FB

FB


Ads

Rabu, 13 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 033

Dua orang ketua itu adalah orang-orang besar yang memimpin partai persilatan besar, tentu saja mereka memiliki kedudukan tinggi dalam dunia persilatan. Mereka tentu tidak sudi mencuri lihat ilmu orang lain, hanya karena mendengar bahwa Sin-siauw Seng-jin sebagai pewaris ilmu-ilmu Suling Emas hendak bertanding, mereka tidak dapat menahan keinginan tahu mereka untuk menonton, biar dengan sembunyi-sembunyi.

Akan tetapi, kini setelah menerima tantangan, berarti mereka memperoleh kesempatan untuk melihat dan sekaligus menguji sendiri ilmu-ilmu itu, tentu saja mereka menyambut dengan gembira.

Ketua Butong-pai memberi isyarat kepada sutenya, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bermuka kuning. Tosu ini adalah orang ke dua dari Bu-tong-pai, tokoh ke dua setelah sang ketua sendiri. Namanya Kim Thian Cu dan sebagai tokoh ke dua, tentu saja dia memiliki kepandaian yang tinggi.

Dengan langkah tenang, Kim Thian Cu menggerakkan kedua lengan jubah pendetanya yang lebar dan tersenyum menghadapi kakek pemegang tongkat itu, lalu menjura.

“Silakan!”

Kakek itu juga memandang dengan sinar mata penuh selidik, sikapnya tenang halus seperti gurunya dan dia bertanya,

“Kalau boleh saya bertanya, siapakah julukan Totiang?”

“Pinto Kim Thian Cu, tosu yang bodoh dari Bu-tong-pai,” kata tosu itu sambil menjura.

Kakek itu lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian melangkah maju pula dan menjura.

“Kim Thian Cu totiang, sebagai fihak tuan rumah, saya hanya melayani. Silakan Totiang mulai dan sebelumnya ketahuilah bahwa saya yang rendah pengetahuan akan mempergunakan ilmu tangan kosong dari Suhu.”

Kim Thian Cu sebagai seorang tokoh Bu-tong-pai, tentu saja sudah mempunyai pengalaman mendalam dan sekali pandang saja dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, maka dia tidak bersikap sungkan lagi.

“Pinto mulai, sambutlah!”

Dan begitu dia bergerak, Kim Thian Cu telah mengeluarkan ilmu silat simpanan dari Bu-tong-pai yang hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan yang amat tangguh saja. Kedua tangannya membentuk cakar garuda dan ketika digerakkan, terdengarlah angin bersiutan dan sepuluh jari tangannya itu berubah menjadi keras seperti baja! Itulah ilmu Kiauw-ta Sin-na yang amat lihai dari Butong-pai, yang kesemuanya ada seratus dua puluh jurus.

Biarpun dia sendiri sudah menduduki jabatan wakil ketua atau tokoh ke dua, Kim Thian Cu sendiri hanya mengenal delapan puluh jurus saja dari ilmu kuno ini! Dan begitu menyerang, dia telah mengeluarkan jurus yang paling ampuh, dengan tangan kiri mencengkeram ke ubun-ubun kepala sedangkan tangan kanan yang tadinya seperti cakar, ketika ditusukkan ke arah pusar lawan berubah menjadi lurus seperti pedang! Serangan ini hebatnya bukan kepalang, yang mencengkeram ubun-ubun seperti badai dahsyatnya, yang menusuk pusar seperti kilat menyambar.

“Bagus....!”

Kakek yang tinggi kurus itu berseru dan cepat tubuhnya yang bergerak, kedua tangannya menangkis dua serangan itu.

“Dukkk!.... Dukkkkk!”

Dua pasang lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang, akan tetapi kalau murid Sin-siauw Seng-jin itu hanya terhuyung dua langkah, Kim Thian Cu terhuyung sampai lima langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa tenaga wakil ketua Bu-tong-pai itu kalah kuat.

Kim Thian Cu menjadi penasaran. Dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang dia kalah kuat, maka dia mengandalkan ginkangnya dan ilmu Silat Kiauw-ta Sin-na dan mulailah dia menerjang dengan cepat dan kuatnya.

Kakek tinggi kurus itu lalu mengeluarkan seruan keras, menyambut serangan wakil ketua Bu-tong-pai dengan ilmu silat tangan yang gerakannya aneh sekali namun dahsyat seperti badai laut mengamuk! Tubuh kakek tinggi kurus itu berputaran dan kedua lengannya seperti berubah menjadi belasan buah sehingga hujan serangan dari Kim Thian Cu dapat ditangkisnya semua, bahkan dia membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya!

