FB

FB


Ads

Rabu, 06 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 025

Tentu saja permainannya yang luar biasa itu disambut tepuk tangan riuh, dan si kakek Nepal bangkit berdiri, menjura ke empat penjuru dan matanya yang seperti menjuling di atas sebatang hidung melengkung itu mengerling ke arah Siang In yang diam-diam juga terkejut bukan main, maklum bahwa kakek Nepal itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh dalam ilmu sihir.

Hidangan besar dan arak mulai membanjiri meja-meja para tamu dan mulailah para tamu bergembira makan dan minum arak. Minuman keras itu membuat mereka menjadi gembira dan obrolan diantara mereka menjadi makin terlepas dan bebas. Kini di atas panggung diadakan pertunjukan pelawak dan lawakan mereka membuat para tamu yang mulai terpengaruh minuman keras itu tertawa bergelak. Suasana menjadi meriah dan gembira sekali.

Para anggauta Hek-eng-pang yang menyamar sebagai pelayan-pelayan yang dikirim oleh Si Jari Maut sebagai sumbangan kepada Hwa-i-kongcu, dengan sikapnya membantu pelayanan hidangan untuk para tamu sedangkan sebagian pula mulai menyelidiki tempat persembunyian pengantin wanita yang harus mereka culik.

Di panggung kini terjadi pertunjukan yang amat menarik, yaitu kekuatan minum arak! Dan kembali kakek Nepal yang bernama Gitananda dan yang tadi bermain sulap, memperlihatkan kepandaiannya yang hebat. Dia menantang jago-jago minum untuk adu kuat minum arak melawan dia dan sudah ada tiga orang roboh pingsan karena mabuk melawan Gitananda.

Mereka digotong ke luar. Kini yang menghadapinya adalah seorang kakek bertubuh pendek, perutnya sebesar gentong dan kepalanya botak, orang ini terkenal sebagai “setan arak” di antara kawan-kawannya dan perutnya yang gendut luar biasa dan kepalanya yang botak itu kabarnya juga karena kebanyakan minum arak!

Cawan demi cawan diminum oleh Gitananda dan lawannya yang baru ini setiap cawan yang memasuki mulut mereka diikuti sorak-sorai para tamu yang menonton pertandingan yang menggembirakan ini.

“Ah, aku haus sekali, sungguh tidak memuaskan minum dari cawan yang kecil ini. Kesinikan dua guci penuh!”

Tiba-tiba Gitananda bertepuk tangan dan seorang pelayan segera berlari mengambilkan dua guci penuh arak yang digotong oleh empat orang pelayan dan diletakkannya dua buah guci arak itu ke atas meja. Gitananda tertawa memandang kepada lawannya yang gendut.

“Bagaimana kalau kita minum dari guci ini saja?”

Si gendut tersenyum.
“Silakan kau dulu!” dia menantang.

Gitananda lalu mengangkat guci itu menempelkan bibir guci ke mulutnya dan terdengarlah suara menggelogok ketika dia menuangkan isi guci ke dalam perut melalui mulutnya. Lama sekali dia minum sampai akhirnya guci itu kosong dan dia meletakkan guci itu di atas meja.

Semua orang mengeluarkan seruan kaget, heran dan kagum sekali. Satu guci arak itu biasanya dihabiskan oleh delapan orang atau satu meja untuk satu kali perjamuan. Akan tetapi sekarang ditenggak habis sekaligus oleh kakek Nepal ini.

Sungguh merupakan hal yang luar biasa.
“Ha-ha-ha, giliranmu!” kata Gitananda kepada Si gendut.

Dengan dorongan kawan-kawannya, akhirnya Si gendut yang terkenal sebagai setan arak itu pun mengangkat gucinya dan seperti yang dilakukan oleh lawannya tadi, dia pun menenggak arak itu langsung dari gucinya.

Lebih lama lagi dia minum, mukanya sampai ke botak-botaknya menjadi merah dan ketika akhirnya dia menghabiskan arak itu, gucinya terlepas dari tangannya dan jatuh menggelinding ke atas lantai. Si gundul botak itu sendiri tertawa aneh, lalu bangkit perutnya yang gendut menjadi makin besar dan matanya menjadi merah. Suara ketawanya menunjukkan bahwa dia telah menjadi mabuk!

