FB

FB


Ads

Rabu, 13 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 037

Pagi yang cerah. Sinar matahari yang masih menciptakan bayangan-bayangan panjang memuntahkan cahayanya dengan langsung ke bumi, tanpa halangan awan karena langit nampak biru muda dan bersih sekali, bersih dan amat tinggi. Sinar matahari di saat itu mengandung daya hidup yang mukjijzat di dalam kehangatan yang tidak terlalu panas, namun kehangatan yang dapat menembus apa saja dan memberi daya hidup kepada bumi dan apa saja yang berada di permukaannya.

Awan-awan putih yang agaknya menjauh, tidak berani menghalangi berkah yang berlimpahan itu berarak di angkasa, bergerak perlahan-lahan seperti bermalas-malasan, namun semua gerakan itu teratur rapi dan selalu berubah bentuknya, seolah-olah ada tangan gaib yang mengatur awan-awan itu, memilih dan memisah-misahkannya, mengumpul-ngumpulkannya, untuk digiring ke tempat yang membutuhkan hujan kelak.

Tidak ada angin berkelisik. Daun-daun yang bermandikan cahaya matahari nampak kekuningan seperti bermandikan cahaya keemasan, berseri-seri mengelilingi bunga-bunga yang mencuat di sana-sini, dan kupu-kupu bersayap kuning dan putih menyemarakkan suasana yang penuh dengan suka cita di pagi hari itu. Berkelompok-kelompok kecil burung-burung terbang lewat di udara tanpa suara, menuju ke sawah ladang di mana terdapat makanan berlimpah bagi mereka.

Orang-orang yang berpakaian seperti penduduk dusun, membawa bermacam-macam barang dagangan hasil kebun mereka, berlalu-lalang di jalan raya itu pergi ke dan pulang dari kota An-yang yang menjadi pasar bagi barang dagangan hasil bumi mereka. Yang berangkat dan memikul barang dagangan, kelihatan tergesa-gesa dan berjalan separuh berlari tanpa bicara, akan tetapi yang pulang ke dusun berjalan seenaknya sambil mengobrol membicarakan hasil penjualan mereka dan belanjaan mereka.

Siluman Kecil yang sudah keluar dari pintu gerbang kota An-yang, kini berdiri di luar tembok kota, memandang air yang mengalir di tepi tembok. Air itu memasuki kota dari sebelah barat dan keluar dari selatan. Ketika memasuki kota, air itu bersih dan jernih, akan tetapi setelah keluar dari kota, air itu menjadi keruh, penuh dengan sampah-sampah dan segala kekotoran kota yang dicampakkan ke dalamnya. Kekeruhan air ini tidak akan berlangsung lama, karena beberapa mil jauhnya setelah meninggalkan kota, air sungai itu sudah akan menjadi jernih kembali.

Melihat setangkai daun hijau yang agaknya rontok sebelum waktunya hanyut pula di air itu, Siluman Kecil mengikutinya dengan pandang matanya dan dia menarik napas panjang. Keadaannya seperti daun itu. Daun muda yang sudah hanyut seorang diri mengikuti ke mana air mengalir. Tidak tahu akan apa jadinya dengan dirinya. Seperti juga dia! Hanya mengikuti jalan peristiwa yang dijumpainya di jalan hidupnya. Siluman Kecil termenung dan tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara seorang wanita yang cukup nyaring.

“Kun Cu Souw Ki Wi Ji Heng. Put Goan Houw Ki Gwee!”

Siluman Kecil mengerutkan alisnya, tentu saja dia hafal pula akan ujar-ujar itu karena dia pernah mempelajari semua pelajaran dari Nabi Khong Cu. Dia masih ingat bahwa ujar-ujar yang dinyanyikan mulut wanita itu adalah ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, ayat pertama dari bagian ke tiga belas, yang berarti,

“Seorang kongcu (budiman) bertindak sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan hal-hal di luar dari kedudukannya.”

Siluman Kecil menarik napas panjang. Dia telah mengalami banyak sekali hal-hal yang amat pahit dalam kehidupannya dan kalau direnungkan secara mendalam, memang karena manusia menginginkan hal-hal yang tidak ada padanya, menginginkan sesuatu yang belum ada, yang tidak dimilikinya, yang berada di luar jangkauannya, dan KEINGINAN inilah yang menjadi biang keladi segala macam penyakit dan kesengsaraan hidup. Dia menarik napas panjang lagi.

