FB

FB


Ads

Kamis, 14 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 043

Keduanya terkejut karena ternyata serangan mereka dapat dielakkan oleh lawan dengan mudah. Melihat kesaktian lawannya, Siluman Kecil langsung saja mengeluarkan ilmunya, ilmu yang hebat, yaitu ilmu gerak kilat yang diberi nama Sin-ho-coan-in (Bangau Sakti Menerjang Awan).

Hebat bukan main pertandingan itu. Tubuh Siluman Kecil mencelat ke sana-sini, namun tidak mudah baginya untuk dapat mengalahkan si Gagu yang ternyata benar-benar sakti dan menyimpan banyak ilmu-ilmu mujijat dan sakti itu.

Sai-cu Kai-ong yang berdiri menonton berkali-kali menggeleng kepalanya. Baru sekarang ini selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang seperti ini hebatnya. Dia seorang sakti, keturunan dari keluarga yang gagah perkasa, namun pandang matanya sampai menjadi kabur ketika dia menyaksikan kakek berambut putih itu bertanding melawan laki-laki bercambang bauk. Sukar mengatakan siapa yang terdesak karena keduanya berkelebatan seperti dua ekor burung garuda bertanding di angkasa.

Di seluruh ruangan itu menyambar-nyambar angin pukulan yang bercampur aduk, sebentar panas sebentar dingin sehingga Pangeran Yung Hwa sendiri sudah bersembunyi di balik meja di sudut ruangan karena tidak tahan menghadapi sambaran-sambaran angin itu. Kulit mukanya terasa sakit semua dilanda hawa yang amat panas dan kadang-kadang berubah amat dingin itu, bahkan Gu Sin-kai sendiri juga sudah menjauh sampai mepet dinding ruangan.

Si Gagu agaknya merasa penasaran bukan main. Selama ini, dia hanya mengeluarkan sebagian kecil saja kepandaiannya untuk melayani musuh, akan tetapi sekarang ini, biarpun dia sudah mengeluarkan semua ilmu simpanannya, dia masih tidak mampu menang, bahkan mulai terdesak karena gerakan kilat lawannya benar-benar amat hebat. Dengan penasaran dia lalu mengerahkan seluruh tenaga di kedua tangannya, lalu memukul dengan dorongan kuat.

Siluman Kecil terkejut bukan main. Dia tahu bahwa pukulan lawannya itu merupakan pukulan maut yang amat hebat, maka dia pun lalu menerimanya dengan dua tangan didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga sakti yang selama ini dilatihnya, yaitu tenaga sakti yang merupakan penggabungan dari inti tenaga Im dan Yang.

“Bresssss....!”

Tubuh si Gagu terlempar seperti sehelai daun tertiup angin dan tubuh Siluman Kecil terhuyung-huyung sampai jauh ke belakang. Hebat bukan main pertemuan tenaga itu, terasa oleh semua orang dan dinding ruangan itu sampai tergetar. Tubuh si Gagu rebah terlentang dan dia mengeluh perlahan, kulitnya luka-luka seperti terkena air mendidih. Cambang bauk dan kumisnya ternyata palsu semua dan kini cambang bauk itu copot semua, meninggalkan pemuda yang tampan.

Akan tetapi, Siluman Kecli juga kehilangan topeng penyamarannya yang dilakukan oleh Kang Swi. Topeng itu terkupas oleh hawa pukulan lawan sehingga kelihatanlah wajah yang asli, wajah seorang pemuda yang tampan akan tetapi dengan rambut panjang berwarna putih semua, wajah Siluman Kecil yang asli!

“Kokooooo....!” Tiba-tiba Siluman Kecil lari dan menubruk si “Gagu” yang masih terlentang di atas lantai ruangan itu. “Koko.... ah, Kian Lee koko.... kiranya engkau.... ya Tuhan, apa yang telah kulakukan tadi....?” Dan Siluman Kecil merangkul dan memeluk tubuh si “Gagu” itu dan menangis sejadi-jadinya!

