FB

FB


Ads

Rabu, 06 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 022

Kian Lee maklum bahwa biarpun mereka ini bukan bajak, namun dibandingkan dengan para bajak tadi mereka ini mungkin lebih berbahaya lagi! Maka dia menggeleng kepala dan berkata,

“Satu kali saja kami membawa orang-orang tadi dan kami menemui kesukaran. Tidak, kami mau melanjutkan perjalanan kami sendiri, harap kalian tidak mengganggu kami.”

Nenek itu memandang dan matanya berkilat. Belum pernah dia dibantah orang, apalagi yang membantahnya hanya seorang nelayan biasa saja! Akan tetapi untuk langsung turun tangan terhadap seorang nelayan juga dia merasa enggan dan hal itu amat merendahkan dirinya.

“Jangan banyak membantah, orang muda. Aku melihat engkau seorang nelayan yang masih muda dan baik. Kalau kau tidak mau mengantarkan kami, terpaksa aku akan memaksa kalian bertiga meninggalkan perahu ini sekarang juga seperti yang telah dilakukan oleh para bajak tadi. Nah, pikir baik-baik. Bukankan lebih baik mengantarkan kami dan menerima upah selayaknya?”

Akan tetapi Kian Lee, seorang pendekar yang tidak biasa mengalah dan merendahkan diri terhadap siapapun juga, yang tidak pernah merasa takut, saat itu lupa bahwa dia harus mengalah demi keselamatan Cui Lan dan Gubernur Hok. Dia merasa betapa dia dipandang rendah sekali, maka dia tetap menggeleng kepala.

Nenek itu mulai penasaran.
“Kau tetap membantah? Kalau begitu, biarlah kau terjun ke air dan biar nelayan tua itu yang mengantar kami!”

Sambil berkata demikian tangannya bergerak mendorong ke arah Kian Lee. Tentu saja dia tidak menggunakan tenaga terlalu keras karena bukan maksudnya untuk melukai seorang nelayan, hanya untuk menakut-nakutinya saja. Kalau nelayan itu sudah terlempar ke air, tentu akan tobat dan akan suka mengantarkannya.

“Plak!”

Kian Lee menangkis dan nenek itu terkejut bukan main. Tangkisan itu membuat lengannya bergetar! Maklumlah dia mengapa tadi Kim-hi Niocu melaporkan bahwa nelayan ini sudah merobohkan beberapa orang anak buahnya. Kiranya ada “isinya” juga pemuda ini, pikirnya. Akan tetapi tetap saja dia memandang rendah dan mengira bahwa pemuda itu hanya seorang nelayan yang pernah memperoleh bimbingan seorang ahli silat maka mempunyai sedikit kemampuan.

“Berani kamu melawanku? Nah, terimalah ini!”

Sekarang dia menyerang dengan tangan kanannya, mendorong ke arah dada Kian Lee, akan tetapi juga hanya mengerahkan separuh tenaganya saja karena dia tetap belum berniat membunuhnya. Kian Lee melihat serangan ini dan dia pun mendorongkan tangannya memapaki.

“Desss....! Eihhhhh....!”

Hek-eng-pangcu yang berjuluk Yang-liu Nio-nio itu menjerit kaget ketika dia terhuyung ke belakang dan hanya dengan berjungkir-balik saja dia mampu menghindarkan tubuhnya terjengkang. Matanya terbelalak dan kemudian menyipit ketika dia memandang kepada Kian Lee penuh perhatian.

Mukanya menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Dia yang terkenal sekali dan ditakuti banyak orang kang-ouw, yang tadi dengan amat mudahnya membuat kepala bajak Huangho Lo-cia yang tersohor itu roboh dalam satu gebrakan saja, kini dibuat terhuyung oleh seorang nelayan muda! Dengan suara mendesis seperti seekor ular marah, nenek itu lalu membentak,

“Bocah, kau sudah bosan hidup!”

Kini dia menyerang benar-benar! Ranting yang-liu di tangannya, yang amat ampuh dan yang membuat dia dijuluki Yang-liu Nio-nio kini bergerak, berubah menjadi sinar hijau menyambar kearah kepala Kian Lee.

