FB

FB


Ads

Rabu, 06 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 027

Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara suitan nyaring sekali. Orang yang disebut Ji-pangcu itu bangkit berdiri, lalu dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring sebagai sambutan. Diam-diam Kian Lee menilai bahwa orang tua pendek kecil ini memiliki khikang yang cukup tangguh, maka dia makin berhati-hati.

Terdengar kini suara kaki kuda berderap dan tak lama kemudian, muncullah seorang kakek yang diiringkan oleh dua puluh orang yang berpakaian seperti jago-jago silat. Kakek itu bersikap gagah dan segera disambut oleh Ji-pangcu. Setelah saling menjura, kakek pemimpin rombongan ini mengeluarkan sehelai kartu yang cepat diterima oleh Ji-pangcu. Setelah membaca tulisan di atas kartu itu, Ji-pangcu segera menjura lagi dan berkata hormat,

“Kiranya Boan-wangwe (Hartawan Boan) yang datang! Selamat datang di Lembah Kui-liong-pang!”

Kakek yang disebut Hartawan Boan ini memandang si kakek kecil pendek penuh perhatian, kemudian tertawa,

“Ha-ha-ha, biarpun baru sekarang saling berjumpa, namun kami telah mendengar nama besar dari Khiu-pangcu (Ketua Khiu). Benarkah dugaan kami?”

Kakek pendek kecil itu pun tertawa.
“Tepat sekali dugaan Boan-wangwe. Silakan masuk!”

Ji-pangcu atau juga disebut Khiu-pangcu itu mempersilakan dengan tangan kanannya dan masuklah Hartawan Boan bersama anak buahnya melalui pintu terowongan itu, diantar oleh seorang di antara dua belas anak buah yang berjaga di luar pintu terowongan itu.

Boan-wangwe itu sebenarnya adalah seorang bekas kepala bajak yang amat terkenal, lihai dan juga berpengaruh. Akan tetapi kini dia tidak pernah menjadi pembajak lagi karena dia sudah menjadi seorang pedagang besar, dagangannya adalah.... ikan yang dihasilkan oleh sungai cabang Huang-ho itu. Akan tetapi dia sendiri bukanlah nelayan dan semua nelayan dari belasan desa di sepanjang sungai itu harus menjual ikan hasil tangkapan mereka kepada Boan-wangwe! Tentu saja dengan harga rendah!

Dan tidak ada seorang pun berani menentangnya karena Boan-wangwe selain terkenal mempunyai banyak tukang pukul jagoan, juga terkenal murah hati dalam hal memberi pinjaman dengan bunga-bunga yang mencekik leher. Dan hampir semua nelayan sudah mempunyai hutang padanya.

Dia bersedia memberi hutang berupa jala, perahu dan lain-lain keperluan dengan janji bahwa semua hasil tangkapan nelayan itu harus disetorkan kepadanya dengan pengganti sedikit uang lelah! Pendeknya, hartawan she Boan bekas kepala bajak ini merupakan seorang pemeras hebat di sepanjang sungai itu dan kekuasaannya seperti raja saja di kalangan para nelayan.

Kian Lee dan nikouw tua itu mengintai terus dan tak lama kemudlan, kembali terdengar suitan nyaring dan seperti juga tadi, Ji-pangcu menjawab dengan suara melengking. Kiranya suitan nyaring itu adalah tanda rahasia dari penjaga di sebelah depan untuk memberi tahu akan datangnya tamu.

Muncullah rombongan ke dua dan rombongan ini terdiri dari sepuluh orang yang mengawal dua orang yang memikul sebuah tandu. Cara mereka datang juga amat aneh dan mengagumkan karena dua orang pemikul tandu itu memikul sambil berloncatan dengan tubuh ringan dan gesit bukan main, demikian pula sepuluh orang pengikut atau pengiring itu semua menggunakan ginkang yang mengagumkan berloncatan dengan ringan sekali seolah-olah yang datang ini adalah sekumpulan burung yang aneh atau sekumpulan kucing yang berloncatan dari batu ke batu dengan gerakan yang cepat sekali!

Setelah tiba di depan Ji-pangcu, tandu atau joli diturunkan dan keluarlah seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba merah muda yang merah terang dan di punggungnya terdapat sebatang pedang yang gagang dan sarungnya terukir indah, dihias dengan ronce-ronce merah tua.