Sesungguhnyalah, bukan hanya seperti yang disadari oleh Siluman Kecil bahwa keinginan menjadi biang keladi kesengsaraan hidup. Bahkan keinginan itulah yang membuat kita kehilangan kesbahagiaan! Betapa tidak? Keinginan membuat mata kita buta terhadap segala keindahan yang telah kita miliki. Keinginan membuat kita meremehkan dan tidak dapat melihat keindahan yang sudah berada pada kita.

Contohnya : Biarpun kita telah memegang sebutir buah apel di dalam tangan, namun kalau kita menginginkan buah anggur yang belum ada, mata kita seperti buta akan kelezatan buah apel yang sudah berada di tangan, menganggapnya tidak enak dan tidak memuaskan dan yang paling memuaskan adalah buah anggur yang kita inginkan, yang belum ada itulah!

Karena itu mari kita mencoba untuk membuka mata dan melihat segala sesuatu yang sudah ada pada kita, melihat keindahannya, tanpa membanding-bandingkan dengan yang belum ada, tanpa membayangkan yang lain-lain, maka kita akan melihat keindahan dan akan terbuka mata kita bahwa sesungguhnya selama ini kita hanya diombang-ambingkan oleh pikiran kita yang selalu haus akan hal-hal yang belum ada pada kita!

Kita selalu beranggapan bahwa kebahagiaan berada di sana, yang harus kita kejar-kejar, sama sekali kita tidak pernah mau melihat, apa yang berada di sini, yang sudah ada pada kita. Kita seperti mengejar-ngejar bayangan kita, biar dikejar sampai selama hidup pun tidak akan dapat tersusul, kita tidak pernah mau berhenti dan menyelidiki apa gerangan bayangan itu, lupa bahwa bayangan itu adalah kita sendiri, karena kitalah yang menciptakan bayangan yang kita kejar-kejar itu!

Siluman Kecil sadar kembali dari lamunannya ketika dia mendengar suara tadi bernyanyi terus.

“Cai Shang Wi, Put Leng He.

Cai He Wi, Put Wan Shang.”

Siluman Kecil mengangguk-angguk, menterjemahkan ujar-ujar itu dalam hatinya.
“Dalam kedudukan tinggi, dia tidak menghina yang di bawah. Dalam kedudukan rendah, dia tidak menjilat yang di atas”.

Betapa sukarnya mencari seorang kuncu (budiman) seperti itu! Sudah lajim di dunia ini, orang selalu memandang rendah kepada orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada kita, kita suka menginjak dan meremehkan orang-orang yang berada di bawah kita, kita merasa jijik kepada kaum jembel, kita menjebikan bibir terhadap orang-orang miskin dan papa, kita merendahkan mereka yang bekerja kasar dan yang kedudukannya jauh lebih rendah daripada kita.






Sebalikya, sudah menjadi KESOPANAN masyarakat bahwa kita selalu bersopan santun kepada orang-orang yang tinggi kedudukannya, kita bermanis muka kepada orang-orang kaya, kita menjilat-jilat kepada pejabat tinggi. Betapa palsunya kita ini! Betapa kejamnya kita ini! Namun kita marah kalau dinyatakan bahwa kita tidak memiliki perikemanusiaan!

Siluman Kecil makin dalam tenggelam dalam renungannya. Dia mengenal ujar-ujar itu yang merupakan ayat ke tiga dari bagian ke tiga belas itu, dan dia masih ingat pula akan bagian selanjutnya, yang berbunyi,

“Dia memperbaiki diri sendiri dan tidak mencari kesalahan orang lain, maka dia tidak mempunyai penyesalan apa pun. Ke atas dia tidak menyalahkan Thian dan ke bawah dia tidak menyalahkan manusia lain.”

Setelah suara itu berhenti bernyanyi, Siluman Kecil menoleh. Timbul keinginan tahunya untuk melihat siapa gerangan yang di tempat seperti itu menyanyikan ujar-ujar yang mengandung sari pelajaran amat tinggi itu. Dan dia tertegun. Di bawah sebatang pohon yang rindang nampak seorang nenek tua sedang duduk di atas tanah berumput, menghadap barang dagangannya yang bertumpuk di atas tikar terhampar. Seorang nenek tua penjual sepatu rumput rupanya!

