FB

FB


Ads

Rabu, 13 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 032

Cui Lan mengangkat mukanya dan dia menahan jeritnya ketika melihat seekor ular yang amat panjang, bergantung di cabang pohon dengan ekornya dan kini kepala ular itu dekat sekali di atas kepalanya! Bahkan lidah yang merah itu hampir menjilat-jilat dahinya!

Hwee Li tertawa dan dengan gerakan tangan dia membuat ular itu menarik diri lagi ke atas cabang dan ular yang di lengannya itu pun dia suruh pergi merayap naik ke atas pohon, berkumpul dengan temannya.

“Namaku Kim Hwee Li. Kau juga cantik manis, siapa namamu, Enci?”

“Namaku Phang Cui Lan.”

Cui Lan merasa suka kepada gadis itu dan duduk di atas rumput. Memang enak sekali duduk di situ, rumputnya tebal dan lunak seperti kasur dan tempat itu sejuk di bawah pohon besar.

“Hwee Li nama yang indah sekali. Mengapa kau berada di sini seorang diri saja, Hwee Li? Seorang gadis seperti engkau seorang diri saja, sungguh aneh.”

“Apa anehnya? Memang aku hanya sendiri saja di dunia ini, eh, tidak sendiri, melainkan bertiga dengan sepasang ular hitamku itu. Aku ingin nonton keramaian di bukit sana.”

Cui Lan terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.
“Kau maksudkan.... keramaian.... pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dengan orang sakti....?”

Kini Hwee Li yang terkejut.
“Apa? Kau tahu pula tentang itu? Kau kenal Siluman Kecil?”

Cui Lan mengangguk.
“Tentu saja aku mengenalnya,” dan pandang matanya kini merenung, membayangkan pendekar itu.

“Benarkah? Hebat! Namanya sudah tersohor di seluruh daerah ini, dan kau seorang gadis yang lemah telah mengenalnya! Kau lebih aneh dari aku, Cui Lan! Kau seorang lemah akan tetapi kenalanmu pemuda-pemuda hebat! Baru yang di perahu itu saja sudah hebat, sekarang kau bilang kenal dengan Siluman Kecil! Kau benar-benar membuat aku merasa iri.”

Terpaksa Cui Lan tersenyum mendengar ini. Gadis ini sikapnya seperti telah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun saja, demikian ramah dan akrab. Seketika timbul rasa sayang di dalam hatinya.

“Ah, Hwee Li, seorang gadis seperti engkau ini, yang cantik seperti Dewi Kwan Im, apa sih sukarnya kalau hendak berkenalan dengan pemuda-pemuda yang paling hebat di dunia ini?”

“Benarkah? Eh, orang macam apa sih sebetulnya Siluman Kecil itu?”

“Orang macam apa....?”

Cui Lan menengadah dan memejamkan matanya. Terbayang wajah pemuda pendekar itu dan dia menarik napas.

“orang yang hebat....! Seorang pendekar yang masih amat muda, akan tetapi rambutnya telah putih semua, seperti benang-benang perak halus mengkilap....“

“Hemmm, kau makin menambah keinginanku untuk nonton pertandingan itu. Kabarnya malam ini Siluman Kecil akan muncul dan melawan Sin-siauw Seng-jin di puncak bukit itu.”

“Sin-siauw Seng-jin? Siapakah dia?”

“Seorang tokoh yang maha sakti. Seorang yang terasing akan tetapi seluruh tokoh dunia kang-ouw tidak ada yang berani mengganggunya, dan kabarnya dia hidup seperti dewa. Hemmm, aku berani bertaruh potong leher....“

“Potong leher?” Cui Lan terkejut.

“Nanti dulu, belum habis. Leher ayam maksudku! Siluman Kecil sekali ini tentu akan jatuh namanya. Mana mungkin dia bisa menang! Hi-hik, kedua ekor ularku ini paling suka minum darah, apalagi kalau darah orang sakti seperti Siluman Kecil itu. Hemmm, mereka tentu akan senang sekali.”

Pucat wajah Cui Lan.
“Apa.... apa.... maksudmu....?”

“Hi-hik, pandang matamu begitu ketakutan dan ngeri seperti seekor kelinci. Ah, memang matamu indah sekali, Cui Lan, seperti mata kelinci! Jangan khawatir, aku tidak akan mencampuri urusan mereka, akan tetapi aku tahu bahwa pasti Siluman Kecil akan tewas dan ular-ularku akan menikmati darahnya kalau dia sudah roboh.”