Melihat gadis cantlk ini, Ji-pangcu segera menyambut sambil tertawa.
“Selamat datang, Ang-siocia! Kiranya Siocia yang datang mewakili Hek-sin Touw-ong (Raja Maling Sakti Hitam)?”

Nona itu tersenyum manis dan menjura.
“Benar, Khiu-pangcu. Suhu sedang banyak urusan maka mengutus aku untuk mewakilinya.”

Dia mengeluarkan sebuah kartu nama seperti tadi dan segera diperkenankan masuk dengan penuh keramahan dan diantar pula oleh seorang anak buah Kui-liong-pang.

Senja mulai mendatang dan cuaca makin gelap. Akan tetapi, setelah malam tiba, bulan muncul sore-sore dan menjadi pengganti langsung dari matahari sehingga biarpun cuaca tidak seterang siang hari, namun cukup terang karena langit bersih dari awan mendung.
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi karena maklum bahwa tentu masih ada tamu-tamu lain, buktinya Ji-pangcu masih menanti di situ bersama anak buahnya. Mereka diam-diam merasa heran sekali karena tidak mengerti apa yang terjadi di lembah bawah sana sehingga orang-orang aneh berdatangan mengunjunginya.

Tak lama kemudian, muncullah seorang laki-laki tinggi besar, tanpa pengawal. Juga kedatangannya didahului oleh suitan tanda rahasia. Ji-pangcu cepat menyambutnya dan ternyata pendatang baru ini adalah kenalan lama karena mereka berjabat tangan dan bersendau-gurau. Oleh Ji-pangcu, orang itu disebut Toat-beng Sin-to Can Kok Ma (Golok Sakti Pencabut Nyawa), seorang perampok tunggal yang terkenal.

Seperti yang lain-lain, perampok tunggal tinggi besar ini diperkenankan masuk setelah menyerahkan surat pengenal atau surat berupa kartu rahasia. Kemudian banyak lagi orang-orang aneh berdatangan dan mereka semua itu agaknya merupakan orang-orang golongan hitam atau kaum sesat yang rata-rata memiliki sikap aneh dan kepandaian tinggi. Ada pula serombongan yang datang dengan perahu-perahu mereka.

Kemudian, sampai lama tidak ada tamu datang dan Kian Lee diam-diam menduga bahwa agaknya. kini semua tamu sudah datang. Demikian pula dengan Ji-pangcu dan anak buahnya, mereka mulai tidak sabar dan kelihatan ingin segera masuk ke dalam terowongan itu karena menanti di situ berarti dikeroyok nyamuk yang bukan main banyaknya.

Tiba-tiba terdengar suara riak air dan muncullah beberapa buah perahu dari dalam air! Dan belasan orang berlompatan dari permukaan air sambil menyeret perahu mereka. Hebatnya, pemimpin mereka, seorang kakek yang rambutnya awut-awutan dan berwarna dua, meloncat sambil mengempit perahunya dengan kedua kaki, seperti orang menunggang kuda dan kini perahu itu mendarat dengan empuknya di atas batu karang, seolah-olah batu karang itu hanya kasur saja!






Kian Lee terkejut sekali. Orang ini pun kepandaiannya hebat, pikirnya. Akan tetapi, sebelum hilang kagetnya, dia melihat bayangan hitam meluncur turun di atas dan hampir saja pemuda ini berseru saking herannya.

Dia mengenal benda itu, yang sama dengan burung Rajawali Pulau Es. Benda yang meluncur itu, yang orang lain hanya kelihatan sebagai tanda hitam yang meluncur turun, dikenal oleh Kian Lee sebagai seekor burung juga, burung yang besar sekali, akan tetapi bukan rajawali, melainkan garuda yang agak berbeda dengan Rajawali Pulau Es, akan tetapi sama besarnya!

Dan ketika burung itu melayang setinggi pohon, tiba-tiba dari atas punggung burung itu melayang turun sesosok bayangan manusia dan dengan enaknya orang ini hinggap di atas batu karang di depan Khiu pangcu.

“Kau boleh pergi!”