Semua orang terkejut bukan main menyaksikan peristiwa aneh ini. Sai-cu Kai-ong sampai melongo karena tidak disangkanya bahwa “kakek” sakti yang menjadi temannya itu ternyata adalah seorang yang masih amat muda dan yang kini menangis, seperti anak kecil memeluk bekas lawannya yang juga masih amat muda.

Sementara itu, si “Gagu” yang ternyata adalah penyamaran Suma Kian Lee, membuka mata memandang orang yang memeluknya. Luka yang dideritanya akibat pukulan gabungan tenaga Im dan Yang dari Siluman kecil itu hebat sekali, akan tetapi dia tidak pingsan, bahkan kini dia tidak mengeluh sama sekali, menahan rasa nyeri yang seolah-olah menghancurkan seluruh tulang di dalam tubuhnya.

Mula-mula dia memandang penuh keraguan ke arah wajah pemuda berambut putih itu, rambut putih itulah yang meragukannya, akan tetapi kemudian dia pun menggerakkan kedua lengannya yang lemah, memeluk dan berkata,

“Aihhhhh.... Kian Bu adikku.... sayang, betapa sukarnya mencarimu, Bu-te. Engkaukah kiranya si kakek rambut putih tadi? Bukan main, adikku, kau hebat.... sekali...., ah, kau maju pesat sekali.... uhhh, adikku, betapa selama bertahun-tahun aku rindu kepadamu, Bu-te....”

“Koko, ah, Koko.... apa yang telah kulakukan tadi....?”

Siluman Kecil yang ternyata bukan lain adalah Suma Kian Bu, masih menangis melihat keadaan kakaknya. Pukulannya tadi hebat sekali, pukulan yang dilatihnya selama bertahun-tahun ini, pukulan yang mengandung penggabungan dari inti tenaga sakti Im dan Yang.
Di tempat asal mereka, yaitu di Pulau Es, mereka berdua memang telah digembleng oleh ayah mereka, Si Pendekar Super Sakti, dan telah melatih diri dengan ilmu inti hawa sakti Im, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, inti dari hawa sakti Yang. Dan ayah mereka pun telah melatih mereka dengan penggabungan antara kedua ilmu itu, akan tetapi penggabungan itu hanya merupakan kerja sama, yaitu menggunakan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang secara bergantian, atau juga berbareng dengan tangan kanan dan kiri.

Akan tetapi, penggabungan kedua tenaga yang berlawanan, sehingga merupakan tenaga yang mujijat sekali, yang ketika melatihnya hampir saja mengorbankan nyawanya akan tetapi ternyata dia telah berhasil menguasai tenaga mujljat itu. Dan kini, yang menjadi korban adalah kakaknya sendiri!

“Sudahlah,.... jangan berduka, adikku.... aku.... aku mati pun tidak akan penasaran.... engkau tidak bersalah.... kita saling menyamar dan tidak mengenal.... dan kau hebat sekali, Bu-te....eh, adikku, kenapa rambutmu menjadi putih semua....? Apakah untuk menyamar? Bu-te.... kalau kau pulang nanti.... jangan bilang kepada Ayah dan Ibu.... bahwa.... kita saling bertanding....“ Napas Kian Lee terengah-engah dan agaknya sukar sekali baginya untuk bicara.

“Koko....!” Kian Bu memeluknya. Sampai dalam keadaan hampir tewas pun kakaknya ini tidak menyalahkannya, bahkan ingin agar tidak sampai diketahui oleh orang tua mereka bahwa adiknya yang telah memukulnya seperti itu! “Kian Lee koko.... kalau kau mati.... aku pun tidak mau hidup!”

“Ah, jangan begitu, Bu-te....“ Kakak dan adik ini berpelukan.

Melihat ini, Saicu Kai-ong yang sejak tadi melongo dan hanya mendengarkan saja dua orang pemuda luar biasa itu berangkulan dan bicara, kini melangkah maju dan berkata.

“Biarkan saya memeriksa dan mengobatinya.”