Giok Thian Cu mengerutkan alisnya, maklum bahwa sutenya tidak akan mampu menang. Sayang bahwa sutenya belum menguasai jurus-jurus yang paling rumit dari Kiauw-ta Sin-na sehingga untuk menghadapi lawan yang demikian tangguh amat sukar mendesaknya.

Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mencampuri dan hanya memandang dengan penuh perhatian untuk mempelajari gerakan lawan yang menggunakan semacam ilmu silat tangan kosong yang aneh. Gerakan tangan kakek tinggi kurus itu kadang-kadang seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan tangan yang lebar itu dikebut-kebutkan sedemikian cepatnya sehingga memang menyerupai kipas saja! Akan tetapi, setiap gerakan tangan itu selain mendatangkan angin seperti kipas, juga mengandung tenaga yang amat kuat menyambar lawan!

Tepat seperti dugaan ketua Bu-tong-pai ini, belum sampai tiga puluh jurus, Kim Thian Cu terhuyung ke belakang dan kedua lengannya tergantung seperti lumpuh. Ternyata kedua pundaknya telah kena totokan kakek itu. Ketua Bu-tong-pai cepat meloncat ke depan dan sekali menekan kedua pundak sutenya, Kim Thian Cu pulih kembali kedua lengannya dan dia lalu menjura ke arah kakek tadi sambil berkata,

“Pinto mengaku kalah.”

“Hebat.... hebat....!” Giok Thian Cu ketua Bu-tong-pai menjura ke arah kakek itu sambil tersenyum. “Sungguh hebat dan bukan hanya dongeng kosong belaka ilmu keturunan dari Pendekar Suling Emas. Kalau boleh pinto mengetahui nama Sicu dan nama ilmu pukulan luar biasa tadi....“

Kakek itu tersenyum dan balas menjura.
“Saya berjuluk Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak) dan menjadi murid pertama dari Suhu. Adapun tentang ilmu-ilmu yang saya mainkan, saya tidak berhak menyebutkannya kepada siapapun juga, yang berhak adalah Suhu.”






Giok Thian Cu mengangguk-angguk.
“Bagus, memang ilmu sehebat itu tidak boleh sembarangan diketahui orang. Pinto kagum sekali. Nama Pendekar Suling Emas yang sudah ratusan tahun merupakan dongeng dan terpendam itu, hari ini muncul sebagai kenyataan yang mengagumkan dan tentu akan menggegerkan dunia persilatan. Sute Kim Thian Cu telah mengaku kalah, dan kalau boleh pinto sendiri akan menguji kehebatan ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas. Tidak tahu apakah Sin-siauw Sengjin sendiri yang berkenan maju ataukah mewakilkan kepada muridnya?”

Sambil berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sebatang pedang dari dalam jubahnya dan kini berdiri tegak dan memegang pedang di depan dada dengan kedua tangan dirangkap tanda penghormatan.

Gin-siauw Lo-jin membalas penghormatan itu dengan mencabut sebatang suling perak dari dalam jubahnya.

“Maaf, Totiang. Biarlah saya mencoba-coba mewakili Suhu menyambut penghormatan Totiang.”

Giok Thian Cu sekali lagi menghormat, kemudian berseru halus,
“Lihat pedang!” dan nampak sinar hijau berkelebat menyambar ke arah lawan.

“Bagus!”

Sekali lagi kakek itu berseru memuji dan nampak sinar terang putih berkilauan menyambar ke depan, menyambut sinar hijau itu.

“Tranggg....!”

Kedua fihak merasakan lengan kanan mereka tergetar hebat dan tahulah mereka bahwa tenaga sinkang mereka berimbang. Maklum akan kelihaian lawan, Giok Thian Cu juga tidak bersikap sungkan lagi, terus saja dia mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang paling lihai, yaitu ilmu Pedang Sin-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Burung Hong Sakti) sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar hijau yang indah sekali.

Tiba-tiba Gin-siauw Lo-jin yang terkesiap dan terdesak oleh gulungan sinar hijau itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan sulingnya juga lenyap, berubah gulungan sinar perak yang amat luas dan aneh sekali gerakannya. Bukan hanya bergulung-gulung menjadi sinar perak, juga dari suling perak itu terdengar suara mengaung yang aneh dan menyakitkan telinga lawan! Gulungan sinar perak itu kini membuat gerakan coret-moret seperti membentuk huruf-huruf di udara dan setiap coretan mengandung tenaga dahsyat yang menyerang lawan.