“Ihhh.... kau.... kau kejam sekali!” Cui Lan bangkit berdiri, sepasang matanya menyinarkan api dan kedua pipinya merah, telunjuknya menuding ke arah muka Hwee Li. “Kau sungguh kejam, dan aku.... aku akan menggunakan batu menghancurkan kepala dua ekor ular-ularmu kalau mereka berani melakukan hal itu!”

“Ehhh....?” Hwee Li memandang dengan mata terbelalak. “Wah.... kau cinta padanya, hi-hik! Kau cinta padanya!”

Lemas lagi rasa tubuh Cui Lan dan dia menjatuhkan diri di atas rumput. Dia mengangguk.
“Aku memang cinta padanya....“






“Kalau begitu, mengapa tidak nonton bersama aku? Dengan adanya kekasihnya di sana, hal itu akan membesarkan hatinya!”

“Aku bukan kekasihnya, jangan bicara seperti itu, Hwee Li.”

“Ihhh? Bagaimana sih kau ini? Baru saja kau mengaku cinta padanya dan kau tidak mau kusebut kekasihnya?”

“Aku cinta padanya, memang, dengan sepenuh jiwa ragaku. Akan tetapi apakah dia cinta padaku.... hemmm, hal itu aku.... aku tidak tahu....“

“Hi-hik, jangan khawatir. Laki-laki mana yang tidak akan membalas cinta seorang dara seperti engkau? Dia pasti cinta padamu. Pasti! Mari kau ikut aku nonton ke sana, Cui Lan.”

Cui Lan menengok ke arah rombongan ayah angkatnya. Mereka agaknya sudah berkemas dan ayahnya sudah bangkit berdiri.

“Aku.... aku tidak bisa, di sana ada ayah angkatku.... aku harus pergi bersama mereka.”

“Huh, betapa tidak enaknya hidup seperti engkau ini. Hati ingin nonton ke gunung, akan tetapi kenyataannya terpaksa harus pergi. Kau seperti burung dalam sangkar saja. Dan kau gadis yang memiliki keberanian hebat sungguhpun kau lemah.”

“Aku ingin sekali, akan tetapi mereka tentu melarang dan kita tidak bisa memaksa.”

“Siapa bilang? Baru dua puluh orang perajurit macam itu, biar ditambah dua puluh lagi masih belum cukup untuk melawan aku!”

“Ah, aku tidak ingin kau bertempur dengan mereka. Orang tua itu adalah ayah angkatku yang amat baik.”

“Kalau begitu tidak perlu bertempur. Aku dapat melarikan engkau dari sini tanpa dapat mereka kejar!”

“Benarkah? Akan tetapi aku harus berpamit! Aku tidak boleh menyusahkan hati ayah angkatku.”

“Nah, berpamitlah!”

Hwee Li lalu menggerakkan tangan dan dua ekor ularnya meluncur turun ke arah kedua lengannya, terus melingkar di situ. Kemudian dia mengiringkan Cui Lan berjalan menghampiri rombongan itu.

Melihat Cui Lan datang bersama seorang gadis cantik berpakaian hitam yang dikenalnya sebagai gadis yang membantu mereka di atas sungai, Hok-taijin memandang kagum, akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya dan wajahnya berubah pucat ketika melihat dua ekor ular melingkar di kedua lengan yang putih mulus itu.

“Gi-hu, ini adalah Kim Hwee Li, seorang sahabat.... dan dia.... dia mengajak saya pergi nonton adu kepandaian di bukit. Gi-hu, perkenankanlah, dan jangan khawatlr, saya pasti akan menyusul Gi-hu.... setelah selesai nonton....“

“Akan tetapi, Cui Lan....!” Hok-taijin berkata penuh keraguan.

“Mari kita pergi, Cui Lan!”

Tiba-tiba Cui Lan merasa pinggangnya dibelit sesuatu dan tubuhnya terbang ke atas! Ketika dia tidak melayang lagi, ternyata dia telah berada di atas cabang pohon, dirangkul oleh lengan Hwee Li dan ayah angkatnya bersama para perajurit berada jauh di bawah pohon besar itu!

“Pejamkan mata, kita pergi sekarang,” bisik Hwee Li.

“Gi-hu, maafkan, saya pergi dulu....!”

