FB

FB


Ads

Rabu, 06 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 028

Melihat dia diperkenalkan dan ditegur, Ang-siocia, gadis she Ang yang hanya dikenal sebagai Nona Ang (Ang-siocia) itu, bangkit berdiri dan berkata lantang, sama sekali tidak kelihatan jerih,

“Itulah jadinya kalau dua ekor anjing memperebutkan tulang! Keduanya babak-bundas akan tetapi tulangnya dibawa kabur orang lain!”

Tentu saja Khiu-pangcu menjadi makin marah dan penasaran. Tadi dia ditertawakan dan kini malah disamakan dengan anjing! Akan tetapi, dia masih menahan kemarahannya, hanya bertanya dengan suara yang nadanya kaku dan dingin,

“Kalau menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, Nona?”

“Menurut pendapatku? Tentu saja lebih baik kalau kedua ekor anjing itu berdamai dan tulang itu dimakan bersama-sama, dengan demikian berarti menambah persahabatan dan perut keduanya bisa kenyang, hi-hik!”

Semua orang tertawa dan Khiu-pangcu sendiri tersenyum, kemarahannya lenyap dan dia menjura kepada semua orang.

“Apa yang diucapkan oleh Ang-siocia tadi memang benar dan tepat sekali. Karena itu pula maka pangcu kami mengirimkan undangan kepada Cu-wi sekalian, yaitu untuk mempersatukan semua golongan dari kita para pencari nafkah yang mengandalkan modal kepandaian silat seperti kita semua ini. Dengan adanya persatuan antara kita, maka tidak akan terjadi lagi bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan kelemahan golongan kita sendiri. Kita dianggap golongan hitam, nah, kalau tidak ada persatuan di antara kita, tentu golongan putih yang menyebut diri mereka sendiri para pendekar itu akan merasa girang sekali dan mereka akan mudah untuk memusuhi dan mengalahkan kita.”

Terdengar suara teriakan-teriakan menyatakan persetujuan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan karena seperti pada umumnya, manusia di dunia ini tidak ada yang dapat melihat keadaan sendiri, tidak dapat menyadari akan kesalahan dan kejahatan sendiri sehingga kaum itu pun tidak merasa bahwa mereka adalah penjahat-panjahat!

Mereka menganggap bahwa “pekerjaan” mereka itu adalah usaha mencari nafkah, dan para pendekar yang memusuhi mereka adalah yang sejahat-jahatnya orang karena merintangi pekerjaan mereka! Tentu saja usul persatuan ini mereka sambut dengan gembira karena memang sudah terlalu sering mereka ditentang dan di kejar-kejar oleh para pendekar.

“Akan tetapi, siapa yang akan memimpin kita?” terdengar suara lantang bertanya.

Khiu-pangcu mengangkat kedua tangan untuk menenangkan suasana yang menjadi hiruk-pikuk itu. Setelah semua orang diam dia lalu berkata,

“Sudah tentu saja yang berhak memimpin kita adalah orang yang paling tinggi kepandaiannya di antara golongan kita semua.”

“Kalau guruku berada di sini tentu kursi pimpinan jatuh di tangannya!” terdengar gadis cantik berpakaian merah itu berseru.

Khiu-pangcu tersenyum lebar.
“Nona, dan Cu-wi sekalian, hendaknya maklum bahwa kursi pimpinan itu tidak diperebutkan sekarang. Untuk itu tentu saja harus ada undangan khusus sehingga yang hadir adalah tokoh-tokoh pertama dari golongan kita. Sekarang yang penting bagi kita adalah bahwa semua fihak setuju untuk berdiri di bawah satu golongan. Dengan demikian, semua hasil karya kita dapat kita pergunakan bersama dan mereka yang hasilnya besar dapat menolong mereka yang sedang sepi pasarannya. Dan kalau seorang di antara golongan kita diusik oleh golongan putih, kita harus saling membantu dan memusnahkan fihak musuh. Dengan demikian, bukankah kedudukan kita menjadi kuat dan tidak ada sembarang pendekar berani untuk mengganggu?”

“Benar....!”

“Setuju....!”

Kembali suasana menjadi berisik sekali. Tiba-tiba, terdengar suara tertawa yang amat nyaring, suara yang mengatasi semua suara berisik itu, suara ketawa yang menggema dan mengaung menggetarkan jantung. Terang bahwa itu adalah suara ketawa yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya. Semua orang terkejut dan menoleh ke tengah lapangan karena suara ketawa itu terdengar dari mulut seorang peranakan Nepal yang muda dan duduk di kursi bagian tamu kehormatan itu.