Pemuda itu maklum bahwa biarpun hanya merupakan sebatang ranting yang-liu namun kalau digerakkan dengan pengerahan sinkang yang kuat dapat menjadi senjata yang ampuh, cepat mengelak. Lima kali berturut-turut sinar hijau itu menyambar-nyambar ke arah kepalanya dan selalu dapat dielakkan dengan baik oleh Kian Lee.

Tiba-tiba tangan kanan nenek itu memukul dadanya dari depan, sekali ini dengan pengerahan tenaga sepenuhnya karena dia kini benar-benar ingin membunuh pemuda yang telah membikin malu padanya, membuatnya terhuyung tadi. Kian Lee juga memapakinya dengan tangan kiri, mengerahkan sinkang Swat-im Sin-kang yang amat dahsyat itu, tentu saja dengan mengendalikan tenaganya karena dia pun tidak ingin membunuh orang.

“Desssss....!”

Kini tubuh nenek itu benar-benar terjengkang di atas papan perahu dan dengan mata terbelalak mulutnya mendesis-desis dan tubuhnya menggigil karena dia diserang hawa dingin yang menusuk tulang. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Yang-liu Nio-nio. Dia memandang ke arah Kian Lee dengan mata terbelalak.

“Sssss.... siapa engkau....?”

Tanyanya karena kini dia sadar bahwa nelayan muda itu benar-benar seorang yang amat hebat kepandaiannya, dan dia terheran-heran mengapa orang sehebat ini datang bersama kawanan bajak tadi. Dia khawatir sekali kalau-kalau pemuda ini kawan dari bajak-bajak tadi dan tentu akan membalas dendam.

“Aku? Aku adalah seorang nelayan, engkau sudah mengetahuinya, Toanio,” katanya.

Tiba-tiba Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan tangannya dan Kim-hi Nio-cu mengeluarkan suara melengking. Itulah isyarat untuk anak buahnya dan dengan pimpinan dia sendiri, Kim-hi Niocu dan anak buah atau pasukannya itu meloncat terjun ke air. Kian Lee terkejut ketika merasa betapa perahu yang ditumpangi itu bergerak-gerak dan Cui Lan menjerit ngeri.






“Heh-heh-heh, orang muda yang aneh!” Hek-eng-pangcu berkata. “Bagaimana sekarang, apakah engkau masih hendak berkeras, dan tidak mau menyerah? Kalau begitu, kami akan menenggelamkan perahumu!” Nenek itu meloncat ke perahunya sendiri.

“Tahan!”

Kian Lee terpaksa berseru. Dia sendiri tidak takut menghadapi mereka di air sekali pun. Akan tetapi Cui Lan dan Gubernur Hok tentu akan celaka karena mereka tidak pandai renang. Pula, kalau dia melindungi mereka berdua di air sambil menghadapi pengeroyokan orang-orang Hek-eng-pang itu, rasanya berat juga dan amat membahayakan keselamatan Cui Lan dan Hok-taijin.

“Baiklah, aku menyerah.”

“Suruh nelayan tua dan nona itu pindah ke perahu sini dulu!”

Nenek yang cerdik itu membentak. Dia memang dapat menduga bahwa pemuda hebat itu hanya mau menyerah karena mengkhawatirkan keselamatan dara muda dan kakek yang kelihatan lemah itu.

Kian Lee terpaksa mengangguk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin karena di atas sungai itu tidak ada lain jalan. Hanya menyerah sajalah yang paling aman. Mereka itu tentu tidak akan mengganggu Cui Lan dan Hok-taijin selama dia tidak melawan, karena yang mereka butuhkan hanya perahu itu saja.

Cui Lan dan Hok-taijin lalu meninggalkan perahu itu dan pindah ke perahu si nenek. Betapapun juga, Cui Lan bersikap tenang karena yang menawannya adalah wanita-wanita, bukan laki-laki kasar seperti para bajak tadi. Empat orang anggauta Hek-engpang, dipimpin oleh Kim-hi Nio-cu sendiri lalu berlompatan ke atas perahu Kian Lee setelah melihat bahwa dua orang kawan pemuda itu berpindah perahu.