Cui Lan berseru ke bawah dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah, jauh dari situ dan selanjutnya dia seperti terbang di atas tanah bersama Hwee Li, pinggangnya dipeluk oleh gadis yang luar biasa itu. Angin bertiup kencang membuat kedua telinganya mendengar suara gemuruh dan Cui Lan merasa ngeri. Dia mendengar suara ayahnya lapat-lapat memanggil namanya, lalu tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suara angin bertiup kencang dan pohon-pohon berlarian cepat di kanan kirinya. Dia memejamkan matanya.

Tak lama kemudian dia mendengar suara Hwee Li,
“Kita sudah jauh meninggalkan mereka. Nah, mari kita mendaki bukit itu.”

Cui Lan membuka mata. Kiranya mereka telah berada di kaki bukit, di antara banyak pohon-pohon liar dan dia menengok ke sana-sini, akan tetapi sama sekali tidak melihat lagi rombongan gi-hunya, bahkan dia tidak mendengar suara mereka. Hanya suara burung yang berbondong-bondong terbang datang untuk berlindung di dalam pohon-pohon besar melewatkan malam, karena matahari telah condong ke barat.

Cui Lan memandang Hwee Li.
“Engkau sungguh seorang gadis yang hebat, Hwee Li. Kiranya engkau juga seorang pendekar sakti.”

“Hi-hik, enak juga dipuji orang seperti engkau. Tahukah engkau, Cui Lan, ketika aku memelukmu dan meraba tulang-tulangmu, aku mendapat kenyataan bahwa andaikata engkau mempelajari ilmu silat, agaknya engkau malah dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada aku. Bakatmu baik dan nyalimu besar.”

Akan tetapi tentu saja Cui Lan menganggap kata-kata Hwee Li itu sebagai kelakar saja dan dia tidak ambil peduli. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mendaki bukit itu. Cui Lan terheran-heran melihat betapa tempat ini amat sunyi. Bukankah tadi terdapat banyak penungang kuda yang katanya juga menuju ke tempat ini? Akan tetapi mengapa di situ sunyi saja, tak pernah mereka bertemu dengan seorang manusia pun? Dengan hati-hati Hwee Li mengajaknya mendaki terus, berjalan di antara rumpun ilalang yang tinggi-tinggi, ada yang setinggi manusia.

“Hati-hati, Hwee Li....“ bisik Cui Lan karena gadis ini maklum betapa berbahayanya tempat seperti itu.

Kalau ada orang atau harimau bersembunyi di dalam ilalang, tentu tidak kelihatan dan mereka itu dengan mudah dapat menerkam mangsa yang lewat.

“Hik-hik, jangan khawatir, Cui Lan. Dua ekor ularku ini lebih tajam pendengarannya, penciumannya dan pandang matanya daripada seekor anjing.”

Baru saja Hwee Li berkata demikian, seekor di antara dua ekor ular yang melilit di kedua lengan dara itu meluncur ke samping, memasuki rumpun ilalang dengan ekornya masih melilit lengan kiri Hwee Li. Tampak ilalang di sebelah itu bergerk-gerak keras dan terdengar suara menguik. Tak lama kemudian, kepala ular itu sudah kembali dan moncongnya yang lebar telah menggigit seekor anak babi yang telah tewas.

“Hik-hik, mengagetkan saja kau. Hayo lepas!”

Hwee Li menggerakkan lengan kirinya dan ular itu melepaskan bangkai babi itu, lalu melingkar lagi di lengan Hwee Li.

Cui Lan bergidik ngeri.
“Bagaimana kalau yang bersembunyi di situ tadi seorang manusia?” blsiknya.

“Ularku tahu dengan nalurinya. Kalau manusia itu berniat busuk, tentu digigit dan dibunuhnya. Sekali gigitan saja membuat racun yang mematikan membunuh orang itu, akan tetapi kalau orang itu tidak mempunyai niat jahat, ular-ularku pun tidak mau sembarangan membunuh orang tanpa perintahku.”

Hari telah menjadi gelap ketika mereka tiba di puncak bukit. Akan tetapi bulan segera muncul dari balik bukit di sebelah timur dan sinarnya cukup menerangi tempat itu. Cui Lan dan Hwee Li duduk di atas batu dan memandang ke depan.

Di puncak itu, di antara batu-batu gunung yang besar-besar, berdiri sebuah bangunan kuno yang kelihatan megah dan angker. Di sekeliling rumah itu sunyi saja, tidak terdengar apa-apa dan bahkan tidak ada sedikit pun lampu penerangan, seolah-olah bangunan itu adalah sebuah rumah kuno yang kosong tidak dihuni orang.

