada di bawah pengaruh sihir. Marahlah Siluman Kecil dan dia mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya, menggabungkan tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, lalu dia menyambut kakek itu yang sudah menyerangnya dengan ganas, serangan dari jurus terakhir!

“Desss....!”

Ban Hwa Sengjin terpental dan terbanting roboh ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Untung dia memiliki tenaga mujijat karena kalau tidak, tentu dia sudah mengalami luka-luka seperti tersiram air panas seperti yang diderita oleh Kian Lee. Dia hanya terbanting roboh dan pingsan saja, sebagian besar karena terpukul oleh kekuatan mujijatnya sendiri yang dipergunakan untuk menyihir dan ternyata membalik karena campur tangan wanita yang mengeluarkan suara ketawa tadi.

Kian Bu cepat menengok ke kanan dan dia melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang berdiri lemas seperti batang pohon yang-liu, dan mulutnya tersenyum mengejek memandang kepadanya, seorang yang cantik manis, pakaiannya serba indah dan di bawah ketiak kirinya mengempit sebuah payung hitam.

Dia merasa seperti pernah mengenal dara ini, akan tetapi dia lupa lagi di mana. Karena dia menduga bahwa tentu gadis ini yang telah menolongnya tadi dari bahaya maut akibat pengaruh sihir, maka dia lalu menjura ke arah gadis itu sambil berkata,

“Terima kasih!”

Akan tetapi pada saat itu, Sai-cu Kai-ong sudah cepat berkata,
“Mari kita cepat pergi dari sini!” dan dia sudah mendahului Kian Bu dengan menggendong Pangeran Yung Hwa.

Kian Bu sadar bahwa memang mereka harus cepat pergi selagi Ban Hwa Sengjin yang lihai itu tidak berdaya, maka dia pun segera berkata kepada Siauw Hong,

“Cepat kau ikuti Suhumu, biar aku yang menjaga dari belakang.”

Siauw Hong mengangguk dan sambil memondong tubuh Kian Lee, pemuda remaja ini pun cepat berlari pergi mengejar suhunya, sedangkan Kian Bu berlari paling belakang untuk menjaga dua orang yang memondong Pangeran Yung Hwa dan kakaknya itu. Akan tetapi setelah melihat Ban Hwa Sengjin roboh, dan mengenal pula Siluman Kecil, para pengawal Gubernur Ho-nan itu sama sekali tidak berani bergerak dan membiarkan mereka pergi.

Gadis cantik jelita yang tadi tersenyum-senyum, sekali berkelebat juga lenyap dari situ. Gadis ini tentu saja bukan lain adalah Siang In! Seperti kita ketahui, gadis ini masih terus mencari Syanti Dewi yang lenyap dari puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san, dari sarang Hwa-i-kongcu Tang Hun secara aneh, dan kebetulan saja dia menyaksikan pertandingan hebat antara Siluman Kecil dan koksu dari Nepal itu.

Andaikata koksu itu tidak mempergunakan ilmu sihir, tentu Siang In tidak akan mencampuri pertandingan hebat itu, bahkan dia sendiri menonton dari kejauhan dengan kagum sekali karena maklum, bahwa yang sedang bertanding itu adalah dua orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri.

Akan tetapi begitu melihat kakek raksasa botak itu mempergunakan ilmu hitam, tentu saja hatinya tertarik dan dia menjadi penasaran maka tanpa diminta dia lalu turun tangan membuyarkan pengaruh sihir itu.

Bukan sengaja untuk mendukung orang muda yang rambutnya putih dan aneh itu, melainkan hanya karena dia selalu tertarik oleh pertunjukan ilmu sihir karena dia sendiri adalah seorang ahli sihir! Dia pangling terhadap Kian Bu karena pemuda itu kini rambutnya sudah menjadi putih semua dan dia pun hanya melihat wajah pemuda itu dari jarak yang cukup jauh. Padahal, telah lama dia mencari pemuda ini!

Akhirnya tibalah mereka di perkemahan pasukan yang dipimpin oleh Sai-cu Kai-ong dari kota raja itu. Legalah hati Sai-cu Kai-ong karena kini dia yakin bahwa dia telah berhasil menyelamatkan Pangeran Yung Hwa dari bahaya maut. Maka begitu mereka tiba di ruangan dalam dari kemah induk yang ditinggali oleh Sai-cu Kai-ong, kakek yang gagah perkasa ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Yung Hwa untuk memberi hormat.

Dengan hati terharu pangeran yang rendah hati dan selalu ramah ini memeluk dan mengangkat bangun kakek itu sambil berkata,

“Locianpwe, jangan menggunakan terlalu banyak sikap sungkan terhadap saya. Pada saat ini saya hanyalah seorang yang telah berhutang budi dan nyawa kepada kalian semua. Sebaiknya Locianpwe cepat-cepat menolong Suma Kian Lee yang terluka parah itu.”

Sai-cu Kai-ong mengangguk dan merasa girang karena kini dia memperoleh kenyataan akan kebenaran berita di luaran tentang sikap Pangeran Yung Hwa yang bijaksana dan baik terhadap siapa saja. Di samping merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membantu kerajaan, juga dia merasa girang telah membantu seorang pangeran yang begitu menyenangkan sikapnya.

Cepat dia lalu menghampiri Kian Lee yang sudah direbahkan di atas pembaringan dan cepat dia melakukan pemeriksaan dengan teliti. Setelah melakukan pemeriksaan agak lama, Sai-cu Kai-ong lalu berkata kepada Kian Bu yang mengikuti pemeriksaan itu penuh perhatian.

