FB

FB


Ads

Kamis, 14 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 042

Sungguh sukar dipercaya. Tidak mungkin kiranya kalau Gubernur Ho-nan memiliki mata-mata yang seperti itu kepandaiannya, sedangkan orang kepercayaan gubernur itu saja, si Ciu-lo-mo, tingkat kepandaiannya baru setingkat dengan muridnya, Gu Sin-kai.

Di lain fihak, Siluman Kecil juga kagum karena kembali dia bertemu dengan seorang yang sakti! Kalau mereka berdua bertanding sungguh-sungguh, dia masih belum dapat memastikan apakah dia akan dapat mengalahkan kakek ini dengan mudah. Maka dia merasa ragu-ragu untuk maju, hanya menanti gerakan lawannya.

“Sabar, tahan dulu! Siapakah engkau dan mengapa engkau mengintai di sini?” tanya Sai-cu Kai-ong sambil memandang kakek di depannya itu penuh perhatian.

Siluman Kecil menjura dan menjawab,
“Maaf, saya tidak sengaja mencampuri urusan Locianpwe. Saya kebetulan lewat, hanya orang lewat biasa saja.... maaf.” Siluman Kecil menjura lagi dan memutar tubuhnya hendak pergi dari situ.

“Sahabat yang baik, tunggu dulu!” Sai-cu Kai-ong berseru.

Kakek ini sungguh luar biasa, pikirnya, berwatak demikian sederhana dan merendah, kepandaiannya begitu tinggi namun masih menyebut dia “locianpwe”.

“Setelah kita bertemu di sini, setelah tanpa disengaja kita saling menguji kepandaian, apakah sahabat menganggap saya terlalu rendah untuk dijadikan kenalan? Saya disebut orang Sai-cu Kai-ong dan saya merasa kagum sekali kepadamu yang memiliki kepandaian hebat. Bolehkan saya mengetahui namamu yang terhormat?”

Siluman Kecil menggeleng kepalanya yang penuh rambut putih menutupi mukanya yang keriputan.

“Saya tidak bernama....saya tidak mempunyai nama....“

Sai-cu Kai-ong tidak merasa heran mendengar ini. Dia maklum bahwa makin tinggi kepandaian orang, makin seganlah dia memperkenalkan namanya. Dia sendiri pun tidak pernah menyebutkan namanya sendiri dan membiarkan orang lain menamakannya. Tidak pernah nama aslinya, yaitu Yu Kong Tek, dikenal orang.

“Sahabat yang baik, biarpun engkau tidak sudi memperkenalkan nama, akan tetapi dengan hormat saya mengundangmu untuk menemani kami. Harap saja engkau orang tua tidak akan menolak undangan kami”

Siluman Kecil sebetulnya tidak suka untuk berkenalan dengan orang banyak. Akan tetapi, mendengar tentang urusan Pangeran Yung Hwa tadi, dia merasa tertarik sekali dan sebetulnya ingin juga dia mengetahui bagaimana perkembangan urusan yang menyangkut diri pangeran itu, maka tanpa banyak cakap dia lalu mengangguk.

Sai-cu Kai-ong girang sekali dan dia lalu bersama Siluman Kecil, diiringkan oleh Gu Sin-kai dan Panglima Souw Kee An, kembali ke perkemahan para pasukan di balik bukit, di mana dia menjamu Siluman Kecil dan bercakap-cakap tentang ilmu silat. Makin gembiralah hati Sai-cu Kai-ong mendengar betapa tamunya itu ternyata luas sekali pengetahuannya tentang ilmu silat.

Sebaliknya, Siluman Kecil terkejut ketika mendengar pengakuan tuan rumah bahwa kakek gagah itu ternyata adalah keturunan dari para pendiri Khong-sim Kai-pang dan nenek moyangnya menjadi sahabat-sahabat baik dari keturunan Pendekar Sakti Suling Emas! Siluman Kecil mendengarkan pula penuturan tentang lenyapnya Pangeran Yung Hwa yang tadinya menjadi utusan kaisar, lenyap ketika terjadi keributan di taman bunga istana Gubernur Ho-nan. Yang menceritakan urusan ini adalah Perwira Souw Kee An.