Kian Bu menoleh kepadanya.
“Locianpwe, dia ini kakakku, dan dia hampir tewas oleh pukulanku sendiri. Kalau Locianpwe dapat menyembuhkannya, aku Suma Kian Bu akan berterima kasih sekali dan tidak akan melupakan budimu.”

“Suma....?” Kini Sai-cu Kai-ong terkejut setengah mati. “Kalian she Suma? Ada hubungan apa dengan majikan Pulau Es, Suma Han?”

“Dia adalah ayah kami....“ kata Suma Kian Bu dengan suara lirih dan lemah.

“Ahhh....! Ya Tuhan, kalian putera Pendekar Super Sakti dan telah saling hantam sendiri? Minggirlah, biarkan aku memeriksanya dan aku akan berusaha mati-matian untuk menyelamatkan dia.”

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut. Ternyata kini pasukan pengawal telah mengepung ruangan itu! Melihat munculnya banyak pengawal, otomatis Kian Bu memondong tubuh kakaknya sedangkan Sai-cu Kai-ong cepat memondong Pangeran Yung Hwa.

“Dari mana datangnya penjahat-penjahat yang bosan hidup berani mengancam di sini?”

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan seperti seekor burung melayang tahu-tahu di antara para pasukan pengawal itu meloncat masuk seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Kang Swi. Pemuda ini langsung menyerang ke arah Sai-cu Kai-ong untuk merampas Pangeran Yung Hwa yang dipondong oleh kakek itu.

Akan tetapi, kakek gagah perkasa itu sudah melompat ke samping dan terdengar Gu Sin-kai membentak marah lalu kakek pengemis inilah yang menerjang dan menyambut Kang Swi. Mereka segera bertanding dengan hebat sedangkan para pengawal sudah menyerbu ke dalam ruangan itu sehingga kakek gagah perkasa dan Kian Bu yang masing-masing menggendong Pangeran Yung Hwa dan Kian Lee, mengamuk dengan tamparan satu tangan dan tendangan-tendangan kaki mereka.

Sepak terjang kakek itu hebat, dan Kian Bu yang marah dan berduka melihat keadaan kakaknya, juga marah bukan main sehingga setiap tendangan atau tamparan tangannya tentu merobohkan seorang pengeroyok. Senjata-senjata beterbangan dan para pengeroyok terlempar ke sana-sini di tengah-tengah teriakan-teriakan mereka.

Akan tetapi, Gu Sin-kai terdesak hebat oleh Kang Swi yang amat lihai, apalagi setelah Kang Swi mencabut pedangnya. Biarpun Gu Sin-kai melawan mati-matian dengan tongkatnya, namun tetap saja dia menjadi kewalahan karena pedang di tangan Kang Swi benar-benar amat lihai, mengeluarkan suara bersuitan dan mengandung hawa yang panas dan tajam. Tiba-tiba Gu Sin-kai berteriak kaget ketika ujung pedang itu mencium pundaknya sehingga bajunya robek dan pundaknya berdarah.

“Mundurlah, Gu Sin-kai, biarkan saya yang menghadapinya!” teriak Kian Bu marah dan biarpun dia menggunakan tangan kirinya untuk memanggul tubuh kakaknya, namun dengan berani dia menerjang Kang Swi dengan tangan kosong.

“Wuuuuuttt....!” Angin pukulan dahsyat menyambar ganas ke arah pemuda royal itu.

“Eihhhhh...., kau....?”

Kang Swi berseru kaget sekali, tidak mengira bahwa Siluman Kecil yang telah menjadi “sahabatnya” itu kini menyerangnya demikian ganas. Dia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja sambaran hawa pukulan itu membuat dia terdorong mundur dan terhuyung-huyung!

“Saudara Kang Swi, mundurlah! Kau telah keliru membela orang! Gubernur Ho-nan adalah seorang pemberontak,” Kian Bu berkata. “Jangan kau halangi kami menyelamatkan Pangeran Yung Hwa!”

