FB

FB


Ads

Sabtu, 25 April 2015

Jodoh Rajawali Jilid 018

Kita tinggalkan dulu Kian Lee dan komandan pasukan pengawal istana itu yang terkurung di dalam terowongan yang gelap pekat dan terancam maut dan mari kita mengikuti perjalanan Gubernur Hok Thian Ki dari Ho-pei yang menyamar sebagai tukang kebun dan melarikan diri bersama Phang Cui Lan.

Mereka dapat berlari cepat melalui tempat-tempat gelap sehingga dapat lolos dari perhatian para penjaga dan pengawal yang sedang kacau dan sibuk bertempur itu sehingga mereka dapat keluar dari tembok kota.

Karena mereka itu hanya seorang tukang kebun dan seorang pelayan yang diaku anak oleh tukang kebun dalam keadaan ribut-ribut itu semua nafsu kebengalan mereka agaknya padam dan hal ini memudahkan Gubernur Ho-pei dan Cui Lan untuk meloloskan diri dari tembok kota.

Pagi-pagi sekali mereka telah keluar dari pintu gerbang kota dan langsung menuju ke utara, ke perbatasan. Kini Gubernur Hok yang memimpin perjalanan dan gubernur ini berkata bahwa kalau mereka sudah melintasi batas propinsi berarti dia akan selamat dan akan dapat menyuruh pejabat setempat untuk mempersiapkan pengawal dan kereta untuk melanjutkan perjalanan.

Akan tetapi, belum jauh mereka berjalan tiba-tiba Gubernur Hok memegang lengan Cui Lan dan menarik gadis itu menyelinap di balik semak-semak belukar karena dia mendengar derap kaki kuda. Benar saja, tak lama kemudian muncul belasan orang pengawal Gubernur Ho-nan yang lewat dengan cepatnya di jalan itu. Setelah mereka pergi jauh, Gubernur Hok menghela napas panjang.

“Berbahaya sekali....“ Dia mencegah Cui Lan yang hendak berdiri. “Kita bersembunyi dulu di sini, siapa tahu mereka segera kembali....“

Cui Lan duduk di atas rumput di balik semak-semak itu.
“Habis, bagaimana baiknya, Toijin?”

“Kalau mereka itu sudah kembali, kita boleh melanjutkan perjalanan, akan tetapi kalau belum terpaksa kita harus mencari tempat persembunyian di dekat jalan ini untuk melihat sampai mereka kembali.”

Akan tetapi mereka tidak perlu menanti terlalu lama karena hanya sejam kemudian nampak belasan orang itu sudah kembali menjalankan kuda mereka perlahan-lahan dan mata mereka menengok ke kanan kiri mencari-cari!

Ketika lewat di dekat mereka, Gubernur Hok dan Cui Lan mendengar komandan pasukan itu berkata,

“Tidak mungkin mereka sudah pergi jauh dari sini! Tidak mungkin! Seorang tua dan seorang gadis lemah tentu mereka bersembunyi dan kita harus terus mengawasi jalan ini. Sewaktu-waktu mereka pasti akan muncul. Si tua itu kita serahkan kepada gubernur dan kita menerima hadiah, sedangkan si pelayan yang kabarnya cantik itu hemmm.... dia harus dihukum karena melarikan Gubernur Ho-pei, dihukum mesra!”

“Eh, Twako. Mana ada hukuman mesra?”

“Engkau tahu sendiri, ha-ha-ha! Kabarnya dia masih perawan!”

Dan mereka tertawa-tawa sampai suara mereka lenyap dan mereka pergi jauh. Wajah Cui Lan sebentar merah sebentar pucat, kedua tangannya menggigil ketika dipegang oleh Gubernur Hok yang juga kelihatan pucat.

“Celaka, kalau begitu kita tidak bisa lewat jalan ini. Kita harus mengambil jalan liar, akan tetapi, aku tidak tahu jalan....” kata Si Gubernur tua dengan khawatir. “Baiknya, biarlah aku menyerahkan diri saja agar jalan ini aman. Lalu engkau terus melarikan diri ke Ho-pei. Biar aku mereka tangkap asalkan engkau jangan....”

“Aihhh, mengapa demikian, Taijin? tidak boleh Taijin mengorbankan diri untuk saya....“

“Engkau seorang wanita....“

“Hanya seorang pelayan....“

“Bagiku engkau bukan sekedar pelayan, melainkan seorang penolong, seorang wanita muda yang berani dan berbudi. Nona, siapa namamu?”

“Phang Cui Lan....“

“Nah, Cui Lan, kita berpisah di sini. Aku akan berjalan ke selatan, biar mereka tangkap dan bawa ke Ho-nan. Kemudian engkau boleh melanjutkan perjalanan ke utara dan di sana engkau boleh melapor kepada pembesar setempat bahwa aku ditahan oleh Gubernur Ho-nan. Mudah-mudahan kita akan dapat saling bertemu kembali, Cui Lan, agar aku bisa membalas budimu.”

Gubernur tua itu lalu bangkit berdiri, meloncat ke atas jalan raya dan melangkah dengan tabahnya menuju ke selatan. Cui Lan memandang dengan mata basah air karena dia merasa kasihan dan khawatir sekali kepada pembesar itu. Baru sekarang dia bertemu dengan pembesar yang demikian manis budi, seolah-olah sikapnya seperti seorang ayah saja baginya.

“Taijin....!” Tiba-tiba gadis itu memanggil dan dia bangkit berdiri.

Gubernur Hok berhenti, membalikkan tubuhnya dan memandang heran melihat gadis itu sudah keluar dari tempat persembunyian, lalu naik ke jalan raya dan menghampirinya.

