FB

FB


Ads

Rabu, 13 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 031

Biarpun yang mereka tumpangi hanya sebuah rakit yang terbuat dari kayu dan bambu yang diikat secara kasar dan tergesa-gesa, namun karena yang memegang dayung adalah Kian Lee dan Liang Wi Nikouw, maka rakit itu dapat meluncur cepat, memasuki sungai bersama dengan orang-orang lain yang berserabutan meloloskan diri dari ancaman air yang membanjiri lembah.

Banyak perahu dan rakit yang bermacam-macam terapung di situ. Di depan rakit mereka meluncur perahu besar yang ditumpangi oleh rombongan Boan-wangwe yang memang menggunakan perahu besar yang oleh anak buahnya sudah dipersiapkan itu.

Tentu saja dengan cara “membeli” dari anak buah Kui-liong-pang. Dalam keadaan ribut-ribut itu pun pengaruh dan kekuasaan uang masih nampak sehingga rombongan yang kaya raya ini masih mampu memperoleh perahu yang terbesar dan terbaik dengan cara menyogok bagian pengurus perahu-perahu dari Kui-liong-pang.

Tentu saja para tamu yang tidak pernah melihat dan mengenal Cui Lan dan Hok-taijin, tidak memperhatikan empat orang di atas rakit itu, yang mereka anggap juga tamu-tamu yang sama-sama melarikan diri.

“Minggir....!” Seruan yang keras sekali ini terdengar dari belakang rakit!

Suma Kian Lee, Liang Wi Nikouw, Cui Lan dan Hok-taijin terkejut dan memandang sebatang balok besar yang meluncur dengan cepatnya ke arah mereka dari belakang. Di atas balok besar ini duduk Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar dan tangannya memegang sebatang golok besar yang menyeramkan karena golok ini di dekat punggungnya mempunyai sembilan buah lubang dan di gagang golok dipasangi tali panjang yang melibat-libat lengan kakek itu.

Melihat betapa balok yang ditumpanginya itu hampir menabrak rakit di depannya, si Golok Sakti ini cepat menggunakan kakinya mendorong rakit Kian Lee sehingga rakit itu menjadi miring hampir terbalik!

Cui Lan menjerit dan Hok-tai jin cepat memeluk gadis itu dan karena ini maka keduanya terguling-guling di atas permukaan rakit! Mereka tentu terlempar ke air kalau saja Kian Lee tidak cepat-cepat menggunakan tangan kanannya menepuk air sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang amat hebat. Air muncrat tinggi dan rakit itu seperti terdorong oleh tenaga raksasa, menjadi tegak kembali sehingga Hok-taijin dan Cui Lan tidak jadi terlempar ke air karena mereka sudah berhasil berpegang pada bambu rakit.

Akan tetapi, air yang muncrat tadi mengenai beberapa orang anak buah Boan-wangwe yang mendayung perahu besar di depan. Mereka berteriak-teriak kaget dan kesakitan ketika air yang muncrat itu mengenai muka mereka karena terasa seperti jarum-jarum menusuk dan panas sekali!

Marahlah beberapa orang itu dan seorang di antara mereka yang merupakan tukang pukul dari Boan-wangwe dan tentu saja memiliki kepandaian yang lumayan, memaki dan meloncat ke arah rakit di sebelah.

Akan tetapi pada saat itu nampak sinar hitam meluncur dan sinar seperti tali panjang itu mengenai kaki orang yang meloncat, terus membelit kaki itu dan ketika benda panjang hitam itu bergerak, tubuh orang itu terlempar kembali ke atas papan perahu besar di mana dia bengong terlongong memandang gadis berpakaian hitam yang berada di atas sebuah perahu kecil dan gadis itu menyimpan kembali ular panjang yang melingkar di lengannya. Orang tadi terlalu kaget, terlalu ngeri karena tahu bahwa dia tadi dilemparkan kembali oleh gadis itu dengan menggunakan ular panjang yang mengerikan itu!

