FB

FB


Ads

Rabu, 13 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 034

Siluman Kecil menjadi bimbang. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan dia menoleh lagi ke arah pintu gedung, akan tetapi gadis pembawa ular itu pun menarik perhatiannya pula, maka berkatalah dia kepada nikouw tua yang sejak tadi hanya menonton saja dengan sikap tenang,

”Ibu, tolong Ibu lihat apa yang berada di dalam rumah itu, aku melihat ada orang di dalamnya.”

Nikouw tua itu mengangguk, lalu melangkah memasuki pintu gedung yang dapat didorongnya terbuka dengan mudah.

Sementara itu, Siluman Kecil kini menghadapi Hwee Li, memandang dengan penuh perhatian akan tetapi karena ada awan tipis menutupi bulan dan lampu penerangan di situ pun tidak berapa terang, maka wajah Hwee Li tidak begitu tampak jelas.

“Nona, aku seperti pernah melihatmu, akan tetapi entah di mana, siapakah kau?”

Hwee Li mencibirkan bibirnya.
“Laki-laki kejam. Sudah jelas bahwa yang kau kenal baik adalah Cui Lan, akan tetapi kenapa matamu memandang orang lain?”

“Eh, bocah sombong! Engkau sungguh kurang ajar sekali!” teriak Sim Kun, orang termuda dari tiga orang pemburu keluarga Sim itu.

Melihat pendekar pujaannya dimaki dan dimarahi oleh gadis ini, tentu saja hatinya menjadi panas, apalagi ketika nama Cui Lan dibawa-bawa. Setelah membentak, Sim Kun lalu menyerangnya dengan golok yang telah dicabutnya.

“Huh, orang kasar!”

Hwee Li mendengus sambil mengelak, akan tetapi kini Sim Hoat dan Sim Tek juga sudah turun tangan menyerang sehingga Hwee Li dikeroyok tiga orang Saudara Sim itu.

Selagi Siluman Kecil hendak melerai karena dia melihat kelihaian gadis pakaian hitam itu, terdengar suara teriakan dari dalam gedung. Siluman Kecil mengenal suara nikouw tua, maka tanpa mempedulikan lagi gadis pekaian hitam yang sedang bertempur melawan tiga orang Saudara Sim, dia bergegas masuk, diikuti pula oleh ketua kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang ingin melihat apa yang terjadi di dalam gedung itu. Ternyata kamar belakang gedung itu telah porak poranda, meja kursi berserakan dan semua isi lemari awut-awutan.

Nikouw tua itu telah tertawan oleh seorang gadis cantik berpakaian merah muda. Tangan kiri gadis itu mencengkeram punggung baju nenek itu sedangkan tangan kanan memegang pedang yang ditempelkan di lehernya.

“Berhenti semua! Jangan mendekat atau.... kubunuh nenek ini! Rumah ini sudah kukuras habis.... hi-hi, kau datang terlambat, Siluman Kecil!”

Gadis cantik itu memandang kepada Siluman Kecil dan dua orang kakek dengan mata bersinar-sinar, sikapnya penuh keberanian dan pedang berkilauan yang berada di tangan kanannya tidak tergetar sedikit pun juga. Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia yang pernah menghadiri undangan Kuiliong-pang mewakili gurunya, yaitu Heksin Touw-ong si Raja Maling dari perbatasan!

“Siancai.... di tempat begini ada maling!”

Ketua Bu-tong-pai menggerakkan tangannya hendak menerjang, akan tetapi lengannya cepat dipegang oleh Siluman Kecil yang khawatir akan keselamatan nikouw tua itu.

“Kau lepaskan dia....!” Siluman Kecil berkata halus kepada Ang-siocia.

Ang-siocia tersenyum, nampak deretan giginya yang putih dan ujung lidahnya yang runcing merah menyapu bibirnya dengan cepat

“Berjanjilah dulu, Siluman Kecil, bahwa kalau aku melepaskan nenek ini, kalian semua tidak akan menyerangku dan membiarkan aku pergi membawa kitab-kitab ini!”

