FB

FB


Ads

Rabu, 20 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jiiid 062

"Kau tidak tahu siapa Pangeran Liong Bian Cu. Dia adalah putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan ibunya adalah Puteri Nepal, maka dia adalah cucu Raja Nepal sendiri! Dan siapa gurunya? Gurunya Adalah seorang manusia sakti yang tingkat kepandaiannya tinggi sekali, mungkin tidak kalah olehku, dan gurunya itu adalah koksu dari Nepal!"

"Hemmm, aku sudah mendengar akan hal itu, Ayah. Lalu apa artinya bagi kita?" Hwee Li menjawab dan bibirnya berjebi, memandang rendah pangeran itu.

"Artinya? Anak bodoh! Artinya, pangeran itu mempunyai kesempatan besar untuk menjadi Raja Nepal! Bukan itu saja, dia amat cerdik dan pandai, dengan mudahnya dia telah dapat menguasai Gubernur Ho-nan, dia mempunyai banyak pembantu yang amat lihai sehingga aku tidak ragu-ragu bahwa kelak dia akan berhasil menguasai daratan Tiongkok dan menjadi seorang kaisar!"

Hwee Li masih tersenyum mengejek.
"Hemmm, habis mengapa? Dia boleh jadi raja neraka sekalipun, apa hubungannya dengan kita?"

Ayahnya membelalakkan matanya sampai lebar sekali.
"Oooh-ho-hoh-ho! Engkau sungguh bodoh dan polos, tidak tahu apa-apa, anakku!"

"Tidak, Ayah. Aku tahu semuanya. Aku tahu bahwa Ayah menjilat-jilat karena Ayah ingin memperolah kedudukan kelak di dekat pangeran itu. Bukan begitu?"

Hek-tiauw, Lo-mo mengepal tinjunya.
"Kau kira aku orang macam apa yang suka menjilat dan merendahkan diri begitu saja? Akan tetapi, aku makin tua, Hwee Li, dan selama ini aku hidup dalam dunia yang keras dan penuh dengan kesukaran, penuh kemiskinan dan kehinaan. Aku sudah tua. Aku ingin mati sebagai seorang yang terhormat dan mulia, seseorang yang berkedudukan tinggi. Aku tidak ingin kelak mati sebagai seorang liar dari Pulau Neraka. Tidak! Aku ingin mati meninggalkan nama sebagai seorang mulia, seorang bangsawan tinggi!"

"Hemmm, terserah kepada Ayah. Akan tetapi aku tidak sudi menjilat pangeran itu karena aku tidak menghendaki apa-apa darinya, Ayah. Bahkan pakaian ini pun tidak!"

Berkata demikian, Hwee Li menyambar pakaian hitamnya sendiri dan lari ke dalam kamar mandi. Hek-tiauw Lo-mo mendengar suara kain dirobek-robek.

"Hwee Li, jangan begitu....! Jangan kau menyia-nyiakan kebaikan orang lain...."

"Peduli!"

Hwee Li menjawab dengan marah dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi dari kamar mandi, kini mengenakan pakaian hitamnya sendiri sedangkan pakaian bagus berwarna biru dan pakaian dalam berwarna merah muda sudah robek-robek dan berserakan di kamar mandi.

Wajah kakek raksasa itu menjadi merah dan dia bangkit berdiri, memandang kepada puterinya yang juga berdiri di depannya dan menentang pandang mata ayahnya dengan berani.

"Hwee Li, engkau adalah puteriku! Apakah engkau tidak mau mentaati perintahku? Apakah engkau hendak menjadi anak yang tidak berbakti?"

Hwee Li mengerutkan alisnya.
"Ayah, aku tidak melarang Ayah menghambakan diri kepada pangeran itu, aku tidak menentang Ayah. Akan tetapi aku sendiri tidak mau ikut campur dan aku hendak pergi dari sini sekarang juga agar jangan berhutang budi kepada pangeran atau kepada siapa pun juga."