Sebelum orang-orangnya Boan-wangwe dapat melampiaskan kemarahan mereka, rakit Kian Lee sudah meluncur melewati perahu besar itu, dan ketika Kian Lee memandang, dia melihat gadis berpakaian hitam yang dia ingat bukan lain adalah Hwee Li, tersenyum kepadanya. Dia mengangguk untuk menyatakan terima kasihnya dan mempercepat dayungnya sehingga rakit itu meluncur cepat meninggalkan perahu besar di mana orang-orangnya Boan-wangwe masih memandang marah. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menyamai kecepatan perahu Hwee Li yang meluncur seperti terbang di permukaan air sungai dan sebentar saja sudah lenyap jauh di depan.

Ketika Kian Lee melihat bahwa perahu besar milik Boan-wangwe itu kini juga melaju pesat dengan menambah barisan pendayung, dia cepat-cepat minggirkan rakitnya sampai jauh agar perahu besar itu lewat lebih dulu karena dia tidak ingin ribut-ribut di situ, apalagi tanpa sebab-sebab yang patut diributkan.

Yang penting baginya adalah menyelamatkan Cui Lan dan Hok-taijin dan sekarang mereka telah berhasil diselamatkan, maka dia tidak boleh mencari perkara lagi sebelum kedua orang ini dapat dia antarkan sampai ke daerah Ho-pei.

Mereka menumpang di atas rakit sejak semalam sampai pada keesokan harinya dan baru setelah menjelang sore, Kian Lee menghentikan rakitnya di sebuah dusun nelayan di tepi sungai. Mereka lalu mendarat dan mencari sebuah warung nasi untuk mengisi perut karena mereka berempat sudah merasa lapar sekali.

Mereka memasuki sebuah warung yang cukup besar, akan tetapi keadaan di warung itu sunyi sekali, padahal dusun itu cukup ramai karena merupakan pasar ikan. Setelah mengambil tempat duduk dan memesan makanan, tentu saja masakan sayur tanpa daging untuk Liang Wi Nikouw,

Kian Lee melepaskan pandang matanya ke sekelilingnya dan baru dia melihat bahwa tempat itu baru saja mengalami keributan. Masih banyak meja kursi yang patah-patah ditumpuk di pinggir, juga mangkok piring yang pecah. Teman-temannya juga melihat ini dan mereka menduga-duga apa yang telah terjadi di warung ini. Ketika pelayan datang mengantar makanan yang mereka pesan, Kian Lee bertanya,

“Eh, Lopek, apakah yang telah terjadi maka banyak meja kursi hancur dan mangkok piring pecah-pecah?” Dia menuding ke arah tumpukan barang-barang rusak itu.

“Aihhh, kami mengalami hari sial kemarin, Kongcu,” kata pelayan itu. “Tidak saja barang-barang rusak, akan tetapi sejak peristiwa yang terjadi kemarin, warung kami menjadi sepi karena tidak ada orang berani makan di sini. Baru Kongcu berempat saja yang berani makan di sini dan itulah rejeki kami.”

“Eh, apakah yang terjadi?” Kian Lee makin tertarik.

“Kemarin seperti biasa, orang-orang dari Boan-wangwe yang biasa mengumpulkan hasil ikan di dusun ini, sebanyak sepuluh orang, makan di sini. Mereka itu memang orang-orang kasar, akan tetapi Boan-wangwe selalu membayar apa yang mereka makan maka kami pun melayani dengan senang hati. Tiba-tiba masuk pula serombongan tentara yang jumlahnya belasan orang. Tentu saja kami makin sibuk dan kekurangan tenaga untuk melayani terlalu lama, kedua rombongan itu berebut minta didahulukan dan terjadilah pertempuran di sini antara mereka. Wah, bukan main ramainya sampai meja kursi hancur dan mangkok piring beterbangan dan pecah-pecah. Akhirnya fihak tentara itu mengundurkan diri dan pergi. Kami tentu akan mohon kebijaksanaan Boan-wangwe untuk mengganti kerugian kami, akan tetapi ternyata Boan-wangwe sedang pergi entah ke mana.”






Hok-taijin tentu saja tertarik sekali mendengar adanya sepasukan tentara. Tentara siapakah itu? Kalau tentara dari Gubernur Ho-nan, berarti dia masih dikejar-kejar dan dicari-cari sampai di sini.

“Tahukah engkau tentara dari propinsi mana mereka itu?” tanyanya kepada si pelayan.

“Mana saya tahu? Tentu saja tentara pemerintah, entah dari propinsi mana.”

“Apakah fihak tentara itu kalah?”