Dan nenek itulah yang tadi bernyanyi. Memang harus diakui bahwa ujar-ujar dari Nabi Khong Hu Cu dikenal oleh semua orang yang pernah bersekolah, sungguhpun sebagian besar orang hanya mengenalnya sebagai ujar-ujar belaka tanpa menghayati isinya, tanpa meneliti diri sendiri apakah ujar-ujar yang setiap hari keluar dari mulutnya, terus-menerus diulang-ulanginya itu ada pula terkandung dalam langkah hidupnya sehari-hari.

Akan tetapi, mendengar ujar-ujar itu dinyanyikan oleh seorang nenek penjual sepatu rumput, dinyanyikan di tempat seperti itu, yaitu di luar kota di bawah pohon, sungguh merupakan hal yang amat janggal didengar. Biasanya, ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu atau ujar-ujar dari Agama Buddha hanya didengar di sekolah-sekolah, di kuil-kuil, atau dibicarakan di antara “orang-orang pandai” sebagai bahan untuk berbantahan dan mempertahankan pendirian dan pentafsiran masing-masing, dan diperalat untuk membanggakan kepintarannya!

Melihat nenek itu menghadapi dagangannya dan kelihatan sama sekali tidak laku, terbukti dari bertumpuknya sepatu rumput itu dan tidak ada seorang pun di antara orang-orang yang lalu-lalang itu menengok ke arah nenek itu, apalagi membeli dagangannya, Siluman Kecil merasa kasihan.

Nenek itu kelihatannya miskin, pandang matanya sayu, dan siapa tahu sudah beberapa hari nenek itu tidak makan. Tubuhnya begitu kurus! Siluman Kecil cepat menghampiri dan berjongkok di depan dagangan nenek itu.

“Nenek, apakah ada sepatu yang ukurannya cocok untuk kakiku?”

Tanyanya, sambil memandang wajah keriputan itu. Akan tetapi dari sinar matanya, Siluman Kecil tahu bahwa nenek itu agaknya tidak mengerti atau mungkin juga tidak mendengar. Ketika nenek itu menaruh tangan di belakang daun telinganya, mengertilah dia bahwa nenek ini adalah seorang yang sudah berkurang pendengarannya atau agak tuli.

“Apakah ada yang cocok dengan ukuran kakiku?” tanyanya pula dengan suara lebih keras.

“Oh, tentu ada.... ada....! Nah, ini agaknya cocok!” Nenek itu menyerahkan sepasang sepatu dan memandang wajah Siluman Kecil yang sebagian tertutup rambut putih penuh perhatian. “Agaknya Kongcu akan pergi ke selatan juga! Memang lebih enak pakai sepatu rumput, apalagi di selatan sana banyak hujan. Lebih hangat memakai sepatu rumput.”

Siluman Kecil mengukur sepatu itu dengan kakinya. Memang cocok. Agaknya pedagang sepatu ini sudah biasa mengira-ngira ukuran kaki orang yang datang membeli sepatunya.

“Berapa harganya?” Dia bertanya.

“Memang banyak yang ke sana. Kemarin banyak orang muda yang membeli sepatu saya pula, mereka hendak pergi ke selatan,” jawab nenek itu dan Siluman Kecil baru sadar bahwa pertanyaannya yang kurang keras tadi telah didengar lain oleh Si Nenek, maka jawabannya pun kacau.

Dia mengeluarkan uang tembaga dan mengangkat sepatu itu.
“Harganya berapa?”

“Ohhh....“

Nenek itu tertawa dan nampak mulut yang ompong! Setelah nenek itu memberi tahu harga sepatu yang hanya beberapa potong uang tembaga, Siluman Kecil membayarnya tanpa menawar. Padahal dia tahu bahwa biasanya pedagang seperti ini menawarkan dagangannya dengan harga dua kali lipat dan biasanya fihak pembeli pasti juga menawar harga itu. Nenek itu kelihatan girang menerima pembayaran Siluman Kecil dan berkata,

“Terima kasih. Mudah-mudahan Kongcu akan diterima menjadi perajurit.”