Dia menuding ke arah bungkusan kain kuning yang agaknya berisi kitab-kitab dan diletakkanya di depan kakinya.

“Maling hina yang curang!”

Ketua Bu-tong-pai membentak marah. Kalau tidak dicegah oleh Siluman Kecil, tentu dia sudah menerjang gadis itu.

“Totiang adalah ketua Bu-tong-pai, mengapa tidak bersikap tenang seperti seorang pendeta yang berkedudukan tinggi?” Nona berpakaian serba merah itu mengejek.

“Siluman Kecil, bagaimana?”

“Baiklah, kau boleh pergi membawa barang-barang yang kau curi itu. Akan tetapi aku pasti akan mencarimu!” ucapannya terdengar halus akan tetapi mengandung ancaman yang menyeramkan.

“Hik-hik, tentu saja. Dan agar engkau tidak bingung-bingung mencari, aku akan menantimu di ujung Pantai Pohai, di teluk sebelah utara. Nah, selamat tinggal!”

Gadis cantik berpakaian merah lalu melepaskan nikouw tua, menyambar bungkusan dengan tangan kiri, dan dengan tangan kanan masih membawa pedang dia lalu meloncat ke luar melalui jendela kamar belakang itu, lenyap ke dalam kegelapan malam.

“Aku akan segera ke sana!”

Siluman Kecil berseru, tangannya bergerak ke arah jendela dan nampak benda kecil menyambar ke luar jendela.

“Ihhhhh....!”






Terdengar gadis itu menjerit di luar jendela, lalu terdengar suaranya agak gemetar karena benda itu adalah sebuah kancing baju putih yang tahu-tahu telah menyusup ke dalam rambut kepalanya! Kalau saja sasarannya diubah sedikit saja tentu dia sudah menggeletak tanpa nyawa!

“Siluman Kecil, aku dan Suhu menantimu di sana!”

Keadaan lalu sunyi kembali dan Siluman Kecil menggandeng tangan nikouw tua keluar dari dalam gedung itu. Di luar masih terjadi pertempuran, akan tetapi sambil tertawa-tawa Hwee Li mempermainkan tiga orang lawannya, melecuti muka dan tubuh mereka dengan ekor dua ularnya sehingga mereka babak belur, dan terdengar Cui Lan berseru,

“Jangan bunuh orang.... jangan lukai orang....!”

Melihat ini, Siluman Kecil melompat ke depan. Cepat bukan main gerakannya itu dan nampak bayangannya yang putih itu berkelebat.

“Aihhh....!”

Hwee Li menahan jeritannya ketika melihat Siluman Kecil menerjangnya dengan kecepatan yang amat hebat. Tiap orang she Sim itu segera mengudurkan diri melihat Siluman Kecil kini sudah menghadapi gadis berpakaian hitam yang amat hebat itu. Dan kini semua orang menyaksikan pertandingan yang amat aneh dan juga indah dipandang.

Gadis itu ternyata juga sudah menggunakan ginkang yang luar biasa cepatnya untuk mengimbangi kecepatan Siluman Kecil dan tubuh mereka lenyap berubah menjadi bayangan hitam dan putih yang saling serang dan saling terjang, kadang-kadang sukar dibedakan lagi karena dua bayangan itu seperti telah menjadi satu.

Tiba-tiba terdengar Hwee Li Menjerit dan nampak bayangan hitam melesat dan lenyap di telan kegelapan malam. Siluman Kecil berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan hitam. Kemudian dia sadar bahwa banyak orang memandangnya. Dia membalikkan tubuh dan tanpa disengaja tepat sekali dia bertemu pandang dengan Cui Lan. Sejenak dua sinar mata itu saling pandang, melekat dan akhirnya Siluman Kecil menundukkan mukanya, jantung berdebar dan merasa tidak enak. Dia lalu berkata kepada nikouw tua yang berdiri di situ,

“Ibu, aku harus pergi mengejar maling tadi. Aku pergi!”