“Hebat....! Liang Sim Tosu, ketua Kun-lun-pai yang sudah tua itu menggeleng-geleng kepala saking kagumnya. “Mungkin inilah Ilmu Hong-in Bun-hoat yang disebut dalam dongeng Suling Emas....“

Memang hebat sekali gerakan Gin-siauw Lo-jin. Dalam waktu, kurang dari tiga puluh jurus, sinar perak itu telah menggulung dan menekan sinar hijau sehingga sinar hijau dari pedang di tangan ketua Bu-tong-pai itu menjadi makin sempit. Akhirnya terdengar seruan,

“Siancai....!” dan kedua gulungan sinar itu berhenti.

Ketua Bu-tong-pai telah menyimpan kembali pedangnya dan sambil tersenyum pahit dan dengan muka agak pucat dia memandang ke arah kedua lengan bajunya yang telah berlubang bekas tusukan suling perak! Tentu saja dalam pertandingan sungguh-sungguh, bukan di lengan baju jatuhnya serangan tusukan itu, melainkan di tempat yang berbahaya.

“Sungguh hebat, pinto mengaku kalah.”

“Ahhh, Kim Thian Cu dan Giok Thian Cu toyu terlalu merendah, kepandaian mereka hebat sekali akan tetapi harus diakui bahwa ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling Emas memang amat luar biasa. Pinto juga menjadi gatal tangan dan ingin sekali menguji, kalau boleh.”

Liang Sim Tosu sudah melangkah maju dan mengeluarkan sepasang poan-koan-pit berwarna putih dan hitam yang dipegang oleh kedua tangan dan disilangkan di depan dada.

Gin-siauw Lo-jin masih memegang suling peraknya dan dia pun membalas dengan penghormatan dan menjawab,

“Kalau Totiang masih penasaran dan hendak menguji, silakan maju.”

Liang Sim Tosu cepat menggerakkan kedua poan-koan-pit hitam dan putih yang tadi disilangkan, yang kanan berwarna hitam menuding ke langit, yang kiri berwarna putih menuding ke bumi, kemudian dia berkata,

“Gin-siauw Lojin, harap jaga seranganku!”

Tiba-tiba nampak sinar hitam dan putih berkelebatan dan makin lama makin cepat sehingga kemudian nampak dua sinar hitam dan putih itu saling sambar dan saling belit, kemudian bersatu menjadi segulungan sinar yang berwarna abu-abu meluncur ke arah kakek yang memegang suling perak.

“Bukan main....!”

Gin-siauw Lo-jin berseru kaget dan cepat dia menggerakkan suling peraknya sehingga nampak sinar berkilauan menangkis.

“Cring-tranggg....!

Kini Gin-siauw Lo-jin yang terhuyung dan ketua Kun-lun-pai itu sudah menerjang lagi, serangan halus namun luar biasa kuatnya dan sepasang poan-koan-pit itu memang amat lihaihya, kadang-kadang seperti dua sinar berlawanan saling menggunting, kadang-kadang bersatu menjadi sinar abu-abu yang amat kuat, yang hitam mengandung tenaga Im lemas dan yang putih mengandung tenaga Yang yang kuat dan panas.

Kiranya dua buah poan-koan-pit itu mengandung tenaga Im dan Yang, dua unsur yang berlawanan akan tetapi kalau bersatu mempunyai daya yang luar biasa kuatnya. Juga kedua poan-koan-pit itu dapat melakukan totokan-totokan yang bertubi-tubi ke seluruh jalan darah terpenting di tubuh lawan.

Gin-siauw Lo-jin maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat lihai, maka dia cepat mainkan Hong-in Bun-hoat dengan suling peraknya. Ilmu ini memang mujijat, karena dahulu, Pendekar Suling Emas menerima ilmu ini langsung dari manusia dewa Bu Kek Siansu, dan biarpun ilmu ini dimainkan dengan menuliskan huruf-huruf di udara, namun setiap gerakan mengandung daya serang yang amat mujijat, di samping juga dapat menjadi daya tahan yang rapat seperti tembok yang kokoh kuat sehingga kini, gulungan sinar perak itu dapat membendung semua serangan poan-koan-pit yang luar biasa itu.