“Agaknya kosong....“ Cui Lan berkata.

“Sssttttt.... mari kita mendekat dan setelah kita nanti bersembunyi, kau tidak boleh mengeluarkan suara, tidak boleh berisik”, Hwee Li berbisik.

Cui Lan mengangguk, jantungnya berdebar tegang karena sikap Hwee Li yang begitu berhati-hati mendatangkan ketegangan di dalam hatinya. Sikap gadis perkasa itu membayangkan bahwa mereka berada di tempat yang aneh dan berbahaya sekali.

Mereka merangkak dan setelah dekat dengan rumah besar itu, mereka bersembunyi di balik batu besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat dengan jelas ke arah pintu depan gedung kuno itu. Bulan makin naik tinggi dan sinarnya yang keemasan membuat tempat itu indah sekali dan tentu amat menyenangkan kalau saja suasananya tidak begitu menyeramkan.

Malam makin larut dan Cui Lan mulai menggigil kedinginan.
“Telan ini....”

Hwee Li berbisik dan menyerahkan sebutir pil kuning. Cui Lan menelannya dan pil itu terasa manis dan harum. Tak lama kemudian tubuhnya terasa hangat sekali seolah-olah dia baru saja minum beberapa cawan arak. Dia menyentuh tangan Hwee Li dengan rasa terima kasih dan dara berpakaian hitam itu tersenyum. Giginya berkilat putih tertimpa sinar bulan.

Tiba-tiba mereka menyelinap karena kaget melihat sinar-sinar lampu menyala di gedung itu. Keadaan tetap sunyi dan lampu-lampu penerangan itu seolah-olah dinyalakan oleh tangan setan. Tidak nampak seorang pun di sekitar gedung besar itu.

Dari jauh sekali, dari arah depan rumah, terdengarlah suara orang, suara yang bening halus,
“Locianpwe, saya datang memenuhi perjanjian kita lima tahun yang lalu!”

Suara itu biarpun halus namun mengandung gema mengaung dan setelah suara itu lenyap, gemanya masih terdengar, lalu sunyi sekali, sunyi yang mencekam dan menegangkan hati.

Terdengar suara orang berdehem di dalam gedung itu, kemudian terdengar suara seorang laki-laki yang parau,

“Silahkan masuk!”

Cui Lan terkejut dan terheran bukan main karena entah dari mana datangnya dan bagaimana serta kapan, tahu-tahu di depan pintu gedung itu kini telah berdiri seorang kakek membawa tongkat. Agaknya kakek inilah yang tadi mengeluarkan kata-kata itu. Kakek ini berdiri seperti arca, tidak bergerak-gerak dan memandang ke depan gedung, ke arah jalan kecil yang menuju ke bawah bukit.

Tentu saja Cui Lan dan Hwee Li juga memandang ke arah itu, menduga-duga dari mana akan munculnya orang yang tadi mengeluarkan suara, yang mereka duga tentulah Siluman Kecil adanya.

“Sssttttt....!”

Tiba-tiba Hwee Li menyentuh lengan Cui Lan dan menunjuk ke depan. Cui Lan membelalakkan matanya untuk dapat memandang lebih teliti. Dia hanya melihat sebuah titik putih naik dari bawah, dan melihat sebuah titik putih itu makin membesar.

Akhirnya nampaklah bayangan putih seorang manusia bergerak dengan amat cepatnya, seolah-olah orang itu terbang di atas pucuk rumpun ilalang! Kedua kakinya bergerak di antara pucuk ilalang yang bergoyang perlahan. Cepat sekali dan tahu-tahu orang itu telah berdiri di depan gedung dan menjura ke arah kakek yang memegang tongkat.

Hwee Li mengerahkan kekuatan pandang matanya, memperhatikan orang yang namanya begitu terkenal sebagai seorang pendekar penuh rahasia yang hanya dikenal sebagai Siluman Kecil. Ternyata orangnya masih muda dan wajahnya tampan, rambutnya dibiarkan terurai dan melambai-lambai ditiup angin, rambut yang berwarna putih dan yang mengkilap seperti perak tertimpa sinat keemasan dari bulan purnama. Pakaiannya sederhana dan juga terbuat dari bahan putih semua!

Kakek bertongkat itu sejenak memandang, seolah-olah hendak meneliti apakah benar ini orang yang telah ditunggu-tunggu, kemudian dia balas menjura dan dengan tangannya dia mempersilakan orang itu masuk.