Suara itu merdu sekali, ditujukan kepada burung yang masih melayang-layang dan burung itu memekik kegirangan lalu terbang pergi. Ternyata dia adalah seorang gadis yang berpakaian serba hitam yang luar biasa cantiknya, demikian cantiknya sampai Khiu-pangcu dan anak buahnya menjadi bengong!

Dengan gerakan sembarangan gadis itu terbang pergi. Tampak sebuah tali yang panjang berwarna hitam meluncur turun dari burung itu dan kini tali itu tepat mengenai tangan si gadis dan melingkar-lingkar.

Khiu-pangcu dan anak buahnya makin terkejut. Ternyata benda itu bukan tali melainkan dua ekor ular hitam! Akan tetapi dua ekor ular yang panjang bukan main, sungguhpun besarnya hanya sebesar ibu jari kaki.

Gadis itu menengok ke kanan kiri dan ketika sinar bulan menimpa wajahnya yang benar-benar luar biasa cantiknya itu, Suma Kian Lee terkejut dan berbisik,

“Ahhh.... dia....?”

Liang Wi Nikauw berbisik,
“Engkau kenal padanya, Kongcu?”

“Tidak.... eh, rasanya sudah pernah melihatnya....“

“Pinni pun belum pernah jumpa, akan tetapi melihat burung itu, dan ular-ular itu, pinni pernah mendengar Subo bercerita tentang ketua Pulau Neraka dan puterinya. Agaknya dialah puteri dari Pulau Neraka yang tadinya pinni kira hanya dongeng belaka.”

Makin yakin kini hati Kian Lee. Tidak salah lagi, gadis itu adalah Hwee Li! Puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Ahhh, lima tahun tidak bertemu, kiranya Hwee Li telah menjadi seorang gadis yang luar biasa cantiknya dan juga lihainya. Namun cara gadis itu muncul, dan ular-ular itu membuat Kian Lee bergidik ngeri.

Kakek yang mengepalai rombongan perahu itu, setelah melompat turun dari atas batu karang dan meninggalkan perahunya di situ, cepat menghormat kepada Khiu-pangcu, agaknya tidak mempedulikan gadis yang baru turun dari burung garuda tadi, ia menyerahkan kartu undangan seperti yang lain-lain tadi.

Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan, gadis itu pun sudah melemparkan kartu undangan itu ke arah Khiu pangcu. Kartu undangannya berputar seperti hidup dan menyambar turun ke arah tangan Khiu-pangcu yang sedang diulur untuk menerima kartu undangan yang diserahkan oleh kakek pemimpin rombongan perahu.

“Plakkk! Ahhhhh....!”

Khiu-pangcu terkejut karena tiba-tiba saja ada kartu undangan menimpa tangannya yang diulur dan berbareng dia menerima pula kartu undangan yang diserahkan oleh kakek itu.

Kini kakek itu yang mengerutkan alisnya menyaksikan perbuatan nona itu, melangkah ke arah lubang terowongan, akan tetapi ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu nona cantik itu pun sudah mendahuluinya hendak memasuki lubang terowongan! Kiranya nona ini tidak mau didahului orang!

“Ah, aku yang datang lebih dulu!”

Kakek itu menjadi penasaran dan kakinya menendang sebongkah batu besar yang berat sekali. Batu itu meluncur dan menghalang di depan si gadis cantik menutupi lubang.

“Brakkkkk!”

Gadis itu menggerakkan tangan kirinya ke arah batu dan batu sebesar perut kerbau hamil itu pecah berantakan!

Dengan mata melotot, gadis itu pun menendang sebongkah batu besar yang menyambar ke arah kakek itu. Kakek itu mendengus, bukan menyambut dengan tangan. atau mengelak, melainkan menyambut dengan kepalanya!

“Dukkk!”

Batu karang besar itu kena disundul kepalanya dan mencelat ke kiri, jauh sekali dan pecah berhamburan menimpa batu karang lain!

“Huh, hendak kulihat sampai di mana kerasnya kepalamu!” Gadis itu sudah melangkah maju dan kakek itu pun dengan marah sudah siap menandinginya.

“Bocah tak tahu aturan!” bentaknya.