Menjelang sore hari itu, penjaga melaporkan bahwa di kejauhan muncul kurang lebih seribu orang perajurit dari Ho-nan dan utusan pasukan itu datang menyampaikan berita bahwa Gubernur Ho-nan telah datang untuk menemui pimpinan pasukan kota raja yang diutus oleh kaisar dan ingin bicara! Mendengar ini, Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk.

“Baik sekali kalau dia datang bicara,” katanya di hadapan Siluman Kecil, Souw Kee An, dan Gu Sin-kai. “Aku pun tidak akan merasa senang kalau harus menggempur Ho-nan dan mengorbankan banyak perajurit dan rakyat yang tidak berdosa.”

Kakek gagah ini lalu memerintahkan penjaga untuk membawa utusan pasukan gubernur itu menghadap.

Setelah perajurit yang bermuka pucat itu menghadap, Sai-cu Kai-ong berkata,
“Sampaikan kepada Gubernur Kui Cu Kam, bahkan saya akan menantinya di puncak bukit, dan saya mempersilakan dia datang tanpa pasukan, hanya bersama satu orang pengawal saja. Pergilah!”

Perajurit itu pergi dan Sai-cu Kai-ong berkata,
“Sahabat yang baik, kini aku minta kepadamu untuk menemaniku menemui gubernur.”

“Baik, Kai-ong,” jawab Siluman Kecil. “saya pun ingin sekali mendengar bagaimana nasib pangeran itu.”

Siluman Kecil kini menyebut tuan rumah itu Kai-ong, karena Sai-cu Kai-ong menolak ketika disebutnya locianpwe. Sedangkan Saicu Kai-ong hanya menyebut Siluman Kecil “sahabat” saja karena Siluman Kecil berkeras tidak mau memperkenalkan namanya.

Berangkatlah dua orang itu ke puncak bukit. Dan mereka melihat bahwa dari depan, ada dua orang pula yang mendaki puncak bukit kecil itu dan ternyata mereka itu adalah Gubernur Kui Cu Kam sendiri yang dikawal oleh seorang kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, kepalanya botak, mantelnya lebar dan berwarna merah darah, dan mulutnya selalu menyeringai lebar dengan lagaknya yang congkak. Orang ini bukan lain adalah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang telah bersekutu dengan Gubernur Ho-nan!






Setelah empat orang ini saling berjumpa di puncak bukit itu, mereka tidak saling memberi hormat, melainkan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Akhirnya, Gubernur Ho-nan bertanya,

“Menurut pelaporan Ciu-lo-mo, engkau mengundang kami datang ke sini. Apakah urusannya?”

Dari suaranya, jelas bahwa gubernur ini marah sekali karena sesungguhnya dia datang dengan terpaksa karena khawatir mendengar ancaman itu, bahwa kalau dia tidak datang maka Hon-an akan diserbu. Menurut para penyelidiknya, memang ada sepuluh ribu orang perajurit kota raja siap di balik puncak bukit ini!

Sai-cu Kai-ong mengangguk dan berkata,
“Gubernur Kui Cu Kam, kami memenuhi peritah kaisar untuk menuntut agar engkau suka membebaskan Pangeran Yung Hwa dan memberi penjelasan akan sikapmu yang tidak layak itu!”

Suara Sai-cu Kai-ong menggeledek dan muka gubernur itu menjadi agak pucat. Akan tetapi, Ban Hwa Seng-jin hanya tersenyum mengejek dan memandang rendah, bahkan dia menggerak-gerakkan kakinya untuk menghilangkan lumpur dari bawah sepatunya pada sebongkah batu karang.

Nampak bunga api berpijar ketika bawah sepatunya bertemu dengan batu karang dan ujung batu karang itu pun hancur lebur oleh injakan sepatunya yang dilapis tapal baja! Tentu saja suara tapal baja mengenai batu karang itu nyaring dan mengganggu dan memang inilah yang dimaksudkan oleh Ban Hwa Seng-jin untuk memperlihatkan sikap bahwa dia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada dua orang kakek di depannya itu.

