FB

FB


Ads

Rabu, 13 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 038

Siauw-hong tertawa lalu dia menuntun kuda hitam itu keluar kandang. Kelihatan si Hitam ini memang cukup jinak dan menurut saja ketika dituntun keluar. Dengan gerakan cekatan tanda bahwa dia memang biasa menunggang kuda, Siau-whong lalu meloncat ke atas punggung kuda hitam yang tinggi itu.

Dan mulailah si Hitam itu memperlihatkan keliarannya. Dia meringkik keras, mendengus-dengus marah lalu berloncatan ke atas, berdiri di atas kedua kaki, meloncat lagi dan membuat punggungnya menjadi melengkung, bergerak ke kanan kiri dan membuat gerakan dengan punggung untuk melemparkan Siauw-hong yang duduk di atas punggungnya.

Siauw-hong ternyata memang seorang ahli menunggang kuda. Kalau lain orang yang menunggangi punggung kuda hitam yang mengamuk itu, tentu takkan dapat bertahan lama dan sudah terlempar sejak tadi.

Akan tetapi Siauw-hong juga memperlihatkan kelihaiannya, biarpun beberapa kali tubuhnya kelihatan hampir terlempar dari punggung, namun ternyata dia masih dapat turun lagi duduk di atas punggung sambil memegangi kendali dengan cekatan.

Siluman Kecil menonton dengan hati tegang. Kembali dia dibuat kagum, sekali ini dibuat kagum oleh Siauw-hong dan juga oleh kuda itu. Benar-benar seekor kuda yang amat aneh, terlatih baik sekali dan penuturan pedagang kuda ini ternyata tidak bohong. Kuda jantan ini benar-benar tidak sudi ditunggangi oleh seorang pria! Kini kuda itu mengeluarkan suara ringkikan yang rendah mirip gerengan harimau dan tiba-tiba dia membanting diri ke kanan dan membuat gerakan bergulingan!

“Awas, Siauw-hong....!”

Mau tidak mau Siluman Kecil memekik dan dia sudah siap menolong karena keadaan pengemis muda itu benar-benar amat berbahaya.

“Kuda iblis....!” Siauw-hong berteriak dan tubuhnya terlempar, akan tetapi dengan gerakan pok-sai (salto) dia berhasil turun ke atas tanah dengan kaki lebih dulu. Dia mengebut-ngebutkan pakaiannya dan mengomel, “Taihiap, kuda iblis itu berbahaya sekali!”

Pedagang kuda tertawa menyeringai akan tetapi tidak berani bicara sembarangan karena dia pun sekarang tahu bahwa pengemis cilik itu bukan orang sembarangan setelah dia melihat betapa pengemis itu tadi dapat menyelamatkan diri secara luar biasa. Dia menuntun kuda hitam yang sudah jinak kembali begitu punggungnya tidak ditunggangi orang!

“Kuda yang baik sekali!”

Mereka bertiga menoleh dan melihat seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, berpakaian mentereng dan bersikap lincah memasuki tempat itu dan memuji si kuda hitam yang liar tadi, Siluman Kecil memandang penuh perhatian. Pemuda itu usianya tentu masih amat muda, mungkin baru belasan tahun, akan tetapi sinar matanya memandang penuh perhatian, dan melihat pakaiannya yang indah dan serba baru, mudah diduga bahwa pemuda ini tentulah putera seorang hartawan besar atau setidaknya putera seorang bangsawan! Tubuhnya kecil, akan tetapi kelihatan gesit, tanda bahwa pemuda hartawan ini tentu “berisi”, yaitu pernah berlatih silat. Di belakang pemuda ini berjalan seorang anak laki-laki yang membawa buntalan.

Pedagang kuda itu pun bermata tajam, tentu saja dia segera mengenal seorang hartawan, maka sambil menuntun kuda hitam dia menghampiri dan menjura,

“Kuda yang manakah yang Kongcu anggap baik?” tanyanya.