Khiu-pangcu cepat melerai diantara mereka dan menjura.
“Harap Ji-wi suka menghabiskan perkara kecil ini di antara orang-orang sendiri. Nona, sahabat ini adalah Tiat-thouw Sin-go (Buaya Sakti Berkepala Besi), dan bernama Thio Sui Lok, ketua Sin-go-pang (Perkumpulan Buaya Sakti). Dan Saudara Thio, Nona ini mewakili Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka. Oleh karena itu, harap saudara suka mengalah.”

Biarpun hatinya masih penasaran, akan tetapi mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo, terkejut juga hati si Kepala Besi itu dan dia diam saja, akan tetapi matanya masih bersinar marah.

“Silakan, Nona,”

Kata Khiu-pangcu dan sambil mendengus dan mengerling ke arah rombongan perahu itu, tak lupa tersenyum mengejek, nona cantik jelita itu lalu memasuki pintu terowongan dan menghilang.

“Sombong...., bocah sombong....!”

Thio Siu Lok yang selamanya dihormat orang dan baru sekarang menerima perlakuan yang tidak menghormat, bersungut-sungut akan tetapi akhirnya dia masuk juga bersama anak buahnya.

Melihat sikap Hwee Li, Kian Lee menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. Masih teringat dia betapa dahulu, dia terluka oleh senjata rahasia peledak dari Siluman Kucing Mauw Slauw Mo-li yang menjadi bibi guru gadis itu sendiri, kemudian dia diselamatkan, disembunyikan dan diobati oleh seorang gadis cilik yang jenaka dan cerdik.

Gadis cilik itu adalah Hwee Li yang sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa, namun masih saja belum hilang sifatnya seperti kanak-kanak yang bengal dan suka menggoda orang. Namun harus dia akui bahwa gadis itu sekarang amat lihai. Pukulannya yang menghancurkan batu tadi benar-benar mengejutkan dan mengerikan.

Kini agaknya para tamu telah datang semua, atau demikian persangkaan Khiu-pangcu karena buktinya dia meninggalkan tempat itu dan masuk melalui terowongan sambil meninggalkan pesan kepada belasan orang anak buahnya agar suka berjaga di situ kalau-kalau masih ada tamu yang datang terlambat.

“Kalau kalian sudah mendengar tanda dari bawah, barulah kalian semua masuk dan tutup pintu terowongan,” demikian pesan pangcu ke dua dari Huang-ho Kui-liong-pang itu kepada para anak buahnya yang berjumlah dua belas orang.

“Baik, jangan khawatir, Ji-pangcu!” jawab seorang di antara mereka yang kumisnya kecil panjang berjuntai ke bawah lucu sekali. Agaknya si kumis panjang ini adalah kepala regu penjaga itu.

Kian Lee melihat kesempatan baik ini lalu berbisik kepada Liang Wi Nikouw itu. mengangguk-angguk. Kian Lee lalu mengambil beberapa butir batu kerikil kecil dan menggunakan jari tangannya menyentil sebutir batu kerikil ke arah siku seorang penjaga yang berdiri dekat kepala regu kumis panjang itu pada saat si kumis panjang sedang membetulkan sepatunya. Batu kerikil itu tepat menotok siku si penjaga dan otomatis lengannya bergerak ke depan.

“Plakkk!”

Tanpa dapat dicegah lagi tangannya memukul ke depan dan mengenai kepala si kumis panjang.

“Eh, setan! Kau berani menempiling kepalaku, heh?”

Si penjaga tak dapat menjawab karena dia sendiri tidak mengerti mengapa tangannya secara tiba-tiba tanpa dapat dikendalikannya lagi tadi bergerak menampar kepala si kumis di depannya itu. Si kumis panjang marah dan mengayun tangannya menampar pipi bawahannya.

“Plokkkkk!”

Pipi yang digablok itu menjadi merah, akan tetapi anehnya, pada saat pipinya digablok, penjaga itu mengerahkan kaki kanannya ke depan, padahal bukan niatnya demikian. Ternyata Kian Lee telah menyentil sebutir kerikil yang mengenai sambungan lutut penjaga itu sehingga secara otomatis kakinya menendang ke depan.

“Ngekkk....!”

Kebetulan sekali gerakan kaki itu membuat lutut si penjaga menghantam selangkangan si kepala penjaga berkumis panjang.

“Aduhhhhh....!”