Kian Lee bertanya lagi karena dia tahu bahwa orang-orang dari Boan-wangwe seperti mereka yang berada di atas perahu besar semalam, adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.

“Sebetulnya sih masih ramai, entah fihak mana yang menang atau kalah karena kami hanya berani menonton sambil bersembunyi. Tentu akan terjadi hal-hal mengerikan dan tentu akan banyak yang mati karena mereka mulai mengeluarkan senjata tajam masing-masing. Baiknya ketika mereka sudah mulai menggerakkan senjata, muncul seorang pendekar yang melerai. Bukan main pendekar ini, tubuhnya terbang seperti burung dan semua senjata itu dirampasnya! Sambil bergerak merampas senjata dia berseru agar mereka menghentikan pertempuran. Dia hanya datang, bergerak merampas senjata, lalu pergi lagi, menghilang begitu saja sehingga kami tidak lagi dapat atau sempat melihat mukanya. Yang tampak hanya rambutnya yang sudah putih semua, padahal dia masih muda dan....”

“Siluman Kecil!”

Cui Lan menjerit tanpa disadarinya dan dia bangkit berdiri sampai sepasang sumpitnya terjatuh ke atas lantai.

“Benar....!” kata Liang Wi Nikouw sambil memandang Cui Lan.

Gadis ini segera sadar kembali dan menjadi tersipu-sipu, cepat mengambil kembali sepasang sumpitnya membungkuk dan ketika dia membersihkan sepasang sumpit itu, mukanya menjadi merah sekali.

“Munculnya pendekar itu menghentikan pertempuran dan para perajurit itu lalu pergi, demikian pula orang-orangnya Boan-wangwe tidak berani melanjutkan pertempuran setelah melihat betapa senjata-senjata mereka demikian mudahnya dirampas pendekar itu. Sedangkan para perajurit itu menurut kabar bermalam di dusun ini dan heiii, itulah mereka! Mereka datang lagi ke sini....!”

Pelayan itu cepat pergi meninggalkan tamunya untuk masuk ke dalam dan melapor kepada majikannya tentang kedatangan para perajurit yang kemarin itu.

Dia tidak tahu bahwa empat orang tamunya itu pun terkejut sekali dan Kian Lee bersama Liang Wi Nikouw sudah bersiap-siap untuk melawan kalau pasukan itu ternyata anak buah Gubernur Ho-nan. Akan tetapi ketika rombongan itu sudah memasuki warung dan dipimpin oleh seorang perwira yang sudah setengah tua, tiba-tiba Hok-taijin berseru girang.

“Ciangkun, ke sinilah!” teriaknya kepada perwira itu.

Perwira setengah tua itu terkejut, menoleh dan sejenak dia memandang kepada Hok-taijin dengan melongo. Akan tetapi akhirnya dia pun mengenal gubernurnya dan cepat dia maju berlutut dan memberi hormat.

“Ah, Taijin! Siapa kira hamba dapat bertemu dengan Taijin di sini!” serunya dengan girang.

Semua anak buahnya ketika mengenal pula bahwa kakek berpakaian petani yang berdiri di depan mereka itu bukan lain adalah Hok-taijin, segera berlutut pula memberi hormat.

Perwira itu dipersilakan duduk dan dia bercerita bahwa pasukannya mendapat perintah dari atasannya untuk mencari-cari Gubernur Hok yang kabarnya lenyap ketika mengiringkan Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar ke Propinsi Ho-nan.

“Semua pasukan disebar, akan tetapi tidak juga berhasil,” perwira itu berkata. “Siapa tahu, di tempat yang tidak kami sangka-sangka sama sekali ini, hamba berjumpa dengan Taijin.” Perwira itu berhenti sebentar untuk menenangkan jantungnya yang berdebar penuh ketegangan setelah dia bertemu dengan gubernur yang dicari-carinya dengan susah payah itu. “Marilah Taijin, hamba antar Taijin kembali pulang. Apakah Taijin ingin naik kereta, ataukah kuda?”

“Cui Lan, apakah engkau biasa menunggang kuda? Kalau tidak biasa, biar kita naik kereta saja,” tanya Hok-taijin kepada Cui Lan.

Gadis itu tadinya melamun, karena pikirannya masih tertarik oleh berita tentang Siluman Kecil yang muncul di dusun ini. Betapa ingin dia berjumpa dengan pendekar yang dipujanya itu. Betapa besar rasa rindu di hatinya ingin memandang wajahnya, mendengar suaranya, merasakan sinar matanya yang aneh tapi lembut.