“Mari berangkat!”

Nenek itu berseru dan bergeraklah empat buah perahu itu meluncur ke depan dengan cepatnya. Kim-hi Nio-cu mendekati Kian Lee yang memegang kemudi perahu. Sambil tersenyum manis kepala Pasukan Air yang cantik itu menatap wajah Kian Lee dengan penuh kagum. Seorang nelayan muda yang demikian tampan dan gagah, memiliki kepandaian hebat sehingga mampu menandingi ketua atau gurunya, benar-benar sukar ditemukan di dunia ini!

Melihat wanita cantik berusia tiga puluh tahun yang berpakaian serba hitam yang pakaiannya basah kuyup sehingga pakaian itu melekat di tubuhnya memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh yang sedang masak-masaknya, Kian Lee mengalihkan pandang matanya, tidak mau melihat bentuk tubuh yang agaknya sengaja dipamerkan padanya itu.

Melihat ini, Kimhi Nio-cu tersenyum lebar, kemudian terkekeh geli karena dia menganggap sikap Kian Lee itu sikap seorang muda yang masih hijau dan yang malu-malu. Padahal pemuda itu sudah mempunyai isteri! Kemudian dia teringat bahwa isteri pemuda itu berada di perahu lain maka dia menganggap bahwa sikap Kian Lee itu tentu karena marah dan khawatir akan nasib isterinya.

“Jangan kau khawatir, asal engkau tidak membangkang perintah Pangcu, isterimu itu tentu tidak akan diganggu.”

“Isteri? Dia bukan isteriku,” jawab Kian Lee.

Karena Cui Lan tidak terancam seperti ketika para bajak laut tadi hendak kurang ajar, maka dia tidak perlu lagi mengaku sebagai suami dara itu, pikirnya.

“Ahhh....!”

Kim-hi Nio-cu berseru kaget dan girang. Jadi pemuda ini benar-benar masih perjaka, pikirnya kagum.

“Dan kakek itu?”

Kian Lee teringat bahwa dua orang itu, terutama Hok-taijin, harus menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menjawab cepat,

“Dia adalah sahabatku, dan gadis itu puterinya. Kami sedang mencari ikan ketika bajak-bajak itu memaksa kami membawa mereka sampai bertemu dengan kalian.”

“Dan kau begitu gagah dan berkepandaian tinggi....!”

Kian Lee tersenyum mengejek.
“Dan tidak berdaya karena kecurangan kalian!”

Kim-hi Nio-cu tertawa kecil dan menutupi mulut dengan gaya genit.
“Kami golongan wanita, selain menggunakan ilmu silat juga harus menggunakan akal dan siasat menghadapi kaum pria. Hihik. Eh, pemuda yang lihai, siapakah namamu?”

“Tidak perlu mengenal namaku, kuberitahu pun kau takkan mengenalku.”

“Wah-wah, tanpa nama bagaimana dapat menyebut dan memanggilmu?” Kim-hi Nio-cu tertawa genit karena dia makin tertarik kepada pemuda yang aneh ini.

“Hemmm, sebut saja aku Nelayan” kata Kian Lee yang memang tidak ingin memperkenalkan namanya sembarangan saja.

“Eh, Nelayan Muda, ya, kusebut kau Nelayan Muda, yang tampan dan gagah!”

Kian Lee merasa jemu dan membuang muka, selanjutnya tidak melayani lagi semua kata-kata Kim-hi Nio-cu yang jelas amat tertarik kepadanya.

Pelayaran itu makan waktu lama juga, sampai sehari semalam barulah si nenek memerintahkan semua perahu ke pinggir. Selama itu, Kian Lee, Cui Lan dan Hok-taijin tidak mendapat gangguan, dan diajak makan bersama dengan baik, hanya Kian Lee yang selalu diganggu oleh rayuan Kim-hi Nio-cu yang sama sekali tidak dilayaninya dan karena wanita itu maklum akan kelihaian pemuda itu maka dia pun tidak berani menggunakan paksaan.