“Mana lagi kalau bukan kuda yang kau tuntun itu,” jawab si pemuda tampan sambil memandangi kuda hitam dengan mata bersinar-sinar.

“Ini kuda Mongol tuan!” serunya sambil mendekati kuda itu, mengelus leher kuda itu dengan tangannya.

“Apakah Kongcu ingin membeli kuda?” tanya pula si pedagang kuda.

“Benar, aku membutuhkan dua ekor kuda untuk aku dan pelayanku ini, karena aku hendak pergi ke Cheng-couw, untuk memasuki ujian pengawal gubernur!”

Siluman Kecil merasa tertarik sekali. Benar dugaannya bahwa pemuda ini tentu memiliki kepandaian silat, kalau tidak tentu tidak akan ikut-ikut memasuki ujian pengawal.

Pedagang kuda itu tersenyum lebar dan matanya berseri girang. Hari baik rupanya hari ini bagi dia. Sepagi itu sudah banyak orang datang hendak membeli kuda!

“Kongcu tidak salah kalau mencari kuda di sini!” katanya.

“Aku suka sekali dengan kuda hitam ini, berapa harganya? Akan kubeli dia!” kata si kongcu yang masih mengelus-ngelus kuda itu.

Si pedagang kuda kelihatan kaget.
“Ohhh, jangan yang ini, Kongcu! Apakah Kongcu tadi tidak melihat betapa liarnya dia? Kuda ini pantang ditunggangi oleh seorang pria. Dia adalah bekas tunggangan seorang permaisuri suku Nomad di Mongol, sudah terlatih untuk menolak kalau ditunggangi seorang pria. Sebaliknya, kuda putih itu pantang ditunggangi seorang wanita. Maka, kalau Kongcu membutuhkan kuda, sebaiknya yang putih itu....eh, kalau belum jadi dibeli oleh Kongcu itu yang datang lebih dulu”.

Pemuda tampan itu kini memandang kepada Siluman Kecil, menghampiri dan tersenyum, lalu menjura. Tentu saja Siluman Kecil juga cepat membalas penghormatan orang itu.

“Apakah engkau juga hendak membeli kuda putih itu, Sobat?”

Pertanyaan ini diajukan dengan sikap ramah sekali sehingga biarpun Siluman Kecil tidak ingin berkenalan dengan orang itu, terpaksa dia menjawab dengan anggukan kepala.

“Agaknya engkau hendak melakukan perjalanan cepat dan jauh pula, Sobat.”






“Saya....kami hendak pergi ke selatan....!

“Ah! Betapa kebetulan sekali! Tidak dicari-cari di sini bertemu dengan seorang teman seperjalanan! Sobat yang baik, kalau begitu mari kita melakukan perjalanan bersama. Sungguh menyenangkan sekali! Aku mendapatkan seorang teman untuk bercakap-cakap di perjalanan!”

Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin melakukan perjalanan dengan orang lain yang tidak dikenalnya. Pula, memang selama ini dia selalu menjauhkan diri dari pergaulan umum.

“Terima kasih atas kebaikan saudara” jawabnya. “Akan tetapi saya masih mempunyai banyak kepentingan lain.” Penolakan halus diterima oleh pemuda tampan itu dengan senyum.

“Tidak mengapa. Engkau boleh menyelesaikan semua kepentinganmu dulu, baru kita berangkat bersama.”

Siluman Kecil tidak menjawab lagi, melainkan menoleh kepada pedagang kuda.
“Paman, berapakah harganya kuda putih itu?”

“Tiga ratus tael perak” jawab si pedagang kuda.

“Wah, masa ada kuda harganya sekian?” Siauw-hong berseru. “Biasanya, seekor kuda tidak akan lebih dari seratus tael perak harganya!”