Si kumis panjang menggunakan tangan kiri mendekap selangkangannya dan meringis kesakitan, marahnya bukan kepalang dan dengan tangan kiri mendekap selangkangan sambil terpincang-pincang, dia menggunakan tangan kanannya memukuli penjaga itu.

Seorang penjaga lain yang menyaksikan perkelahian ini, cepat meloncat untuk melerai. Akan tetapi selagi dia meloncat, sebutir kerikil menyambar dan mengenai punggungnya. Seketika tubuhnya menjadi lemas, dia kehilangan tenaganya dan tanpa dapat dicegah lagi dia menubruk si kepala penjaga yang sedang marah.

“Bresssss....!”

“Eh, keparat....! Kalian mengeroyok! Pemberontakan!”

Kepala penjaga itu kini menjadi marah sekali dan dia mengamuk, setiap ada anak buahnya mendekat tentu dipukulnya karena dia menyangka bahwa mereka itu hendak mengeroyoknya. Kacau-balau di depan pintu terowongan itu dan semua penjaga berusaha untuk menenangkan si kepala penjaga yang mereka sangka kemasukan roh jahat!

Karena keributan ini, mereka sama sekali tidak melihat betapa ada dua sosok bayangan yang amat cepat gerakannya telah menyelinap masuk ke dalam lubang terowongan itu tanpa memperlihatkan kartu undangan!

Kian Lee dan Liang Wi Nikouw berjalan memasuki terowongan dengan cepat namun dengan hati-hati sekali. Lorong terowongan itu menurun dan agak gelap karena hanya diterangi oleh lampu-lampu minyak yang dipasang di sepanjang dinding terowongan. Setiap sepuluh meter terdapat seorang penjaga yang berdiri dengan tombak di tangan. Penjaga pertama yang mendengar ada ribut-ribut di luar, lupa akan tugasnya memeriksa kartu undangan.

“Apakah yang terjadi di luar?” tanyanya.

“Di luar ada pemberontakan. Cepat saudara ke luar!” kata Kian Lee.

Penjaga itu terkejut dan cepat berlari ke luar. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw terus berjalan masuk dan kepada penjaga ke dua dan ke tiga, Kian Lee berhasil menarik perhatian mereka dengan berita pemberontakan itu sehingga mereka pun bergegas lari keluar menyeret tombak mereka.

Akan tetapi penjaga ke empat yang berada di sebuah tikungan, menghardik,
“Harap Ji-wi perlihatkan kartu undangan Ji-wi!”

Penjaga ini agaknya sudah merasa kesal berjaga terus di situ maka biarpun sikapnya masih menghormat, namun suaranya sudah tidak ramah lagi terhadap para tamu.

Kian Lee pura-pura merogoh saku dan mendekati penjaga itu. Tangannya keluar dari saku bukan untuk menyerahkan kartu undangan, melainkan untuk bergerak cepat menotok sehingga penjaga itu roboh sebelum sempat berteriak. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw terus masuk makin dalam dan kini para penjaga makin berkurang, jarak penjaga makin jauh sehingga mudah bagi Kian Lee untuk merobohkan setiap orang penjaga tanpa ada yang mengetahuinya.

Akhirnya mereka keluar dari terowongan dan tiba di tempat terbuka, di lembah itu yang ternyata penuh dengan bangunan rumah-rumah yang dibagi menjadi dua kelompok, dipisahkan oleh sebuah lapangan yang luas yang terletak di tengah-tengah.

Kian Lee dan Liang Wi Nikouw menyelinap di antara bangunan-bangunan itu sambil memeriksa keadaan dengan hati-hati sekali. Dengan isyarat tangannya, Kian Lee mengajak nikouw tua itu untuk meloncat naik ke atas wuwungan sebuah bangunan besar dan dari atas wuwungan ini mereka mengintai. Sinar bulan cukup terang sehingga mereka dapat meneliti keadaan di lembah itu.

Kelompok bangunan di sebelah kiri terdiri dari rumah-rumah biasa dengan kebun-kebun yang rimbun dan subur, dimana selain terdapat banyak pohon-pohon yang berbuah, juga terdapat sayur-sayuran dan bunga-bungaan. Akan tetapi kelompok ke dua yang berada di sebelah kanan itu sangat aneh bentuknya.

