FB

FB


Ads

Rabu, 06 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 029

Akan tetapi sebelum orang lain mendemonstrasikan kepandaiannya, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras dan disusul suara canang dipukul bertalu-talu tanda bahaya dan nampaklah beberapa orang penjaga datang berlari-lari dengan muka pucat menghadap pangcu mereka. Ketika mereka melihat bahwa Hek-hwa Lo-kwi sudah hadir di situ mereka itu serta merta menjatuhkan diri berlutut.

“Celaka.... Pangcu....!”

“Tolol! Pengecut!” Khiu-pangcu memaki. “Hayo lekas lapor ada apa!”

“Di luar pintu terowongan.... orang-orang Gunung Cemara datang menyerbu....!”

“Huh, begitu saja ribut!” Khiu-pangcu membentak.

“Tapi, Ji-pangcu. Mereka itu dipimpin oleh ketua mereka, Yang-liu Nio-nio dan dua orang yang luar biasa lihainya. Tanpa menyentuh orang, mereka berdua telah merobohkan dan membunuh banyak kawan kita! Mereka adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang mengeluarkan suara seperti kucing.... huuuh-hu....!” para penjaga itu menggigil ketakutan.

“Hemmm, sungguh orang-orang Hek-eng-pang tidak boleh diberi ampun sekali ini!”

Hek-hwa Lo-kwi membentak marah sekali dan meloncat turun dari atas panggung, kemudian dengan langkah lebar, dia pergi menuju ke pintu terowongan, diikuti oleh para tamu yang ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh ketua yang baru saja keluar dari pertapaannya itu. Juga mereka ini mengharapkan akan menyaksikan pertandingan yang hebat antara Hek-hwa Lo-kwi melawan tokoh-tokoh pimpinan Hek-eng-pang.

Akan tetapi belum juga mereka memasuki pintu terowongan, tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan keras di sebelah luar terowongan itu dan nampak api mengebul di atas tebing arah mulut terowongan di atas.

Semua orang terkejut sekali, apalagi ketika mendengar gemuruhnya suara air menyaingi suara gemuruh air terjun. Cepat mereka semua mundur kembali menjauhi pintu terowongan dan tak lama kemudian, dari pintu terowongan itu menyembur air yang amat kuat dan derasnya. Beberapa orang penjaga terowongan terlontar seperti daun-daun kering dihanyutkan air bersama dengan semburan air yang deras itu.

Semua orang menjadi panik karena maklum bahwa entah secara bagaimana, fihak musuh telah berhasil membobolkan sungai di atas dan mengalirkan airnya memasuki mulut terowongan di atas sehingga menggenangi lembah itu! Tentu saja terjadi kepanikan hebat. Orang-orang cepat mencari perahu-perahu yang banyak terdapat di situ.

Akan tetapi karena banyaknya orang dan kurangnya perahu mereka banyak tidak kebagian dan terpaksa mereka menebang pohon-pohon dan bambu-bambu untuk dijadikan pengapung atau semacam rakit. Air makin meninggi dan keadaan makin kacau. Mereka yang telah berhasil memperoleh perahu sudah cepat-cepat menyelamatkan diri melalui sungai.

Di dalam suasana yang kacau-balau dan hiruk-pikuk itu, Kian Lee bertindak cepat sekali. Dia tadi melihat Hoa-guji, tokoh Kui-liong-pang tinggi kurus yang tadi mengepalai para pelayan yang mengeluarkan hidangan. Kian Lee menduga bahwa orang ini tentu seorang diantara para anggauta pimpinan, maka begitu dia melihat kesempatan, secepat kilat dia menubruk dan merobohkan orang tinggi kurus ini dengan totokan, lalu menyeretnya ke tempat gelap.

Hoa-gu-ji adalah seorang yang memiliki kepandaian cukup lihai, maka dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya melihat betapa ada orang mampu merobohkannya sedemikian mudahnya! Dia tadi hanya melihat seorang pemuda tampan mendekatinya dan tahu-tahu tubuhnya menjadi lemas dan ketika dia hendak berteriak, pemuda itu menepuk tengkuknya dan lenyaplah suaranya!






Kini Hoa-gu-ji benar-benar merasa ketakutan ketika dia diseret di tempat gelap dan dia melihat bahwa di situ telah menanti seorang nikouw tua yang tadi dilihatnya menjadi seorang di antara para tamu di situ.

“Hayo katakan, di mana adanya dua orang tawanan yang kalian bawa dari Gunung Cemara!”

Kian Lee membentak sambil menyentuh ubun-ubun kepala orang itu dan dengan tangan kiri membebaskan totokan pada lehernya sehingga dia dapat mengeluarkan suara lagi.

“Ta.... tawanan.... yang mana....?”

Hoa-gu-ji bertanya, jantungnya berdebar tegang karena jari-jari tangan yang menyentuh ubun-ubunnya itu benar-benar merupakan “todongan maut” baginya, maka dia tidak berani main-main.

