FB

FB


Ads

Rabu, 06 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 026

Seperti telah diceritakan di bagian depan Suma Kian Lee tidak berdaya dan menjadi setengah tawanan dari Hek-eng-pang karena Hek-eng-pang mengancam akan membunuh Cui Lan dan Gubernur Hok kalau dia melawan.

Akan tetapi munculnya Ang Tek Hoat membuka rahasianya dan akhirnya dalam pertandingan melawan Tek Hoat, dia dikeroyok dan roboh pingsan. Ketika Kian Lee sadar kembali, dia telah berada di dalam sebuah kamar dan dijaga oleh empat orang wanita anggauta Hek-eng-pang yang cantik-cantik. Begitu siuman, dia bangkit duduk dan siap untuk mengamuk, akan tetapi seorang wanita cantik yang dia tahu merupakan seorang di antara kepala-kepala pasukan di Hek-eng-pang, muncul dan berkata,

“Harap kau suka tenang, Kongcu. Kalau tidak, terpaksa dua orang kawanmu itu kami bunuh!”

Teringat akan Cui Lan dan Hok-taijin, Suma Kian Lee tenang kembali dan dia bangkit duduk dan berkata,

“Sesungguhnya, apakah yang kalian kehendaki dari aku?” Dia memandang ke kanan kiri dan bertanya lagi, “Mana ketua kalian itu? Dan mana pula Tek Hoat? Suruh mereka bicara dengan aku!”

“Pangcu sedang pergi dan aku yang diberi tugas untuk minta agar kau mengaku saja semuanya, Suma-kongcu. Bukankah sudah jelas bahwa yang merampas harta keluarga Kao adalah seorang pemuda yang dikenal sebagai Suma-kongcu dan menjadi saudaramu? Nah, sekarang, demi keselamatan dua orang kawanmu itu, terutama dara cantik jelita yang selalu menanyakan keadaan dan mengkhawatirkan keselamatanmu itu, yang agaknya adalah.... eh, kekasihmu.“

“Jangan bicara sembarangan!”

Kian Lee menghardik dan mukanya berubah merah. Ia tahu betapa lembut dan halus perasaan Cui Lan, betapa dara itu masih mengkhawatirkannya, akan tetapi hal itu bukan berarti dara itu cinta kepadanya karena hati dan cinta kasih dara itu telah ditumpahkan kepada Siluman Kecil!

“Maaf, Kongcu. Sekarang, demi keselamatan mereka, harap Kongcu berterus terang saja, dimana adanya harta itu dan agar dikembalikan kepada kami untuk ditukar dengan dua orang kawanmu.”

“Kalian adalah orang-orang bodoh yang suka menuduh orang secara ngawur saja!” Kian Lee berkata dengan nada menyesal. ”Aku bukanlah orang-orang macam kalian yang suka membohong, apalagi menghendaki barang orang lain. Sesungguhnya, aku sama sekali tidak tahu tentang harta itu. Kalau kau tidak keberatan, ceritakanlah kepadaku apa yang telah terjadi?”

Wanita cantik itu tersenyum, seolah-olah dia tahu bahwa Kian Lee berpura-pura. Lalu dia menarik napas panjang dan berkata,

“Kongcu, engkau membuat tugas kami menjadi lebih berat lagi. Kenapa masih pura-pura tidak tahu kalau yang melakukan ini adalah saudaramu sendiri?”

Kian Lee menahan kesabarannya.
“Aku memang mempunyai saudara yang sedang kucari-cari, akan tetapi saudaraku bukanlah perampok atau penculik! Nah, sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa dalam hal ini. Kau mau menjelaskan atau tidak terserah!”

Melihat sikap ini, wanita itu menjadi ragu-ragu dan dia pun bercerita,
“Kami mendengar bahwa keluarga Jenderal Kao Liang telah mengundurkan diri dan hendak pulang ke kampung membawa harta yang besar. Karena rombongannya akan lewat tidak jauh dari sini, maka pangcu lalu memerintah kami untuk menghadang dan merampas harta pusaka itu. Kami sudah hampir berhasil, akan tetapi ternyata banyak fihak lain yang juga mengandung niat yang sama dengan kami.