Gubernur Kui tersenyum dan matanya yang sipit menyambar penuh kecerdikan.
“Kalau memang manusia she Hok dari Ho-pei itu sudah mengadu ke sana, penjelasan dari kami apalagi artinya? Tentu keadaan yang sebenarnya telah diputarbalikkan oleh orang she Hok Gubernur Hopei itu. Di antara dia dan kami memang sudah lama ada pertikaian mengenai wilayah di perbatasan, dan pertikaian itu meletus ketika dia mengantar Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar. Keributan antara dia dan kami serta para pembantu kami kedua fihak tak dapat dicegah lagi. Sudah tentu saja dia memutarbalikkan kenyataan dan mendongeng di kota raja bahwa fihak kami sengaja hendak mencelakakan Pangeran Yung Hwa. Padahal, fihak orang she Hok itulah yang sengaja memancing timbulnya keributan di taman istana kami agar dapat mempergunakan sebagai bahan fitnah.”

Sai-cu Kai-ong mengerutkan alisnya. Dia pribadi tentu saja tidak akan berfihak kepada Gubernur Ho-nan ini atau kepada Gubernur Ho-pei, dan dia tidak pula mengetahui apa urusannya antara mereka berdua. Akan tetapi sebagai utusan, dia hanya akan melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.

“Gubernur Kui, penjelasanmu tentu akan kami sampaikan kepada Sri Baginda Kaisar. Sekarang, kami harap engkau suka membebaskan Pangeran Yung Hwa agar beliau dapat kembali ke kota raja bersama kami.”

Gubernur itu kembali tersenyum, lalu berkata lantang,
“Anggapan bahwa kami menangkap Pangeran Yung Hwa tentu timbul karena fitnah yang dilontarkan oleh Gubernur Ho-pei itu. Padahal, kami hanya melindungi Pangeran Yung Hwa karena kami tahu bahwa fihak Ho-pei tentu berusaha sekuat mungkin untuk dapat membunuh pangeran itu sehingga kemudian kami pula yang akan dituduh sebagai pembunuhnya. Pangeran Yung Hwa kami lindungi dan dalam keadaan selamat. Tentu akan kami bebaskan dan setelah mendengar penjelasan kami ini, maka pengiriman pasukan dari kota raja itu sungguh tidak pada tempatnya dan harap sekarang juga ditarik mundur kembali.”

“Hemmm, mudah saja menarik mundur pasukan. Akan tetapi saya hanya akan menarik mundur pasukan kalau sudah melihat Pangeran Yung Hwa dibebaskan dan berada di antara kami.”

“Orang tua yang tinggi hati! Kami mendengar bahwa engkau bukanlah seorang panglima, dan menurut Ciu-lo-mo, engkau hanya seorang kang-ouw yang berjuluk Sai-cu Kai-ong.”

“Memang benar demikian,” jawab kakek itu tenang.

“Mengapa orang seperti engkau tidak mempercayai kami?” bentak gubernur itu, marah bukan main bahwa seorang “raja pengemis” saja berani tidak percaya kepadanya.”

“Tidak ada soal percaya atau tidak percaya, Kui-taijin. Kami hanya menjalankan tugas yang akan kami pertahankan sampai detik terakhir. Kami ulangi bahwa kami baru akan menarik mundur pasukan kalau Pangeran Yung Hwa sudah diserahkan kepada kami.”

Gubernur itu menoleh kepada Ban Hwa Sengjin dan sampai beberapa lamanya mereka bertemu pandang, kemudian Gubernur Kui berkata,

“Baiklah, kau tunggu saja. Besok akan kami bebaskan Pangeran Yung Hwa. Hari sudah mulai gelap, kami akan kembali dulu.”

Setelah berkata demikian, gubernur itu mengangguk kepada Ban Hwa Sengjin. Koksu dari Nepal yang bertubuh seperti raksasa itu lalu memondong tubuh Gubernur Kui, kemudian dia berlari cepat sekali menuruni bukit itu. Gerakannya gesit dan larinya seperti terbang saja.

“Hemmm, raksasa itu lihai sekali dan gubernur itu amat cerdik,” kata Sai-cu Kai-ong dan Siluman Kecil mengangguk.

“Saya kira juga ada sesuatu yang direncanakannya,” kata Siluman Kecil.

Sai-cu Kai-ong lalu mengajak Siluman Kecil kembali ke perkemahan dan dia mengadakan rapat kilat di antara para pembantunya. Semua pembantunya juga menyatakan rasa curiga mereka terhadap Gubernur Kui, maka akhirnya diambil keputusan bahwa Sai-cu Kai-ong sendiri, dibantu oleh Gu Sin-kai, pergi menyelidiki ke istana Gubernur Kui di Lok-yang dan atas permintaan Sai-cu Kai-ong, Siluman Kecil mau juga menemani mereka. Berangkatlah mereka bertiga pada malam hari itu juga menuju ke Lok-yang.