"Tidak boleh! Engkau harus berada di sini, Hwee Li, membantu usahaku!"

"Akan tetapi aku tidak butuh bantuan pangeran."

"Aku butuh! Dan aku ingin menjadi mertuanya, maka engkau tidak boleh pergi!"

Ucapan itu seolah-olah kilat yang menyambar kepala Hwee Li. Seketika wajahnya menjadi pucat sekali, lalu berubah merah dan matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika dia memandang ayahnya.

"Apa kata Ayah? Menjadi mertuanya? Jadi aku.... aku....!"

"Engkau akan menjadi isterinya, menjadi permaisurinyai, Dia amat mencintamu, Hwee Li. Dia berterus terang kepadaku bahwa dia telah jatuh hati kepadamu ketika untuk pertama kali bertemu denganmu di tempat ini. Ingat? Dan lihat betapa dia telah menyediakan segala-galanya untukmu. Engkau akan menjadi isteri pangeran, dan kelak menjadi Permaisuri Nepal, kemudian mungkin menjadi permaisuri kaisar! Dan aku mertua kaisar! Ha-ha, bukankah hebat sekali kedudukan kita kelak, anakku?”

Akan tetapi Hwee Li sudah tidak mendengarkan kata-kata ayahnya lagi karena tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat keluar dari situ.

"Hwee Li....!" Ayahnya mengejar.

"Ayah, aku mau pergi dari sini!" terdengar dara itu menjawab.

"Apa kau ingin Ayahmu menggunakan kekerasan?" bentak ayahnya sambil mengejar.






Jantung Hwee Li berdebar keras! Baru sekarang selama hidupnya dia diancam oleh ayahnya sendiri! Ayahnya yang dahulu selalu memanjakannya, yang tidak pernah bersikap keras kepadanya sungguhpun dia tahu ayahnya amat keras kepada orang lain. Dia terisak dan melanjutkan larinya. Dia tidak mempedulikan orang-orang yang memandangnya dengan heran di dalam gedung itu dan dia terus lari keluar dengan cepat, siap untuk menyerang siapa saja yang akan menghalangi larinya. Akan tetapi tidak ada orang yang menghalanginya, kecuali ayahnya yang mengejarnya dari belakang.

Semenjak dia menjadi murid Ceng Ceng dan juga menerima petunjuk dari suami subonya itu, Hwee Li telah memperoleh kemajuan hebat sehingga ginkangnya juga meningkat dengan luar biasa. Maka dia dapat melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan ayahnya.

Banyak sekali para anggauta Huang-ho Kui-liong-pang yang melihat gadis ini berlari-lari dikejar ayahnya, akan tetapi mereka hanya memandang dan tidak berani mencampuri. Juga anak buah Liong Bian Cu hanya menonton. Bahkan di dalam larinya, Hwee Li melihat Hekhwa Lo-kwi duduk di bawah sebatang pohon sambil tersenyum melihat Hek-tiauw Lo-mo mengejar-ngejar puterinya.

Hwee Li berlari cepat sampai di tempat lembah dan bukan main kagetnya ketika dia melihat telaga atau sungai menghadang di depannya. Dia berlari terus di sepanjang tepi sungai itu, akan tetapi sungai itu terus saja tiada putusnya karena air itu mengitari lembah!

Teringatlah Hwee Li akan pemandangan lembah itu dari atas ketika dia datang bersama ayahnya menunggang garuda, maka dia tahu bahwa tempat itu memang sudah dikelilingi air yang amat luas. Melihat bahwa bayangan ayahnya tidak mengejarnya lagi, tiba-tiba Hwee Li mengeluarkan suara melengking nyaring, memanggil burung garudanya.

Beberapa kali dia melengking nyaring, akan tetapi garudanya tidak kunjung datang. Padahal biasanya, sekali saja dia memanggil, betapapun jauhnya garuda itu terbang, dia akan mendengar dan akan datang, atau setidaknya menjawab dengan lengking yang sama.