Rumah-rumah di kelompok ini bangunannya seperti tempurung yang tertelungkup dan tidak nampak pintu atau jendela biasa, hanya kelihatan sebuah lubang yang agaknya merupakan pintu. Anehnya, di sekitar rumah-rumah luar biasa ini tidak terdapat sebatang pun pohon atau tumbuh-tumbuhan. Bahkan tanahnya kelihatan putih kering ditimpa sinar bulan, retak-retak seperti tanah kapur.

Dari wuwungan itu, nampak para tamu berkumpul di lapangan, yaitu lapangan luas di antara dua kelompok rumah itu. Selain penerangan yang didapat dari sinar bulan, juga di situ dipasangi banyak lampu dan lentera besar sehingga cuaca cukup terang.

Para tamu yang banyak juga jumlahnya telah berkumpul di situ duduk di kursi yang diatur menjadi lingkaran besar yang kesemuanya menghadap ke tengah lapangan di mana terdapat semacam panggung tempat duduk fihak tuan rumah dan para tamu kehormatan.

Kian Lee mencari-cari dengan pandang matanya, akan tetapi dia tidak menemukan Cui Lan dan Hok-taijin di antara para tamu. Kembali dia memandang ke arah panggung dan melihat Khiu-pangcu dan beberapa orang lain yang tidak dikenalnya.

Banyak orang aneh di situ, di antaranya terdapat seorang yang bertubuh tinggi tegap, usianya tidak lebih dari tiga puluh tahun, kulitnya gelap coklat, hidungnya mancung agak melengkung dan matanya cekung ke dalam, alisnya tebal, dan jelas bahwa dia bukanlah orang Han asli, melainkan ada miripnya dengan orang India. Di belakangnya duduk banyak pengawalnya, rata-rata bertubuh tinggi dan lengannya berbulu.

Kian Lee menduga bahwa mereka ini tentu orang-orang Nepal, melihat dari pakaian dan juga sorban mereka. Hanya orang muda berpakaian indah di depan itulah yang tidak bersorban. Selain mereka, masih banyak terdapat orang-orang aneh yang dilihatnya tadi memasuki terowongan.

Dengan hati-hati Kian Lee lalu mengajak Liang Wi Nikouw turun dan mempergunakan kesempatan selagi para tamu masih hilir-mudik karena agaknya pertemuan itu belum dimulai, untuk menyelinap masuk di antara para tamu dan memilih tempat duduk di bagian para tamu perorangan yang tidak merupakan rombongan. Dengan demikian, maka mereka bercampur dengan tamu-tamu yang tidak saling mengenal sehingga mereka pun tidak menarik perhatian, sungguhpun ada beberapa orang di antara mereka yang memandang ke arah Liang Wi Nikouw dengan curiga.

Akan tetapi, Liang Wi Nikouw yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa dia menghadiri pertemuan orang-orang dari golongan hitam, maka sengaja dia tersenyum-senyum dan “memasang” muka bengis, sehingga semua orang menduga bahwa dia pun seorang anggauta kaum sesat yang bersembunyi di balik kedok nikouw! Dia dan Kian Lee lalu menanti dengan hati berdebar, tidak tahu apa yang akan terjadi dan mengapa demikian banyaknya tokoh-tokoh lihai dari golongan hitam berkumpul di situ.

Akan tetapi yang dicari-cari oleh Kian Lee sejak tadi adalah Cui Lan dan Hok-taijin dan selagi dia menduga-duga di mana kiranya dua orang itu ditahan, tiba-tiba terdengar bunyi canang dipukul di tengah-tengah lapangan itu. Semua orang memperhatikan ke tengah lapangan karena bunyi canang itu menandakan bahwa pertemuan mulai dibuka.

Bulan bersinar terang tanpa halangan awan, menimpa muka semua tamu yang diangkat memandang ke arah panggung untuk menanti siapa yang akan muncul sebagai pembuka acara dan terutama sekali untuk melihat wajah tuan rumah.

Tidak ada seorang pun di antara para tamu itu yang pernah bertemu dengan ketua Huang-ho Kui-liong-pang, sungguhpun mereka semua telah mendengar bahwa ketua itu adalah seorang yang luar biasa lihainya, seorang aneh yang baru kurang lebih dua tahun ini menjadi ketua Kui-liong-pang.