Semua orang mendarat dan beberapa orang anggauta Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Kim-hi Nio-cu menodongkan pedang mereka ke punggung Cui Lan dan Hok-taijin. Karena ini maka Kian Lee tidak berdaya sama sekali dan dia pun ikut mendarat, akan tetapi dia tetap bersikap tenang. Nenek itu kini menghadapinya, memandang dengan penuh perhatian, kemudian berkata,

“orang muda, kami merasa kagum sekali padamu dan kami mengundangmu untuk datang berkunjung ke markas kami di puncak Bukit Cemara.”

Setelah berkata demikian, nenek itu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk berangkat.

“Tapi, Pangcu....!” Kian Lee membantah.

Kim-hi Nio-cu mendorong Cui Lan dan Hok-taijin ke depan dan dari jauh dia berkata kepada Kian Lee,

“Nelayan Muda, tidak ada yang boleh membantah kehendak Pangcu, apalagi beliau mengundangmu dengan baik-baik sebagai seorang tamu. Jangan sampai kami terpaksa harus menggunakan kekerasan terhadap dua orang kawanmu ini.”

Karena Cui Lan dan Hok-taijin di todong, maka terpaksa Kian Lee mengangguk dan mengikuti perjalanan mereka. Dia maklum bahwa selama dia tidak membantah, tentu dua orang itu selamat dan karena permintaan mereka itu pun bukan hal yang tidak patut, melainkan mengundangnya datang berkunjung, dia pun tidak keberatan. Pula, dia pun ingin mengenal markas perkumpulan yang semua anggautanya terdiri dari wanita-wanita yang memiliki kepandaian lumayan ini.

Belum jauh mereka berjalan, baru tiba di kaki bukit, mereka telah disambut oleh serombongan wanita yang dipimpin oleh seorang wanita muda berpakaian serba hitam seperti Kim-hi Niocu, mukanya putih dan manis dan rombongan ini segera memberi hormat kepada Hek-eng-pangcu dengan hormat.

Kiranya mereka itu adalah Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li. Tiba di lereng bukit, mereka disambut oleh Pasukan Kayu dan Kian Lee merasa makin kagum. Kiranya perkumpulan Hek-engpang itu sungguhpun merupakan perkumpulan kaum wanita, namun mempunyai disiplin yang baik dan semua anggautanya kelihatan gagah dan patuh kepada pimpinan mereka.

Setelah mereka tiba di puncak dimana terdapat markas perkumpulan itu yang merupakan sebuah perkampungan yang dikelilingi tembok seperti benteng dan mereka memasuki pintu gerbang, Kian Lee menjura ke arah nenek itu dan berkata,

“Saya kira cukup sampai di sini saja dan harap Pangcu suka membiarkan kami bertiga kembali ke perahu kami.”

Hek-eng-pangcu yang tadi merasakan kelihaian pemuda itu sudah merasa tertarik dan ingin sekali dia mendapatkan seorang pembantu selihai itu, maka mendengar ucapan itu dia menjawab dengan suara dingin.

“Kami bermaksud baik, hendak menjamu Sicu sebagai seorang tamu yang terhormat. Bawa mereka ke dalam!” perintahnya kepada Kim-hi Niocu yang segera menggiring Cui Lan dan Hok-taijin ke dalam di bawah todongan pedangnya.

Cui Lan menoleh dan memandang ke arah Kian Lee dengan alis berkerut dan melihat pemuda itu seperti orang marah, dia khawatir kalau-kalau pemuda itu menjadi marah dan mengamuk, maka dia cepat menggelengkan kepalanya dan tersenyum menenangkan hati Kian Lee. Kian Lee menarik napas panjang dan diam-diam dia memuji Cui Lan yang dalam segala hal selalu bersikap tenang dan tidak putus harapan, sama sekali tidak kelihatan khawatir.

Setelah dua orang itu “disimpan” nenek itu sendiri lalu mempersilakan Kian Lee memasuki ruangan luas di sebuah gedung pusat dimana akan diadakan pesta untuk merayakan kemenangan mereka yang berhasil membalas penghinaan yang ditimpakan kepada dua orang anggauta mereka. Kian Lee dipersilakan duduk di meja nenek itu sendiri dan tak lama kemudian hidangan-hidangan pun dikeluarkan.