Kembali dia melengking nyaring dan sekali ini ada jawaban, akan tetapi jawaban itu membuat Hwee Li terkejut. Jawaban yang nyaring itu terdengar dari dalam gedung! Dan yang lebih menggelisahkan hatinya lagi, jawaban itu mengandung keluhan yang membuat dia mengerti bahwa garudanya berada dalam keadaan tidak berdaya untuk datang ke situ. Jelas bahwa garuda itu tentu telah diikat atau dikurung sehingga percuma saja dia memanggilnya!

"Hwee Li jangan pergi....!"

Hwee Li meloncat dan lari lagi ketika mendengar suara ayahnya itu. Kini dia lari sambil meneliti dan tiba-tiba hatinya girang melihat sebuah perahu di tepi pantai. Cepat dia menghampiri perahu itu, menyambar dayungnya, lalu mengempit perahu itu sambil mengerahkan tenaganya dan membawanya lari ke air. Dia melontarkan perahu itu ke atas air, lalu meloncat ke dalamnya dan mendayung secepatnya ke tengah!

Hatinya sudah merasa lega dan girang karena dia mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main. Begitu terkena air, perahu itu pecah-pecah dan sambungannya terlepas! Tentu saja tanpa dapat dicegah lagi, dia tercebur ke dalam air! Padahal, sungai itu amat luas dan dia baru saja meninggalkan pantai lembah.

Untuk berenang menyeberangi sungai itu sama dengan membunuh diri, karena dia bukan ahli, biarpun dia dapat berenang sekedar untuk mencegah agar dia tidak tenggelam saja. Maka terpaksa dia menggerakkan kaki tangannya berenang kembali ke pantai, pantai lembah, bukan pantai di seberang!

Ketika dengan pakaian dan rambut basah kuyup, dengan mulut menyumpah-nyumpah, dia merangkak keluar dari air, dia disambut oleh suara ketawa ayahnya yang sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bersedakap. Begitu mendongkol hati Hwee Li sehingga kalau saja bukan ayahnya yang mentertawakan, tentu orang itu akan diserangnya atau dimakinya habis-habisan. Dia hanya berdiri melotot memandang kepada ayahnya, penuh kemarahan.

"Ayah, kau.... kau kejam!" akhirnya dia berkata dan menangis terisak-isak.

Ayahnya menghampirinya.
"Hwee Li, siapa bilang aku kejam? Engkaulah yang terlalu, tidak mau mentaati perintah Ayahmu. Aku ingin mengangkat dirimu menjadi seorang yang mulia dan terhormat, akan tetapi engkau malah hendak menghancurkan rencana hidup Ayahmu. Jangan kira kau akan dapat pergi dari sini, anakku. Mau atau tidak mau, engkau harus menjadi isteri pangeran yang cinta kepadamu."

Watak Hwee Li memang keras. Begitu mendengar kata-kata "harus", dadanya diangkat, kepalanya ditegakkan, dan dia bertanya dengan air matanya bercampur dengan air sungai yang mengalir turun dari rambutnya,

"Kalau aku tidak sudi?"

"Kau akan dipaksa! Nah, boleh kau pilih. Engkau menjadi isterinya secara terhormat atau menjadi isterinya dengan lebih dulu dipaksa, seperti seekor kuda betina liar yang dijinakkan!"

Hwee Li membelalakkan kedua matanya, hampir tidak dapat percaya akan kata-kata ayahnya. Tidak mungkin ayahnya akan berbuat sekeji, itu.

"Ayah! Kau.... kau...." dia tidak dapat melanjutkan, hanya menangis keras.

"Tiada gunanya engkau menangis, Hwee Li. Kalau engkau mentaati permintaanku, berarti engkau menjadi puteriku tersayang, akan tetapi kalau kau menentang kehendakku, berarti engkau adalah musuhku! Dan engkau tahu apa jadinya dengan musuh Hek-tiauw Lo-mo!"

"Biar sampai mati aku tidak sudi! Aku mau melihat siapa berani memaksaku!"