Tentu saja semua orang terkejut dan marah, karena suara ketawa itu terdengar seperti meremehkan, dan kiranya yang mentertawakan mereka hanya seorang peranakan Nepal! Khiu-pangcu juga merasa penasaran, segera menghadapi pemuda peranakan Nepal itu dan dengan suara hormat karena orang itu merupakan tamu agung, akan tetapi bernada teguran, dia bertanya,

“Apakah Kongcu (Tuan Muda) tidak menyetujui persatuan ini?”.

Pemuda jangkung berkulit coklat itu bangkit berdiri dan menjura, lalu terdengar dia berkata dengan suara lantang,

“Kami sangat menyetujui, harap Khiupangcu tidak salah sangka. Hanya kami merasa sangat kecewa dan kasihan melihat cara-cara kalian mencari nafkah yang begitu remeh.”

“Haiiiii!!”

Semua orang berseru. marah karena tersinggung oleh ucapan itu, bahkan sudah ada yang bangkit berdiri dengan sikap mengancam. Hanya tokoh-tokoh besar lainya, seperti Ang-siocia, lalu gadis cantik jelita yang sama sekali tidak mengacuhkan semua itu dan bermain-main dengan ularnya, kepala bajak sungai yang tadi ribut dengan gadis pembawa ular, yaitu Tiat-thouw Sin-go, perampok tunggal Toat-beng Sin-to, raja kaum nelayan Boan-wangwe, mereka ini tetap duduk diam dan bersikap tenang, sesuai dengan kedudukan mereka yang tinggi.






“Harap Cu-wi jangan salah paham,” kata peranakan Nepal itu dengan sikap tenang sekali. Kini dia berdiri di panggung dan menghadapi semua tamu dengan penuh wibawa. “Saya tidak memandang rendah kepada Cu-wi, hanya ingin menyatakan bahwa apa yang Cu-wi lakukan dan kerjakan itu sungguh tidak sesuai dengan jerih payah Cu-wi sekalian. Cu-wi bersusah payah mencari mangsa, menunggu mereka lewat dan menanti datangnya kesempatan, menghadapi bahaya maut, dan semua itu Cu-wi lakukan hanya untuk sejumlah barang yang tidak berarti, bahkan kadang-kadang gagal seperti yang diceritakan oleh Khiu-pangcu ketika memperebutkan harta pusaka keluarga Jenderal Kao itu. Bukankah cara bekerja seperti itu amat remeh dan tidak memadai?”

Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar itu merasa tersinggung juga. Dia memandang dengan mata melotot, lalu berkata dengan suara yang lantang dan kasar karena memang dia terkenal seorang yang kasar, jujur tidak mau menggunakan banyak aturan,

“Apakah kau mempunyal usul yang lebih baik?”

Pemuda peranakan Nepal itu menoleh kepada si tinggi besar ini sambil tersenyum, lalu berkata,
“Tentu saja dan usulku amatlah baik, tentu saja kalau Cu-wi sekalian setuju. Akan tetapi usul saya ini usul yang amat penting dan gawat, maka hanya akan saya terangkan kalau semua pimpinan sudah hadir, tidak seperti sekarang ini. Baru fihak tuan rumah saja, hanya wakilnya, yaitu Khiu-pangcu yang keluar, bukan ketuanya sendiri, mana bisa disebut lengkap untuk mendengarkan usul kami yang teramat penting dan menyangkut masa depan kita semua ini?”

Khiu-pangcu menjura kepada orang itu.
“Maaf, pangcu kami sedang menyelesaikan ilmunya yang baru sehingga selama ini tidak pernah keluar dan mewakilkan segala sesuatu kepada saya. Andaikata pangcu kami sudah keluar, apakah kiranya perempuan-perempuan dari Gunung Cemara itu berani banyak tingkah? Itulah sebabnya maka pangcu kami tidak dapat hadir.”

Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan rumah tempurung terdepan meledak. Rumah itu hancur berantakan dan keluarlah seorang kakek yang berpakaian hitam, agak terhuyung dan mukanya putih pucat seperti kapur.

“Khiu Sek, jangan mengecewakan tamu, ini aku sudah datang!”