“Twako, aku telah menjadi pengawal, aku harus setia kepada tugasku. Kembalikan Pangeran Yung Hwa dan aku akan membiarkan kalian pergi dengan baik-baik!” kata Kang Swi.

“Bandel, kalau begitu terpaksa kita harus menjadi lawan!”

Kian Bu menerjang lagi. Kang Swi menyambut dengan pedangnya yang ditusukkan ke arah lambung Kian Bu sedangkan kakinya menendang ke arah lutut Siluman Kecil itu.

“Huhhh!”

Kian Bu mendengus, tangannya tidak ditarik mundur melainkan langsung menangkis pedang itu! Dan dia pun menyambut tendangan lawan dengan tendangan kakinya.

“Tranggg.... dukkk.... aihhhhh....!”

Kang Swi menjerit dan tubuhnya terlempar ke belakang, terbanting keras dan dia bangkit duduk dengan mata terbelalak sambil memijit-mijit kakinya. Tulang keringnya bertemu dengan kaki Siluman Kecil, bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk-nusuk tulang sumsum, sedangkan pedangnya yang bertemu dengan tangan pendekar itu tadi telah terlempar, entah lenyap kemana. Tentu saja dia bengong dan hampir tidak percaya bahwa dia dirobohkan dalam segebrakan saja, dan betapa pedangnya ditangkis oleh tangan kosong saja!

Akan tetapi, Kian Bu tidak mempedulikannya lagi karena pada saat itu telah muncul Ho-nan Ciu-lo-mo dan Siauw-hong! Di belakang mereka nampak banyak pengawal lagi yang memenuhi tempat itu!

Ho-nan Ciu-lo-mo segera mengenal Kian Lee yang berada di atas pundak Kian Bu, maka tahulah dia bahwa istana itu telah kebobolan mata-mata dari Ho-pei, akan tetapi ketika dia melihat Sai-cu Kai-ong, dia terkejut setengah mati. Kiranya orang tua gagah yang memimpin pasukan besar dari kota raja itu pun telah berada di situ dan kini sudah memondong Pangeran Yung Hwa. Dia maklum akan siasat majikannya, maka dia lalu membentak marah,

“Penculik-penculik hina, lepaskan Pangeran Yung Hwa!” bentaknya dan bersama beberapa orang pembantu dia sudah menerjang maju.

Akan tetapi Kian Bu yang tidak ingin melihat pangeran itu terancam bahaya, sudah memapaki si muka dan rambut merah itu dengan tamparan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memondong tubuh kakaknya.

“Wuuuttttt....!”

Ciu-lo-mo cepat mengelak dan terkejut melihat sambaran tenaga dahsyat itu. Cepat dia menggerakkan guci araknya menyerang ke arah kepala Kian Bu, sedangkan arak dari guci itu muncrat menyerang ke arah muka Kian Lee yang setengah pingsan.

“Keparat!”

Kian Bu. membentak, dengan gerakan tangannya dia menangkis dan sekaligus membuyarkan percikan arak itu dengan tiupan mulutnya.

“Tranggg!”

Guci arak membalik dan nyaris terlepas dari tangan Ciu-lo-mo saking kerasnya terpental oleh tangkisan itu.

“Hong-ji (Anak Hong)....!” Terdengar Sai-cu Kai-ong berseru ketika dia melihat Siauw-hong menyerbu ke dalam.

“Suhu....!”

“Apa kau sudah gila? Kau membantu musuh-musuhku?”

Kakek itu membentak lagi sambil merobohkan seorang pengawal yang menyerangnya dengan golok dari samping dengan tendangan kakinya yang panjang dan besar.

“Suhu....!” Siauw-hong memandang bingung. “Teecu.... teecu menjadi pengawal dengan baik....“

“Tolol! Yang kau bantu adalah seorang pemberontak!”

“Ahhhhh....!” Siauw-hong memandang bingung.

“Hayo kau bantu kami keluar dari tempat ini, menyelamatkan Pangeran ini!” Kakek itu kembali berseru.

“Baik, Suhu!”