Tiba-tiba Hwee Li berdiri tegak, kedua tangannya terkepal, pakaiannya basah kuyup sehingga menempel ketat di tubuhnya, membuat lekuk-lengkung tubuhnya nampak nyata.

"Hemmm, engkau tidak akan mati, akan tetapi aku yang akan menundukkanmu, anak bandel!" bentak Hek-tiauw Lo-mo.

"Aku adalah anakmu, aku tidak akan melawan Ayahku sendiri, akan tetapi kalau aku hendak kau umpankan kepadanya, seperti mengumpankan kelinci untuk dimakan srigala, aku akan melawan!" kata Hwee Li.

"Huh, agaknya gurumu telah mendidikmu untuk menjadi anak durhaka terhadap ayahnya. Nah, coba kau lawan aku!" Hek-tiauw Lo-mo lalu menubruknya dan mencengkeram pundak puterinya.

Hwee Li cepat mengelak dan balas menyerang dengan dahsyat sehingga ayah dan anak itu lalu saling serang dengan hebat dan serunya di tepi sungai itu!

Hwee Li maklum bahwa kalau dia tidak dapat menangkan ayahnya, harapannya untuk lari habis sama sekali, dan entah apa yang akan menimpa dirinya, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dia tahu bahwa dia tidak boleh menggunakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, karena hal itu akan percuma saja karena tentu ayahnya lebih mahir. Maka dia selalu bergerak menurut petunjuk Ceng Ceng dan suami subonya itu.

Sebetulnya, dari Ceng Ceng, seperti pernah dijanjikan oleh subonya itu dahulu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali), dara ini hanya diberi pelajaran tentang racun-racun yang paling hebat dan penolaknya. Akan tetapi karena Ceng Ceng merasa suka kepada muridnya yang lincah jenaka ini, dia juga mengajarkan Ilmu Pukulan Sin-liong-kun, yaitu semacam ilmu silat yang diciptakan dengan bantuan suaminya, yang disaring dari ilmu-ilmu silat yang dikenalnya lalu ditambah dengan beberapa gerakan yang mengambil dari ilmu mujijat Sin-liong ciang-hoat, ilmu yang hanya dapat dipelajari dan dikuasai oleh seorang yang buntung lengannya seperti Kao Kok Cu.

Akan tetapi betapapun lihainya Hwee Li, tentu saja dia masih belum mampu menandingi Hek-tiauw Lo-mo! Beberapa kali dia sudah kena ditampar oleh ayahnya, yang tidak ingin melukai puterinya, maka yang ditamparnya hanya bagian tubuh yang tidak berbahaya seperti di bahu dan pundak, akan tetapi yang cukup membuat tubuh Hwee Li terpelanting dan terguling-guling. Akan tetapi, setiap kali roboh, Hwee Li meloncat bangun kembali dan menyerang dengan ganas! Dia sudah nekat dan ingin mati di tangan ayahnya sendiri daripada harus menyerahkan dirinya kepada Pangeran Liong Bian Cu!

"Hyaaaaattttt....!"

Tiba-tiba dia melengking nyaring, tubuhnya meloncat dan meluncur lurus ke depan, kedua tangannya menusuk seperti pedang selagi tubuhnya melayang di udara. Inilah jurus yang amat hebat dari Sin-long-kun, yang mengandung unsur ilmu mujijat Sin-liong hok-te dari Kao Kok Cu!

"Ihhh....!"

Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main karena dari serangan ini menyambar hawa dahsyat yang membuat dia terjengkang. Akan tetapi, sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi yang mengenal pukulan mujijat, dia tidak berani menangkis dan cepat dia melempar tubuh ke belakang terus bergulingan. Dia meloncat bangun dan mukanya berubah. Nyaris dia roboh oleh pukulan mujijat itu.

"Bocah durhaka!"