Si pedagang kuda menyeringai.
“Siau-kai, biarpun omonganmu itu ada benarnya, akan tetapi dua ekor kuda ini bukanlah kuda biasa! Coba dibayangkan, berapa biayanya mengambil dua ekor kuda ini dari tempat asalnya! Kongcu, harganya tiga ratus tael perak, tidak boleh kurang satu tael pun.”
Siluman Kecil tidak tahu akan harga kuda, akan tetapi terdengar pemuda tampan itu berkata,
“Tiga ratus tael tidaklah mahal untuk seekor kuda seperti itu.”

Mendengar ini, Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Uang baginya bukan apa-apa, apalagi uang itu adalah pemberian orang untuk bekal. Dia tidak membutuhkan banyak uang, hanya memberatkan saja.

Tiba-tiba dia terkejut bukan main dan baru teringat bahwa dia tidak merasakan sesuatu yang berat di buntalannya! Karena dia tidak pernah memikirkan uang, dan jarang sekali membawa uang banyak, maka dia tidak merasakan perbedaan itu!

Dia mengangkat buntalannya, menimbang-nimbang dan jantungnya berdebar. Benar saja, buntalannya sudah tidak berat lagi! Padahal seingatnya, uang bekal yang diberikan oleh hartawan itu kepadanya amat berat! Cepat dia membuka buntalannya dan dia menahan napas. Uang itu telah lenyap! Dia telah diberi beberapa potong uang emas dan banyak uang perak oleh hartawan itu, yang rasanya cukup banyak untuk membeli kuda itu. Akan tetapi ternyata uang itu lenyap sama sekali, tidak ada sisanya barang satu potong pun! Dan dia tidak merasakan kehilangan itu!

“Celaka....!” serunya.

“Taihiap, ada apakah....?” Siauw-hong bertanya sambil mendekati.

“Uangku lenyap!

“Ahhh....!” Siauw-hong juga memandang bingung.

Pemuda tampan itu menghampiri Siluman Kecil dan bertanya,
“Sobat, apa yang telah terjadi?”

Siluman Kecil menggeleng kepala.
“Entah bagaimana, uangku yang berada di dalam buntalan ini lenyap semua tanpa kusadari. Aku lupa bahwa aku membawa uang, maka ketika lenyap aku tidak tahu....”

“Hemmm....”

Si pedagang kuda berkata dan alisnya berkerut, matanya memandang penuh kecurigaan kepada Siluman Kecil dan Siauw-hong.

“Kalau begitu, biarlah aku yang membayarnya! Hei, pedagang kuda, berikan kuda putih itu kepada sobatku ini dan kuda hitam itu kubeli, lalu sediakan dua ekor kuda lain untuk pembantu-pembantu kami!”

Pemuda itu cepat mengeluarkan sekantung uang emas dari buntalannya yang tadi dibawa oleh kacungnya.

“Ah, tidak usah, Saudara.... biar kami jalan kaki saja....“ kata Siluman Kecil.

“Sobat yang baik, kita sudah menjadi sahabat dan calon teman seperjalanan, mengapa banyak sungkan?”

“Aku tidak mau menerima pemberian dari orang yang tidak kukenal dan....”

“Kalau begitu perkenalkan, aku she Kang, bernama Swi,” katanya.

“Tetapi....”

“Kalau kau segan menerima pemberianku, biarlah kuda itu kau pinjam saja!”

Siluman Kecil tidak dapat menolak lagi, merasa tidak enak kalau menolak terus kebaikan orang yang kelihatannya demikian tulus dan ikhlas.

“Kalau begitu, baiklah, Saudara Kang Swi. Terima kasih atas kebaikanmu,” katanya sambil menjura.

“Akan tetapi saya bukanlah pembantu Taihiap ini, saya hanya mengantarnya sampai ke sini saja,” kata Siauw-hong.

Pemuda tampan itu menoleh kepadanya.
“Aku melihat engkau tadi pandai sekali menunggang kuda, tentu engkau pandai pula merawat kuda, bukan? Nah, bagaimana kalau kau kuangkat sebagai perawat kuda? Berapakah gaji yang kau minta, akan kupenuhi.”