Siauw-hong berseru dan kini dia membalik, sekali bergerak dia telah merobohkan dua orang pengawal!

Akan tetapi, kini banyak sekali pengawal yang sudah mengepung tempat itu sehingga tidak ada lagi jalan keluar yang terbuka. Para pengawal yang tidak kebagian ruangan berjejal di depan pintu dan jendela, siap dengan senjata di tangan untuk menggantikan kawan-kawan mereka yang roboh.

Melihat ini, Kian Bu merasa khawatir. Betapapun lihainya mereka, menghadapi begitu banyak lawan di tempat sempit ini amat berbahaya, pikirnya. Apalagi amat berbahaya bagi kakaknya yang terluka parah.

“Mampuslah!”

Dia membentak dan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang ke arah Ciu-lo-mo. Kakek pemabuk ini terkejut mendengar suara pukulan yang bercicitan suaranya itu. Dia cepat menggerakkan guci araknya dengan sepenuh tenaga untuk menangkis.

“Pyarrrrr....!”

Guci arak itu pecah berantakan araknya muncrat berhamburan dan tubuh si muka dan rambut merah itu roboh terjengkang!

“Siauw-hong, kau tolong panggul kakakku ini, biar aku membuka jalanl”

Tiba-tiba Kian Bu berseru kepada Siauw-hong yang juga masih mengamuk dan melindungi suhunya.

“Baik, Taihiap,”' jawab Siauw-hong dan dia cepat mendekati Kian Bu dan menerima tubuh Kian Lee yang sudah lemas setengah pingsan itu lalu dipondongnya.

Melihat ini, Sai-cu Kai-ong merasa girang.
“Hong-ji, kau sudah mengenal pendekar ini?”

Tanyanya sambil bergerak ke sana-sini sambil menggerakkan lengan bajunya yang lebar untuk menghalau senjata-senjata yang datang menyerangnya.

“Tentu saja, Suhu,” jawab Siauw-hong sambil meloncat ke kiri untuk membiarkan lewat sebatang tombak yang menusuknya, kemudian tangan kanannya mendorong dan si pemegang tombak itu menjerit dan roboh terjengkang. “Taihiap ini adalah Siluman Kecil.”

“Ahhhhh....”

Sai-cu Kai-ong berteriak kaget. Sungguh dia telah mendengar banyak hal yang aneh dan mengejutkan. Tadi, pemuda berambut putih itu mengaku sebagai putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan kini ternyata menurut penuturan muridnya, pemuda itu adalah juga Siluman Kecil yang namanya sudah tersohor!

Kini Kian Bu yang sudah tidak lagi memondong tubuh kakaknya, mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Dia menggunakan ilmunya yang mujijat, yaitu ilmu Sin-ho-coan-in, tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dengan cepatnya dan kedua tangannya menyambar-nyambar ganas sehingga dalam waktu pendek saja, semua pengawal yang berada di ruangan itu sudah roboh malang melintang seperti disambar petir.

“Mari keluar, biar aku membuka jalan!” teriaknya dan dia sudah menerjang ke pintu, sekali dorong saja dia merobohkan enam orang pengawal di luar pintu.

Tentu saja kehebatan pemuda yang rambutnya putih terurai ini mengejutkan orang-orang, apalagi ketika mereka mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Siluman Kecil!

“Siluman Kecil....!”

“Celaka, dia mengamuk. Minggir....!”

Para perwira pengawal dan para anggauta pengawal yang sudah pernah melihat bayangan Siluman Kecil, bahkan pernah menyanjungnya sebagai seorang pendekar perkasa yang mengamankan Ho-nan, menjadi gentar sekali dan mereka semua mundur.

Memang nama Siluman Kecil sudah terkenal sekali di Ho-nan. Dia pernah membersihkan Ho-nan dari gangguan orang-orang jahat, bahkan pernah mengakurkan semua fihak yang bertentangan dari orang-orang kang-ouw, dan dia pernah diterima oleh Gubernur Ho-nan sendiri sebagai seorang pahlawan.