Dia membentak dan menubruk maju begitu melihat Hwee Li melayang turun, tubrukan dari belakang yang dahsyat. Hwee Li bergerak ke samping, kakinya melayang untuk menyambut serangan ayahnya dengan tendangan.

"Plakkk!"

Ayahnya menangkis, demikian keras tangkisannya sehingga tubuh Hwee Li terhuyung. Kembali gadis itu melempengkan kedua lengan, untuk mengulangi serangannya yang hampir berhasil tadi. Akan tetapi tiba-tiba ayahnya sudah menyerang lagi, menyerang dari bawah ke arah kedua kakinya. Melihat hebatnya serangan kaki ayahnya yang menyerampang ini, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke atas.

"Wuuuuuttttt....!"

Hwee Li terkejut. Hendak mengelak namun terlambat dan tubuhnya sudah tercakup oleh sinar hitam yang ternyata adalah jala tipis yang tadi dipergunakan oleh Hek-tiauw Lo-mo selagi tubuh Hwee Li meloncat ke atas.

"Cukup, Locianpwe!" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan tahu-tahu di situ telah berdiri Liong Bian Cu dengan sikapnya yang ramah. Pangeran ini berkata, "Andaikata bukan Locianpwe yang melakukan hal ini, terhadap Nona Hwee Li, tentu akan berhadapan dengan aku dan aku belum puas kalau belum menyiksanya!"

Hek-tiauw Lo-mo membungkuk,
"Anak ini tidak bisa dibujuk dengan halus, Pangeran. Terpaksa saya sebagai orang tuanya menundukkannya. Sekarang kuserahkan kepada Pangeran untuk menjinakkan dia. Ha-ha-ha!" Hek-tiauw Lo-mo menyerahkan tali jala itu kepada Pangeran Nepal itu.

Liong Bian Cu menerima tali itu, lalu menghampiri Hwee Li yang masih rebah miring di dalam jala.

"Marilah, Nona, biar aku merawatmu, Nona...." Dia membungkuk dan hendak memondong tubuh itu.

Hwee Li yang kini mengalihkan kemarahan dan kebenciannya kepada pangeran ini yang dianggapnya sebagai biang keladi perubahan sikap ayahnya, diam-diam menanti dan begitu pangeran itu membungkuk, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya menghantam sekuat tenaga! Akan tetapi, dia merasa pundaknya ditekan dan tenaganya lenyap, pukulannya tidak dapat dilakukan dan terhenti setengah jalan.

"Tenanglah, Nona, dan percayalah bahva aku tidak tega untuk menyakitimu," kata pangeran itu dengan tenang dan tiba-tiba Hwee Li merasa tubuhnya diangkat dan dipondong oleh pangeran itu, dibawa ke arah gedung.

Semua orang yang melihat dan bertemu di jalan, membungkuk dengan penuh hormat kepada pangeran itu yang bersikap seolah-olah tidak melihat mereka, sikap angkuh seorang pangeran!

Hwee Li tidak dapat meronta lagi, kedua tangannya seperti lumpuh dan tahulah dia bahwa pangeran yang kelihatan lemah lembut ini memang lihai sekali sehingga dia telah ditotoknya sebelum dapat menyerang. Dia pernah melihat pangeran ini dalam pertemuan dengan para tokoh dan yang dahulu pernah mendemonstrasikan kepandaiannya yang hebat.

Dara ini maklum bahwa menggunakan kekerasan akan percuma saja, karena selain pangeran ini sendiri amat lihai, juga di situ terdapat ayahnya yang agaknya siap untuk menggunakan kekerasan terhadap dirinya untuk memaksanya menjadi isteri pangeran ini. Belum lagi diperhitungkan adanya Hek-hwa Lo-kwi di situ, dan banyak anak buah Kui-liong-pang dan anak buah pangeran itu sendiri.

Juga, biarpun belum dijumpainya, dia mendengar bahwa di situ terdapat pula guru pangeran ini, koksu dari Nepal yang menurut ayahnya memiliki kepandaian yang amat hebat, mungkin melebihi kepandaian ayahnya dan Hek-hwa Lo-kwi. Jelas bahwa mengandalkan kepandaian silatnya akan sia-sia belaka, maka dia harus berlaku cerdik.