Begitu dia berkata pergi, tubuhnya berkelebat dan nampak bayangan putih meluncur cepat ke depan dan lenyap dari situ.

Semua orang tertegun dan tanpa banyak cakap mereka pun bubar dan meninggalkan tempat yang baru saja terjadi hal-hal yang amat menegangkan hati mereka itu. Peristiwa itu tidak akan dapat mereka lupakan sebagai pengalaman yang menegangkan dan akan menjadi buah bibir di dunia kang-ouw sampai bertahun-tahun lamanya.

Begitu melihat Siluman Kecil pergi tanpa pamit kepadanya, tanpa sepatah pun kata kepadanya, bahkan seperti tidak mempedulikannya sama sekali, Cui Lan menunduk, air matanya meleleh tanpa dapat ditahannya pula. Kini jelaslah baginya bahwa pendekar yang dipuja-pujanya itu, dicintanya, sama sekali tidak memperhatikan dia. Barulah dia sadar bahwa sesungguhnya tidak mungkin dia mengharapkan yang bukan-bukan. Siluman Kecil adalah seorang pendekar besar yang dipuja banyak orang, apalagi setelah dapat memenangkan kakek tadi, sampai-sampai ketua partai-partai besar menghormatinya. Sedangkan dia? Dia hanya seorang gadis dusun, seorang bekas pelayan!

Seperti kilat memasuki benaknya bahwa dia adalah puteri angkat seorang gubernur, akan tetapi ingatan ini cepat diusirnya karena dia pun telah bersalah kepada ayah angkatnya itu, telah pergi tanpa perkenan.

Ayah bundanya sudah tiada, tidak ada sanak keluarga, orang satu-satunya yang dia pandang dan harapkan, kiranya sama sekali tidak mempedulikannya, apalagi mencintanya. Air matanya makin deras mengucur sampai dia tidak tahu bahwa tempat itu telah sunyi, semua orang telah pergi kecuali dia sendiri dan nikouw tua tadi, ibu dari Siluman Kecil yang sejak tadi memandangnya dengan sinar mata penuh rasa iba dan terharu.

Nenek ini saking terharunya mengusap dua butir air mata yang menghias bulu matanya. Dia tahu benar apa yang terjadi di dalam hati gadis cantik ini. Jelas bahwa dara ini jatuh cinta kepada Siluman Kecil, akan tetapi anaknya itu agaknya tidak membalas cintanya. Dia lalu menghampiri Cui Lan. Dipegangnya lengan gadis itu. Cui Lan menoleh dan barulah dia merasa terkejut bahwa di situ telah sunyi, dan bahwa nenek yang tadi disebut ibu oleh Siluman Kecil itu memegang lengannya.

“Anak yang baik, marilah engkau ikut bersamaku. Mungkin ada kecocokan antara kita karena kulihat bahwa pengalamanmu agaknya sama dengan peristiwa yang menimpa diriku di waktu aku muda dahulu. Mari kutunjukkan jalan Tuhan kepadamu.”

Ucapan ini seperti membuka bendungan di hati Cui Lan dan tangisnya makin mengguguk ketika dia membiarkan dirinya digandeng dan dibawa pergi perlahan-lahan meninggalkan puncak itu.

Para pembaca yang pernah mengikuti cerita-cerita terdahulu seperti cerita Suling Emas, Pendekar Super Sakti, Sepasang Pedang Iblis dan lain-lain tentu telah mengenal siapa adanya Pendekar Sakti Suling Emas dan apa yang terjadi dengan pusaka-pusaka peninggalannya.

Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah diceritakan bahwa senjata pusaka suling emas peninggalan Pendekar Sakti Suling Emas itu yang terakhir berada di tangan Puteri Nirahai, dipergunakan oleh Puteri Nirahai untuk bertanding melawan Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang akhirnya menjadi suaminya.