“Saya harap Pangcu tidak melupakan dua orang kawan saya, karena kalau mereka itu sengsara, bagaimanapun saya tidak suka makan minum”, kata Kian Lee.

“Hemmm, Sicu benar-benar seorang gagah perkasa yang tahu akan setia kawan. Sungguh aku merasa kagum sekali. Jangan Sicu khawatir, dua orang kawanmu itu tidak akan mengalami suatu kesengsaraan apa pun dan mereka saat ini juga dijamu seperti Sicu, hanya tempatnya yang berbeda. Mari minum untuk persahabatan kita, Sicu.”

Tiba-tiba seorang anggauta Hek-engpang datang melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang hendak bertemu dengan pangcu.

“Siapa dia? Liong-li, kau lihat siapa dia dan apa niatnya!” .

Liong-li, kepala Pasukan Tanah yang hadir dalam pesta itu bersama empat orang kepala pasukan lainnya, cepat bangkit dan berjalan cepat keluar bersama anggauta yang melaporkan itu dan tak lama kemudian dengan wajah berubah lalu mendekati nenek itu dan berbisik,

“Pangcu, dia.... dia itu yang datang.... Si Jari Maut“

“Ahhh....? Persilakan dia masuk!” katanya dengan wajah berubah.

Dia dahulu telah mendengar laporan Kim-hi Nio-cu dan Liong-li tentang seorang pemudai lihai bukan main yang memesan kepada wanita itu agar mengatakan kepada ketuanya bahwa dia akan datang berkunjung dan kalau si ketua bertanya disuruh mengatakan bahwa dia adalah seorang yang biasa membunuh dengan jari tangan!

Hek-eng-pangcu sudah mendengar bahwa orang muda selihai itu yang biasa membunuh dengan jari tangan tentulah Si Jari Maut yang beberapa tahun yang lalu namanya menggetarkan dunia kang-ouw.

Kini ternyata pemuda itu benar-benar muncul! Padahal tadinya, diam-diam di dalam hatinya timbul dugaan bahwa pemuda nelayan itulah Si Jari Maut karena menurut berita, Si Jari Maut itu yang memiliki kesaktian hebat adalah seorang pemuda yang tampan. Sekarang kiranya bukan pemuda yang duduk di depannya ini.

“Aku sudah di sini, Pangcu!”

Tiba-tiba terdengar suara tenang, dingin dan tegas. Kian Lee terkejut bukan main ketika dia menoleh dan melihat bahwa orang yang masuk itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

“Saudara Ang...., kau di sini....?”

Tentu saja Kian Lee menegur dengan ragu-ragu dan heran karena sepanjang pengetahuannya, Ang Tek Hoat telah menjadi panglima di Bhutan, bahkan telah menjadi calon suami Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tempat ini dan mengaku lagi julukannya yang telah lama ditinggalkannya itu, julukan ketika Si Jari Maut ini masih menggunakan nama Gak Bun Beng, suhengnya, ketika pemuda ini memburuk-burukkan nama Gak Bun Beng dengan segala macam kejahatan karena menganggap Gak Bun Beng seorang musuh besarnya? Dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali diceritakan dengan jelas tentang peristiwa itu.

Pemuda itu memang Ang Tek Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia pernah bertemu dengan Kimhi Nio-cu dan Liong-li ketika dia menolong dua orang putera Jenderal Kao Liang yang terancam keselamatannya oleh dua orang dari Huang-ho Kui-liongpang, kemudian dia mengatakan kepada dua orang kepala pasukan Hek-eng-pang itu bahwa dia akan mengunjungi ketua mereka.

Ketika dia memandang kepada pemuda yang menyebutnya pada she-nya itu segera dia mengenal putera Pulau Es itu, putera Majikan Pulau Es! Bahkan dia pun tahu bahwa Suma Kian Lee ini terhitung masih paman tirinya sendiri. Suma Kian Lee adalah putera dari neneknya, Lulu dan Suma Han si Pendekar Super Sakti, sedangkan mendiang ayahnya yang amat jahat itu, Wan Keng In, adalah putera Lulu bersama seorang she Wan.