Kini dari rumah-rumah tempurung itu bermunculan pula orang-orang yang mukanya putih seperti kapur dan itulah para pengikut ketua baru ini yang menyeramkan. Mereka itu semua agak terhuyung karena terlampau lama berdiam di rumah tempurung itu untuk memperdalam ilmu mereka sesuai dengan petunjuk sang ketua.

Melihat kakek ini, Kian Lee berdebar dan dia memandang dengan mata terbelalak karena tentu saja dia mengenal kakek ini. Dia itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi, ketua dari Lembah Bunga Hitam, tokoh sesat yang amat sakti dan yang merupakan ahli racun yang luar biasa itu!

Di dalam cerita kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan tentang diri kakek ini yang dahulunya adalah seorang pelayan dari Dewa Bongkok dan yang kemudian melarikan diri karena tersangkut dalam pencurian kitab pelajaran ilmu yang mujijat.

Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang mereka dapat menyaksikan ketua dari Kui-liong-pang yang ternyata amat menyeramkan itu. Ilmu apa gerangan yang dipelajari oleh kakek ini sehingga tadi rumah tempurung itu meledak dan hancur berantakan?

Khiu-pangcu dan semua anak buah Kui-liong-pang menjatuhkan diri berlutut untuk memberi hormat kepada pangcu mereka, sedangkan para tamu juga bangkit berdiri untuk menghormat. Kian Lee yang juga ikut bangkit berdiri melihat betapa Hwee Li masih enak-enak saja duduk bermain-main dengan ularnya, seolah-olah kemunculan kakek itu sama sekali tidak diketahuinya! Benar-benar bocah itu masih seperti dulu, aneh dan bengal!

Hek-hwa Lo-kwi kini menghampiri tempat duduk yang telah disediakan untuknya sambil mengangguk ke kanan kiri kepada para tamu, kemudian dia menghadapi peranakan Nepal itu sambil berkata, suaranya menggetar dan mengandung gema yang meraung aneh,

“Nah, sebelum Sicu ceritakan apa usul yang amat penting itu, hendaknya lebih dulu memperkenalkan diri. Maaf kalau kami tidak mengenal Sicu.”

Pemuda peranakan Nepal itu menjura dengan hormat dan berkata,
“Sungguh beruntung sekali kami semua dapat bertemu dengan Pangcu yang telah kami kenal namanya yang besar. Dan kami menghaturkan selamat atas berhasilnya Pangcu mempelajari ilmu baru. Perkenankan kami memperkenalkan diri kami.”

Dengan suara halus dan lantang sehingga semua orang dapat mendengarnya, orang muda peranakan Nepal itu lalu memperkenalkan dirinya dan mendengar penuturannya, Kian Lee menjadi tertarik sekali dan mendengarkan penuh perhatlan. Kiranya pemuda itu adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong!

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa Pangeran Liong Khi Ong dan kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong, telah mengadakan persekutuan untuk mengadakan pemberontakan, akan tetapi akhirnya pemberontakan itu gagal dan kedua orang pangeran tua itu telah tewas.

Liong Khi Ong mempunyai seorang selir berbangsa Nepal, dan sebenarnya selir ini masih seorang puteri Nepal, anak Raja Nepal yang juga lahir dari seorang selir dan yang dihadiahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong sebagai tanda persahabatan antara Nepal dan Kerajaan Ceng-tiauw yang pada waktu itu luas sekali daerahnya dan merupakan negara besar yang dihormati negara-negara tetangga termasuk Nepal.

Dari selir Nepal inilah Liong Khi Ong mempunyai putera, yaitu pemuda ini yang memakai nama Liong Bian Cu. Ketika Liong Khi Ong tewas, pemuda ini bersama ibunya melarikan diri ke barat, kembali ke Nepal di mana dia memperdalam ilmu kepandaiannya dengan menjadi murid dari Ban-hwa Sengjin, yaitu koksu (guru negara) Nepal yang lihai itu.

Setelah memperkenalkan diri dan para tamu memandang dengan kagum karena tidak menyangka bahwa peranakan Nepal ini ternyata adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong yang amat terkenal di kalangan dunia hitam karena dahulu pangeran itu banyak menerima tenaga bantuan kaum sesat, bahkan ketua Kui-liong-pang ini pun mengenalnya dengan baik, maka pemuda itu lalu menceritakan usulnya dengan suara lantang.