Pintu terbuka sendiri seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak. Laki-laki berambut putih itu mengangguk dan melangkah hendak memasuki pintu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan dari depan gedung.

“Anakku....!”

Seorang nikouw tua melompat ke luar dari balik sebuah batu besar dan biarpun jarak antara batu dan depan gedung itu cukup jauh, namun dengan satu kali melompat saja nikouw itu telah berada di situ! Diam-diam Hwee Li meleletkan lidahnya tanda kaget dan kagum.

“lbu....!” Siluman Kecil menoleh ke arah wanita itu.

Cui Lan dan Hwee Li saling pandang dan sinar mata mereka bicara banyak. Mereka berdua terheran-heran melihat kenyataan bahwa si pendekar sakti yang berjuluk Siluman Kecil itu adalah putera seorang nikouw tua!

“Ibu, mengapa menyusulku?” tanya Siluman Kecil dengan suara halus dan penuh hormat.

“Hemmm, aku mana bisa tega membiarkan kau menemui sendiri musuhmu? Aku harus ikut, apa pun yang akan terjadi!”

Siluman Kecil membalik dan memandang kepada kakek pemegang tongkat, seperti hendak bertanya apakah ibunya diperbolehkan ikut masuk. Kakek itu mengangguk dan mempersilakan dengan tangan. Ibu dan anak itu lalu melangkah memasuki pintu, diikuti oleh kakek bertongkat dan daun pintu pun tertutup sendiri tanpa ada yang menutupkan.

“Diakah....?” Hwee Li berbisik. Cui Lan mengangguk, dadanya bergelombang, air matanya berlinang.

Sementara itu, orang muda berambut putih dan nikouw tua yang masuk bersama kakek bertongkat, tiba di ruangan dalam dan di situ nampak duduk seorang kakek tua renta yang rambut, jenggot, kumis dan alisnya telah putih semua. Kakek ini bertubuh tinggi besar dan biarpun mukanya sudah nampak tua, namun sepasang matanya tetap bercahaya penuh semangat dan mulutnya tersenyum lembut. Di kanan kirinya nampak beberapa orang laki-laki yang duduk dan ada pula yang berdiri. Mereka itu adalah murid-muridnya dan kakek bertongkat itu adalah murid pertama. Kakek bertongkat ini menjatuhkan diri berlutut.

“Suhu, dia datang memenuhi janji!” katanya.

Siluman Kecil juga menjura dengan hormat sedangkan nikouw tua itu merangkap kedua tangan di depan dada tanpa bergerak atau bicara.

“Dengan perkenan Locianpwe, saya kembali hendak memperlihatkan kebodohan saya,” katanya dengan sikap merendah.

Kakek itu tersenyum, akan tetapi alisnya yang putih itu berkerut.
“Orang muda, kami telah mendengar bahwa selama lima tahun ini engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, bahkan telah berbuat banyak sehingga memperoleh julukan Siluman Kecil. Kami merasa girang bahwa kami masih hidup saat ini sehingga dapat rnengagumi kemajuanmu. Akan tetapi sayang, engkau yang dahulu berjanji akan datang sendiri kini ternyata membawa kawan-kawan yang banyak sekali jumlahnya. Apakah maksudmu dengan perbuatan itu?”

Siluman Kecil mengangkat muka memandang dan mereka saling bertemu dan beradu pandang.
“Locianpwe, menyalahi janji dan membawa kawan-kawan merupakan pantangan besar bagi saya. Apakah Locianpwe menganggap bahwa Ibu saya yang menyusul ini merupakan pelanggaran?”

Kakek itu menggerakkan tangan seperti mencela.
“Ahhh, kalau muncul dengan terang-terangan masih tidak apa. Akan tetapi apa artinya banyak kawanmu yang bersembunyi di sekitar tempat ini?”

“Ohhh....! Maksud Locianpwe mereka yang bersembunyi di sekitar luar gedung ini? Sungguh, saya tidak mengerti. Malah saya kira bahwa mereka itu adalah murid-murid Locianpwe yang sengaja menyambut dan mengawasi saya!”

“Hemmm, sungguh aneh. Mari kita suruh mereka keluar.”

Kakek itu turun dari kursinya, kemudian bersama dengan Siluman Kecil dan nikouw tua mereka semua keluar, diiringkan oleh murid-murid kakek itu yang dipimpin oleh kakek pemegang tongkat.