“Apa? Perajurit apa?” Siluman Kecil terheran mendengar itu.

“Eh, apakah Kongcu bukan hendak pergi ke selatan seperti mereka itu, untuk memasuki ujian penerimaan perajurit?”

“Hemmm, ada apakah di selatan sana?

“Kongcu belum tahu? Kabarnya Gubernur Ho-nan sedang mengadakan ujian untuk menerima calon-calon perajurit pengawal. Gajinya besar, kedudukannya tinggi, dan mereka yang terpilih akan dijadikan pengawal gubernur, atau kalau untung malah bisa diangkat menjadi calon pengawal pribadi.”

Tiba-tiba percakapan terhenti karena ada serombongan orang menghampiri nenek itu untuk membeli sepatu rumput. Yang membeli sepatu hanya dua orang, yaitu seorang kakek bertubuh tinggi tegap dan seorang setengah tua yang sikapnya pendiam dan matanya bersinar tajam.

Sedangkan di belakang dua orang kakek ini terdapat sepuluh orang lain yang berpakaian ringkas dan sikapnya juga pendiam. Kakek berusia enam puluhan tahun yang bertubuh tinggi tegap itu melirik ke arah Siluman Kecil dan pandang matanya tajam penuh selidik. Siluman Kecil menundukkan muka, pura-pura memilih sepatu dan membiarkan rambutnya yang panjang itu menutupi mukanya seperti tirai.

Setelah memilih sepatu dan membayar harganya, kakek itu bertanya kepada si pedagang sepatu,
“Apakah banyak orang yang lewat ke sini dan menuju ke Ceng-couw, ibu kota Ho-nan?” Suaranya besar, tegas dan berwibawa.

“Banyak sekali.... banyak orang-orang muda yang hendak melamar pekerjaan pengawal. Agaknya Sicu semua ini juga hendak ke sana?”

Kakek itu hanya menggumam, lalu bangkit berdiri dan bersama ternan-temannya meninggalkan tempat itu.

“Wah, sungguh banyak sekali yang ingin melamar sebagai pengawal,” kata Si Nenek. “Tentu ramai sekali di Ceng-couw sana, wah, kalau aku bisa berdagang sepatu di sana, tentu laris sekali!”

“Kenapa kau tidak membawa sepatumu dan berdagang di sana saja?” kata Siluman Kecil sambil bangkit berdiri pula.

“Oh, jadi Kongcu juga ingin ke sana?” tanya nenek itu yang kembali salah dengar.

Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Repot juga bicara dengan seorang tuli. Dia mengangguk-angguk sebagai jawaban, tidak mau lagi berteriak-teriak karena terdengar seperti orang cek-cok saja sehingga tentu akan banyak menarik perhatian mereka yang lewat di jalan itu. Akan tetapi, jawabannya dengan anggukan itu membuat si nenek menjadi gembira dan nenek itu pun bangkit berdiri.

“Kalau begitu, sebaiknya Kongcu naik kuda ke sana! Mungkin besok pagi sudah dimulai ujian itu dan Kongcu tentu akan ketinggalan kalau berjalan kaki. Di sini terdapat seorang pedagang kuda yang bagus-bagus dan harganya pun murah. Dia masih keponakanku sendiri. Saya tinggal bersama dia di sana juga. Marilah kuantarkan Kongcu ke sana melihat-lihat. Baru kemarin dia pulang membawa dua ekor kuda peranakan Mongol yang amat baik.”

“Tapi aku sudah biasa berjalan kaki, Nek. Aku tidak ingin membeli kuda.”

Siluman Kecil hendak melangkah pergi, akan tetapi dia melihat seorang pengemis muda duduk tak jauh dari tempat itu. Wajah pengemis ini menarik hatinya karena wajah itu terlalu tampan untuk seorang pengemis, dan sinar mata pengemis ini tidak seperti para pengemis lainnya. Semua pengemis selalu memiliki pandangan mata sayu, baik dibuat-buat atau tidak, akan tetapi sinar mata pengemis ini tajam berseri-seri dan sedikit pun tidak kelihatan duka terbayang di dalamnya!