“Eh.... saya.... hemmm, saya pun biasa naik kuda....“ jawabnya gagap.

“Bagaimana kabarnya dengan Pangeran Yung Hwa, Ciangkun?” Suma Kian Lee bertanya. Perwira itu memandang kepada Hok-taijin dan pembesar ini mengangguk.

“Kau boleh menceritakan apa pun juga kepada Suma-taihiap ini,” katanya. “Kalau tidak ada dia dan nona ini dan nikouw ini, kiranya engkau hanya dapat menemukan mayatku.”

Perwira itu terkejut dan cepat memberi hormat kepada mereka bertiga, kemudian menjawab kepada Kian Lee,

“Kami tidak mendengar berita tentang Pangeran Yung Hwa. Tidak ada kabar apa-apa dan kami tidak ada yang berani melapor ke kota raja sebelum gubernur pulang.”

Kian Lee lalu berkata kepada gubernur itu,
“Hok-taijin, kalau begitu sungguh mengkhawatirkan sekali keadaan Pangeran Yung Hwa. Sekarang, Taijin telah bertemu dengan pasukan Taijin, maka kiranya tidak perlu lagi saya mengantar sampai ke ibu kota. Tentu daerah ini termasuk Propinsi Ho-pei dan Tai jin telah berada di daerah sendiri. Biarlah Taijin dan Nona Phang dikawal oleh pasukan, sedangkan saya sendiri hendak menyelidiki keadaan Pangeran Yung Hwa.“

Pada saat itu, Kian Lee memandang kepada Cui Lan dan kebetulan sekali gadis ini pun memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar dan Kian Lee melihat, dengan jelas betapa gadis itu merasa amat berat untuk berpisah, agaknya tidak senang untuk ikut bersama pembesar itu ke istana gubernur. Mengapa? Dia merasa heran sendiri.

Betapapun juga, dia merasa amat suka dan kagum kepada gadis ini, dan tentu saja rasa suka ini membuat dia pun merasa tidak senang untuk saling berpisah. Akan tetapi, tidak mungkin mereka akan terus berkumpul. Tak mungkin! Dia tidak tahu bahwa memang Cui Lan sebetulnya ingin terus bersama dengan dia untuk mencari Siluman Kecil.

“Benar, dan pinni pun harus kembali,” kata Liang Wi Nikouw.

“Suthai....“ Cui Lan berkata akan tetapi ditahannya.

Nikouw yang sudah tua dan bijaksana ini dapat menangkap apa yang terkandung dalam hati gadis itu, maka dengan tenang dia berkata,

“Engkau ingin agar pinni menyampaikan kepada dia bahwa engkau ikut bersama Hok-taijin ke Ho-pei, Nona?”

Kedua pipi gadis itu menjadi merah, matanya menjadi basah. Dia mengangguk dan menggumam,
“Terima kasih, Suthai.... “

Kian Lee dan Liang Wi Nikouw lalu berpamit dan segera mereka berpisah dan meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Hok-tai dan Cui Lan.

“Suma-taihiap!”

Tiba-tiba kakek itu berseru memanggil. Kian Lee cepat membalik dan menghampiri kakek itu yang sudah bangkit.

“Ada pesan apa yang hendak disampaikan oleh Taijin?”

Hok-taijin melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu.
“Suma-taihiap, betapa besar aku hutang budi kepadamu! Betapa inginku untuk membalas segala kebaikanmu itu. Sudikah engkau datang ke rumah kami dan menjadi tamuku yang terhormat agar kami dapat menyatakan terima kasih kami kepadamu?”

Kian Lee tersenyum. Dia tahu bahwa pembesar ini, adalah seorang tua yang baik budi.
“Baiklah, Taijin. Kelak, kalau sudah tidak terlalu banyak urusan yang harus kuselesaikan, saya pasti akan berkunjung kepada Taijin.”

Mereka pun berpisah dan Hok-taijin lalu dikawal oleh para perajuritnya, bersama Cui Lan pergi ke rumah penginapan untuk bermalam di situ semalam sambil membuat segala persiapan. Pembesar yang bijaksana ini melihat bahwa jumlah perajurit pengawal itu hanya dua puluh orang, maka dia mengambil keputusan untuk tetap menyamar sebagai seorang petani.