Siauw-hong mengangkat dadanya dan menjawab,
“Saya menerima permintaan Kongcu, akan tetapi bukan karena besarnya gaji, melainkan karena saya memang ingin meluaskan pengalaman ke selatan.”

“Jadi kau terima?” tanya kongcu itu dengan girang, akan tetapi ada sinar keheranan melihat sikap pengemis muda itu, yang demikian angkuh sikapnya. “Paman, cepat pilihkan dua ekor kuda lain selain si Putih dan si Hitam ini, dan hitung berapa harus kubayar kepadamu.”

Tentu saja si pedagang kuda menjadi girang bukan main. Sungguh mujur dia. Hari ini bertemu dengan kongcu yang kaya dan begini royal, membeli kuda tanpa menawar lagi! Tentu saja dia tidak mau mencelakakan seorang langganan yang begini royal, maka dia berkata,

“Akan saya pilihkan seekor kuda yang terbagus untuk Kongcu....“

“Aku sudah memilih si Hitam ini!” jawab kongcu itu.

“Ahhh, jangan, Kongcu! Baru saja Siauw-kai ini hampir terbanting mati oleh kuda itu!”

Siauw-hong juga berkata,
“Sebaiknya Kongcu mengambil lain kuda. Kuda hitam ini adalah kuda iblis, atau kuda porno....“

“Eh, kuda porno (cabul)....?” Kongcu itu bertanya dan memandang Siauw-hong dengan alis berkerut.

“Habis, kuda jantan ini hanya mau ditunggangi seorang wanita! Cabul dia!” Siauw-hong berkata dan memandang kepada kuda hitam itu dengan hidung dikernyitkan.

Kongcu itu tertawa.
“Kalian semua tidak tahu rahasianya. Aku sudah pernah memiliki seekor kuda seperti ini dan kalau tidak tahu rahasianya, memang jangan harap dapat menjinakkan dia.”

“Kau kau hendak mengatakan bahwa kau dapat menundukkan dia?”

Siluman Kecil bertanya penuh keheranan. Dia melihat sendiri tadi betapa Siauw-hong yang merupakan seorang ahli menunggang kuda, hampir celaka. Apakah pemuda halus yang kaya raya dan royal ini memiliki ilmu menunggang kuda yang lebih mahir daripada Siauw-hong? Agaknya tak mungkin. Dia sendiri pun harus mengakui bahwa dalam menunggang kuda, belum tentu dia mampu menandingi Siauw-hong dan dia akan berpikir dua kali untuk menunggangi kuda liar macam si Hitam itu.

“Tentu saja,” kata pemuda royal itu tersenyum. “Kalau tidak, untuk apa kubeli?”

“Tapi.... tapi dia benar-benar berbahaya sekali,” kata Siluman Kecil.

“Aku mengerti bagaimana harus menguasainya, harap kau jangan khawatir, Sobat.”

Akan tetapi ketika pemuda tampan itu hendak memegang kendali kuda hitam dari tangan pedagang kuda, si pedagang berkata ragu,

“Wah, bagaimana kalau sampai Kongcu terbanting jatuh dan.... dan celaka? Siapa akan membayar kuda-kuda saya?”

Kongcu itu tertawa.
“Hitunglah dan akan kubayar sekarang juga. Kalau seandainya nanti aku dibanting mati oleh kuda ini, kau tidak akan rugi apa-apa.”

Wajah pedagang kuda itu menjadi merah.
“Bukan.... bukan maksudku begitu.... sebaiknya Kongcu jangan mencoba-coba untuk menunggang ini dia sungguh tidak mau ditunggangi oleh pria.”

Akan tetapi pemuda itu tidak melayaninya lagi, melainkan mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar empat ekor kuda. Kemudian dia berkata sambil menuntun si Hitam,

“Kalian semua lihatlah bahwa aku tidak main-main. Aku tahu bagaimana harus menundukkan kuda Mongol yang terlatih ini.”