Pertandingan itu amat cepat dan seru, membuat mata Cui Lan menjadi kabur dan kepalanya pening sehingga dia mengalihkan pandang matanya ke arah Siluman Kecil yang berdiri dengan tegak, tenang dan penuh perhatian. Sebaliknya, Hwee Li menonton dengan wajah berseri. Girang sekali hati gadis ini dapat melihat pertandingan yang demikian hebatnya.

“Ahhhhh....!”

Gin-siauw Lo-jin berseru dan terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Biarpun ilmu Hong-in Bun-hoat yang dimainkannya dapat membendung serangan lawan, namun karena memang dia kalah kuat dalam tenaga sinkang, dia sering kali tergetar dan terhuyung.
“Gin-siauw, mundurlah karena engkau sudah kalah.”

Tiba-tiba terdengar suara halus dan Gin-siauw Lo-jin cepat meloncat mundur, menyimpan suling peraknya dan menjura ke arah Liang Sim Tosu.

“Saya mengaku kalah.”

Liang Sim Tosu tersenyum lebar.
“Bukan main.... terus terang saja pinto hanya menang dalam hal tenaga, akan tetapi tentang ilmu silat, wah, pinto masih bingung menghadapi ilmu tadi.”

Kini Sin-siauw Seng-jin melangkah maju.
“Ketua dari Kun-lun-pai terlalu merendah. Ilmu Im-yang Poan-koan-pit yang Totiang mainkan tadi memang hebat sekali, akan tetapi betapapun hebatnya, masih belum dapat menandingi Hong-in Bun-hoat yang telah dilatih dengan sempurna. Untuk membuktikan ini, harap Totiang maju dan mencoba suling kami!”

Tampak sinar emas menyilaukan mata dan ternyata tangan kakek tua renta ini telah memegang sebatang suling yang terbuat daripada emas. Semua mata memandang dan jantung mereka berdebar. Itulah suling emas yang terkenal sekali dalam dongeng dunia persilatan, senjata dari Pendekar Suling Emas yang terkenal itu!

“Wah-wah-wah.... kalau aku bisa mendapatkan suling itu....“ terdengar Hwee Li berbisik.

“Hemmm, kau begitu murka menginginkan emas?” Cui Lan mencela.

“Aihhh, kau mana tahu....“

Mereka menghentikan bisik-bisik itu ketika kini ketua Kun-lun-pai itu telah mulai menyerang dengan poan-koan-pit di tangannya. Akan tetapi, kakek tua renta itu kelihatan tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya tampak sinar emas berkelebat dan setiap kali sepasang poan-koan-pit itu kena ditangkisnya, ke manapun sepasang sinar hitam putih itu menyambar!

“Sekarang jagalah, Totiang!”

Kakek tua renta itu berseru dan nampak kini sinar emas yang panjang dan luas sekali seperti seekor naga melayang ke atas, lalu menyambar turun dengan gerakan coret-coret seperti membentuk huruf. Terdengar suara trang-tring-trang-tring dan nampak bunga api berhamburan. Akan tetapi belum sampai dua puluh jurus, terdengar ketua Kun-lun-pai mengeluh dan sepasang poan-koan-pit telah terpukul lepas dari kedua tangannya!

Seorang murid Kun-lun-pai cepat mengambilkan senjata gurunya itu dan ketua Kun-lun-pai cepat menjura penuh hormat.

“Itukah Hong-in Bun-hoat yang terkenal dalam dongeng? Hebat bukan main dan pinto mengaku kalah.”

Kakek itu tersenyum.
“Pukulan tangan kosong yang dimainkan oleh murid kami tadi adalah ilmu Lo-hai-kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) yang diambil dari ilmu aslinya, yaitu Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Dan yang barusan dimainkan oleh suling adalah sebagian dari Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Hujan).”

Semua orang memandang kagum sekali. Kakek itu menjura ke empat penjuru dan berkata,
“Biarpun kami mengakui bahwa ilmu-ilmu ini adalah warisan yang kami dapat dari mendiang Pendekar Sakti Suling Emas, akan tetapi jangan Cu-wi mengira bahwa kami telah menguasai seluruhnya! Hemmm, kami selamanya menyembunyikan diri karena kami merasa bahwa kami belum dapat menguasai setengahnya saja dari ilmu-ilmu itu.” Semua orang makin kagum mendengar ini.

“Locianpwe, saya sudah menunggu!”

Tiba-tiba terdengar suara bening melengking nyaring dan ternyata suara ini adalah suara Siluman Kecil yang telah berdiri di tengah halaman itu dengan tegak, sepasang matanya memandang dengan sinar tajam.