Adapun mengenai kitab-kitab peninggalan Pendekar Suling Emas yang berisikan pelajaran ilmu-ilmu silat tingkat dan mujijat seperti Kim-kong Sin-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Hong-in Bun-hoat dan kipas pada saat terakhir telah terjatuh ke tangan Lulu dan dibawanya ke Pulau Neraka di mana dia akhirnya menjadi ketua Pulau Neraka sebelum dia juga menjadi isteri Suma Han si Pendekar Super Sakti.

Jadi, baik suling emas yang terjatuh ke tangan Puteri Nirahai maupun kipas dan kitab-kitab yang terjatuh ke tangan Lulu, semua telah menjadi milik keluarga Pulau Es, yaitu Suma Han si Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tangan kakek yang mengaku bernama Sin-siauw Sengjin itu?

Hal ini, akan diceritakan kelak kalau sudah tiba waktunya untuk memperlancar jalannya cerita karena di dalamnya terdapat rahasia-rahasia yang sementara ini belum dapat dibuka atau diceritakan.

Bayangan putih yang seperti terbang melayang dengan kecepatan luar biasa lari dengan ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) itu akhirnya berhenti di sebuah lapangan terbuka yang penuh rumput hijau di bawah bukit. Bulan masih bersinar terang setelah awan-awan yang menutupnya tadi lewat. Lapangan rumput itu seperti laut kehijauan indah bukan main dan Siluman Kecil berdiri di tepi lapangan rumput, menunduk dan melamun.

Pikirannya agak kacau karena pertemuannya dengan Cui Lan tadi. Dia tadi sengaja tidak mau memperhatikan dan bersikap acuh tak acuh terhadap dara itu, disengajanya agar dara itu dapat terbuka matanya bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih dara itu. Tentu saja dia tahu bahwa sejak dahulu ketika dia menolong dara itu, Cui Lan telah jatuh cinta kepadanya dan selalu memujanya dan merindukannya.

Dia merasa suka dan kasihan sekali kepada Cui Lan, akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak dapat mencinta dara itu. Dia tidak dapat mencinta siapa-siapa lagi di dunia ini! Dia mengerti betapa duka dan merananya orang yang tidak dibalas cintanya, dia terlalu mengerti akan kedukaan ini karena dia sendiri telah mengalaminya!

Dia pun pernah mengalami seperti Cui Lan, mencinta seseorang mati-matian, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk dan mesra-mesra, akan tetapi kenyataan amat pahit menghantam hatinya, bahwa orang yang dicintanya itu tidak membalas perasaan hatinya.

Beberapa tahun yang lalu dia hidup merana, bahkan bosan hidup, tidak ingin hidup lagi sampai dia tiba di pucak bukit itu, bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin, dan terluka hampir mati. Akan tetapi dia tidak mati, agaknya dia masih diharuskan hidup lebih lama untuk memperpanjang hukumannya, yaitu penderitaan batin karena dia tidak dapat melupakan kedukaan hatinya.

“Ihhhh....! Kau lagi....?”

Bentakan marah ini mengejutkan dan membuyarkan semua lamunannya. Di depannya telah berdiri gadis berpakaian serba hitam tadi, gadis yang membawa ular yang tadinya menyerangnya!

“Hemmm....“ Dia hanya menggumam.

“Hemmm apa? Kau laki-laki tak berperasaan, kau laki-laki kejam yang suka menghancurkan hati wanita! Kau tidak mempedulikan orang yang mencintamu malah mengejar wanita lain!”

Dara sudah mencak-mencak marah dan menudingkan telunjuk yang berkuku runcing terpelihara ke arah hidung Siluman Kecil.

Siluman Kecil mengerutkan dahinya dan memandang tajam.
“Bocah lancang mulut, apa yang kau maksudkan itu?”

“Huh, mentang-mentang rambutmu sudah putih semua kau lantas boleh menyebut aku bocah, ya? Kau kira aku tidak tahu bahwa sebetulnya kau masih muda, tidak berbeda banyak dengan aku?”

Siluman Kecil merasa kewalahan juga menghadapi dara yang begini galak. Dia menarik napas panjang.

“Yaaah, terserah. Sekarang katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu itu tadi?”