Mereka adalah orang-orang lembah, yaitu perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang yang menjadi musuh besar kami. Kemudian dalam perebutan harta pusaka keluarga Kao itu muncul pula pengawal-pengawal kerajaan yang menyamar, dan kami mendengar pula nama Suma-kongcu. Karena kami tidak berhasil merampas harta, juga fihak Kui-liong-pang tidak pula, sedangkan para pengawal itu telah kami hancurkan, maka tinggal Suma-kongcu itulah yang mencurigakan dan tentu dia yang telah merampas harta pusaka keluarga Kao.”

“Hemmm, dan di mana adanya keluarga Kao sendiri?”

Wanita itu tersenyum dan mencibirkan bibirnya yang merah.
“Mereka terculik dan kami tidak tertarik oleh hal itu. Kami hanya mementingkan harta pusaka dan karena jelas bahwa harta itu dirampas oleh Suma-kongcu, sedangkan engkau adalah saudaranya, maka kami mengharap bantuanmu untuk mengembalikan harta itu kepada kami sebagai penukaran diri dua orang kawanmu.”

Akan tetapi Kian Lee sudah tidak mempedulikan omongan wanita itu lebih lanjut karena dia sudah melamun! Kini mengertilah dia mengapa hal-hal aneh itu terjadi kepadanya. Jenderal Kao dan dua orang puteranya menyerangnya, tentu mereka itu pun mendengar bahwa Suma kongcu yang tentu saja kalau memang benar demikian adalah adiknya, Kian Bu, yang mencuri harta mereka dan menculik keluarga mereka. Pantas saja jenderal itu dan dua orang puteranya menyerang dia! Tentu ini fitnah belaka! Tidak mungkin adiknya, Suma Kian Bu, telah berubah menjadi garong! Apalagi menjadi penculik!

Ini tentu fitnah! Dan dia berkewajiban untuk membongkar rahasia ini. Dia harus dapat menemukan keluarga Jenderal Kao dan menemukan harta yang dirampas orang, bukan hanya untuk membantu keluarga Jenderal Kao itu melainkan juga untuk membersihkan nama adiknya dari fitnah.

Akan tetapi sebelum dapat mencari keluarga Jenderal Kao dan harta pusakanya itu, lebih dulu dia harus dapat meloloskan diri dari tempat ini tanpa membahayakan Cui Lan dan Gubernur Hok. Ah, betapa banyaknya hal yang harus dikerjakan, betapa banyaknya halangan dihadapinya dalam perjalanannya kali ini. Masih ada lagi tugas yang juga amat penting, yaitu menyelidiki dan membebaskan Pangeran Yung Hwa!

“Biarkan aku bicara sendiri dengan Tek Hoat dan dengan ketua kalian,” akhirnya dia berkata. “Terjadi salah duga atau fitnah keji dalam hal ini,” hanya demikian jawabnya dan akhirnya wanita itu pun meninggalkannya, mengatakan bahwa ketua Hek-eng-pang yang pergi bersama Si Jari Maut belum pulang.






Sampai hari menjadi malam, ketua Hek-eng-pang dan Si Jari Maut belum juga pulang dan malam ini terjadilah peristiwa hebat di puncak Gunung Cemara. Di waktu malam gelap itu, secara tiba-tiba orang-orang lembah, yaitu musuh besar perkumpulan Hek-eng-pang, datang menyerbu! Mereka ini adalah orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang yang datang secara tidak terduga-duga dan menyerang perkampungan Hek-eng-pang dengan hebat, membakari rumah di situ.

Pihak Hek-eng-pang tentu saja melakukan perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena sebagian besar di antara mereka pergi bersama ketua mereka, maka jumlah mereka kalah banyak, dan juga tanpa adanya ketua mereka, para anggauta Hek-eng-pang ini lemah semangatnya dan akhirnya mereka melarikan diri cerai-berai mencari keselamatan, meninggalkan rumah-rumah mereka yang menjadi lautan api!

Tentu saja Kian Lee yang terkejut oleh penyerbuan ini, cepat meninggalkan tempat tahanannya. Para wanita yang menjaga kamar tahanan juga sudah tidak ada lagi dan di dalam keributan itu, Kian Lee tidak mau ikut campur, melainkan langsung saja dia mencari Cui Lan dan Gubernur Hok.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia tiba di tempat tahanan dua orang itu, dia melihat dua orang penjaganya, yaitu wanita-wanita anggauta Hek-eng-pang yang ditugaskan menjaga dan menodong mereka, telah menggeletak tewas dan di dalam kamar itu tidak lagi nampak bayangan Cui Lan dan Hok-taijin. Kian Lee lalu berlari ke sana-sini mencari-cari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan jejak dua orang itu.