Setelah berkata demikian, dia mengusap-usap kepala kuda hitam itu, mendekatkan mulutnya pada telinga kiri kuda itu dan mengeluarkan kata-kata asing dalam bahasa Mongol. Mulutnya komat-kamit dan terdengar kata-kata aneh seperti mantra.

Siluman Kecil mengerti juga bahasa Mongol, akan tetapi karena bahasa dari suku bangsa Nomad banyak sekali macamnya, maka dia tidak merasa heran mendengar bahasa yang mirip bahasa Mongol akan tetapi tidak dimengertinya yang keluar dari mulut pemuda tampan itu. Akan tetapi dia rnelihat betapa kuda hitam itu menggoyang-goyangkan ekornya ke kanan kiri dan kelihatan gembira dan jinak!

Kemudian, dengan gerakan ringan sekali tanda bahwa pemuda tampan itu memiliki ginkang yang tinggi, pemuda itu meloncat ke atas punggung kuda. Semua orang, terutama Siauw-hong, memandang dengan hati berdebar tegang, menduga bahwa tentu si Hitam itu akan meloncat-loncat, meringkik dan membungkukkan punggung. Akan tetapi sungguh aneh! Kuda itu berdiri diam dan tenang-tenang saja, bahkan ekornya masih bergoyang-goyang!

Pemuda tampan itu tertawa.
“Nah, tidak percayakah kalian kepadaku? Kuda ini memang terlatih untuk menantang ditunggangi pria, akan tetapi ada rahasianya untuk menjinakkan dia dan aku mengenal rahasia itu. Sobat, marilah kita berangkat. A-cun, dan kau, Siauw-kai....“

“Nama saya Siauw-hong, Kongcu!” kata Siauw-hong, tidak senang disebut Siauw-kai (Pengemis Cilik). “Dan saya tidak pernah mengemis.”

“Ahhh, engkau seorang bocah aneh, tidak kalah anehnya dengan kuda ini dan sahabat itu!”

Si pemuda tampan menunjuk ke arah Siluman Kecil yang sudah meloncat naik ke atas punggung si Putih. dan memang benar kata-kata si pedagang kuda. Si Putih itu tenang-tenang saja ketika punggungnya ditunggangi oleh Siluman Kecil, seorang pria!

Mereka berempat lalu berangkat meninggalkan si tukang penjual kuda yang berdiri bengong, masih terheran-heran menyaksikan mereka. Baru hari itu dia memperoleh keuntungan besar di samping keheranannya bertemu dengan orang-orang yang begitu aneh. Si pengemis yang pandai menunggang kuda, si kongcu yang masih muda akan tetapi sudah putih semua rambutnya, dan si kongcu royal yang ternyata seorang ahli yang luar biasa dalam menaklukkan kuda hitam itu!

Akhirnya dia menggeleng-geleng kepala dan berjalan masuk sambil menggenggam uang emas yang memenuhi saku bajunya.

Sementara itu, Siluman Kecil yang menunggang kuda si Putih menjalankan kudanya berendeng dengan pemuda tampan bernama Kang Swi yang menunggang kuda si Hitam. Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan karena Siluman Kecil sedang melamun dan agaknya Kang Swi juga tidak tergesa-gesa.

A-cun, kacung dari Kang Swi, dan Siauw-hong, menjalankan kuda di belakang mereka dan Siauw-hong kelihatan gembira sekali, sikapnya sama sekali tidak seperti seorang jembel biarpun pakaiannya tambal-tambalan, melainkan seperti seorang jenderal perang menunggang kuda dan memeriksa barisan!