Dan kini, Siluman Kecil mengamuk dan membantu orang-orang yang hendak melarikan Pangeran Yung Hwa. Keraguan dan rasa jerih menghantui hati para pengawal sehingga mereka tidak banyak melawan atau menghalangi ketika Kian Bu mempelopori teman-temannya keluar dari ruangan itu dan langsung melarikan diri keluar dari daerah istana gubernuran.

“Siluman Kecil mengamuk!”

“Siluman Kecil melarikan Pangeran Yung Hwa!”

Teriakan-teriakan para pengawal ini membuat para pengawal lain menjadi gentar hatinya dan mereka tidak banyak melakukan usaha pencegatan sehingga rombongan Kian Bu dapat terus melarikan diri sampai ke pintu gerbang.

“Buka pintu! Aku, Siluman Kecil, hendak lewat bersama teman-temanku! Jangan membikin aku marah!”

Kian Bu membentak, suaranya nyaring dan menggema karena memang dia sengaja mengerahkan khikangnya dan dia sengaja menggunakan nama julukannya untuk menggertak agar mereka tidak perlu mengerahkan tenaga dan membuang waktu untuk menggunakan kekerasan terhadap para penjaga di pintu gerbang itu. Dia harus cepat dapat menyelamatkan kakaknya. Jangan-jangan kakaknya yang dipondongnya lagi itu telah tewas! Dia menunduk, dan melihat bahwa Suma Kian Lee ternyata masih membuka mata memandangnya dengan kagum.

“Kau hebat, adikku.... kau hebat....“ bisik Kian Lee.

“Ahhhhh....!”

Jantung Kian Bu rasanya seperti ditusuk dan bagi pendengarannya, pujian kakaknya itu seperti ujung pedang menghujam dadanya karena kehebatannya itu dipergunakan untuk memukul roboh kakaknya sendiri!

“Lekas buka! Kalau tidak, kubunuh kalian semua!” bentaknya geram untuk menutupi hatinya yang tersiksa rasanya.

“Baik.... baik, Taihiap!” terdengar jawaban seorang penjaga dan bergegas dia membuka pintu benteng itu dibantu oleh kawan-kawannya.

Keluarlah mereka dari tembok kota yang merupakan benteng pertahanan kota Lok-yang. Akan tetapi, malam telah mulai terganti pagi dan tiba-tiba nampak debu mengebul dan dari depan datanglah serombongan orang berkuda yang dipimpin oleh seorang raksasa berkepala botak bermantel merah.

Ban Hwa Sengjin koksu dari Nepal bersama pengawal-pengawal pribadi Gubernur Kui dari Ho-nan! Kiranya sudah ada berita terdengar oleh Gubernur Kui yang masih berada di Ceng-couw dan mendengar berita bahwa ada keributan di Lok-yang, maka gubernur minta bantuan Koksu Nepal yang sakti itu untuk memimpin serombongan pengawal cepat-cepat menuju ke Lok-yang dan kebetulan sekali mereka bertemu dengan rombongan yang melarikan Pangeran Yung Hwa itu di luar tembok benteng Lok-yang!

“Ha-ha-ha-ha, kiranya kalian ini hanyalah penculik-penculik hina!” bentak Ban Hwa Sengjin sambil tertawa bergelak penuh ejekan. “Seperti sekumpulan maling kesiangan saja. Setelah bertemu dengan kami, lebih baik kalian menyerah daripada mati konyol!”

Biarpun suaranya agak kaku namun ternyata Koksu Nepal ini pandai sekali berbicara dalam bahasa daerah.

Sai-cu Kai-ong marah sekali.
“Manusia sombong! Engkau menjadi kaki tangan pemberontak, padahal kulihat engkau bukanlah orang Han. Agaknya engkau malah yang membujuk Gubernur Ho-nan untuk memberontak. Sekarang bertemu dengan aku Sai-cu Kai-ong, berarti ajalmu sudah berada di depan mata! Siapakah engkau, orang asing?”