Ketika dia melihat orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang meninggalkan Gunung Cemara sambil bersorak-sorak seperti barisan tentara menang perang, Kian Lee diam-diam membayangi mereka. Akan tetapi, gerombolan orang-orang dari lembah itu menggunakan perahu-perahu melanjukan perjalanan mereka dan terpaksa Kian Lee lalu membayangi terus di sepanjang pantai sungai.

Sampai pagi hari, perahu-perahu itu terus meluncur dan Kian Lee juga terus membayanginya. Tibalah mereka di sebuah dusun di pinggir sungai dan perahu-perahu itu berhenti mendarat. Akan tetapi tidak semua anggauta Kui-liong-pang mendarat sehingga Kian Lee tidak tahu di mana adanya Cui Lan dan Gubernur Hok, di perahu yang mana. Selagi dia ragu-ragu dan menduga-duga, siap untuk menyerbu dan menolong Cui Lan dan Gubernur Hok, tiba-tiba dia dikejutkan oleh teriakan orang di belakangnya.

“Eh, inilah dia pemuda itu!”

Kian Lee cepat menengok dan dia melihat Honan Cui-lo-mo Wan Lok It, tokoh jagoan dari Gubernur Ho-nan itu, yang gendut dan rambutnya merah, tak pernah melepaskan sebuah guci arak! Bersama kakek ini, ada pula belasan orang anak buahnya dan agaknya mereka tiba di dusun ini dalam usaha mereka mencari-cari Gubernur Hok dan juga dia sendiri.

Kian Lee terkejut dan diam-diam dia mengharapkan agar Gubernur Hok dan Cui Lan jangan keluar dari tempat mereka, karena kalau sampai ketahuan, tentu akan ditangkap dan sukar baginya untuk melindungi mereka.

Ciu-lo-mo sudah menerjang dengan guci araknya sebagai senjata, dibantu belasan orang itu yang sudah mengurung Kian Lee. Pemuda ini menganggap bahwa andaikata Cui Lan dan Gubernur Hok ditawan orang-orang lembah, keadaan mereka lebih aman daripada kalau ditawan oleh orang-orang ini, karena orang-orang lembah itu belum tahu siapa adanya Hok-taijin, sedangkan orang-orang ini adalah kaki tangan Gubernur Ho-nan.

Maka dia lalu melompat merobohkan dua orang anak buah Si Setan Arak Tua dari Ho-nan itu dan melarikan diri, untuk memancing mereka menjauhi perahu-perahu itu yang diduganya menawan Cui Lan dan Hok-taijin. Benar saja, Cui-lomo dan anak buahnya cepat melakukan pengejaran. Setelah jauh, barulah Kian Lee membalik dan menghadapi mereka dengan tenang, menanti kedatangan mereka dan mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka.

Akan tetapi, begitu orang-orang itu tiba di depannya dan sebelum mereka menyerangnya terdengar bentakan halus,

“Omitohud....! Tahan senjata.... pinni hendak bicara....!”

Semua orang menengok ke arah datangnya suara itu dan muncullah seorang nikouw (pendeta wanita) tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil dan mukanya pucat, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang membuat Kian Lee mengenal bahwa nikouw itu bukan sembarang orang. Nikouw itu memegang sebatang tongkat panjang dan dengan pandang mata menyelidik, dia bertanya kepada Ho-nan Ciu-lo-mo dengan suara nyaring,

“Apakah kalian orang-orang Kui-liong-pang?”

Ciu-lo-mo Wan Lok It memandang marah, akan tetapi karena dia berhadapan dengan seorang nikouw, dia menahan kemarahannya dan berkata,

“Harap Losuthai jangan menduga sembarangan dan mengira kami adalah orang-orang dari perkumpulan kotor itu. Kami adalah pasukan dan utusan dari Kui-taijin, Gubernur Ho-nan!” Ciu-lo-mo mengangkat dada untuk membanggakan kedudukannya sebagai utusan gubernur.
Akan tetapi sungguh celaka, ketika nikouw itu mendengar bahwa dia adalah utusan Gubernur Ho-nan, wajah nikouw itu menjadi merah dan sinar matanya menunjukkan kemarahan.