Pada keesokan harinya, Hok-taijin dan pengawalnya melanjutkan perjalanan. Rombongan ini bergerak perlahan dan belum lama mereka meninggalkan kota, mereka mendengar derap kaki banyak kuda lari dari arah belakang.

Perwira pengawal memberi aba-aba agar pasukannya berhenti dan menepi, membiarkan belasan orang berkuda itu lewat. Cui Lan melihat bahwa belasan orang yang berpakaian sebagai pendekar itu tergesa-gesa lewat sehingga kuda mereka menimbulkan debu mengebul tinggi.

Cui Lan memandang kagum. Sudah banyak ia bertemu orang-orang gagah, pendekar-pendekar budiman. Sudah banyak ia menerima pertolongan para pendekar, terutama sekali dari Kian Lee yang dianggapnya seorang pemuda yang amat baiknya, paling baik di dunia ini sesudah Siluman Kecil tentunya! Dan karena dia merasa betapa setiap langkah kuda yang ditungganginya itu makin menjauhkan dia dari dusun di mana Siluman Kecil pernah muncul, hatinya merasa sedih.

Tak lama kemudian, kembali terdengar derap kaki kuda dari belakang. Ketika mereka menoleh, kelihatan tiga ekor kuda membalap dari belakang. Perwira itu menyerukan aba-aba agar semua kuda berhenti karena jalan itu sempit, agar tiga orang yang datang membalapkan kuda itu dapat lewat lebih dulu. Mereka berhenti dan memandang tiga orang penunggang kuda yang bertubuh tegap itu. Kuda terdepan ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar yang memboncengkan seorang anak laki-laki di depannya.

“Heiiiii.... Enci Lan....!!” Tiba-tiba anak itu berseru.

Tiga orang penunggang kuda itu menoleh dan mereka pun melihat Cui Lan, lalu mereka menahan kuda mereka.

“Ah, kiranya engkau, Hong Bu....!”

Cui Lan berseru girang sekali dan cepat dia turun dari kudanya. Tiga orang laki-laki itu bukan lain adalah Sim Hoat, Sim Tek, dan Sim Kun tiga orang pemburu di tengah hutan yang pernah menolong Cui Lan, dan anak itu adalah Sim Hong Bu, putera dari Sim Hoat.

“Sam-wi Twako, kalian baik-baik saja?”

Cui Lan menegur dan tiga orang itu menjura kepada Cui Lan, juga kepada Hok-taijin yang mereka tahu adalah seorang sahabat dari nona ini. Mereka menghormati Cui Lan yang mereka anggap sebagai sahabat baik dari Siluman Kecil.

“Terima kasih, Nona,” jawab Sim Kun, saudara termuda yang paling ramah dan pandai bicara dibandingkan dengan dua orang kakaknya yang kasar dan kaku.

“Eh, kalian hendak ke manakah? Kelihatan tergesa-gesa amat. Dan siapa pula mereka yang tadi melewati kami? Ada belasan orang berkuda yang juga kelihatan tergesa-gesa melewati kami menuju ke depan,” Cui Lan bertanya.

Mendengar ini, Sim Hoat tertawa girang.
“Ha-ha, kiranya saudara-saudara kita pun sudah berangkat!” katanya kepada dua orang adiknya yang juga kelihatan gembira.

“Sebetulnya ada urusan apakah?”

Cui Lan bertanya lagi, penuh perhatian tentu saja karena orang-orang ini termasuk sahabat-sahabat dari Siluman Kecil dan dia justeru mengharapkan berita dari Siluman Kecil! Kini Hok-taijin juga sudah turun dari kudanya dan ikut mendengarkan, sedangkan para perajurit tetap menanti di atas kuda sambil berjaga-jaga karena mereka itu betapapun juga merasa curiga terhadap tiga orang yang kelihatannya kasar-kasar seperti gerombolan perampok itu.

Heran sekali mereka melihat gubernur mereka dan gadis yang cantik itu dan yang diperkenalkan oleh sang gubernur sebagai anak angkatnya kelihatan begitu bebas bergaul dengan segala macam orang kasar seperti tiga orang penunggang kuda itu.