Akan tetapi, mengingat akan pesan ibunya yang kini telah tewas dalam cara yang menyedihkan sekali, biarpun dahulu dia tidak setuju dengan pesan ibunya, yaitu bahwa dia harus membalas dendam kepada keluarga Pulau Es, kini melihat Suma Kian Lee dia teringat akan ibunya dan hatinya menjadi dingin terhadap keluarga yang dibenci oleh ibunya itu. Dengan sikap dingin dan acuh tak acuh dia mengangguk kepada Kian Lee.

Tentu saja Kian Lee menjadi heran menyaksikan sikap Tek Hoat ini. Bukankah pemuda yang tadinya tersesat itu kabarnya telah menjadi baik kembali? Bukankah pemuda itu sudah maklum bahwa dia masih terhitung pamannya sendiri? Akan tetapi jelas bahwa sikap Tek Hoat seperti sikap seorang musuh! Ada apa pula ini?

“Aihhh.... Ji-wi (Anda Berdua) sudah mengenal?”

Hek-eng-pangcu terkejut dan heran, memandang kepada Kian Lee dengan kagum. Kiranya pemuda ini bukan orang sembarangan, bukan seorang nelayan biasa melainkan seorang sahabat dari Si Jari Maut yang amat tersohor itu!

Tek Hoat tersenyum mengejek dan sambil memandang kepada Suma Kian Lee, dia berkata,
“Siapa yang tidak mengenal Suma Kian Lee, saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka yang kalian cari-cari itu?”

Mendengar ini, nenek itu dan semua anak buahnya berteriak kaget dan otomatis mereka bergerak mengepung Kian Lee.

“Hemmm, bagus! Kiranya engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang mencuri harta keluarga Jenderal Kao? Kiranya engkau memang sengaja hendak menyelidiki dan memata-matai kami? Hayo katakan di mana harta itu, kalau kau tidak mengaku, jangan harap akan dapat lolos dari tempat ini!”

Yang-liu Nio-nio mengangkat tangannya dan seorang anak buahnya melemparkan sebatang ranting pohon yang-liu yang segar kepadanya.

Kian Lee memandang kepada Tek Hoat yang kini tersenyum-senyum duduk di atas sebuah kursi minum arak dan sikapnya sebagai orang yang menonton dan menikmati pertunjukan yang menyenangkan hati. Bermacam perasaan mengaduk hati Kian Lee. Pertama, dia teringat akan Cui Lan dan Hok-taijin yang masih terancam keselamatannya. Ke dua, dia merasa heran mendengar adiknya, Suma Kian Bu, merampok harta benda Jenderal Kao. Mungkinkah ini?

Akan tetapi kalau tidak, mengapa Jenderal Kao dan dua orang puteranya menyerang dia? Benarkah Kian Bu kini telah tersesat dan menjadi seorang perampok? Ke tiga, dia merasa gembira juga mendengar tentang Suma-kongcu yang tentu saja Kian Bu adanya, kalau tidak siapa lagi? Berita itu menandakan bahwa Kian Bu masih hidup dan berada di sekitar daerah ini. Ke empat, dia juga heran dan tidak mengerti melihat sikap Tek Hoat.

“Apa artinya ini? Aku tidak tahu sama sekali tentang harta pusaka Jenderal Kao!” teriaknya penasaran melihat dirinya dikepung oleh para anak buah Hek-eng-pang.

“Tak perlu menyangkal lagi, orang muda engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka Jenderal Kao, akan tetapi engkau menyamar sebagai seorang nelayan miskin. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa engkau sedang melakukan penyelidikan. Sekarang lekas mengaku, di mana saudaramu itu menyembunyikan harta pusaka itu, kalau tidak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan.”

Kian Lee menjadi marah. Apa pun yang dilakukan andaikata benar adiknya merampas harta pusaka keluarga Jenderal Kao, tentu telah diperhitungkan oleh adiknya itu dan tentu ada alasannya yang kuat.

“Pangcu, kau hendak menggunakan kekerasan bagaimana? Silakan!”

Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan ranting pohon yang-liu di tangan kirinya itu dan terdengarlah teriakan nyaring dari mulut lima orang wanita cantik, yaitu Kim-hi Nio-cu, Liong-li dan tiga orang kepala pasukan yang semua telah berkumpul di situ. Lima orang wanita cantik ini maju mengepung diiringi pasukan masing-masing yang terdiri dari dua belas orang sehingga ketika itu ada enam puluh orang wanita mengepung Kian Lee dari lima penjuru, semuanya memegang senjata!

“Hemmm, kalian sungguh nekad dan gila!” Kian Lee membentak. “Aku sungguh tidak tahu-menahu tentang harta pusaka yang kalian maksudkan itu, akan tetapi kalau kalian memaksa dan hendak bertanding, majulah!”

Kembali lima orang wanita cantik itu kini bergerak secara teratur sekali, membentuk lingkaran dan bergerak-geraklah lingkaran yang berlapis dua itu, yang sebelah dalam bergerak dari kanan ke kiri sedangkan yang sebelah luar bergerak sebaliknya dari kiri ke kanan. Senjata mereka berbeda, yang depan menggunakan golok dan pedang akan tetapi barisan lingkaran ke dua menggunakan tombak dan senjata bergagang panjang.

Yang-liu Nio-nio dan lima orang muridnya itu hanya berdiri di luar lingkaran, menonton dan mengatur barisan. Ketika Kian Lee melirik, dia melihat Tek Hoat masih duduk minum arak sambil tersenyum-senyum sehingga hatinya merasa mendongkol bukan main.

“Seranggggg....!”

Terdengar teriakan nenek itu dan lingkaran dalam itu segera berhenti gerakannya memutari tubuh Kian Lee dan berkelebatanlah pedang dan golok, menimbulkan sinar yang menyilaukan mata menyambar ke arah Kian Lee dari semua jurusan!

Pemuda ini tentu saja tidak dapat mengelak ke kanan atau kiri atau belakang karena senjata-senjata itu datang dari semua jurusan. Namun dia menggunakan keringanan tubuhnya dan tiba-tiba tiga puluh orang wanita dari barisan lingkaran pertama itu terkejut karena pemuda itu telah lenyap dari tengah-tengah mereka. Kiranya Kian Lee telah mencelat ke atas.

Nenek ketua Hek-eng-pang yang memimpin langsung penyerbuan itu berteriak lagi dan kini lingkaran pertama mundur dan lingkaran ke dua maju, menggunakan tombak mereka untuk menyambut tubuh Kian Lee yang melayang turun!

Pemuda ini terpaksa menggerakkan kedua tangannya, didorongkan ke sekelilingnya dan lingkaran pemegang tombak dan senjata panjang itu menjadi kalang kabut karena mereka terhuyung-huyung sebelum senjata mereka sempat menyentuh tubuh pemuda itu sehingga Kian Lee dapat turun ke atas lantai dengan selamat, akan tetapi kini dua barisan lingkaran itu telah mengepungnya lagi.

Wajah pemuda itu menjadi merah dan sinar matanya mulai bercahaya. Seperti juga adiknya, Suma Kian Lee memiliki sepasang mata seperti mata ayahnya, Pendekar Super Sakti, yaitu tajam sekali sinarnya. Hanya bedanya, kalau sinar mata Pendekar Super Sakti mengandung keanehan yang mujijat daya sihir yang kuat dan berwibawa, mata dua orang puteranya itu hanya tajam saja, membayangkan kewajaran dan keberanian yang luar biasa.

“Kalian memaksa hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!”

Kata-katanya ini disusul dengan gerakan tubuhnya, kedua tangannya mendorong ke sana-sini dan terdengarlah teriakan-teriakan dan jerit-jerit para wanita yang mengepung itu karena enam puluh orang wanita itu seperti daun-daun kering diamuk badai, terpelanting ke sana-sini, terhuyung dan ada yang terjengkang roboh, senjata mereka terpental dan mencelat ke mana-mana, menimbulkan suara gaduh ketika terbanting ke atas lantai.