“Seorang gadis dan seorang laki-laki tua yang kalian bawa dari tempat tahanan Hek-eng-pang. Cepat jawab!”

“Ahhh.... mereka itu?”

Setelah jelas bahwa orang ini mengetahui tentang dua orang temannya, Kian Lee lalu membebaskan totokan pada tubuh Hoa-gu-ji dan sambil mencengkeram leher bajunya, dia menghardik,

“Hayo antarkan kami ke sana!”

Hoa-gu-ji mengangguk-angguk. Dia maklum bahwa dia tidak berdaya karena selain pemuda ini luar biasa lihainya, juga teman-temannya sedang sibuk menyelamatkan diri dari serangan air yang membanjiri lembah. Akan tetapi, Kian Lee menjadi repot juga karena air sudah mulai naik sampai ke paha.

“Kita membuat rakit dulu!” kata Liang Wi Nikouw dan nenek ini lalu mengumpulkan kayu dan bambu yang banyak hanyut di situ, bekas orang-orang tadi membuat rakit.

Dengan cekatan mereka dibantu oleh Hoa-gu-ji membuat rakit, lalu cepat mereka menuju ke kelompok bangunan yang sudah digenangi air setinggi perut. Akhirnya tibalah mereka di sebelah kamar tahanan dan dengan hati lega Kian Lee melihat Cui Lan dan Hok-taijin berpegang kepada ruji-ruji besi tempat tahanan itu dengan muka pucat dan ketakutan karena air sudah terus naik!

“Kongcu.... syukur engkau datang....!”

Cui Lan terisak penuh kegembiraan melihat munculnya pemuda itu. Untung lampu di atas tempat tahanan masih belum padam sehingga keadaan di situ cukup terang. Kian Lee cepat menotok lumpuh Hoa-gu-ji dan membawanya loncat naik ke atas wuwungan rumah dan melemparkan tubuh itu di atas wuwungan karena dia yakin bahwa air tidak mungkin sampai naik ke wuwungan.

Kemudian bersama Liang Wi Nikouw dia membongkar pintu tahanan dan menolong gadis dan pembesar itu naik rakit dan mereka lalu mendayung rakit itu keluar dari situ. Di luar, air sudah naik sampai ke dada orang. Bangunan-bangunan kecil roboh terlanda air, akan tetapi bangunan besar di mana tadi Kian Lee melemparkan Hoa-gu-ji ke atas wuwungan cukup kokoh dan tentu akan dapat bertahan.

“Ahhhhh.... Taihiap.... sungguh kami sudah hampir putus asa....” Hok-taijin, berkata. “Untung aku bersama dengan Cui Lan, anakku yang gagah perkasa ini.... dialah yang selalu membesarkan hatiku.... kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi gila....“

Kian Lee memandang kepada Cui Lan dengan sinar mata kagum dan gadis itu menunduk dengan air mata berlinang.

“Cui Lan, ini adalah Liang Wi Nikouw yang diutus oleh Siluman Kecil untuk menyelidiki keadaanmu dan menolongmu,” kata Kian Lee sambil memandang gadis itu.

Seketika wajah yang menunduk itu bergerak, diangkat dan biarpun air matanya masih berlinang, namun bibirnya tersenyum dan wajahnya berseri.

“Aihhh...? Suthai yang baik, benarkah itu?”

Nikouw itu mengangguk dan tersenyum.
“Di mana dia? Bagaimana dengan dia? Baik-baik sajakah dia?” tanyanya seperti air hujan.

Nikouw itu mengangguk-angguk lagi.
“Dia mengkhawatirkan keadaanmu, Nona, maka mengutus pinni menyelidiki. Kiranya engkau benar-benar terancam bahaya, untung ada pemuda perkasa ini yang menolong.”

Karena mereka masih berada dalam bahaya, maka Cui Lan tidak berani banyak bertanya lagi. Juga dia merasa malu untuk banyak bertanya tentang pendekar luar biasa itu, maka dia kini hanya menunduk sedangkan Kian Lee yang dibantu oleh nikouw yang biarpun sudah tua namun masih kuat itu untuk mendayung rakitnya menuju ke sungai di mana juga terdapat kesibukan dari mereka yang menyelamatkan dirinya.

Sementara itu, jauh di atas tebing nampak tiga orang berdiri menonton semua keributan di lembah. Tentu saja tidak kelihatan jelas benar karena hanya dibantu dengan sinar bulan, akan tetap melihat lampu-lampu bergerak ke sana sini dengan kacau dan teriakan-teriakan orang di bawah terdengar sampai di atas, tiga orang itu cukup puas dan menonton sambil tersenyum.

Mereka itu bukan lain adalah Hek-eng-pangcu Yang-liu Nio-nio, Ang Tek Hoat, dan Mauw Siauw Moli. Bagaimana mereka bisa berada di sana? Mari kita ikuti perjalanan Tek Hoat yang kita tahu melakukan usaha menculik Syanti Dewi dari puncak Naga Api, tempat tinggal Hwa-i-kongcu itu.

**** 029 ****