“Heh-heh-heh.... kau hebat.... heh-heh, aku kalah deh....“

Si gendut bangkit berdiri, terhuyung kembali ke kursinya, akan tetapi hampir dia jatuh. Untuk menahan tubuhnya, tangannya diulur untuk meraih pinggang seorang dayang atau seorang pelayan wanita yang sedang lewat membawa baki. Akan tetapi pelayan itu, yang bukan lain adalah seorang anggauta Hek-eng-pang, dengan mudah mengelak dengan menggerakkan pinggul dan miringkan tubuh.

Tentu saja karena raihan tangannya dielakkan, tubuh si gendut mendoyong ke depan. Akan tetapi ternyata setan arak ini bukan hanya kuat minum arak, melainkan juga pandai ilmu silat dan biarpun dia mabuk sekali, dalam keadaan mendoyong hampir jatuh itu kedua tangannya dapat bergerak cepat ke samping untuk merangkul, sekali ini rangkulannya ditujukan kepada buah pinggul yang menonjol besar itu.






Semua tamu tertawa menyaksikan ini. Akan tetapi dengan gerakan lincah, si pelayan itu kembali mengelak. Masakan yang berada di dalam mangkok di atas bakinya sama sekali tidak tumpah, dan sekali ini si gendut tidak dapat mencegah lagi tubuhnya yang limbung. Dia jatuh! Kembali semua orang menertawakannya.

“Ehhhhh!”

Si Gendut yang merasa malu karena ditertawakan menjadi marah kepada pelayan itu. Begitu dia terguling, kakinya mencuat untuk menyerampang kaki si pelayan agar jatuh bersama dia. Akan tetapi kembali dia keliru karena pelayan itu meloncat dan kembali dapat menghindarkan diri, terus menyelinap pergi. Para tamu bertepuk tangan memuji kelincahan pelayan wanita itu.

Sementara itu, Hak Im Cu, seorang tosu tinggi kurus yang wajahnya bengis, yang amat tinggi ilmu silatnya dan terkenal sebagai seorang ahli ginkang dan yang menjadi seorang di antara pembantu-pembantu utama Hwa-i-kongcu, diam-diam menjaga keamanan bersama dua orang temannya untuk menjamin keselamatan Hwa-i-kongcu dan Liong-sim-pang. Mereka adalah tiga orang dan sesungguhnya mereka itu bukan anggauta Liong-sim-pang, melainkan tamu-tamu, juga mereka bertiga merupakan sahabat-sahabat dan pembantu-pembantu utama.

Di samping tosu Hak Im Cu ini, masih ada dua orang lain yang tidak kalah lihainya. Yang pertama adalah Ban-kin-kwi Kwan Ok, yang sebaya dengan Hak Im Cu, berusia kurang lebih enam puluh tahun. Berbeda dengan Hak Im Cu yang tinggi kurus dan ahli ginkang, Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan tenaganya sekuat gajah!

Adapun yang ke dua atau orang ke tiga di antara tiga sekawan ini adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, juga usianya kurang lebih enam puluh tahun, tubuhnya gemuk pendek dan kepalanya gundul akan tetapi dia bukan seorang pendeta, melainkan seorang bekas bajak tunggal yang amat terkenal karena selain ahli bermain di air juga dia seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga dalam kuat sekali.

Memang tadinya tiga orang ini bukan merupakan sahabat-sahabat. Akan tetapi, ketiganya diundang oleh Hwa-i-kongcu dan menjadi pembantu utama, tentu saja mereka menjadi sahabat yang memiliki keahlian berbeda-beda.

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, tiga orang lihai ini pernah muncul di Telaga Sungai, ketika terjadi perebutan anak ular naga di telaga tersebut dan biarpun tiga orang ini lihai sekali, namun karena di telaga itu berkumpul banyak sekali orang-orang pandai, mereka tidak berhasil mendapatkan anak naga itu.