Pangeran itu memondongnya dengan hati-hati dan membawanya kembali ke dalam kamarnya yang mewah. Dengan gerakan lembut dia merebahkan Hwee Li di atas pembaringan setelah melepaskan jala tipis itu. Sejenak dia berdiri di tepi pembaringan memandang wajah Hwee Li yang rebah terlentang.

Dara itu gelisah sekali. Dia masih belum mampu menggerakkan kaki tangannya dan dia tidak akan dapat melawan kalau pangeran itu melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Sepasang mata yang cekung dan tajam itu bersinar-sinar ketika menjelajahi tubuh Hwee Li dari rambut sampai ke kakinya. Tubuh yang terbungkus pakaian basah itu kelihatan seperti telanjang saja.

"Ah, betapa kejam ayahmu, Nona.... sungguh kasihan engkau...." kata pangeran itu dengan sikap menyayang sekali dan tangannya lalu memeriksa leher, pipi, dan pundak Hwee Li yang babak bundas karena dibanting-banting tadi. "Aku akan mengobatimu. Ah, kalau lain kali dia berani menyakitimu lagi, tentu akan kuhukum dia!"

Hwee Li memandang dengan mata terbelalak. Hatinya lega. Biarpun dia masih muda sekali, namun sebagai seorang wanita, Hwee Li dapat merasakan bahwa pangeran ini sungguh mencinta dia. Sikapnya demikian lembut, cintanya demikian halus sehingga agaknya tidak perlu dikhawatirkan bahwa pangeran ini akan melakukan kekerasan terhadap dirinya.

Akan tetapi, biarpun dia cerdik, dalam hal seperti ini, mengenai urusan cinta, dia masih asing sama sekali sehinga dia tidak tahu benar bagaimana dia harus bersikap terhadap musuh yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia tahu bahwa dari orang berkulit kehitaman ini mengancam bahaya yang amat hebat terhadap dirinya, namun perasaan wanitanya juga tahu bahwa pria ini amat mencintanya dan tidak akan suka melihat dia sengsara.

"Pangeran.... harap.... harap kau suka membebaskan aku.... dan biarkan aku pergi dari sini. Aku akan berterima kasih sekali kepadamu dan selamanya engkau akan kuanggap sebagai seorang yang amat baik."

Liong Bian Cu tersenyum, memandang mesra dan menggeleng kepala.
"Jangan kita bicara tentang itu. Engkau perlu kuobati, akan tetapi pakaianmu basah. Engkau harus berganti pakaian lebih dulu. Ah, betapa kejamnya ayahmu.... sakit hatiku melihat engkau disiksa. Aku amat cinta kepadamu, Nona Hwee Li, dan kalau bukan ayahmu yang melakukan ini, pasti dia sudah kubunuh. Biar aku membantumu berganti pakaian...."

Jari-jari tangan pangeran itu menyentuh kancing-kancing di depan dadanya. Biarpun pangeran itu bersikap lembut dan sopan, namun Hwee Li terbelalak dan hampir menjerit. Sayang kaki tangannya masih belum dapat digerakkan, kalau tidak demikian, tentu dia sudah meronta dan meloncat turun dari atas pembaringan.

"Jangan....! Tidak.... jangan buka pakaianku....!" dia meratap.

Jari-jari tangan yang baru berhasil membuka dua buah kancing itu berhenti dan mata yang cekung itu menatap tajam, mulutnya tersenyum dingin.

"Mengapa, Nona? Engkau basah kuyup dan dapat jatuh sakit. pakaianmu yang basah harus diganti dengan yang kering, baru luka-lukamu akan kuobati sendiri...."