“Maksudnya? Maksudnya sudah jelas masih pakai tanya-tanya segala! Engkau kejam terhadap Cui Lan kau tinggalkan begitu saja, tidak tahu kahwa hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Engkau, setelah kau jatuhkan hatinya dengan pertolonganmu, dengan kegagahanmu, dengan ketampananmu, lalu kau sia-siakan begitu saja. Lebih celaka lagi, kau malah meninggalkan dia dan mengejar aku! Mau apa kau mengejarku? Mau pamerkan kepandaianmu? Mau membunuh aku?”

Siluman Kecil beberapa kali membuka mulut akan tetapi terpaksa menutupkannya kembali karena dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Kata-kata yang keluar dari mulut yang manis itu seperti memberobotnya anak panah yang dilepas dari busur sakti!

Dia kini menghela napas lega setelah dara itu menghentikan serangan-serangannya dan dia mengangkat muka memandang gadis itu bertolak pinggang, sikapnya sama sekali tidak takut bahkan menantang, padahal sudah jelas bahwa gadis itu telah dikalahkannya, sungguhpun harus dia akui bahwa tidak mudah mengalahkan dara yang ternyata memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan aneh itu. Baru sekarang Siluman Kecil merasa serba salah dan canggung.

“Aku tidak mengejarmu, Nona.” Akhirnya dia berkata singkat.

“Dusta kau!”

Dan tiba-tiba gadis berpakaian hitam itu telah menyerangnya kalang-kabut. Siluman Kecil cepat mengelak ke sana ke mari sambil berkata,

“Aku tidak ingin berkelahi!”

Akan tetapi Hwee Li tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat dan amat berbahaya. Siluman Kecil menjadi repot juga dan terpaksa dia meloncat tinggi dan jauh untuk menghindar, lalu dia melarikan diri karena memang dia tidak ingin berkelahi hanya karena perbedaan pendapat tentang diri Cui Lan dan tentang kejar-mengejar itu.

“Lari kemana kau?”

Hwee Li membentak dan mengejar. Akan tetapi pada saat itu muncul bayangan orang di balik pohon dan terdengar bentakan halus menegur dara berpakaian hitam itu.

“Hwee Li, jangan kurang ajar. Kembalilah!”

“Eh, Subo....!” Gadis berpakaian hitam itu berseru kaget dan girang.

Siluman Kecil cepat lari akan tetapi dia masih sempat menengok dan melihat bahwa yang disebut subo oleh gadis itu adalah seorang wanita yang sangat cantik dan dia seperti pernah melihat wajah itu.

Akan tetapi dia tidak ingin bentrok dengan wanita cantik itu yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat lagi daripada si dara galak, apalagi karena memang tidak ada permusuhan apa-apa di antara mereka. Maka Siluman Kecil lalu mempercepat gerakannya dan tubuh yang berpakaian dan berambut putih itu kelihatan melayang cepat sekali di atas lapangan rumput, diikuti oleh pandang mata dua orang wanita guru dan murid itu penuh kekaguman.

Fajar telah menyingsing ketika Siluman Kecil tiba di pintu gerbang kota An-yang, di dekat tapal batas Propinsi Ho-nan dan Ho-pei sebelah utara. Di depan pintu gerbang telah menanti banyak orang, yaitu sebagian besar adalah orang-orang luar kota An-yang yang hendak memasuki kota itu, menanti sampai dibukanya pintu gerbang oleh para penjaga.

Munculnya Siluman Kecil tentu saja mendatangkan rasa heran di antara mereka, karena keadaan pendekar ini memang aneh. Pakaiannya putih dan rambutnya juga terurai putih, sebagian menutupi mukanya sehingga menyembunyikan sebagian besar wajah yang tampan.

Akan tetapi, di antara semua orang itu, ada seorang wanita muda yang selalu memandangnya, dengan alis berkerut dan sinar mata tajam penuh selidik, kelihatan jelas bahwa wanita ini mencurigainya dan memperhatikan semua gerak-geriknya.