Demikianlah keadaan singkat tiga orang pembantu utama Hwa-i-kongcu yang kini telah berada di tempat pesta itu. Sejak semula, mereka sudah agak curiga ketika mendengar bahwa Si Jari Maut mengirim sumbangan berupa wanita-wanita pelayan yang cantik-cantik itu, maka diam-diam mereka, terutama sekali tosu Hek Im Cu, memasang mata dan mencurahkan perhatian kepada para pelayan itu.

Peristiwa yang terjadi ketika seorang pelayan hendak dirangkul setan arak yang gendut, melihat cara pelayan itu menghindarkan diri, membuat Hak Im Cu menjadi makin curiga. Jelas bahwa pelayan itu memiliki ilmu silat cukup tinggi sehingga dapat menghindarkan tubrukan dan terkaman si gendut sedemikian mudahnya dan dalam gerakannya mengelak itu, baki tidak terguling bahkan kuah dalam mangkok tidak tumpah.

Biarpun yang mengirim Si Jari Maut yang terkenal, namun pelayan-pelayan yang pandai ilmu silat sungguh mencurigakan. Apalagi pemimpin pelayan itu, yang cantik dan agung dan yang kini tidak nampak.

Hak Im Cu lalu menghubungi dua orang temannya, mereka berbisik-bisik, lalu dengan tergesa-gesa ketiganya menuju ke belakang untuk menyelidiki dan kalau perlu mengumpulkan pelayan-pelayan sumbangan itu untuk memeriksa mereka.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara terompet dan canang di pukul gencar. Itulah tanda bahaya dan tak lama kemudian terdengarlah teriakan-teriakan bahwa pengantin puteri diculik orang! Gegerlah keadaan dalam pesta itu ketika suara berisik ini terdengar dan mereka mendengar bahwa pengantin puteri diculik orang.

Keributan ini disusul oleh keributan lain yang lebih meributkan ketika para pelayan wanita itu, dengan menggunakan batu yang memang sudah mereka persiapkan sebelumnya, ada pula yang menggunakan mangkok piring menyambit ke arah lampu-lampu di seluruh tempat sehingga lampu-lampu itu pecah dan padam.

Keadaan menjadi gelap gulita dan tentu saja para tamu menjadi panik, kecuali mereka yang berkepandaian tinggi, karena mereka ini maklum bahwa terjadi hal hebat dan cepat mereka menggunakan kepandaian untuk bersiap-siap turun tangan membantu fihak tuan rumah.

Tentu saja Siang In juga terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak mengira bahwa akan terjadi hal seperti itu. Ketika teman-temannya para penari menjerit dan berkumpul menjadi satu dalam keadaan ketakutan, dia sendiri cepat meloncat dan menyelinap di antara orang-orang yang sedang panik, melihat para pelayan wanita menyambiti lampu-lampu dengan ketepatan seorang ahli, dia memaki kebodohan sendiri yang tidak menduga bahwa pelayan-pelayan wanita itu ternyata adalah orang-orang yang mempunyai niat sama dengan dia yaitu menculik sang puteri!

Dia berlari terus menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi dan benar saja, tepat seperti yang dikhawatirkannya, sang puteri telah lenyap dan di situ terdapat Hwa-i-kongcu dan para pembantunya. Hwa-i-kongcu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang dikatakannya tolol.

“Kejar! Isteriku harus dapat dirampas kembali!” teriaknya marah-marah dan dari tempat persembunyiannya Siang In melihat betapa tosu tinggi kurus, raksasa tinggi besar muka hitam, dan si gemuk pendek berkepala gundul itu berkelebat dengan kecepatan yang mengejutkan, melakukan pencarian atau pengejaran tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun.

Dia terkejut. Kiranya Hwa-i-kongcu dibantu orang-orang pandai. Namun toh Syanti Dewi dapat diculik orang. Hal ini menunjukkan betapa lihainya si penculik yang agaknya dibantu oleh para pelayan wanita.

Dia meninggalkan tempat sembunyinya untuk melakukan pengejaran pula. Dia harus mendapatkan Syanti Dewi karena agaknya, terjatuh ke tangan siapa pun juga, kecuali ke tangannya, tentu Puteri Bhutan itu akan celaka. Ketika dia ke luar, ternyata di sana-sini telah terjadi pertempuran-pertempuran hebat antara wanita-wanita pelayan dan para pengawal dan anak buah Hwa-i-kongcu.