“Taihiap, sungguh baru satu kali ini aku melihat kehebatan-kehebatan yang amat luar biasa. Akibat pukulan darimu amat mengerikan, akan tetapi daya tahan kakakmu ini juga amat luar biasa. Kalau bukan dia yang mengalami pukulan seperti ini, agaknya dia akan kehilangan seluruh sumber tenaga murninya dan akan menjadi seorang penderita cacad selama hidupnya “

“Ahhh, Locianpwe....!” Kian Bu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Harap Locianpwe sudi mengusahakan agar kakakku dapat sembuh....!” Dia berkata dengan muka pucat dan hati menyesal bukan main.

Sai-cu Kai-ong tersenyum dan membangunkan pemuda itu.
“Jangan khawatir, Taihiap. Kakakmu ini memiliki dasar kekuatan yang tidak lumrah manusia berkat sinkang yang selama hidup belum pernah kusaksikan demikian kuatnya sehingga dia hanya mengalami luka yang tidak membahayakan nyawanya. Akan tetapi, luka itu kalau kuobati dengan obat-obat biasa, akan memakan waktu berbulan-bulan. Hanya ada semacam obat yang kutahu akan dapat menyembuhkannya secara cepat sekali, akan tetapi aku sangsi apakah kita akan dapat memperoleh obat itu....“

“Di mana tempatnya? Locianpwe, aku sendiri akan mencari obat itu!” Kian Bu berseru.

Kakek itu mengerutkan alisnya,
“Obat itu adalah semacam jamur yang amat mujijat dan tidak ada ke duanya di dunia ini. Jamur panca warna yang hanya nampak warnanya kalau berada di tempat gelap, karena di dalam tempat gelap itu jamur ini mengeluarkan sinar mencorong dan kelihatanlah warnanya seperti warna pelangi. Kalau terkena sinar terang, jamur itu menutupkan kelopaknya seperti jamur mati dan hanya di waktu gelap saja dia mekar, mengeluarkan sinar dan warnanya.”

Kian Bu mengangguk-angguk.
“Sudah saya catat dalam hati tentang keadaan jamur itu, Locianpwe, lalu di mana tempatnya?”

“Itulah sukarnya. Aku sendiri pun belum pernah ke sana, dan hanya mendengar penuturan seorang pendeta yang pernah tersesat ke sana. Tempat itu agaknya tidak mungkin didatangi orang. Pernah aku sendiri mencapai tebing itu, akan tetapi tidak melihat jalan turun saking terjal dan licinnya. Akan tetapi, melihat kesaktian Taihiap, siapa tahu kalau-kalau Taihiap dapat menuruninya. Pendeta yang kini telah meninggal itu pun hanya karena tersesat saja, karena kecelakaan dan terguling ke dalam jurang lalu mencoba mencari jalan keluar, maka dapat tiba di tempat itu dan dia pun sudah tidak tahu lagi bagaimana dia dapat sampai ke tempat itu. Dialah yang membawa jamur aneh itu dan memberikan kepadaku, sayang bahwa jamur itu sudah habis kupakai mengobati orang. Tempatnya di tepi Sungai Huang-ho. Mari kubuatkan gambaran petanya.”

Kakek yang gagah perkasa itu lalu memberi petunjuk kepada Kian Bu tentang letaknya tebing yang curam di pegunungan dekat muara Sungai Huang-ho itu sampai pemuda ini jelas benar akan tempat yang hendak dikunjunginya untuk mencarikan obat bagi kakaknya. Setelah merasa yakin bahwa dia akan dapat mencari tempat itu, Kian Bu lalu berpamit kepada kakaknya.

“Lee-ko, harap tenangkan hatimu. Aku akan mencarikan obat jamur panca warna itu untukmu, dan percayalah, aku pasti akan bisa mendapatkan jamur itu. Harap kau baik-baik menjaga diri dan biarlah Sai-cu Kai-ong locianpwe yang akan merawatmu.”

Kian Lee memegang tangan adiknya.
“Jangan terlalu lama, Bu-te. Kita belum puas bicara, bahkan aku belum tahu bagaimana riwayatmu sehingga selama lima tahun engkau menghilang dan tahu-tahu rambutmu telah menjadi putih semua dan ilmu kepandaianmu meningkat sedemikian hebatnya,” kata Kian Lee dengan pandang mata penuh kasih sayang kepada adiknya.

“Nanti saja kalau aku sudah kembali kita bicara sebanyaknya, Koko. Yang terpenting sekarang adalah obat untukmu.”

“Suma-taihiap, kalau engkau kembali dan melihat kami sudah tidak berada di sini, berarti pasukan kami telah ditarik mundur kembali ke kota raja dan aku akan membawa kakakmu ke tempat tinggalku di puncak Bukit Nelayan untuk beristirahat dan diobati. Kami mempunyai pondok di sana, di puncak Bukit Nelayan di tepi sungai, sebelah selatan kota Pao-teng.”

“Hati-hatilah mencari obat yang amat sukar didatangi tempatnya itu, Taihiap,” kata Pangeran Yung Hwa yang hadir pula di situ. “Apakah perlu kiranya kau dikawal oleh pasukan? Mereka dapat membantumu “

“Terima kasih, saya kira tidak perlu,” jawab Kian Bu.

Maka berangkatlah pemuda perkasa ini meninggalkan perkemahan pasukan itu, menggunakan kepandaiannya berlari cepat sekali menuju ke tempat yang telah digambarkan oleh Sai-cu Kai-ong kepadanya. Apapun yang akan dihadapinya, apa pun yang akan menimpanya, dia harus mendapatkan obat untuk kakaknya itu, demikian dia mengambil keputusan di dalam hatinya.

**** 044 ****