Keadaan ini menimbulkan keharuan di hati Siluman Kecil dan dia lalu memberikan kelebihan uang pembeli sepatu tadi kepada si pengemis muda tanpa mengeluarkan kata-kata. Pengemis itu menerima pemberian ini, membungkuk sedikit sebagai tanda terima kasih, akan tetapi mulutnya diam saja! Bahkan ada bayangan keangkuhan di sinar matanya! Siluman Kecil merasa makin heran dan tertarik.

“Kongcu akan menyesal setengah mati kalau tidak membeli kuda itu!”

Kembali nenek itu mendesak dan ketika Siluman Kecil menoleh, ternyata nenek itu sudah menggulung tikarnya dan membungkus semua sepatunya tanda bahwa dia sudah kukut (berkemas untuk pulang).

“Sudahlah, Nek. Aku tidak punya uang....eh, uangku tidak akan cukup untuk membeli seekor kuda peranakan Mongol yang bagus.”

“Aaahhhhh, Kongcu sungguh merendah! Kongcu mempunyai banyak uang....eh, maksud saya, seorang seperti Kongcu yang melakukan perjalanan jauh tentu kaya raya, tentu Kongcu akan mampu membeli seekor kuda yang baik. Apakah Kongcu tidak rela memberi sedikit keuntungan kepada keluarga kami?”

Siluman Kecil terkejut. Dia memang membawa banyak uang, pemberian seorang hartawan yang pernah ditolongnya, sebagai bekal dan terima kasih atas bantuannya. Bagaimana nenek ini bisa tahu?

Akan tetapi, mungkin juga sebagai seorang pedagang, nenek ini memiliki pandangan tajam tentang hal itu. Tertarik juga hatinya. Memang selama ini banyak sekali hal-hal yang menarik hatinya. Dia selalu tertarik oleh urusan orang-orang lain. Apakah hal ini menunjukkan gejala bahwa dia sudah tidak tertarik lagi kepada diri sendiri?

“Baiklah, Nek. Aku hendak melihat kuda yang kau puji-puji itu. Akan tetapi tidak perlu kau mengemasi dagangan untuk mengantar aku. Katakan saja di mana tempat keponakanmu itu, dan aku akan mencarinya sendiri ke sana. Tidak perlu kau mengorbankan daganganmu yang menjadi tidak laku hanya untuk mengantarkan aku.”

“Kongcu, biar saya yang mengantar Kongcu ke sana. Saya juga tahu tempat pedagang kuda itu. Bukankah yang Nenek maksudkan itu adalah Paman Ciok pedagang kuda di sebelah barat jembatan hijau itu?” tiba-tiba pengemis muda itu berkata.

Nenek itu mengangguk dan mengerling ke arah Siluman Kecil.
“Benar di sana....“

“Kalau begitu, biar ia ini yang mengantarku, Nek. Terima kasih!” kata Siluman Kecil dan dia lalu pergi bersama si pengemis muda.

Siluman Kecil makin tertarik kepada pengemis ini. Sungguh tidak seperti pengemis-pengemis umumnya. Memang pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi pakaian itu bersih dan jelas bahwa pakaian itu belumlah begitu butut sehingga perlu ditambal-tambal. Agaknya seperti pakaian yang masih baru akan tetapi sengaja ditambal-tambal!

Hal ini tentu saja mencurigakan hatinya dan membuat dia menjadi tertarik. Jangan-jangan bocah pengemis ini mempunyai maksud tertentu dan sengaja mendekatinya, pikirnya. Banyak sekali orang-orang yang memusuhinya di dunia ini, apalagi sejak dia dikenal sebagai Siluman Kecil dan banyak menolong orang-orang yang tertindas sehingga otomatis dia dimusuhi oleh mereka yang ditentangnya. Akan tetapi, tentu saja dia tidak merasa gentar, hanya tertarik kepada pribadi pengemis cilik ini.

“Siapakah namamu?”

Pengemis itu terkejut, akan tetapi lalu menjawab dengan suara tenang,
“Nama saya Hong, dan orang-orang memanggil saya Siauw-hong (Hong Kecil).”

“Kenapa? Engkau tidak begitu kecil tubuhmu.”