Malam itu amat sunyi di istana gubernuran di kota Lok-yang. Karena menurut keterangan dari Ho-nan Ciu-lo-mo bahwa Gubernur Kui sedang sibuk dengan urusan penting dan belum sempat berbicara dengan tiga orang jagoan yang terpilih sebagai pengawal-pengawal pribadi, maka tiga orang yang memenangkan sayembara yang diadakan di Ceng-couw itu kini diserahi tugas menjaga keamanan di istana gubernuran, ditemani oleh Ciu-lo-mo sendiri.

Seperti diceritakan di bagian depan, yang menang dalam pertandingan itu adalah tiga orang, yaitu pertama adalah laki-laki pincang yang gagu, ke dua adalah, Kang Swi pemuda royal itu, dan ke tiga adalah Siauw-hong, yaitu pengemis muda yang tadinya menjadi tukang kuda dari Kang Swi. Setelah menang dalam sayembara, Kang Swi memberikan empat ekor kudanya kepada A-cun, kacungnya itu dan menyuruh kacungnya itu pergi.

Kang Swi yang berwatak ugal-ugalan dan manja, juga agak angkuh itu, masih merasa penasaran karena dia hanya jatuh nomor dua, dinyatakan kalah oleh si pincang gagu! Padahal, siapakah si gagu itu? Orang yang sama sekali tidak punya nama! Benar-benar tidak punya nama karena si gagu itu tidak bisa menjawab ketika ditanyai namanya, dan ketika disuruh tuliskan namanya, dia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangannya sebagai tanda bahwa dia tidak dapat menulis. Pincang, gagu, dan buta huruf! Akan tetapi toh dianggap pengawal nomor satu dan dia berada di bawahnya!

Karena malam itu sunyi dan mereka menanti berita dari gubernur, maka mereka merasa kesal juga. Setelah makan malam, Ciu-lo-mo lalu mengajak mereka bermain kartu. Akan tetapi, dalam permainan ini pun si gagu amat bodoh dan sukar diajari sehingga Kang Swi merasa makin tidak senang.

“Aku berani bertaruh bahwa kumismu itu palsu, Gagu!” katanya.

Karena tidak punya nama, maka laki-laki pincang gagu yang menjadi yang nomor satu atau juara di antara tiga pengawal baru yang terpilih itu, disebut Gagu. Dan si Gagu ini biarpun tidak pandai bicara, rupanya dapat mengerti semua kata-kata orang yang ditujukan kepadanya. Akan tetapi, ternyata orangnya pendiam, sabar dan terhadap goda-godaan dan gangguan-gangguan Kang Swi dia sama sekali tidak mau melayaninya.

“Kang-sicu, harap kau suka hentikan godaan-godaanmu itu. Jangan sampai dia menjadi marah dan terjadi keributan antara engkau dan dia.” Ciu-lo-mo akhirnya menegur Kang Swi yang terus-menerus menggoda Gagu.

“Hemmm, kalau dia marah aku pun tidak takut,” kata Kang Swi.

“Bukan soal takut, akan tetapi kalau sampai terjadi keributan di sini, bukankah hal itu tidak baik sekali?”

Ciu-lo-mo menasihatinya. Akan tetapi, di dalam hatinya Kang Swi masih merasa penasaran dan marah karena dikalahkan oleh orang gagu dan pincang ini, maka dia tetap saja membantah.

“Mana dia berani ribut-ribut? Akan kubuka kedoknya kalau dia ribut-ribut. Dia ini orang palsu, entah darimana dia. Kalau dia berani ribut, kuajak keluar dia dan dalam pertandingan sungguh-sungguh, tentu pedangku mampu membuka kedoknya!”

Ciu-lo-mo mengerutkan alisnya dan tiba-tiba si gagu menggebrak meja, lalu bangkit berdiri dan meninggalkan mereka bertiga. Kang Swi juga bangkit, akan tetapi Ciu-lo-mo berkata,

“Kang-sicu, harap kau jangan mencari keributan di sini. Biarlah dia sendiri dan jangan mengganggu lagi!” Suaranya mulai terdengar keras sehingga Kang Swi menengok kepadanya.