Tadinya, ketua dari Kui-liong-pang adalah Khiu-pangcu itulah. Akan tetapi semenjak munculnya tokoh aneh yang berilmu tinggi itu bersama belasan orang anak buahnya yang rata-rata juga berilmu tinggi, Khiu Sek lalu menggabungkan diri dan tokoh luar biasa itu diangkat menjadi ketua pertama sedangkan dia sendiri cukup puas menjadi ketua ke dua saja. Maka kini semua tamu ingin sekali melihat bagaimana macamnya ketua yang kabarnya merupakan seorang tokoh luar biasa itu.

Akan tetapi, ternyata yang bangkit berdiri dari kursinya dan kini berjalan ke tengah panggung adalah Khiu Sek atau Khiu-pangcu sendiri. Setelah menjura ke empat penjuru, memberi hormat kepada semua tamu kehormatan yang duduk di panggung, Khiu-pangcu lalu berkata,

“Cu-wi sekalian yang terhormat. Pertama-tama atas nama pangcu kami dan seluruh perkumpulan Kui-liong-pang, kami menghaturkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cu-wi sekalian. Sebelum maksud undangan kami kepada Cu-wi kami bentangkan secara jelas, lebih dulu kami ingin memperkenalkan perkumpulan kami kepada Cu-wi.”

Selanjutnya, dengan suara lantang Khiu-pangcu lalu memperkenalkan perkumpulannya, betapa dua tahun yang lalu perkumpulannya menjadi makin kuat setelah memperoleh seorang ketua baru yang amat sakti. Betapa kemudian rombongan dari Gunung Cemara, perkumpulan wanita Hek-eng-pang menjadi iri dan timbul bentrokan di antara mereka sehingga terjadi pertempuran besar.

“Karena munculnya seorang tokoh rahasia yang hanya kami kenal dengan sebutan Siluman Kecil, pertempuran itu dapat dihentikan dan ketua kami berkenan mengampuni Hek-eng-pang. Akan tetapi akhir-akhir ini mereka kembali mencari gara-gara dengan mencoba untuk merebut mangsa kami, yaitu harta pusaka dari keluarga Jenderal Kao Liang yang mengundurkan diri”

Kembali Khiu Sek menceritakan semua peristiwa mengenai perebutan harta pusaka keluarga Jenderal Kao itu.

“Gara-gara ikut campurnya fihak Hek-eng-pang yang hendak merebut mangsa kami, maka semua usaha menjadi gagal dan baru-baru ini kami telah mengirim pasukan untuk menghukum Hek-eng-pang dan membakar tempat mereka! Betapapun juga, mangsa kami itu telah lolos dan harta pusaka itu lenyap tanpa bekas, kami dan Hek-eng-pang yang bentrok sendiri tidak ada yang mendapatkannya.”

“Hi-hi-hik!”

Suara tertawa merdu seorang wanita itu memecahkan kesunyian dan terdengar jelas sekali. Semua orang menengok ke arah suara ini, juga Khiu-pangcu dengan alis berkerut menoleh ke arah gadis cantik jelita yang berpakaian serba merah muda itu, karena yang tertawa adalah gadis cantik ini. Biarpun dia sudah tidak tertawa lagi, akan tetapi gadis ini masih menutupi mulutnya dengan tangan, dan matanya berseri menahan kegelian hatinya.

Merah muka Khiu Sek karena dia merasa ditertawakan. Akan tetapi, sebagai seorang tuan rumah, dia menahan kemarahannya dan dengan suara lantang dia menegur,

“Harap Ang-siocia suka menjelaskan mengapa mentertawakan kami?” Lalu ditambahkannya untuk memperkenalkan nona itu kepada para tamu, “Cu-wi sekalian, yang baru saja tertawa adalah Ang-siocia, murid yang mewakili gurunya hadir di sini, yaitu Hek-sin Tou-wong!”

Mendengar nama Hek-sin Touw-wong, semua orang memandang kagum. Raja Maling itu terkenal sekali, dan baru sekarang mereka melihat bahwa Raja Maling yang menyeramkan itu mempunyai seorang murid yang demikian cantiknya, yang pakaiannya serba merah muda dan rapi sehingga kelihatan seperti seorang gadis bangsawan saja!