Hwee Li melihat sinar gembira di mata pangeran itu dan tiba-tiba jantungnya memukul keras. Agaknya di balik kelembutannya, di balik keramahan dan kesopanannya, pangeran ini memiliki watak aneh yang amat kejam. Agaknya pangeran ini akan bergembira melihat dia digerogoti rasa malu, tersiksa batinnya kalau ditelanjangi. Hwee Li tiba-tiba menekan perasaannya dan mukanya tidak lagi memperlihatkan rasa ngeri dan takut seperti tadi. Suaranya dingin dan tenang ketika dia berkata,

"Pangeran, baru saja engkau mengatakan bahwa engkau amat mencintaku, akan tetapi sekarang engkau hendak melakukan penghinaan. Kalau perbuatanmu ini kau lanjutkan, aku akan merasa amat benci kepadamu!"

"Benci?" Pangeran itu mengerutkan alisnya. "Tidak bisa engkau membenciku, Nona, karena engkau akan menjadi isteriku yang terkasih. Aku hendak menolongmu, mengapa engkau membenciku?"

"Di luar banyak terdapat pelayan, mengapa engkau hendak mengganti sendiri pakaianku? Hal itu menandakan bahwa engkau sengaja hendak menghinaku, tidak memandang aku sebagai seorang gadis yang terhormat, yang tentu saja tidak sudi dilihat telanjang oleh seorang laki-laki."

Tangan itu meninggalkan baju Hwee Li dan pangeran itu tersenyum, mengangguk-angguk.
"Sikapmu ini menambah besar cintaku, Nona. Engkau memang seorang gadis terhormat dan agung, patut menjadi calon isteriku." Pangeran itu bertepuk tangan dan masuklah empat orang pelayan tadi.

"Kalian bantu Nona Hwee Li berganti pakaian kering. Eh, Nona, engkau memilih pakaian yang berwarna apa?"

Pangeran itu bertanya kepada Hwee Li, sikapnya ramah dan biasa seolah-olah gadis itu sedang dalam keadaan biasa, tidak tertotok seperti itu.

"Aku selamanya memakai pakaian hitam," jawab Hwee Li yang ingin mencegah pakaiannya diganti.

"Hei, kau! Cepat kau suruh penjahit membuatkan pakaian dari sutera hitam beberapa stel dan dengan cara kilat. Harus jadi sekarang juga!"

Pangeran Liong Bian Cu berkata dan pelayan yang diperintahkannya itu cepat pergi. Lalu dia berpaling kepada Hwee Li.

"Karena yang hitam sedang dibikin, harap kau suka memakai yang lain untuk sementara saja, Nona." Setelah berkata demikian, pangeran itu menggerakkan kakinya menuju ke pintu.

"Pangeran....!" Hwee Li tiba-tiba memanggil.

Liong Bian Cu membalikkan tubuhnya dan memandang dengan wajah berseri.
"Apalagi yang dapat kulakukan untukmu, Nona Hwee Li? Bukankah kau bilang bahwa engkau merasa terhina kalau.... terlihat olehku? Aku tahu engkau malu, biarlah aku keluar dulu dan nanti baru kuobati engkau...."

"Pangeran, engkau tentu maklum bahwa aku tidak akan dapat lolos dari sini. Di sana ada ayahku, ada Hek-hwa Lo-kwi, ada orang-orangmu, dan tempat ini terkurung air. Aku tidak akan mampu lolos dan hal ini aku tahu benar, maka aku pun tidak begitu tolol untuk mencoba melarikan diri."

Pangeran itu mengangguk-angguk.
“Engkau memang cerdik sekali, Nona. Kecerdikanmu makin mengagumkan hatiku dan makin memperdalam cintaku."

Hwee Li merasa malu sekali melihat pangeran ini mengaku cinta begitu saja di depan tiga orang pelayan yang masih berlutut di atas lantai, maka cepat-cepat dia berkata,

"Kalau engkau sudah tahu bahwa aku tidak akan lolos atau melarikan diri, mengapa engkau masih menotokku? Apakah kau ingin menyiksaku, Pangeran? Bebaskan totokan ini."