Kini jelaslah sudah bahwa pelayan-pelayan wanita itu adalah serombongan orang yang menyamar untuk menculik sang puteri! Dan ternyata mereka itu terdiri dari orang-orang lihai, sama sekali bukan lawan para pengawal Hwa-i-kongcu atau anggauta-anggauta Liong-sim-pang biasa saja.

Hanya tiga orang lihai tadi yang dapat mengatasi mereka dan mulailah ada beberapa orang wanita pelayan roboh dan selebihnya lalu melarikan diri, dikejar oleh tiga orang itu dan para anak buah Liong-sim-pang.

Tamu-tamu makin panik dan sebagian besar menyelamatkan diri dengan sembunyi di balik semak-semak atau pohon-pohon di dalam taman, ada pula yang begitu saja memasuki kamar-kamar, tidak peduli kamar siapa, dan ada pula yang menyelinap ke dalam dapur, tidak peduli pakaian dan mukanya penuh hangus. Hanya yang berkepandaian saja membantu para anggauta Liong-sim-pang melakukan pengejaran kepada rombongan wanita pelayan yang ternyata merupakan gerombolan penculik itu.

Ternyata orang-orang Hek-eng-pang amat cerdik dan sebelum mereka melakukan penculikan, sebagian di antara mereka telah mengatur “jalan lari” untuk kawan-kawannya. Kini, mereka mengikuti jalan yang mereka buat, dan dipimpin oleh Hek-eng-pangcu sendiri, yaitu Yang-liu Nio-nio, mereka berserabutan memasuki taman melalui jalan yang sudah direncanakan semula.

“Penculik-penculik hina, hendak lari ke mana kalian?”

Hak Im Cu mengejar dan paling cepat larinya tosu ini karena dia memang seorang ahli ginkang yang hebat.

“Liong-li, bawa dia ini!”

Yang-liu Nionio berteriak dan melemparkan tubuh Syanti Dewi yang sudah ditotoknya itu ke arah muridnya itu. Liong-li menyambut tubuh itu dan terus melarikan diri, sedangkan Yang-liu Nio-nio menyambut serangan pedang Hak Im Cu dengan ranting yang-liu yang tadi dipegangnya.

“Singgg.... trakkkkk!” Pedang itu tertahan oleh ranting dan keduanya lalu bertempur seru.

Sementara itu, para pengawal yang melihat pengantin wanita dilarikan seorang pelayan dan belasan pelayan lain, cepat mengejar. Liong-li lari bersama teman-temannya, meloncati jalan di antara semak-semak. Para pengawal atau anak buah Liong-sim-pang mengejar.

“Blarrr....!”

Terjadi ledakan keras dan empat orang anak buah Liong-sim-pang terlempar ke sana-sini oleh ledakan itu. Kiranya di situ sudah dipasang jebakan semacam ranjau oleh orang-orang Hek-eng-pang yang tadi meloncati tempat itu. Anak buah Liong-sim-pang yang tidak tahu tentu saja berlari biasa dan menginjak ranjau itu.

Bersama bunyi ledakan, Yang-liu Nio-nio diikuti oleh beberapa orang anak buahnya juga lari karena Ban-kin-kwi Kwan Ok dan Hai-liong-ong Ciok Gu To telah tiba di situ. Melihat adanya tiga orang yang amat lihai ini, Yang-liu Nionio mengajak anak buahnya lari dan mereka menyelinap di semak-semak belukar di luar taman.

“Keparat jangan lari!”

Hak Im Cu memaki dan mengejar, akan tetapi tiba-tiba semak-semak itu terbakar dan nyalanya demikian besar karena ternyata semak-semak itu telah disiram minyak. Terpaksa tiga orang lihai ini tidak berani menerjang api dan mengambil jalan memutar.

Mereka melihat wanita tua cantik memegang ranting itu bersama lima orang wanita pelayan lain menyeberangi jembatan di luar taman. Tentu saja dengan cepat mereka mengejar. Wanita-wanita itu telah tiba di seberang jembatan dan baru saja Hak Im Cu dan kawan-kawannya tiba di jembatan dan meloncat ke atasnya, tiba-tiba jembatan itu ambruk!