“Dari pada kita bekerja secara kecil-kecilan dengan resiko besar, lebih baik kita melakukan pekerjaan yang besar. Sudah basah kepalang mandi! Daripada kita dikejar-kejar pemerintah dan orang-orang dari golongan putih, kita mendahului mereka! Kita kumpulkan kawan-kawan yang banyak sehingga menjadi barisan yang kuat, lalu kita serbu kota demi kota, kita sita seluruh kekayaannya, dan kita duduki kotanya. Bukankah itu lebih cepat dan berhasil daripada kita menunggu lewatnya mangsa seperti seekor harimau kelaparan menunggu lewatnya seekor kelinci? Kita taklukkan kota demi kota dan kita paksa penduduknya yang laki-laki, muda-muda dan kuat-kuat untuk menjadi anggauta kita, yang menolak kita bunuh semua! Wanita-wanitanya yang cantik kita bagi-bagi. Dengan demikian, akhirnya kita akan menjadi suatu kekuatan yang amat besar dan daerah kita akan makin luas. Kalau sudah kuat benar, kita hancurkan para gubernur. Kita kuasai propinsi dan tujuan terakhir adalah kota raja. Kita mendirikan kerajaan sendiri, kerajaan kaum hitam!”

Sejenak suasana menjadi sunyi karena mereka yang mendengarkan rencana itu terlalu kaget dan heran. Bahkan Hek-hwa Lo-kwi sendiri kelihatan menunduk, merenung dan mengelus jenggotnya. Kemudian meledaklah kebisingan di situ karena semua orang bicara sendiri, saling berdebat, ada yang setuju, ada yang menolak dan ada yang ketakutan.

Akhirnya Hek-hwa Lo-kwi mengangkat tangan kanan ke atas dan semua orang diam. Lalu terdengar ucapan kakek ini,

“Usul yang dikemukakan oleh Liong-sicu bukan hal remeh dan main-main, bahkan hal yang amat baik. Memang pekerjaan kita selalu dibayangi oleh bahaya. Tentu saja makin besar bahayanya, makin besar pula hasilnya, dan kalau kita bersatu, mengapa takut bahaya? Aku sendiri setuju dengan usul itu dan akan mendukung pelaksanaannya!”

Ucapan ini disambut oleh tepuk tangan dan sorak-sorai dari mereka yang tadi setuju, sedangkan yang menolak dan yang ragu-ragu terseret dan hanyut oleh suara setuju ini sehingga mereka pun menjadi besar hati.

Kini Liong Bian Cu, pemuda peranakan itu mengangkat tangan dan semua orang berhenti membuat berisik.

“Apakah ada di antara Cu-wi yang mengajukan usul lain?”

Terdengar suara merdu nyaring dan gadis berpakaian merah muda, yaitu Ang-siocia, telah berdiri dan berkata,

“Bicara memang mudah saja, akan tetapi pelaksanaannya tidaklah semudah menggoyangkan lidah dan bibir!” Memang dara ini biasa bicara dengan tajam. “Kota-kota itu tentu dijaga dan dilindungi oleh pasukan perajurit yang sudah terlatih dan pandai berperang. Mana bisa orang-orang kita yang tidak terdidik perang seperti mereka itu dapat menyerbu kota dan menang? Kepandaian kita hanyalah kepandaian pribadi untuk dipakai dalam pertempuran perorangan atau paling hebat hanya menghadapi keroyokan belasan sampai puluhan orang. Mana mungkin dapat berguna dalam perang antara ribuan orang dan pula fihak pasukan pemerintah tentu diperlengkapi dengan senjata dan perlengkapan yang lebih sempurna?”

Hek-hwa Lo-kwi mengangguk-angguk.
“Alasan yang baik dan kuat sekali. Bagaimana jawabanmu, Liong-sicu?”

“Tidak perlu khawatir!” tiba-tiba seorang kakek berusia enam puluh tahun, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut, tangannya memegang tongkat kayu cendana, berseru.

Dia ini adalah Gitananda, orang Nepal yang pernah menghadiri pesta pernikahan gagal dari Hwa-i-kongcu Tang Gun di puncak Naga Api itu. Memang Gitananda adalah seorang di antara utusan-utusan Kerajaan Nepal yang mencari kemungkinan menghubungi orang-orang yang hendak memberontak terhadap Kerajaan Ceng-tiauw, dan kini Gitananda bertugas untuk mengawal dan menemani Liong Bian Cu.