“Kami hendak membantu penolong kami, Pendekar Siluman Kecil.”

“Ehhhhh....?” Cui Lan berseri wajahnya dan dia maju selangkah. “Apa yang terjadi?” tanyanya penuh gairah.

“Kami hanya mengetahui urusan itu sebagai kabar angin saja, akan tetapi bagaimanapun juga, kami ingin membantu beliau,” kata Sim Kun. “Entah benar entah tidak kabar angin itu, kami pun tidak tahu.”

“Ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya, bukan Gi-hu?”

Cui Lan menoleh kepada ayah angkatnya dengan sinar mata penuh permohonan. Kakek itu mengangguk. Betapapun juga, ketika dikejar oleh tentara Ho-nan, dia dan Cui Lan telah ditolong oleh para pemburu ini pun berkat nama Siluman Kecil, pikirnya.

“Menurut kabar angin di antara kawan-kawan yang seperti semacam dongeng tentang diri Siluman Kecil, lima tahun kurang lebih yang lalu, di dalam pengembaraannya, beliau bertemu dengan musuh yang amat sakti yang tinggal mengasingkan diri di atas bukit di depan sana. Orang sakti itu tinggal bersama murid-muridnya dan pelayan-pelayannya yang kesemuanya juga lihai-lihai sekali. Dan menurut dongeng itu, kabarnya orang sakti ini adalah pewaris dari ilmu-ilmu pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang lalu. Entah apa sebabnya, lima tahun yang lalu terjadi pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dan orang sakti itu, dan kabarnya beliau terluka parah oleh suling sakti dari lawan itu dan hampir saja beliau tewas.

Akan tetapi beliau dapat diselamatkan dan diobati oleh seorang pendeta wanita, dan biarpun dapat sembuh, namun luka-luka hebat itu membuat rambut beliau menjadi putih semua! Nah, kabarnya beliau membuat perjanjian dengan orang sakti itu untuk saling mengadu ilmu lagi lima tahun kemudian dan hari ini adalah hari perjanjian itu. Kami yang berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil, tidak dapat berdiam diri saja dan kami semua beramai-ramai pergi ke tempat itu untuk membantu beliau.”

Setelah selesai bercerita, cerita yang seperti dongeng dan yang hanya mereka dengar sepotong-sepotong itu, hati Cui Lan ingin sekali ikut bersama mereka untuk menyaksikan pertandingan itu, atau sesungguhnya lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa ia ingin pergi untuk menjumpai orang yang dipujanya itu.

Akan tetapi tentu saja dia tidak berani dan malu untuk menyatakan hal ini kepada ayah angkatnya. Maka ketika tiga orang bersama anak laki-laki itu berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka, Cui Lan melangkah maju beberapa tindak mengikuti mereka sampai ke tempat mereka menambatkan kuda mereka. Air matanya membasahi bulu matanya, ketika dia mendengar mereka berpamit lagi dan melompat ke atas kuda mereka.

“Selamat tinggal, Enci Cui Lan!” terdengar Hong Bu berteriak.

Cui Lan yang tadinya menunduk untuk menyembunyikan air matanya, kini berdongak mendengar seruan suara Hong Bu. Terkejutlah dia ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sim Kun yang ternyata masih berada di situ dan memandangnya dengan sinar mata aneh, lembut, hangat dan mesra! Cui Lan terkejut dan gugup, cepat dia membalikkan tubuhnya dan dia mendengar Sim Kun berkata,

“Selamat berpisah sampai jumpa kembali!” lalu terdengar derap kaki kuda dilarikan cepat ke depan.

Mereka melanjutkan perjalanan dan Cui lan kelihatan termenung. Melihat ini, Hok-taijin bertanya,

“Anakku, kenapa kau kelihatan diam? Apakah engkau masih terkesan oleh cerita tadi?”

Memperoleh kesempatan itu Cui Lan lalu berkata,
“Benar sekali, Gi-hu. Gi-hu tentu tahu mengapa orang-orang kasar itu sampai begitu setia, mereka semua telah berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil. Saya pun hutang nyawa, bahkan lebih dari itu kepadanya, dan mendengar dia hendak bertanding melawan orang sakti, saya ingin sekali menonton, Gi-hu.”