Siluman Kecil tentu saja merasa tidak senang dan tidak enak, akan tetapi dia diam saja dan berdiri di sudut yang agak gelap. Wanita itu berpakaian serba hijau, menuntun seorang anak kecil berusia empat tahun, dan wanita itu sendiri berusia kurang lebih dua puluh tahun dengan wajah yang cukup cantik dan membayangkan kegagahan.

Ketika pintu gerbang dibuka tak lama kemudian, Siluman Kecil cepat menyelinap masuk dan mencari sebuah warung makan untuk sarapan dan menghangatkan badan di pagi hari yang cukup dingin itu.

Sebuah warung baru saja dibuka dan masih kosong belum ada tamunya seorang pun, maka dia cepat memasuki warung ini dan memesan masakan bubur ayam dan air teh panas. Akan tetapi, selagi pelayan menyiapkan pesanannya, masuklah tiga orang laki-laki muda ke dalam warung dan mereka itu bercakap-cakap dengan suara lantang.

“Lo-ciang, kenapa engkau tidak ikut memasuki pemilihan jago itu? Siapa tahu, engkau akan terpilih dan kelak menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal sehingga aku yang menjadi sahabatmu tentu takkan kau lupakan, ha-ha!”

“Enak saja kau bicara, A-seng! Yang dipilih adalah orang-orang yang berilmu tinggi untuk menjadi pengawal gubernur sendiri, dan yang terpandai akan memperoleh kedudukan istimewa. Maka tentu akan muncul banyak sekali orang sakti. Aku ini apa? Hanya bisa sekedar menggerakkan tangan seperti monyet menari! Kalau saja aku mempunyai kepandaian seperti pendekar Siluman Kecil yang disohorkan orang itu, nah....!”

Siluman Kecil memutar duduknya membelakangi mereka, dan ketika pelayan datang mengantarkan bubur dan air teh yang dipesannya, dia mulai makan bubur yang masih mengebul panas itu.

Tiga orang laki-laki itu masih bercakap-cakap ramai akan tetapi tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika ada rombongan orang memasuki warung itu. Siluman Kecil melirik dan melihat bahwa wanita muda berpakaian hijau yang tadi dijumpainya di pintu gerbang menuntun seorang anak kecil, akan tetapi kini tidak lagi menuntun anak itu, memasuki warung diiringkan oleh lima orang laki-laki yang bersikap hormat seolah-olah mereka adalah pengawal-pengawal wanita itu.

Begitu mengambil tempat duduk, tak jauh dari tempat Siluman Kecil, dengan suara lantang wanita itu memanggil pelayan, kemudian berkata setelah melirik ke arah tiga orang laki-laki muda dan Siluman Kecil,

“Pelayan, hidangkan masakan yang paling istimewa dari warungmu ini, dan arak yang hangat dan paling baik. Suguhkan kepada semua tamu atas namaku, aku yang akan membayar semua yang dimakan para tamu di pagi hari ini!”

Tiga orang laki-laki muda itu menoleh dan mereka menjadi gembira, lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah wanita itu. Seorang di antara mereka berkata,

“Kouwnio, banyak terima kasih atas kebaikanmu!”

Wanita itu hanya membalas penghormatan mereka sambil tersenyum dan tiga orang laki-laki itu kembali duduk dengan sikap gembira.

Akan tetapi Siluman Kecil tentu saja merasa sungkan dan dia berkata dari tempat duduknya,
“Harap Twanio tidak perlu repot, saya hanya makan bubur dan air teh, dan akan saya bayar sendiri. Terima kasih atas kebaikanmu.”

“Ah, tidak mengapa, sobat. Hari ini adalah hari ulang tahunku dan sudah biasa setiap ulang tahun, aku membayar makanan semua tamu di suatu warung seperti ini,”

Kata wanita itu dengan sikap gembira dan melihat sikap dan mendengar kata-kata Siluman Kecil dapat menduga bahwa wanita ini sudah biasa hidup di dunia kang-ouw sehingga tidak canggung lagi berhadapan dengan orang, bahkan laki-laki asing.