“Hendaknya Cu-wi sekalian maklum bahwa Kongcu kami ini adalah seorang ahli perang yang tentu akan mampu mendidik kawan-kawan dan membentuk barisan-barisan yang kuat!”

Liong Bian Cu bangkit dan menjura ke empat penjuru.
“Saya tidak ingin memamerkan diri, akan tetapi terus terang saja, sebagai putera mendiang Ayah yang juga ahli dalam siasat perang, tentu saja saya telah rnempelajari ilmu perang dan saya dapat membentuk pasukan-pasukan istimewa yang terlatih baik. Tentang perlengkapan, jangan khawatir karena Raja Nepal adalah kakek saya. Cu-wi sekalian tidak perlu gelisah, dan saya berjanji bahwa kalau kelak kita berhasil, Cu-wi sekalian tentu akan menjadi pembesar-pembesar tinggi yang hidup terhormat dan mulia!”

“Nanti dulu!” Tiba-tiba Hek-hwa Lokwi berkata sambil bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling. “Aku ingin sekali mendengar pendapat sahabat lamaku, Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Ataukah dia tidak hadir dan tidak mengirim wakilnya?”

Semua orang yang mendengar nama ini terkejut, dan Tiat-thouw Sin-go ketua para pembajak itu mengerling ke arah gadis cantik jelita berpakaian serba hitam yang masih duduk bermain-main dengan ularnya tadi.

“Akulah wakilnya!” tiba-tiba gadis itu berkata sambil bangkit berdiri.

Semua orang menoleh dan menahan napas menyaksikan seorang gadis yang demikian cantik moleknya. Wajahnya putih halus kemerahan, dengan rambut yang disanggul indah sekali, dihias dengan batu-batu permata mahal, sepasang matanya seperti bintang pagi, jernih dan lebar akan tetapi mengandung sinar yang tajam menyeramkan, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum, manis dan jelita.

Tubuhnya kelihatan ramping padat dengan lekuk lengkung yang menggairahkan, yang sukar disembunyikan oleh pakaian sutera serba hitam itu. Akan tetapi yang membuat orang menjadi ngeri dan kehilangan gairah adalah ketika melihat dua ekor ular yang melingkar-lingkar di kedua lengan yang halus mulus itu.

“Hemmm!” Hek-hwa Lo-kwi menatap dengan tajam, akan tetapi memandang rendah kepada gadis muda itu. “Kalau engkau wakilnya, Nona, apa yang akan dikatakan oleh Hek-tiauw Lo-mo tentang usul tadi?”

Gadis itu yang bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo, tersenyum sehingga sekelebatan nampak rongga mulutnya yang merah terhias kilatan gigi putih.

“Apa yang hendak dikatakan? Aku tidak tahu. Aku hanya diutus untuk mendengarkan saja tanpa membuka mulut dan akan kusampaikan semua ini kepadanya.”

Hek-hwa Lo-kwi berkata kepada Liong Bian Cu,
“Dahulu Hek-tiauw Lo-mo pernah membantu Ayahmu, Liong-sicu. Kiranya sekarang pun dia akan setuju dengan usulmu itu.”

“Mudah-mudahan begitu,”

Liong Bian Cu berkata dan matanya masih terus memandang kepada Hwee Li, agaknya peranakan Nepal ini tertarik sekali kepada gadis yang luar biasa cantiknya itu.

“Tentu saja dia mau kalau kelak setelah berhasil dia yang menjadi rajanya!” kata Hwee Li sambil duduk dan bermain main dengan ularnya.

Kian Lee tak dapat menahan senyumnya. Bukan main gadis ini. Berani sekali dan sikapnya seolah-olah memandang mereka semua itu seperti semut saja! Akan tetapi, dia sendiri masih gelisah memikirkan Cui Lan dan Hok-taijin.

Sebaiknya kalau dia sekarang mulai menyelidiki dimana adanya dua orang yang dicarinya itu. Akan tetapi, mengingat bahwa yang hadir di situ adalah orang-orang yang berilmu tinggi sehingga akan berbahaya bagi dua orang kawannya itu kalau sampai ketahuan, dia terpaksa memberi isyarat kepada Liang Wi Nikouw untuk bersabar.