“Entahlah, Kongcu. Sejak kecil saya disebut Siauw-hong.”

“Hemmm, di mana tempat tinggalmu?”

“Saya tidak mempunyai tempat tinggal.”

“Dan ayah bundamu?”

Siauw-hong menggeleng kepala.
“Tidak punya.”

Siluman Kecil mengerutkan alisnya, kemudian tiba-tiba dia berhenti, memegang pundak pengemis cilik itu dan menggunakan jari-jarinya untuk menotok jalan darah dekat leher, jalan darah kematian. Pengemis itu terkejut, cepat dia miringkan tubuh sehingga pegangan itu meleset dan totokan itu luput.

“Ha, sudah kuduga. Engkau pandai ilmu silat tinggi!” Siluman Kecil berseru.

“Dan Kongcu adalah Siluman Kecil!” pengemis cilik itu berkata.

“Hemmm, ternyata engkau bukan bocah pengemis sewajarnya, seperti pakaianmu yang tambal-tambalan akan tetapi bersih dan masih baru. Hayo katakan, mau apa engkau membayangi aku?” Siluman Kecil menghardik.

Pengemis muda itu menjura.
“Maafkan saya, Taihiap. Sesungguhnya bukan maksud saya hendak membayangi, hanya karena sudah lama saya mendengar nama Taihiap dengan penuh kekaguman maka begitu melihat Taihiap tadi, saya sudah menduganya dan saya ingin mengenal dan berdekatan dengan Taihiap. Saya sungguh tidak bermaksud buruk dan hendak mengantar Taihiap kepada rumah pedagang kuda itu.”

“Bagaimana engkau berpakaian pengemis? Apa maksudnya?”

“Maaf, memang saya sengaja dan ini merupakan syarat menjadi murid dari guru saya. Ketahuilah bahwa sejak kecil saya diserahkan oleh kakek saya yang sekarang entah berada di mana, kepada guru saya itu, dan setelah saya menjadi muridnya, saya diharuskan berpakaian pengemis untuk memenuhi kebiasaan nenek moyang dari guru saya.”

“Hemmm, mengapa begitu?” Siluman Kecil makin tertarik.

“Guru saya adalah keturunan pengemis, Taihiap. Oleh karena itu, biarpun sekarang guru saya tidak menjadi pengemis, akan tetapi semua muridnya diharuskan berpakaian pengemis sebelum tamat belajar untuk menghormati leluhurnya.”

Siluman Kecil memandang tajam. Dari gerakan anak ini ketika mengelak tadi, dia maklum bahwa anak ini memiliki dasar ilmu silat tinggi, bukan ilmu silat sembarangan saja, maka guru anak ini tentulah seorang tokoh besar pula.

“Siapakah gurumu itu, Siauw-hong?”

“Maaf, Taihiap, akan tetapi guru saya tidak pernah mau menyebutkan namanya.”

Siluman Kecil mengangguk-angguk. Dia maklum akan hal ini karena memang demikianlah, makin tinggi pengertian seseorang, makin rendah hati pula wataknya di samping keanehan-keanehan yang tidak lumrah manusia biasa. Maka dia pun tidak mau mendesak lagi untuk menghormati pendirian guru pengemis cilik ini.

Akhirnya mereka tiba di tempat si pedagang kuda. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, bermata sipit dan berkumis pendek, menyambut kedatangan mereka dan ketika mendengar bahwa Siluman Kecil datang untuk melihat kuda keturunan Mongol itu setelah diberi tahu oleh nenek penjual sepatu rumput, dia tersenyum lebar.

“Memang benar, Kongcu. Dan kalau bukan bibi saya yang memberi tahu, tidak sembarangan orang akan saya persilakan melihat dua ekor kuda dagangan saya itu. Kuda simpanan, kuda tunggangan raja-raja di daerah Mongol!”

Sambil memuji-muji kudanya, orang itu mengantar Siluman Kecil dan Siauw-hong ke kandang kuda. Dan memang dua ekor kuda itu merupakan kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan jelas kelihatan kuat sekali. Yang seekor berbulu hitam mulus sedangkan yang ke dua berbulu putih. Warna bulu mereka begitu mulus dan terang sehingga amat menyolok perbedaan warna bulu mereka. Yang putih adalah kuda betina sedangkan yang hitam adalah seekor kuda jantan yang kelihatan galak.