“Bagus! Sungguh kebetulan sekali. Justeru kalian inilah orang-orang yang harus pinni cari. Hayo lekas katakan, di mana adanya Phang Cui Lan? Apa yang terjadi dengan dia?”

Ho-nan Cui-lo-mo Wan Lok It adalah seorang jagoan Ho-nan yang sama sekali tidak mengenal nikouw ini. Maka tentu saja dia tidak menjadi takut, bahkan dia menghadapi kemarahan nenek ini dengan muka tidak senang. Apalagi sekarang nenek itu menyebut nama Phang Cui Lan, gadis pelayan istana gubernur yang telah berkhianat dan membantu larinya Gubernur Ho-pei, musuh dari Gubernur Ho-nan.

“Hemmm.... nikouw tua....“ katanya, kini kurang nada hormatnya. “Apa maksudmu menanyakan gadis pelayan yang berkhianat itu?”

Nikouw itu makin marah.
“Kau ini siapa? Dan apa kedudukanmu di gubernuran?”

Ditanya demikian, Wan Lok It menepuk dadanya.
“Belum mengenal aku? Inilah Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It dan aku adalah pengawal pribadi Gubernur Ho-nan! Gadis bernama Phang Cui Lan itu adalah seorang pengkhianat, apa maksudmu menanyakan gadis itu?”

“Omitohud! Sungguh kebetulan sekali. Tentu orang-orang macam engkau inilah yang membujuk gubernur untuk mencelakai gadis itu. Pinni mendengar bahwa gadis itu dikejar-kejar oleh orang-orangnya gubernur, bahkan hendak membunuh. Benarkah begitu?”

“Benar sekali! Dan apakah engkau tahu di mana dia bersembunyi? Kalau kau berani melindunginya, engkau akan celaka!”

“Omitohud, sungguh berani mati! Eh, Setan Arak, Nona Phang itu adalah seorang sahabat pendekar Siluman Kecil yang dititipkan Gubernur Ho-nan, dan sekarang berani kalian hendak membunuh dia! Bukankah dengan demikian gubernur tidak menghargai beliau? Awas, kalau sampai terjadi sesuatu dengan nona itu, gubernur dan semua kaki tangannya tentu tidak akan bebas dari hukuman!”

Kian Lee merasa kagum dan heran mendengar ucapan nikouw itu. Kiranya nikouw tua yang lihai dan berwibawa ini juga merupakan seorang pembantu dari pendekar yang terkenal dengan sebutan Siluman Kecil! Dia kagum karena selain pendekar itu mempunyai banyak pembantu dan namanya amat dikenal dan disegani semua orang, juga ternyata bahwa pendekar itu mempunyai rasa setia kawan yang besar, dan juga semua kawan-kawannya demikian tunduk dan setia kepadanya.

Betapa banyaknya orang yang setia kepada pendekar itu dari seorang gadis cantik jelita dan halus budi seperti Cui Lan, sampai kepada orang-orang kasar seperti para pemburu yang menolongnya keluar dari terowongan saluran air itu dan nikouw tua yang menimbulkan rasa hormat ini.

Akan tetapi orang yang sudah biasa mengandalkan kepandaiannya sendiri, kedudukannya dan banyak kawan seperti Cui-lo-mo tidak merasa takut menghadapi nikouw itu, bahkan dia menjadi marah sekali.

Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Siluman Kecil yang kabarnya muncul seperti siluman, membasmi orang-orang jahat akan tetapi tidak pernah dapat dilihat dengan nyata orangnya itu, yang pernah pula membasmi penjahat yang mengganggu Propinsi Ho-nan dan juga dihormati oleh gubernur sendiri.

Akan tetapi, dia sendiri belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, maka tentu saja dia tidak mau tunduk begitu mudah, apalagi yang muncul hanya seorang nikouw tua sepertl itu, yang berani mengeluarkan kata-kata keras bernada mengancam terhadap gubernur dan kaki tangannya!

“Eh, nikouw tua! Hati-hati engkau bicara, atau kau kutangkap sebagai seorang kaki tangan pengkhianat!”

“Hemmm, Setan Arak. Kalau kau berani, boleh coba kau tangkap pinni!” jawab nikouw itu.