Siluman Kecil mengerutkan alisnya, mengingat-ingat dan memutar otak, mencari-cari ke mana lenyapnya uangnya yang banyak itu. Sungguh memalukan, juga mengherankan. Dia bukan seorang anak kecil yang pelupa, bukan pula seorang yang lemah sehingga uang yang berada di dalam buntalan pakaiannya dapat lenyap begitu saja! Dia adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dijuluki orang Siluman Kecil, namun kenyataannya uangnya dicuri orang dari dalam buntalannya tanpa dia ketahui! Sungguh menggemaskan! Dia mengepal tinju dan tanpa disadarinya, mulutnya mengeluarkan suara,

“Hemmmmm!”

Terdengar suara tertawa ditahan dan ketika dia menoleh, dia melihat Kang Swi melirik ke arahnya sambil tersenyum-senyum, senyum yang kelihatan seperti orang mengejek.

“Huh, bocah ini sikapnya manja dan sombong bukan main!” pikirnya.

Akan tetapi tentu saja dia merasa tidak enak kalau memperlihatkan rasa gemasnya karena betapapun juga, hartawan muda ini telah membelikan kuda untuknya dan Siauw-hong!

“Tidak mungkin uang itu lenyap begitu saja,” bisik hatinya dan kembali dia tenggelam dalam renungan.

Ketika dia membayar sepatu rumput, uang itu masih ada. Dia ingat benar. Dan sesudah itu, dia hanya berdekatan dengan si nenek penjual sepatu rumput yang agak tuli dan pengemis muda, Siauw-hong itu. Siau-whong tidak mungkin mengambil uangnya, biarpun dia tahu bahwa Siauw-hong juga bukan anak biasa, melainkan seorang anak yang memiliki kepandaian. Siauw-hong bukan pencuri uangnya. Anak ini kelihatan jujur dan tidak membawa apa-apa di dalam bajunya yang penuh tambalan itu, dan semenjak bertemu di tempat penjual sepatu rumput, anak ini tidak pernah berpisah dari sampingnya.

Bukan, bukan Siauw-hong yang mencuri uang itu. Kalau begitu, tidak ada orang lain, tentu si nenek itu! Si nenek yang mencurigakan sekali sekarang, sikapnya yang ramah dan aneh, bicaranya yang membujuk-bujuk, yang sering harus dia dekati karena tidak mendengar kata-katanya, gerak-geriknya yang aneh dan akhirnya nenek itu tadi menggulung tikarnya hendak kukut dan mengantar dia ke tempat pedagang kuda.

Dan sekarang dia teringat betapa nenek itu kadang-kadang tidak mendengar omongannya, akan tetapi kadang-kadang seperti tidak tuli, sikapnya aneh dan penuh rahasia. Menjual sepatu rumput di luar kota, di jalan yang hanya dilalui orang-orang dusun yang tidak akan mau membeli sepatu seperti itu, seolah-olah memang sengaja menghadangnya! Teringat akan semua itu, tiba-tiba dia menghentikan kudanya.

“Eh, ada apakah?”

“Saya harus kembali sebentar!” Siluman Kecil berkata.

“Hemmm, mau mencari uangmu yang hilang?” Kang Swi bertanya sambil tersenyum simpul. “Tidak ada gunanya. Kemana engkau hendak mencari uangmu itu di dunia yang begini luas?” Dia mengebutkan ujung bajunya dengan sikap agung-agungan.

“Siauw-hong, nenek itu!”

Siluman Kecil menoleh kepada pengemis muda dan Siauw-hong juga mengangguk, seolah-olah baru ingat bahwa mungkin sekali uang “majikannya” itu dicuri oleh nenek penjual sepatu rumput yang aneh itu.

“Mungkin sekali, Taihiap!” kata Siauw-hong.

“Terlambat, Sobat!” kata kongcu tampan itu sambil menggerak-gerakkan cambuknya. “Dia sudah pergi. Bukankah kau maksudkan nenek si penjual sepatu rumput yang tuli itu? Lihat, sepatu yang dipakai A-cun itu adalah sepatu terakhir yang saya beli darinya,” katanya menunjuk ke belakang dan Siluman Kecil melihat sepatu rumput yang dipakai oleh kaki kacung itu.