Mereka ini tentu tidak tahu siapa Hok-taijin, sehingga gadis dan kakek itu hanya merupakan tawanan yang tidak penting, yang mereka ambil dari Gunung Cemara ketika mereka membasminya. Kalau sampai dia turun tangan dan ketahuan, tentu mereka akan sadar bahwa dua orang itu merupakan orang-orang penting dan kalau sampai mereka tahu bahwa kakek itu adalah Gubernur Ho-pel, maka akan berbahayalah!

Hidangan mulai dikeluarkan dan sambil bercakap-cakap membicarakan rencana besar yang diusulkan oleh Liong Bian Cu, mereka makan minum. Sementara itu, para tokoh yang penting di atas panggung kehormatan mulai berunding sambil makan minum dan akhirnya diputuskan bahwa sebelum diadakan pemilihan pemimpin yang harus seorang yang terpandai di antara mereka, yang akan merupakan seorang bengcu (pemimpin rakyat), untuk sementara dibentuklah panitia pimpinan atau pengawas yang terdiri dari Hek-hwa Lo-kwi sendiri, Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, Boan-wangwe, Tiat-thouw Sin-go dan Gitananda sebagai wakil fihak orang Nepal. Ketika hal ini diumumkan, semua orang setuju.

Makan minum dilanjutkan dan Liong Bian Cu yang menganggap mereka semua itu sebagai calon-calon pembantunya untuk melanjutkan “perjuangan” mendiang ayahnya dalam kegembiraannya ingin sekali melihat kelihaian mereka. Maka setelah minum beberapa cawan arak yang cukup menghangatkan hatinya, dia bangkit berdiri dan berkata lantang,

“Cuwi sekalian! Kita telah bersepakat untuk bersatu dan kita merupakan kesatuan orang-orang yang gagah dan memiliki kepandaian! Oleh karena itu, dalam pertemuan ini sudah selayaknya kalau kita memperlihatkan kepandaian masing-masing, bukan untuk menyombongkan diri melainkan sebagai perkenalan. Dan pertunjukan ini akan saya mulai lebih dulu dengan memperlihatkan sedikit kemampuan saya yang saya pelajari dari guru saya yang terhormat, yaitu Ban-hwa Sengjin, koksu dari Nepal!”

Tentu saja ucapan ini disambut dengan gembira oleh semua orang. Mereka adalah orang-orang yang suka berkelahi, suka akan ilmu silat, maka setiap pertunjukan silat tentu saja menggembirakan hati mereka. Apalagi karena mereka maklum bahwa di antara mereka terdapat banyak sekali orang-orang pandai.

Dengan langkah lebar Liong Bian Cu yang oleh orang-orangnya disebut Liong-kongcu itu menghampiri sebuah batu besar yang berada di tempat itu. Batu itu sebesar kerbau, tentu berat sekali. Akan tetapi dengan mudah dan ringan Liong kongcu mengangkatnya dan melontarkannya tinggi ke atas. Dia menggosok kedua telapak tangannya, kemudian cepat dia menggerakkan kedua lengannya dan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka memukul dan mendorong ke arah batu itu.

Terdengarlah suara bercuitan dari tangan kanannya dan dari tangan kirinya keluar suara mendesis. Di sekitar tempat dia berdiri menyambar-nyambar hawa yang panas dan dingin. Yang panas keluar dari tangan kanannya sedangkan yang dingin keluar dari tangan kirinya.

Ketika kedua tangan itu bergerak memukul, batu itu tidak dapat meluncur jatuh, melainkan terapung di udara seperti tertahan oleh tenaga mujijat, dan batu itu mulai terputar, makin lama makin cepat sehingga mengeluarkan suara mengaung seperti gasing. Tak lama kemudian nampak debu mengepul, pecahan batu dan pasir berhamburan ke mana-mana.

Liong-kongcu tersenyum, menghentikan gerakan kedua tangannya dan meloncat ke belakang ketika batu itu jatuh berdebuk ke atas tanah. Dan semua orang melongo ketika melihat betapa batu yang tadinya kasar itu kini telah menjadi halus seperti dibubut, bentuknya bulat seperti telur!

Kian Lee yang sejak tadi memandang penuh perhatian, diam-diam memuji. Itulah tenaga Im-yang Sin-ciang yang cukup hebat. Sungguhpun tentu saja tidak dapat dibandingkan dengan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, namun pemuda itu sudah boleh juga dan hal itu tidak mengherankan karena pemuda itu, menurut pengakuannya tadi adalah murid dari koksu dari Nepal, yaitu Ban-hwa Sengjin yang pernah dia jumpai di istana Gubernur Ho-nan!