“Bagus! Engkau yang menantang, jangan nanti persalahkan aku dan mengatakan aku tidak menghormat seorang pendeta wanita tua!” Ho-nan Cui-lo-mo lalu menerjang maju dengan gucinya, menyerang nikouw itu.

“Trang-trang-tringgggg....!”

Tongkat nikouw itu menangkis guci dan ketika ada arak muncrat dari guci itu ke arah mukanya, nikouw itu hanya meniup dan arak itu pecah dan buyar. Kemudian tongkatnya membalas dan ternyata serangan balasan nikouw itu pun kuat sekali sehingga mengejutkan Ho-nan Ciu-lo-mo. Maklum bahwa nenek itu ternyata merupakan lawan yang cukup tangguh, dia lalu meneriaki anak buahnya untuk maju mengeroyok.

“Sungguh tak tahu malu!”

Kian Lee membentak dan pemuda ini melompat maju, mengamuk dan dalam beberapa gebrakan saja para anak buah dari gubernuran itu cerai-berai dan kacau-balau, bahkan Si Setan Arak sendiri terdorong mundur oleh hawa pukulan yang keluar dari tangan Kian Lee.

Wan Lok It bukan orang bodoh. Dia memang sudah tahu bahwa pemuda itu lihai, akan tetapi dengan mengandalkan belasan orang anak buahnya yang merupakan pengawal-pengawal pilihan dari gubernuran hatinya menjadi besar dan dia tadi hendak menangkap pemuda itu. Namun siapa tahu, di situ muncul nikouw yang juga lihai dan dengan majunya nikouw itu bersama si pemuda lihai, tentu saja dia dan kawan-kawannya merasa kewalahan dan akhirnya larilah mereka sambil menyeret teman-teman yang terluka.

Nikouw itu memandang kepada Kian Lee dengan kagum lalu berkata memuji,
“Omitohud! Pinni sungguh keliru dan tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata. Kongcu memiliki kepandaian yang amat tinggi dan tadi pinni mengkhawatirkan keselamatan Kongcu. Sungguh menggelikan!”

Kian Lee menjura kepada nikouw tua itu dan berkata,
“Suthai membela Nona Phang, hal itu saja sudah menunjukkan bahwa Suthai adalah seorang sahabat. Saya pun sedang mencari dia dan hendak menolongnya dari cengkeraman orang-orang jahat.”

“Ohhhhh.... begitukah? Di mana dia dan bagaimana Kongcu bertemu dengan dia?”

“Mari kita mengejar perahu-perahu yang tadi berlabuh di dusun sana, Suthai. Kalau tidak salah, Nona Phang dan seorang.... paman dibawa di dalam sebuah diantara perahu-perahu itu. Mari kita mengejar dan nanti saya ceritakan kepada Suthai tentang pertemuan antara kami.”

Kian Lee dan nikouw tua itu mengejar dan ternyata bahwa perahu-perahu itu telah lama pergi. Kiranya begitu melihat keributan di darat, perahu-perahu itu tidak jadi singgah dan melanjutkan perjalanan cepat-cepat sehingga tidak nampak lagi.

Kian Lee lalu mengajak nikouw itu mengejar dengan cepat di sepanjang pinggir sungai. Dalam perjalanan ini dia menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Phang Cui Lan dan dengan singkat dia bercerita bahwa Cui Lan bersama dengan seorang kakek melarikan diri dari gubernuran Ho-nan, dikejar-kejar dan dia sendiri terjerumus ke dalam terowongan saluran air. Diceritakannya betapa dia telah ditolong oleh Cui Lan yang mengerahkan teman-temannya para pemburu sehingga dia selamat.

“Ah,.... kiranya Kongcu yang ditolong itu? Pinni mendengar dari para pemburu tentang itu, dan dari mereka itulah pinni tahu bahwa nona Phang dikejar-kejar dan hendak dibunuh, maka pinni mewakili beliau untuk menegur gubernur Ho-nan dan untuk menyelamatkan Nona Phang.

”Maksud Suthai beliau Si Siluman Kecil?” Kian Lee bertanya.

“Siapa lagi?” Nenek itu mengangguk. “Lalu bagaimana, harap Kongcu lanjutkan.”