Tentu saja ini pun buatan para anggauta Hek-eng-pang. Untung bahwa yang berada di jembatan itu adalah Hak Im Cu bertiga yang tentu saja dapat meloncat kembali ke belakang dan tidak sampai ikut terjatuh bersama jembatan itu.

Hak Im Cu dan teman-temannya, juga para anak buah Liong-sim-pang cepat mengejar para wanita yang telah tiba di tembok yang mengelilingi tempat markas Liong-sim-pang itu. Dengan gerakan-gerakan yang amat ringan, mereka meloncat ke atas tembok, didahului oleh Liong-li yang memondong tubuh Syanti Dewi.

“Ha-ha-ha, kalian hendak lari kemana?”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan kiranya di atas tembok, di menara penjagaan, telah nongkrong seorang tinggi besar bersorban yang bukan lain adalah Gitananda, tokoh aneh dari Nepal tadi!

“Liong-li, lari....!”

Yang-liu Nio-nio berteriak dan dia sendiri menggunakan ranting yang-liu, langsung menubruk dan menyerang kakek Nepal itu. Si kakek Nepal terkejut karena tahu bahwa serangan nenek cantik ini cepat dan kuat bukan main, maka dia pun menggerakkan tongkatnya menangkis dan mereka segera bertempur di dalam menara penjagaan itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong-li untuk berloncatan pergi ke tempat di mana Tek Hoat dan para anak buah Hek-eng-pang yang lain sudah siap dengan kuda mereka.

Hak Im Cu dan kawan-kawannya tidak mempedulikan nenek yang masih bertanding melawan orang Nepal itu, karena bagi mereka yang terpenting adalah merampas kembali pengatin wanita yang terculik, maka mereka lalu mengerahkan para anak buah Liong-sim-pang untuk mengejar melalui pintu gerbang sedangkan mereka bertiga sendiri melakukan pengejaran dari atas dengan berlompatan.

Melihat bahwa anak muridnya dan para anak buah Hek-eng-pang sudah berhasil keluar dari tembok, Yang-liu Nio-nio cepat mendesak kakek Nepal, dengan gerakan ranting yang-liu dan ketika kakek itu menangkis dengan tongkatnya, tangan kirinya melakukan pukulan atau cengkeraman mautnya, yaitu Hek-eng-jiauw-kang yang hebat bukan main. Dari jari-jari tangannya yang dibentuk seperti kuku garuda itu menyambar hawa dahsyat sekali.

“Ehhhhh....!”

Gitananda terkejut dan cepat meloncat ke belakang, akan tetapi dia melihat nenek cantik itu pun meloncat jauh dan melarikan diri di dalam gelap. Karena malam itu gelap dan penerangan dari atas tembok tidak berapa besar, maka kakek Nepal yang hanya menjadi tamu ini tidak mau membahayakan dirinya. Dia maklum bahwa mengejar seorang lawan pandai di tempat gelap amatlah berbahaya, maka dia pun melakukan pengejaran seenaknya saja, dengan sikap amat berhati-hati.

Kini terjadilah kejar-kejaran di luar tembok dan di tempat terbuka di daerah Pegunungan Lu-liang-san, di malam gelap itu. Akan tetapi sebentar saja, para wanita yang memang sebelumnya sudah mengatur jalan dengan cerdiknya, dapat melarikan diri di tempat gelap dan terus dikejar oleh para anggauta Liong-simpang yang dipimpin oleh Hak Im Cu dan dua orang temannya, bahkan kemudian Hwa-i-kongcu pengantin pria yang gagal itu pun melakukan pengejaran sendiri.

Kita tinggalkan dulu para penculik Syanti Dewi yang melarikan diri dan dikejar oleh anggauta Liong-sim-pang, dan juga secara diam-diam dikejar pula oleh seorang gadis cantik, yaitu Siang In dan mari kita kembali mengikuti keadaan Suma Kian Lee yang menjadi tawanan Hek-eng-pang.

**** 025 ****