“Apa yang dikatakan oleh Ciu-lo-mo memang benar, Kang-kongcu. Sebagai pengawal-pengawal baru, sungguh tidak baik kalau membuat ribut-ribut. Kalau nanti taijin datang dan mendengar bahwa antara engkau dan si Gagu terjadi keributan, tentu beliau menjadi marah.” Siauw-hong juga membujuk Kang Swi.

Pemuda tampan ini mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya seolah-olah dia tidak takut akan semua akibatnya, akan tetapi akhirnya dia duduk lagi dan mereka bertiga melanjutkan permainan mereka tanpa mempedulikan si Gagu yang kelihatan berjalan-jalan perlahan seperti orang yang sedang meronda, memandang ke sana-sini dengan penuh perhatian.

Ketika Ciu-lo-mo menoleh kepadanya, si Gagu memberi isyarat dengan kedua tangannya bahwa dia hendak meronda dan berkeliling memeriksa istana itu untuk menjaga keamanan. Ciu-lo-mo dapat mengerti maksudnya, maka untuk mencegah agar jangan sampai si Gagu itu digoda terus oleh pemuda she Kang itu, dia mengangguk memberi ijin.

Mula-mula si Gagu meronda di dekat sekitar tempat itu dan masih kelihatan oleh tiga orang pengawal yang bermain kartu, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dirinya tidak lagi diperhatikan oleh tiga orang yang makin asyik bermain kartu setelah tidak ada gangguan dari si Gagu yang kurang pandai bermain, si Gagu menyelinap dan masuk ke bagian belakang dari istana itu. Dan begitu dia menyelinap masuk dan tidak nampak lagi oleh tiga orang itu, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dengan kecepatan luar biasa dia telah meloncat ke dalam taman dan mencari-cari!

Agaknya dia tidak asing dengan tempat itu, buktinya dia berlari ke sana-sini dengan cepatnya dan akhirnya tibalah dia di tempat tahanan yang tersembunyi, yaitu di bagian ujung belakang istana. Dia melihat enam orang perajurit pengawal berjaga di luar sebuah kamar sambil bercakap-cakap. Si Gagu lalu keluar dari tempat sembunyinya, dan berjalan seenaknya menghampiri mereka.

Enam orang perajurit itu ketika melihat si Gagu, cepat berdiri dan memberi hormat. Mereka tentu saja sudah mengenal si Gagu yang telah diperkenalkan kepada semua pasukan pengawal, bahkan tiga orang pengawal pribadi gubernur yang baru itu tadi menjadi bahan percakapan mereka, terutama si Gagu ini yang membuat mereka merasa kagum sekali.

Pincang, gagu dan kabarnya buta huruf, namun memiliki kepandaian yang amat tinggi sehingga mengalahkan semua peserta sayembara. Bahkan mereka mendengar bahwa tingkat kepandaian si Gagu ini kiranya masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Ciu-lo-mo sendiri.

“Selamat malam, Ciangkun!” kata mereka serentak, bingung harus menyebut apa kepada si Gagu yang tak bernama ini.

Si Gagu mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar, kemudian dengan tangannya dia menuding ke arah kamar dan menunjuk dada sendiri, lalu menunjuk dua orang di antara mereka. Dengan jelas dia memberi isyarat bahwa dia ingin memeriksa kamar itu dan minta agar ditemani oleh dua orang diantara mereka.

Mereka saling pandang dengan ragu-ragu, akan tetapi karena si Gagu ini adalah orang baru yang menjadi pengawal pribadi gubernur, mereka tentu saja tidak berani membantah, apalagi ada mereka di situ, dan si Gagu minta diantar oleh dua orang. Dua orang pengawal lalu mengantarnya membuka pintu kamar dengan kunci dan masuklah mereka bertiga.

Ternyata Pangeran Yung Hwa yang berada di dalam kamar itu, kamar yang cukup mewah dan indah, dan pangeran itu kelihatan sehat-sehat saja, bahkan ketika mereka memasuki kamar itu, pangeran yang muda itu sedang asyik membaca kitab. Ketika mendengar pintu dibuka, dia menoleh dan memandang tiga orang yang masuk itu dengan alis berkerut, kemudian Pangeran Yung Hwa membentak,

“Mau apa kalian? Berani sekali masuk tanpa kupanggil!”