Dia tidak mau berbantah dan agar tidak menarik perhatian wanita ini yang sejak di pintu gerbang tadi memandangnya penuh kecurigaan, maka dia tidak membantah lagi dan ketika hidangan disajikan oleh pelayan, dia makan dengan diam-diam dan berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikan mukanya.

Wanita itu sendiri pun tidak memperhatikannya lagi dan makan minum bersama lima orang laki-laki yang mengiringkannya tadi, sedangkan tiga orang laki-laki muda yang merupakan rombongan lain tadi agaknya mempergunakan kesempatan selagi ada orang yang mau membayar makanan mereka, memesan lagi masakan-masakan dan minuman arak, agaknya ingin mabuk-mabukan di atas biaya orang lain!

Siluman Kecil cepat menyelesaikan makannya dan selagi dia hendak bangkit, tiba-tiba dia melihat ada seorang pemuda memasuki warung. Hatinya tertarik sekali melihat pemuda ini yang berkulit putih dan berambut coklat tua, seorang pemuda berbangsa asing atau sebangsa orang barat yang akhir-akhir ini banyak dilihatnya di kota-kota besar.

“Sumoi....!” Pemuda asing itu berseru sambil menghampiri meja rombongan wanita berbaju hijau tadi.

“Ah, Suheng, kau baru datang?” Wanita itu pun berseru ketika pemuda asing itu menghampiri mejanya.

Lima orang pengiring wanita itu kelihatan bersikap hormat, berdiri dan mempersilakan pemuda asing itu duduk, mengambilkan bangku kosong dan tidak mengeluarkan kata-kata. Pemuda asing itu lalu berbisik kepada wanita berbaju hijau,

“Sumoi, dia kulihat di luar dusun.... sedang menuju ke sini.... sendirian.”

Wanita muda itu kelihatan terkejut, akan tetapi lalu berkata,
“Hemmm, tak kusangka begitu cepat dia datang. Akan tetapi kita tidak usah mempedulikan kedatangannya. Betapapun juga kita belum pernah mengenal dia. Kita duduk saja di sini merayakan berhasilnya usahaku, Suheng. Oh ya, mari kuperkenalkan engkau kepada tamu-tamu kita yang kujamu untuk merayakan hari ulang tahunku.” Dia bangkit berdiri dan menghadap ke arah meja tiga orang pemuda tadi.

“Cu-wi, ini Suheng saya, dan Cu-wi bertiga adalah....“ Wanita itu memperkenalkan.

“Saya Ma Kok Ciang!”

“Saya Kam Seng!”

“Saya Kam Tiong!”

Tiga orang pemuda itu memperkenalkan diri dengan suara lantang. Pemuda asing itu menjura dengan hormat dan mengikuti sumoinya menghadap ke arah Siluman Kecil.

“Sobat, Suhengku ingin berkenalan denganmu. Bolehkah kami mengenal namamu yang terhormat?” Wanita baju hijau itu bertanya kepada Siluman Kecil.

Pendekar ini menundukkan muka, membiarkan rambutnya menutupi mukanya. Sebetulnya dia tidak ingin berkenalan dengan siapa pun juga. Akan tetapi baru saja dia telah makan hidangan orang, maka tidaklah enak kalau tidak menjawab. Lebih baik memperkenalkan diri dan cepat pergi dari situ, pikitnya.

“Namaku....? Hemmm, panggil saja aku Siluman Kecil,” jawabnya pendek.

“Ughhh-ukkkhhhhh!”

Seorang di antara tiga pemuda itu terbatuk-batuk karena makanan yang sedang ditelannya itu menyangkut di kerongkongannya ketika dia mendengar ini. Mereka terbelalak menoleh ke arah Siluman Kecil yang mereka hanya dapat lihat punggungnya. Sedangkan wanita baju hijau dan suhengnya itu pun memandang dengan mata terbelalak kaget, akan tetapi kerut alis mereka menunjukkan bahwa mereka itu masih ragu-ragu.