Siluman Kecil memandang dengan sinar mata penuh selidik kepada Kang Swi. Dia harus berhati-hati. Pemuda tampan ini tidak kalah anehnya daripada si nenek penjual sepatu rumput! Seorang pemuda yang sikapnya begitu baik kepadanya, yang tahu segala!

“Hemmm, Saudara Kang, bagaimana kau tahu bahwa nenek itu yang kumaksudkan?”

Kang Swi tertawa.
“Ha-ha, jangan kau memandang kepadaku seperti itu, Kawan! Aku menjadi takut karenanya! Kau memandang kepadaku seolah-olah aku si pencuri uangmu itu! Tentu saja aku tahu. Begitu mudahnya! Jangan engkau memandang ringan kepadaku. Lihat, engkau memakai sepatu rumput yang baru, dan kau tadi menyebut nenek, maka setiap orang pun tentu akan dapat menduga nenek yang mana yang kau maksudkan,” jawabnya dengan sikap tenang sekali.

Siluman Kecil mengangguk-angguk.
“Engkau sungguh cerdik.”

“Sama sekali tidak. Hanya aku menggunakan otak dan engkau yang terlalu memandang ringan kepadaku. Bukan hanya itu saja, aku pun dapat menduga siapa adanya engkau, Sahabatku!”

“Eh?” Siluman Kecil kembali menatap wajah tampan itu dengan tajam. “Siapa kiranya?”

“Aku berani bertaruh seribu tael bahwa engkau adalah pendekar yang dijuluki orang Siluman Kecil.”

Siluman Kecil cepat menggerakkan kepalanya sehingga rambutnya yang putih itu sebagian menutupi mukanya. Dia terkejut dan tercengang. Benar-benar pemuda ini aneh dan cerdik bukan main.

Dia harus berhati-hati!
“Bagaimana kau tahu? Menggunakan otak pula ataukah hanya kira-kira saja?”

“Aku tidak pernah mau bertindak ceroboh. Segalanya harus kupikirkan masak-masak baru aku mengambil kesimpulan. Dengar alasanku, Sobat. Aku sudah sering mendengar tentang Siluman Kecil, yang kabarnya masih muda akan tetapi rambutnya sudah putih semua. Sekarang, aku bertemu dengan engkau, engkau masih muda, rambutmu seperti benang-benang perak, gerak-gerikmu penuh rahasia, dan Siauw-kai.... eh, Siauw-hong itu menyebutmu Taihiap. Siapa lagi kau kalau bukan Siluman Kecil yang tersohor itu?”

“Saudara Kang Swi, engkau memang cerdik sekali,” Siluman Kecil kembali memuji. “Aku harus kembali dulu untuk mencari nenek itu.”

“Taihiap.... hemmm, setelah benar bahwa engkau adalah Siluman Kecil, aku harus menyebutmu Taihiap! Taihiap, percuma saja kalau kau hendak mencari nenek itu.”

“Mengapa kau berkata demikian?”

“Seorang yang dapat mencuri uangmu tanpa kau ketahui, tentulah bukan orang sembarangan, dan dia tentu tahu bahwa dia telah mencuri uang dari Taihiap, maka setelah berhasil, apakah dia akan menanti di sana sampai Taihiap kembali ke sana dan menghajarnya? Kurasa dia tidaklah begitu bodoh, Taihiap, dan sekarang ini tentu dia sudah pergi jauh sekali, jauh dari kota An-yang. Mencari dia di sana sama dengan membuang-buang waktu, sedangkan kita harus cepat tiba di Ceng-couw karena besok ujian itu sudah dimulai!”

Siluman Kecil terpaksa membenarkan pendapat ini, akan tetapi mendengar ucapan terakhir itu dia berkata,

“Aku tidak ingin mengikuti ujian itu.”