Dua orang pengawal itu menjura dengan hormat sekali.
“Harap Paduka maafkan, Pangeran. Perwira....eh, Gagu yang baru saja diangkat menjadi pengawal ini....“

Tiba-tiba orang itu menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, berbareng dengan temannya dia sudah roboh pingsan ditotok dengan jari-jari tangan si Gagu di arah tengkuk mereka. Si Gagu cepat menyambar tubuh mereka agar tidak roboh.

Pangeran Yung Hwa tentu saja terkejut sekali, akan tetapi tiba-tiba orang yang dinamakan Gagu itu berkata lirih kepadanya,

“Harap Paduka tenang saja, Pangeran. Saya datang untuk menolong Paduka keluar dari tempat tahanan ini.”

Ternyata si Gagu itu sama sekali tidak gagu! Bahkan dia dapat bicara dengan halus sekali.

“Akan tetapi....“ Pangeran Yung Hwa berkata dengan mata terbelalak, bingung dan juga curiga.

“Sssttttt....“

Si Gagu itu memberi tanda dengan jari di depan bibir, kemudian dia berjalan ke pintu, membuka pintu sedikit dan memberi isyarat kepada para penjaga di luar pintu agar dua di antara mereka masuk.

Dua orang pengawal bergegas masuk, akan tetapi begitu mereka tiba di dalam, sebelum mereka sempat berteriak, mereka sudah roboh oleh totokan si Gagu yang amat lihai. Kembali dia menjenguk keluar pintu dan dua orang penjaga lainnya dipanggilnya masuk dengan isyarat tangan, dan mereka ini pun dirobohkannya. Enam orang pengawal itu roboh semua dalam keadaan pingsan tertotok!

“Apa artinya ini?”

Pangeran Yung Hwa bertanya sambil berdiri tegak dan memandang tajam kepada orang yang tidak dikenalnya itu.

“Maaf, Pangeran. Kiranya tidak banyak waktu untuk memberi penjelasan. Akan tetapi saya datang untuk membebaskan Paduka....“

“Ah, akan tetapi aku tidak ditahan! Aku malah dilindungi di sini.”

Si Gagu menjadi terkejut dan memandang heran.
“Dilindungi?”

“Benar, Gubernur Ho-nan telah menyelamatkan aku dan melindungi aku dari ancaman Gubernur Ho-pei yang hendak memberontak! Aku tidak diperbolehkan kembali karena khawatir kalau tertimpa bencana, bahkan katanya sampai sekarang orang-orangnya Gubernur Ho-pei masih mencari-cariku. Dan kau.... jangan-jangan.... kau....“ Pangeran itu memandang tajam penuh kekhawatiran.

“Ah, Paduka telah ditipu! Gubernur Ho-nan itulah yang akan memberontak! Saya mengalaminya sendiri, juga Gubernur Ho-pei hampir saja tewas! Percayalah Paduka kepada saya, dan mari kita lari selagi masih ada waktu.”

“Hemmm, engkau orang aneh, aku tidak mengenalmu, akan tetapi.... memang aku juga selalu curiga kepada Gubernur Ho-nan. Katanya aku selalu dilindungi dan dijaga, akan tetapi aku dilarang keluar dari kamar, seperti orang tahanan saja.”

“Memang Paduka ditawan...., marilah....“

Si Gagu lalu menggandeng tangan Pangeran Yung Hwa diajak lari keluar dari dalam kamar itu. Dengan cepat dia mengajak pangeran itu ke ruangan dalam dan dia mencari-cari jalan keluar yang paling aman.

“Sebaiknya kalau saya menyelidiki dulu keadaan di luar harap Paduka menunggu....“ bisiknya dan dia lalu menghampiri jendela ruangan itu, menjenguk ke luar untuk melihat keadaan.

Kemudian perlahan-lahan dia membuka pintu ruangan itu untuk meneliti keadaan di luar.

“Wuuuttttt....!”

Terkejutlah si Gagu ketika dia melihat ada bayangan orang menyambar turun dari atas genteng dan tahu-tahu orang itu telah tiba di depan pintu ruangan. Orang ini adalah seorang pengemis setengah tua. Si Gagu terkejut sekali melihat munculnya seorang yang berpakaian pengemis. Juga pengemis itu pun terkejut melihat seorang laki-laki bercambang bauk berada di dalam tempat itu bersama Pangeran Yung Hwa yang sudah dikenalnya.