Kakek tua renta itu menghela napas panjang, lalu menghampiri pemuda itu. Sejenak mereka saling pandang dan kakek itu berkata,

“Aahhh, sudah setua ini baru sekarang kami bertemu dengan seorang pemuda yang benar-benar amat hebat kepandaiannya. Sicu, sekarang kami melihat bahwa engkau benar-benar tidak membawa teman dan ternyata engkau seorang yang memenuhi janji. Lima tahun yang lalu engkau mengaku kalah dan dapat sembuh kembali untuk memenuhi janji malam ini. Nah, kami telah siap, majulah!”

Pemuda berambut putih itu memungut sebatang ranting di atas tanah, lalu dia menggerakkan ranting itu di depan dadanya. Terdengar suara mencicit nyaring, lalu dia menghentikan gerakannya dan berkata,

“Locianpwe, saya hanya menuntut yang benar. Kalau Locianpwe mengakui kesalahan dan mengembalikan pusaka kepada yang berhak, saya pun tidak akan mendesak.”

“Hemmmm, orang muda. Puluhan tahun kami memilikinya, mana mungkin mudah saja melepaskannya. Kami sudah siap, majulah! Kebetulan sekali banyak tokoh kang-ouw yang menjadi saksi pertandingan antara Sin-siauw Seng-jin dan Siluman Kecil.”

“Locianpwe mengerti bahwa saya hanya mempertahankan kebenaran!” kata Siluman Kecil sambil menggerakkan rantingnya dan memandang suling emas di tangan kakek itu. “Nah, maafkan aku!”

Tiba-tiba saja bagi mata kebanyakan orang yang hadir, tubuh Siluman Kecil itu berubah menjadi bayangan berkelebat dan lenyap! Sukar sekali mengikuti gerakannya dengan pandang mata dan tahu-tahu kakek itu sudah menggerakkan suling emasnya menanggkis.

“Tringgggg....!”

Kini semua orang melihat betapa Siluman Kecil telah berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan, mencelat ke sana-sini dengan kecepatan yang memusingkan kepala mereka yang memandangnya, dan kakek itu pun sudah memutar sulingnya sehingga suling itu lenyap berubah menjadii gulungan sinar emas.

Memang hebat sekali kakek itu. Gulungan sinar kuning emas itu melingkar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di angkasa yang gelap, kadang-kadang mengeluarkan sinar kilat menyambar-nyambar dan terdengar suara suling itu mengeluarkan suara seperti ditiup oleh seorang anak kecil yang sedang belajar main suling. Sumbang dan tidak teratur.

Padahal, menurut dongeng tentang Pendekar Suling Emas, kalau pendekar itu mainkan suling emas sebagai senjata, maka akan terdengar suling itu seperti ditiup dengan lagu yang merdu! Hal ini saja membuktikan bahwa memang Sin-siauw Seng-jin belum menguasai ilmu itu secara sempurna seperti yang telah diakuinya tadi.

Pertandingan itu makin lama makin hebat. Terlalu cepat gerakan mereka, apalagi gerakan Siluman Kecil yang luar biasa sekali, seolah-olah dia beterbangan kesana-sini sehingga kakek itu harus berputaran pula untuk menghadapinya karena musuhnya yang serba putih itu seolah-olah telah berubah menjadi enam orang yang menyerangnya dari empat penjuru!

Sudah hampir dua ratus jurus berlangsung dan belum juga ada yang roboh. Semua orang yang menonton pertandingan itu sudah banyak yang tidak kuat, terpaksa memejamkan mata. Hanya orang-orang lihai seperti ketua Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai itu saja, termasuk Hwee Li, yang masih mampu mengikuti terus dengan mata tanpa berkedip saking tertariknya. Cui Lan sudah sejak tadi menunduk dan bibirnya berkemak-kemik karena gadis ini telah berdoa untuk kemenangan Siluman Kecil!

Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan suara ini membuat beberapa orang pemburu jatuh terjungkal dan pingsan. Untung Hwee Li sudah menempelkan telapak tangannya di tengkuk Cui Lan sehingga ketika suara itu membuat kepala Cui Lan pening, rasa hangat yang menjalar keluar dari telapak tangan Hwee Li mencegah gadis itu roboh pingsan pula.

Dan terjadi perubahan pada pertandingan yang sukar diikuti oleh pandangan mata itu. Beberapa kali terdengar Kakek Sin-siauw Seng-jin berseru kaget dan akhirnya gerakan mereka terhenti, kakek itu melompat jauh ke belakang, mukanya pucat, dahinya berkeringat napasnya agak terengah ketika dia memandang kepada Siluman Kecil yang berdiri tegak dan keadaannya masih biasa saja.