“Saya mengantar Nona Phang untuk mengungsi ke Ho-pei, akan tetapi di tengah jalan kami ditangkap oleh gerombolan Hek-eng-pang. Karena mereka itu mengancam hendak membunuh Nona Phang, terpaksa saya menyerah. Dan malam tadi, Hek-eng-pang diserang oleh gerombolan lain yang menjadi musuh mereka. Saya dapat terbebas, akan tetapi ketika saya mencari Nona Phang, dia telah lenyap. Mungkin sekali ditawan oleh gerombolan yang melarikan diri dengan perahu-perahu itu. Sayang sebelum saya berhasil mendapatkan apakah Nona Phang berada di perahu itu, muncul si Setan Arak yang mengenal saya ketika terjadi keributan di gubernuran Ho-nan dan dia menyerang saya sehingga perahu-perahu itu sempat pergi.”

Nikouw itu mendengarkan dengan penuh perhatian.
”Ah, kalau begitu Kongcu telah banyak membela dan melindungi Nona Phang dan dengan demikian maka boleh dibilang Kongcu adalah seorang sahabat juga dari beliau.”

Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat namun belum juga dapat menyusul perahu-perahu itu. Hati Kian Lee makin tertarik kepada tokoh yang berjuluk atau dijuluki Siluman Kecil itu.

“Suthai, siapakah sebenarnya Siluman Kecil itu? Siapa namanya dan dia datang dari mana?”

Tiba-tiba nikouw tua itu berhenti dan memandang kepada Kian Lee dengan sinar mata penuh selidik dan kecurigaan. Akan tetapi melihat sikap Kian Lee tenang-tenang dan biasa saja, dia menjawab,

“Pinni juga tidak tahu banyak. Yang pinni ketahui hanyalah bahwa beliau sering kali datang ke kuil kami dan bercakap-cakap dengan Subo. Beberapa hari yang lalu beliau datang dan setelah bercakap-cakap dengan Subo, pinni dipanggil dan diserahi tugas untuk menyelidiki keadaan Nona Phang.”

Nikouw itu menghentikan ceritanya dan jelas bahwa dia enggan untuk banyak bicara tentang tokoh itu. Tentu saja sikap ini bahkan makin menarik hati Kian Lee.

“Telah lama saya mendengar nama besar Siluman Kecil. Ingin sekali saya bertemu dengan orangnya dan berkenalan,” katanya.

“Hemmm, tidak mudah!” Nikouw itu menggeleng kepala dan mereka melanjutkan perjalanan. “Sungguh sangat sukar bertemu dan berkenalan dengan beliau, sama sukarnya dengan mendaki puncak Thai-san! Beliau tidak suka bertemu orang, bahkan dengan sahabat-sahabat yang amat dipercayanya pun jarang bertemu.”

Setelah itu, nikouw tua yang mengaku berjuluk Liang Wi Nikouw itu tidak mau lagi bicara tentang Siluman Kecil. Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, namun anehnya, mereka tidak juga dapat menyusul rombongan perahu itu. Namun mereka terus mengejar dengan cepat sekali.

Hari telah sore. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya kehilangan teriknya yang hebat. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw tiba di daerah yang berbatu-batu, batu karang yang tajam meruncing dan sukar dilewati. Namun berkat ginkang mereka, keduanya masih dapat melanjutkan perjalanan, sungguh pun dengan hati-hati dan meloncat dari batu ke batu.

Terdengar suara air bergemuruh. Kiranya dibagian yang berbatu-batu itu merupakan tebing yang curam sekali dan air sungai itu kini menjadi air terjun yang amat terjal. Keduanya mendekati dan menjenguk ke bawah. Tinggi sekali tempat itu dan air sungai itu terjun ke tempat yang dalamnya sampai ratusan meter! Air yang menghantam batu-batu di bawah berubah menjadi uap dan dari atas kelihatan gelap seolah-olah mereka berdiri di atas awan.

Jauh sekali di bawah, di sekitar air terjun yang tertutup awan air itu, nampak dikelilingi tebing yang amat curam dan agaknya tidak mungkin di datangi manusia. Dan di antara tebing-tebing itu, seolah-olah dikelilingi tebing yang curam, terdapat tanah datar yang luas dan nampaklah beberapa petak rumah yang dlingkari tembok seperti benteng berdiri di tanah datar itu.

“Ah, ada perkampungan di sana!” Nikouw itu berkata.

“Dan agaknya perahu-perahu yang lenyap itu telah disembunyikan dan sangat boleh jadi bahwa perkampungan di bawah itulah perkampungan orang-orang yang menyerang Gunung Cemara, yang disebut orang-orang lembah atau Perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang.”