“Ha-ha-ha-ha! Aku adalah sahabat baik dari Gubernur Ho-nan, dan namaku Ban Hwa Sengjin. Kini aku bertugas menangkap kalian maling-maling kecil. Julukanmu Sai-cu Kai-ong? Ha-ha, biarpun suaramu seperti seekor sai-cu (singa) namun engkau menghadapi aku seperti seekor singa ompong, jembel busuk!”

Dimaki singa ompong dan jembel busuk yang tentu diambil dari julukannya sebagai Kai-ong (Raja Pengemis), kakek gagah itu menjadi marah bukan main.

“Siauw-ji, kau jaga beliau,” katanya sambil menunjuk Pangeran Yung Hwa yang berdiri di belakangnya, kemudian dengan langkah lebar dia menghampiri Ban Hwa Sengjin yang dengan sikap tenang telah turun dari atas punggung kudanya.

“Ban Hwa Sengjin pengecut hina! Kau mengandalkan pasukanmu yang jumlahnya dua puluh orang lebih ini untuk menggertak kami? Kau kira kami takut?” Sai-cu Kai-ong membentak.

“Ha-ha, mereka ini hanya menjadi pengantarku. Dengan tenagaku sendiri aku mampu merobohkan kalian semua, satu demi satu atau berbareng. Kalau aku tidak dapat mengalahkan kalian, biarlah kalian lewat tanpa kami ganggu.”

Ucapan ini merupakan kesombongan yang hebat.
“Benarkah itu? Apakah manusia macam engkau akan dapat menahan diri untuk tidak bersikap curang dan dapat memegang janji?”

Alis yang tebal itu berkerut.
“Sai-cu Kai-ong, tahan sedikit mulutmu. Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah seorang koksu dari Kerajaan Nepal, tahu?” bentak Ban Hwa Sengjin.

“Ah, kiranya begitu?”

Sai-cu Kai-ong berseru. Mengertilah kini dia mengapa orang Nepal ini berada di sini. Kiranya dalam usahanya untuk memisahkan diri dari kaisar, Gubernur Ho-nan telah mendekati dan mengadakan hubungan rahasia dengan Kerajaan Nepal di barat!

“Nah, majulah menyerahkan nyawamu!” Ban Hwa Sengjin melangkah maju dengan tangan kosong sambil tersenyum mengejek.

“Sambutlah!”

Sai-cu Kai-ong membentak dan sudah menerjang ke depan dengan gerakan tangkas dan karena dia dapat menduga akan kelihaian kakek botak ini, maka begitu dia menyerang langsung dia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu keluarga turun-temurun dari nenek moyangnya. Ilmu ini dinamakan Khong-sim-sin-ciang (Ilmu Pukulan Tangan Sakti Hati Kosong), sesuai dengan nama perkumpulan pengemis yang dipimpin oleh nenek moyangnya, yaitu perkumpulan Khong-sim-kai-pang.

Ilmu pukulan ini amat lihai, kelihatan kosong namun berisi dan memang inti ilmu pukulan ini berdasarkan kekosongan. Menurut dongeng yang diceritakan turun-temurun dalam keluarganya, nenek moyangnya adalah orang-orang yang suka sekali mempelajari Agama To dan dari pelajaran Agama To inilah maka Ilmu Khong-sim-sin-cang itu diciptakan.

Menurut cerita neneknya dahulu, dalam keluarga Yu terdapat ayat dari Kitab To-tik-khing yang amat mereka junjung tinggi, yaitu pelajaran dari Nabi Lo Cu tentang kekosongan yang menjadi inti dari segalanya, bahkan yang berisi tidak akan ada gunanya tanpa ada kekosongan itu seperti disebutkan dalam ayat ke sebelas dari Kitab To-tik-khing.

“Tiga puluh ruji berpusat pada satu poros roda, pada tempat yang kosong terletak kegunaannya. Dari tanah liat dibuatlah jembangan, pada tempat yang kosong terletak kegunaannya. Lubang pintu dan jendela dibuat untuk rumah, pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.”