“Aku mengaku kalah.... sekali.... ini....“

“Kalau begitu Locianpwe harus mengembalikan....“

“Tidak! Menurut perjanjian, kalau kami kalah, kami semurid kami harus meninggalkan tempat ini. Akan tetapi, kau pernah kalah sekali, dan kami kalah sekali, berarti masih sama. Tunggu setahun lagi, kalau dalam pertandingan penentuan itu kami kalah, kami akan mengembalikan semua dan menyerahkan nyawa kami. Dan karena kami yang kalah sekali ini, kelak setahun lagi kami yang akan mencarimu, Siluman Kecil. Nah, selamat tinggal!”

Kakek tua renta itu lalu melangkah pergi perlahan-lahan, dengan muka lesu, diiringkan oleh para muridnya dipimpin oleh Gin-siauw Lojin yang membawa tongkatnya dan membawa bungkusan besar.

Tidak ada orang yang berani menahan mereka, juga Siluman Kecil diam saja hanya mengikuti mereka dengan pandang matanya. Dia maklum bahwa kalau dia mengambil kekerasaan, dan dikeroyok oleh mereka, sukar baginya untuk mencapai kemenangan. Pula, memang kakek itu benar. Dia belum dapat dikatakan menang karena pernah kalah sekali dan menang sekali. Penentuannya adalah pertandingan ke tiga dan yang terakhir, pertandingan sampai mati!

“In-kong (Tuan Penolong)....!”

Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan seorang gadis cantik berlari-lari menghampiri Siluman Kecil. Gadis itu adalah Cui Lan yang saking girangnya melihat orang yang dipujanya itu keluar sebagai pemenang dan selamat, telah lupa akan keadaan, meninggalkan Hwee Li dan lari menghampiri dengan kedua lengan di bentangkan seperti orang hendak memeluk! Seorang gadis lain yang berpakaian serba hitam menyusul di belakangnya.

Siluman Kecil menoleh dan ketika dia melihat Cui Lan, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara mengandung teguran,

“Ah, kau juga di sini, Nona?”

Melihat sikap Siluman Kecil itu Seperti marah dan menegurnya, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya sendiri yang penuh kegembiraan dan kerinduan, Cui Lan tertegun dan merasa seolah-olah pipinya ditampar sehingga dia sadar akan keadaan dirinya sadar betapa dia telah memperlihatkan perasaan hatinya di depan Siluman Kecil dan banyak orang. Seketika mukanya menjadi merah sekali, kemudian berubah pucat. Dengan gagap dia berbisik,

“In-kong.... saya....“

Akan tetapi, dengan dahi berkerut Siluman Kecil seolah-olah tidak mendengarnya dan tidak mempedulikannya, malah pendekar itu menoleh ke arah gedung yang baru saja ditinggalkan penghuninya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia meloncat ke arah pintu gedung itu, akan tetapi pada saat itu sehelai benda hitam panjang seperti tali meluncur ke arah kakinya.

“Hemmm....!”

Siluman Kecil mendengus marah, kakinya bergerak menendang ke arah benda hitam itu. Akan tetapi benda itu dapat mengelak, dan menyambar ke atas, ujungnya mematuk ke arah pinggang pendekar itu. Siluman Kecil mengelak, menahan loncatannya tidak jadi memasuki pintu dan ketika tubuhnya turun, tak disangkanya ujung benda yang lain menyambutnya dengan patukan yang amat cepat.

“Ahhhhh....!”

Siluman Kecil menangkis akan tetapi kembali benda panjang itu meliuk dan ketika lengannya lewat, ujung benda itu mematuk kembali.

“Brettt....!”

Siluman Kecil melangkah ke belakang dan memandang dengan muka memperlihatkan kekagetan karena ujung lengan bajunya telah berlubang! Kagetlah dia, karena tak disangkanya bahwa benda panjang yang dia tahu adalah seekor ular hitam panjang itu demikian gesit dan lihainya, maka dia lalu mengangkat muka memandang gadis berpakaian hitam yang memegangi ujung atau ekor ular hitam panjang itu yang kini telah melingkar kembali ke lengannya.

“Laki-laki tak berperasaan!”

Hwee Li memaki marah sambil memandang kepada Siluman Kecil dengan sepasang mata berkilat.