“Pangeran, harap, Paduka tenang. Kami datang untuk menolong Paduka!” kata si pengemis dan secepat kilat dia sudah menyerang si Gagu!

Tentu saja si Gagu terkejut dan dia pun cepat mengelak dan balas menyerang, karena dia sendiri tidak percaya bahwa pengemis ini datang untuk menolong Pangeran Yung Hwa. Keadaan negara sedang kacau dan banyak terdapat orang-orang yang berniat membantu pemberontak, maka dia tidak boleh percaya kepada siapapun juga dalam hal menolong Pangeran Yung Hwa ini.

Pengemis setengah tua itu bukan lain adalah Gu Sin-kai, murid dari Sai-cu Kai-ong yang datang ke istana itu bersama gurunya dan Siluman Kecil. Mereka bertiga melakukan penyelidikan secara berpencar untuk mencari tempat ditahannya Pangeran Yung Hwa dan kebetulan sekali Gu Sin-kai melihat si Gagu bersama Pangeran Yung Hwa di dalam ruangan itu. Tentu saja Gu Sin-kai menganggap si Gagu itu orangnya gubernur dan langsung saja dia menyerangnya.

Terjadilah pertempuran di dalam ruangan itu. Pangeran Yung Hwa sendiri hanya menonton saja dengan bingung. Dua orang yang saling hantam ini keduanya mengaku datang hendak menolongnya, akan tetapi kedua-duanya tidak dia kenal, maka tentu saja dia tidak tahu harus percaya dan membantu yang mana. Karena itulah maka dia diam saja dan hanya menanti perkembangan selanjutnya.

Akan tetapi ternyata kepandaian si Gagu terlalu tinggi bagi Gu Sin-kai dan dalam belasan jurus saja Gu Sin-kai sudah terdesak hebat sekali sampai beberapa kali terhuyung dan nyaris roboh. Baiknya bagi pengemis ini adalah kenyataannya bahwa si Gagu tidak mau menurunkan tangan besi, karena kalau demikian, kiranya pengemis itu sudah roboh sejak tadi.

Tiba-tiba terdengar suara menggeledek,
“Muridku, mundurlah kau!”

Dan dari luar menerjang masuk seorang kakek yang gagah perkasa, yang datang-datang terus menerjang si Gagu dengan pukulan yang mendatangkan angin bersuitan saking kuatnya tenaga sinkang yang terkandung di dalamnya. Gu Sin-kai cepat melompat mundur dan hatinya girang melihat kedatangan gurunya, yaitu Saicu Kai-ong.

Seorang kakek lain yang sebenarnya adalah penyamaran Siluman Kecil, juga sudah tiba di situ dan Siluman Kecil hanya menonton saja ketika melihat Sai-cu Kai-ong bertanding melawan laki-laki penuh cambang bauk itu. Tidak perlu membantu seorang yang sakti seperti Sai-cu Kai-ong, pikirnya dan di dunia ini jarang ada orang yang akan mampu menandingi kakek itu.

Akan tetapi, makin lama dia menjadi makin terheran-heran dan memandang dengan mata terbelalak kaget dan kagum ketika dia melihat betapa lawan Sai-cu Kai-ong itu ternyata memiliki gerakan yang cepat dan hebat bukan main!

Tentu saja Sai-cu Kai-ong sendiri merasa terkejut ketika tangkisan lengan lawannya itu membuat dia terhuyung ke belakang. Dia menjadi penasaran dan menubruk dengan pengerahan tenaga dahsyat karena dia ingin cepat merobohkan lawan ini agar dapat menolong Pangeran Yung Hwa.

“Desssss....!”

Pertemuan tenaga itu amat hebatnya dan akibatnya tubuh Sai-cu Kai-ong terlempar ke belakang dan dia harus berjungkir-balik beberapa kali baru dapat berdiri dan memandang kepada lawannya dengan mata terbelalak. Kemudian dia menerjang lagi dan kini Siluman Kecil yang menjadi bengong. Orang itu ternyata dapat melancarkan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang dari Pulau Es!

“Keparat!” bentaknya dan ketika kembali Sai-cu Kai-ong terdorong mundur dengan muka pucat dan tubuh menggigil kedinginan, Siluman Kecil sudah menerjang ke depan, disambut oleh si Gagu dengan sama kuatnya.