“Akan tetapi, sungai ini bukan Sungai Huang-hoi” nikouw itu berkata heran.

“Memang bukan, akan tetapi saya rasa merupakan cabang Sungai Huang-ho dan mereka itu adalah bajak-bajak Sungai Huang-ho maka memakai nama demikian. Kalau saya tidak salah menduga, Suthai, di sanalah adanya Nona Phang dan Paman Hok.”

“Siapa Paman Hok itu?”

Kian Lee tidak mau sembrono membuka rahasia Gubernur Ho-pei, maka dia menjawab,
“Seorang pekerja di Gubernuran Ho-nan yang membantu Nona Phang melarikan diri.”

“Kita harus dapat turun ke sana untuk menyelidiki,” kata Liang Wi Nikouw.

“Memang benar, akan tetapi bagaimana kita dapat turun ke sana?”

Mereka lalu mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada jalan turun yang merupakan jalan manusia, juga mereka tidak berhasil menemukan jalan rahasia. Jalan turun satu-satunya menuju ke perkampungan di bawah sana itu hanya menuruni tebing curam itu!

“Nona Phang harus ditolong!” kata si nikouw tua. “Kalau terpaksa, kita harus mendaki tebing dan turun ke sana.”

Kian Lee mengangguk.
“Tebing ini biarpun curam, namun terdiri dari batu karang yang runcing dan kuat. Kita dapat merayap turun. Akan tetapi kalau dilakukan di waktu cuaca masih terang, amat berbahaya, Suthai. Kalau kita sedang merayap lalu diserang dari bawah atau dari atas, bagaimana kita dapat menyelamatkan diri? Lebih baik menanti sampai cuaca mulai gelap. Nah, baru kita merayap turun.”

Nikouw itu mengangguk-angguk.
“Kongcu benar dan cerdik, biarlah kita menanti sampai gelap.”

Mereka lalu mencari tempat duduk untuk menanti datangnya gelap dan mereka mencari batu yang agak datar di antara batu-batu karang yang kasar dan runcing itu. Dengan duduk bersila di atas batu yang datar, mereka mengaso, melepaskan lelah dan menanti sampai matahari tenggelam di barat. Liang Wi Nikouw sudah duduk bersila dan tenggelam dalam samadhi.

Tiba-tiba batu itu bergerak. Bahkan bergeser! Cepat Kian Lee menyambar lengan nikouw itu, dibawanya meloncat turun dan mereka lalu bersembunyi di balik batu karang yang besar, dan mengintai dengan mata terbelalak heran dan kaget.

Batu yang tadi mereka duduki itu terus bergeser, terdengar suara berderit dan ternyata di bawah batu itu terdapat sebuah lubang yang besar. Sebuah mulut terowongan! Kiranya batu yang mereka jadikan tempat mengaso itu merupakan sebuah pintu rahasia!

Terdengar suara orang dan muncullah belasan orang dari dalam lubang, dikepalai oleh seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh kecil dan pendek. Orang ini sikapnya tenang dan angkuh, tanda bahwa dia adalah seorang yang memiliki kekuasaan di antara teman-temannya itu. Dan kenyataannya memang demikianlah.

Dua orang anak buahnya cepat-cepat membersihkan permukaan batu yang menjadi pintu itu dengan sapu tangan, mengebut bersih debu yang menempel di atas batu itu dan mempersilahkan kakek bertubuh kecil pendek itu untuk duduk di situ. Sedangkan dua belas orang anak buah itu hanya duduk sembarangan saja di sekitar tempat itu.

“Ji-pangcu (Ketua ke Dua), apakah para tamu sudah akan datang?” seorang yang duduk paling dekat bertanya.

Kakek kecil itu mengangguk. Dengan mata disipitkan dia memandang ke depan, merenung jauh.
“Tadi sudah ada tanda rahasia bahwa mereka akan datang, maka kita harus bersiap-siap menyambutnya di sini”.

Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi di balik batu karang besar, mendekam, mengintai dan mendengarkan dengan perasaan tegang. Mereka sudah bersepakat untuk tidak sembarangan turun tangan sebelum dapat menyelamatkan Nona Phang dan “paman” Hok, karena kalau mereka itu belum diselamatkan lebih dulu, tentu sukar bagi mereka untuk turun tangan.