Kini mereka berdiri di luar gedung, di halaman yang luas. Hwee Li dan Cui Lan masih sembunyi dan memandang dengan mata terbelalak. Girang hati Hwee Li melihat mereka keluar karena dia khawatir kalau pertandingan dilakukan di dalam gedung, berarti dia tidak dapat nonton! Dan kini, mereka berada di halaman sehingga dia akan dapat nonton dengan enaknya karena tempat sembunyinya itu tidak berapa jauh.

Akan tetapi, dia merasa heran karena dua orang yang kabarnya akan bertanding itu tidak berdiri berhadapan, melainkan berjajar dan keduanya menghadap ke luar gedung, menoleh ke kanan kiri. Kemudian terdengar suara Siluman Kecil yang bening dan halus nyaring,

“Cu-wi sekalian yang bersembunyi di luar gedung, harap suka memperlihatkan diril”

Mendengar suara Siluman Kecil ini, maka berloncatan keluarlah para pemburu dan beberapa orang lain yang memang diam-diam datang mengunjungi tempat itu dengan niat untuk membantu Siluman Kecil yang kabarnya hendak bertanding melawan musuhnya yang amat sakti. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang yang muncul dari berbagai tempat persembunyian mereka! Melihat bahwa mereka adalah teman-temannya yang pernah ditolongnya, diam-diam Siluman Kecil menjadi terkejut sekali dan segera dia menegur,

“Mau apa kalian berada di sini? Siapa yang menyuruh kalian datang ke sini?”

Semua orang itu menjura dengan hormat ke arah Siluman Kecil dan seorang di antara mereka menjawab,

“Kami mendengar bahwa Taihiap hendak bertanding dengan seorang lawan yang tangguh, maka kami sengaja datang hendak membantu.”

Mendengar jawaban yang terus terang ini, Sin-siauw Seng-jin (Kakek Suling Sakti) tersenyum lebar.

“Aku tidak menghendaki bantuan dari siapapun!”

Siluman Kecil berseru dengan muka merah karena merasa malu kepada tuan rumah. Akan tetapi Sin-siauw Sengjin menggerakkan tangan dan berkata halus.

“Cu-wi telah datang, boleh saja menyaksikan pertandingan.” Kemudian kakek ini memandang ke kanan kiri dan berkata lagi, suaranya halus namun menembus sampai jauh seperti hembusan angin, “Cu-wi sekalian yang masih bersembunyi, silakan keluar saja!”

Kini bermunculanlah dua puluh lebih orang yang tidak dikenal oleh Siluman Kecil. Pendekar ini merasa heran dan kagum bahwa Kakek Suling Sakti ini ternyata telah mengetahui akan semua orang yang bersembunyi itu. Dan lebih-lebih heran hatinya ketika mendengar kakek itu berkata sambil memandang kepada dua orang kakek yang berdiri dengan penuh wibawa,

“Hemmm, kiranya saudara-saudara ketua yang terhormat dari Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai juga hadir!”

Semua orang menjadi terkejut, termasuk Hwee Li dan juga murid-murid kakek itu sendiri ketika mendengar si Suling Sakti menyebut dua nama perkumpulan yang besar dan amat terkenal itu. Juga Siluman Kecil cepat memandang kepada dua orang tua itu, diam-diam merasa heran juga mengapa ketua-ketua perkumpulan silat yang besar itu datang pula di tempat itu.

Ketua Bu-tong-pai dan ketua Kunlun-pai menjura ke arah Sin-siauw Sengjin, kemudian ketua Kun-lun-pai mengelus jenggotnya dan berkata,

“Harap Seng-jin maafkan atas kehadiran kami tanpa diundang. Sesungguhnya, tadinya kami hanya ingin menyaksikan ilmu asli dari Pendekar Suling Emas yang terkenal di seluruh kolong langit ratusan tahun yang lalu, yang menjadi dongeng di dunia persilatan. Akan tetapi Seng-jin telah melihat kehadiran kami, harap maafkan kelancangan kami.”

Mendengar ucapan ini, kakek pemegang tongkat yang menjadi murid pertama dari Sin-siauw Seng-jin, memandang kepada gurunya dan dari pandang mata gurunya dia mendapat perkenan, maka majulah dia dan dengan suara halus namun bernada menantang dia berkata,

“Apakah Cu-wi sekalian ingin menguji ilmu-ilmu itu? Kalau benar demikian, silakan maju, tidak perlu Suhu yang turun tangan, cukup dengan saya yang akan memperlihatkan kepada Cu-wi.”