“Coba Kongcu lihat tanda di paha kiri mereka ini!” kata si tukang kuda.

Siluman Kecil melihat dan di paha dua ekor kuda itu, di paha belakang yang kiri, terdapat capnya, yaitu ukiran kepala naga yang tentu saja kasar karena dibuat dengan menempelkan besi membara yang bergambarkan kepala naga di bagian paha itu.

“Apa artinya gambar ini?” tanya Siluman Kecil.

“Itu adalah tanda bahwa sepasang kuda ini adalah bekas milik raja Mongol, seorang di antara raja-raja liar di antara suku bangsa Nomad di Mongol sana dan agaknya raja itu memuja naga. Atau mungkin juga dua ekor kuda ini adalah keturunan Liong-ma (Kuda Naga) yang terkenal itu. Pendeknya, bukan kuda sembarangan, Kongcu, dan kalau Kongcu dapat memiliki seekor kuda ini, Kongcu sungguh beruntung. Akan tetapi, saya anjurkan Kongcu memilih yang putih.

“Yang betina? Mengapa?”

“Karena dua ekor kuda ini memang mempunyai keanehan. Yang putih ini agaknya hanya mau menjadi jinak kalau dinaiki oleh seorang pria! Sedangkan yang jantan, yaitu yang hitam ini, hanya mau menjadi jinak kalau dinaiki oleh seorang wanita!”

“Ah, sungguh luar biasa!” Siluman Kecil berseru dan pengemis kecil itu tertawa.

“Ha-ha, kalau begitu mereka adalah kuda-kuda yang cabul!” seru Siauw-hong.

“Hushhhhh, jangan sembarangan saja kau, Siauw-kai (Pengemis Cilik)!” Pedagang kuda itu menghardik.

“Omongannya itu ada benarnya,” kata Siluman Kecil membela Siauw-hong.

“Tidak, Kongcu. Sama sekali tidak benar. Dua ekor kuda ini bukanlah kuda cabul, akan tetapi adalah kuda yang sudah terlatih matang di tempat asalnya. Dengan wataknya yang aneh itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa tentu kuda hitam ini dahulu adalah kuda tunggangan seorang permaisuri dan dilatih sedemikian rupa, sehingga dia tidak mau ditunggangi seorang pria, maka hanya sang permaisuri sajalah yang dapat menungganginya. Mana boleh kuda tunggangan seorang permaisuri ditunggangi seorang pria? Dan demikian pula dengan kuda putih ini, tentu dahulunya menjadi kuda tunggangan seorang raja.”

Siluman Kecil mengangguk-angguk. Biarpun cerita itu agaknya terlalu dibuat-buat, akan tetapi masuk akal juga.

“Saya tidak percaya!” Tiba-tiba Siauw-hong berkata. “Saya yakin bahwa kuda hitam itu lebih baik karena dia jantan. Lebih baik Kongcu memilih yang jantan saja.”

“Eh, kau berani tidak percaya kepadaku, Siauw-kai? Kau menyuruh Kongcu naik kuda hitam kemudian dibantingkan?” bentak si tukang kuda.

“Masa dibantingkan! Kuda itu kelihatan begitu jinak!” Siauw-hong membantah.

“Kalau tidak percaya, boleh kau coba naik di punggungnya!” tantang si tukang kuda.

“Baik, akan saya tunggangi dia!” Siauw-hong menerima tantangan itu.

“Siauw-hong, apakah kau bisa menunggang kuda?” Siluman Kecil bertanya khawatir.

Siauw-hong tersenyum dan anak ini kelihatan tampan sekali kalau tersenyum.
“Jangan khawatir, Taihiap, sejak kecil saya sudah biasa menunggang kuda dan entah sudah ada berapa ratus ekor kuda jantan yang saya tunggangi, maka saya tidak percaya kalau ada kuda jantan tidak mau ditunggangi pria!”

“Kau bocah sungguh bermulut besar. Boleh kau coba si Hitam, akan tetapi Kongcu ini menjadi saksi dan saya tidak mau dipersalahkan kalau nanti kau dibantingkan dan punggungmu patah,” kata si tukang kuda.