Pemuda ini mulai mengerti apa tugas orang-orang Nepal ini. Dia dapat menghubung-hubungkannya dengan kehadiran Ban-hwa Sengjin koksu dari Nepal di istana Gubernur Ho-nan, lalu kehadiran mereka ini di sini, hendak membentuk barisan pemberontak! Apalagi ketika mendengar bahwa Liong-kongcu ini adalah putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong, maka tentu saja apa yang dilihat dan didengarnya semua itu tidaklah terlalu mengherankan. Suatu persekutuan pemberontak agaknya hendak bangkit lagi mengacaukan negara.

Para tamu bersorak memuji kelihaian pemuda peranakan itu, dan Liong-kongcu kini memandang ke arah Hwee Li sambil tersenyum bangga. Akan tetapi senyumnya hilang dan alisnya berkerut ketika dia melihat gadis berpakaian hitam yang menggoncangkan hatinya itu sama sekali tidak ikut bersorak memuji, bahkan bibirnya tersenyum mengejek, seolah-olah apa yang dipertunjukkannya tadi tidak ada artinya sama sekali bagi nona itu. Selagi Liong-kongcu hendak minta kepada Hwee Li agar memperlihatkan kelihaiannya, tiba-tiba dia didahului oleh Ang-siocia yang sudah bangkit berdiri dan menghampirinya.

“Hik-hik, sungguh lumayan juga kepandaianmu. Ingin sekali aku bertanding denganmu karena ilmu kita hampir bersamaan. Engkau memiliki pukulan tajam, aku pun juga. Akan tetapi aku akan mempergunakan pedang, lihatlah!”

Dia mencabut sebatang pedang yang tadi tergantung di punggungnya, pedang yang bersarung dan bergagang indah, yang dihias ronce merah tua di gagangnya. Kemudian, gadis berpakaian merah muda ini mengeluarkan suara melengking panjang dan pedangnya lalu bergerak dengan cepat, bertubi-tubi ke arah batu yang bulat halus seperti telur itu.

Cepat sekali gerakan pedangnya, sampai nampak sinar menyilaukan mata dan ketika sinar itu lenyap, ternyata pedangnya telah kembali memasuki sarungnya di punggung nona itu dan dengan tenang dia berdiri memandang ke arah batu. Batu itu tiba-tiba roboh terpotong-potong seperti irisan kue keranjang! Tipis dan lebar. Tentu saja semua orang melongo dan bertepuk tangan memuji.

“Hii-hik, hampir sama bukan?” kata Ang-siocia kepada Liong-kongcu. “Kalau guruku yang melakukannya, tidak usah memakai bantuan pedang, cukup dengan telapak tangan saja. Itulah pukulan Kianto Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok).”

Ang-siocia terkekeh lagi dengan bangga, lalu dia menghampiri batu yang sudah terpotong-potong itu dan menggunakan kakinya untuk mencukil dan melemparkan batu itu ke arah sungai yang mengalir tak jauh dari tempat itu, sungai yang menjadi sambungan dari air terjun.

“Lebih baik batu-batu ini dilempar ke sungai!”

Tentu saja perbuatannya ini tak lain mengandung maksud untuk mendemonstrasikan kekuatan kakinya dan memang hebat sekali. Potongan-potongan batu itu beterbangan ke depan.

“Heiii, jangan dibuang! Sayang....!”

Nampak bayangan berkelebat cepat sekali mendahului batu-batu itu dan ketika dia membalik, dia menggunakan tangannya menuding dan menangkapi potong-potongan batu yang seperti roda bentuknya itu lalu menumpuknya kembali di atas tanah.

Semua orang memandang tumpukan batu itu dan terdengar seruan-seruan kagum karena batu-batu yang bentuknya seperti roda itu kini telah berlubang tepat di tengah-tengahnya, sehingga bentuknya seperti gilingan tahu dan ternyata bahwa ketika menangkap batu-batu itu, kakek ini menggunakan jari tangannya melubangi batu-batu itu tepat di tengah-tengah.

Kakek ini bukan lain adalah Tiat-thouw Sin-go, yang ternyata bukan hanya kepalanya yang keras melebihi batu, melainkan juga jari tangannya amat kuat. Tentu saja perbuatannya itu pun dimaksudkan untuk mendemonstrasikan kepandaiannya dan kembali semua tamu memuji.