Hok-taijin mengerutkan alisnya.
“Hemmm, berbahaya sekali, Cui Lan. Orang-orang yang tidak mempunyai kepandaian silat seperti kita ini, apa gunanya bagi dia? Tidak dapat membantu seperti para pemburu itu, bahkan kita terancam bahaya maut. Jangan khawatir, kalau kita sudah tiba di rumah, aku akan mengirim utusan mengundang Pendekar Siluman Kecil dengan hormat agar sudi berkunjung ke rumah kita.”

Terhibur juga hati Cui Lan mendengar janji ini, sungguhpun hatinya masih ingin sekali untuk pergi ke bukit itu. Akan tetapi, selain tidak berani memaksa, juga dia merasa malu terhadap ayah angkatnya dan para perajurit, maka dia melanjutkan perjalanan itu dengan diam saja dan termenung.

Lewat tengah hari, udara panas sekali dan Hok-taijin mengajak mereka beristirahat di sebuah lapangan terbuka dekat hutan di kaki bukit yang penuh dengan hutan-hutan besar. Perwira itu lalu mengeluarkan perbekalan dan Hok-taijin dan Cui Lan lalu makan.

Lezat bukan main makan di tempat terbuka itu, sungguhpun yang dimakan hanya roti kering dan daging panggang dibantu oleh air jernih. Setelah keduanya selesai makan, Hok-taijin memberi kesempatan kepada para pengawalnya untuk makan pula. Kakek ini duduk bersandar pohon dan segera terasa kantuk datang menyerangnya ketika tubuh lelah perut kenyang itu dihembus angin sejuk.

Cui Lan berjalan-jalan di sekitar tempat itu mencari kembang. Mendadak dia mendengar suara orang bersenandung, suara yang amat merdu dan gembira. Ketika dia menuju ke tempat itu, dia melihat seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba hitam dan ringkas, pakaian yang ketat memperlihatkan bentuk tubuhnya yang padat dan indah, sedang duduk di antara rumput-rumput hijau dan rebah terlentang sambil bersenandung.

Cui Lan ingin pergi lagi karena dia tidak ingin mengganggu orang yang sedang beristirahat dengan enaknya itu, akan tetapi tiba-tiba ada sinar hitam menyambar di dekat kakinya. Ketika dia melihat ke bawah, hampir dia menjerit karena ternyata bahwa sinar hitam itu adalah seekor ular yang hitam panjang dan yang kini berada di depan kakinya dengan kepala terangkat dan bergoyang-goyang seperti menari-nari, atau seperti memberi isyarat kepadanya agar jangan pergi!

Cui Lan memandang dengan muka pucat, akan tetapi memang pada dasarnya gadis ini seorang yang tabah. Dia tidak jadi menjerit dan perlahan-lahan dia menggeser kakinya untuk menjauhi.

“Hi-hik, si Hek-coa (Ular Hitam) itu suka kepadamu dan dia ingin agar kau duduk di sini bercakap-cakap dengan aku!”

Cui Lan cepat menoleh dan dia melihat gadis berpakaian hitam tadi sudah duduk dan tersenyum. Bukan main cantiknya! Baru sekarang dia melihat betapa gadis itu mempunyai kecantikan yang luar biasa, cantik jelita dan manis sekali, apalagi kini sedang tersenyum. Dia memandang kagum dan melihat gadis berpakaian hitam dan ular yang kini melilit lengan gadis itu, teringatlah dia akan gadis di dalam perahu yang telah melempar kembali orang dari perahu besar yang meloncat ke rakit mereka.

“Kau.... bukankah kau gadis dalam perahu....“

Gadis itu memang Hwee Li adanya. Dia mengangguk dan menepuk rumput di dekatnya.
“Duduklah di sini, enak, lunak seperti duduk di kasur saja. Jangan takut, ularku ini tidak jahat. Aku melihat engkau bersama rombongan perajurit dan si orang tua, akan tetapi mana pemuda yang bersamamu di perahu itu?”

“Ah, dia sudah pergi....“ Cui Lan menahan kata-katanya karena dia tidak hendak bercerita tentang urusan Pangeran Yung Hwa kepada seorang asing. Lalu cepat disambungnya dengan pertanyaan, “Engkau siapakah? Aneh sekali seorang gadis cantik seperti engkau bermain-main dengan seekor ular seperti itu.”

“Seekor? Ada dua! Lihat di atasmu!”