“Eh, Cui Lan, jangan keluar!”

“Cepat, Taijin, saya mendapat akal, mari!”

Gadis itu memegang tangan Hok-taijin dan menariknya kembali ke tepi jalan dan kembali seperti tadi mereka bersembunyi di balik semak-semak belukar yang cukup lebat sehingga dapat menyembunyikan mereka sama sekali dari jalan raya itu.






Dengan suara bisik-bisik Cui Lan berkata,
“Taijin, keputusan yang Taijin ambil tadi terlalu berbahaya. Sudah pasti bahwa jika Taijin tertawan, keselamatan Taijin terancam bahaya hebat. Saya teringat akan pesan seorang yang saya puja-puja, yaitu apabila sewaktu-waktu saya menghadapi bahaya, saya boleh pergi ke rumah seorang pemburu yang bertempat tinggal di tepi hutan, tak jauh dari sini. Saya kira sekaranglah waktunya untuk pergi ke sana dan minta tolong seperti pesan orang itu.”

Gubernur Hok Thian Ki mengerutkan alisnya.
“Cui Lan, engkau hendak meIakukan perbuatan berbahaya demi menyelamatkan aku. Akan tetapi justeru aku akan menyeret engkau seorang wanita muda yang tidak tahu apa-apa dan tidak berdosa ke dalam bahaya. Siapakah orang yang meninggalkan pesan itu? Apakah dapat dipercaya?”

“Taijin, saya tidak dapat mengatakan siapa dia, akan tetapi dia boleh dipercaya sepenuhnya, untuk itu saya berani tanggung dengan nyawa saya!”

“Ah.... betapa bahagianya orang itu yang mendapatkan kepercayaan mutlak seperti itu dari orang seperti engkau“

Kedua pipi gadis itu menjadi merah, akan tetapi matanya berseri tanda bahwa dia girang sekali mendengar pujian dari pejabat yang amat tinggi kedudukannya ini.

“Marilah, Taijin, sebelum mereka kembali ke sini!”

Dia lalu bangkit, memegang tangan orang tua itu dan kembali mereka berjalan setengah berlari, tersaruk-saruk, tergurat dan kena lecutan semak-semak yanp mereka terjang, melalui jalan liar menuju ke sebuah hutan di lereng gunung yang nampak dari situ.

Yang seorang biarpun laki-laki adalah orang yang sudah lanjut usianya dan tidak pernah melakukan pekerjaan berat, yang seorang lagi biarpun masih muda remaja hanyalah seorang gadis lemah, maka ketika mereka akhirnya tiba di dekat hutan, napas mereka memburu terengah-engah, muka dan leher mereka penuh keringat dan kedua kaki mereka gemetar saking lelahnya.

“Wah, aku tidak kuat lagi....“ Gubernur Hok Thian Ki mengeluh.

“Saya juga capai, Taijin, akan tetapi sudah dekat. Kurasa di sana itulah tempatnya, lihat ada genteng rumah di sana.”

Tiba-tiba terdengar bunyi ramai di bawah dan ketika mereka menoleh, dapat dibayangkan betapa kagetnya hati mereka melihat belasan orang mengejar mereka dari bawah lereng gunung.

“Celaka, mereka adalah para pengawal yang mengejar kita!” Cui Lan berseru kaget dan mukanya menjadi pucat sekali. “Mari, Taijin....!”

Gadis itu seolah-olah memperoleh semangat baru dan rasa capainya lenyap sama sekali karena dia sudah menggandeng tangan pembesar itu lagi dan menariknya, mengajaknya lari ke arah hutan.

“Heiiiii! Berhenti....!”

Teriakan-teriakan para pengejar mulai terdengar dan dua orang pelarian ini makin mempercepat larinya.

“Auhhhhh....!”

Tiba-tiba Gubernur Hok tersandung dan terguling roboh. Untung tidak sampai terjerumus ke dalam jurang di dekat mereka karena Cui Lan sudah merangkulnya dan membantunya berdiri.

“Auhhh.... kakiku....“

Pembesar itu terpincang-pincang akan tetapi terus digandeng Cui Lan, dipapahnya menuju ke rumah yang sudah berada di depan mereka.

“Mari, Taijin....!”

Cui Lan menariknya dan mereka berdua lari menuju ke rumah yang bentuknya aneh itu. Sebuah rumah yang kokoh kuat, berbentuk segi empat seperti sebuah peti besar. Rumah itu berdiri di tebing sebuah sungai yang airnya tenang dan cukup lebar. Yang luar biasa pada rumah itu adalah bahwa berbeda dengan rumah biasa, rumah ini tidak mempunyai jendela, hanya ada sebuah daun pintunya yang terbuat daripada besi! Benar-benar seperti sebuah rumah penjara saja, penjara yang aneh di pinggir hutan!

Akan tetapi karena para pengejar sudah dekat di belakang mereka, Cui Lan dan Gubernur Hok tentu saja tidak memperhatikan rumah aneh ini dan langsung saja mereka menghampiri pintu besar yang terbuat daripada besi itu dan menggedor-gedor sekuat tangan mereka dapat bertahan. Akan tetapi, tidak ada yang menjawab dari dalam, apalagi membuka daun pintunya.

“Bukalah.... bukalah....! Tolonglah kami....!”

Berulang kali Cui Lan menggedor daun pintu dengan kepalan tangannya sampai punggung tangannya berdarah!

“Cukup, Nona. Agaknya kosong rumah ini....“ Gubernur Hok memegang tangan yang berdarah itu. Cui Lan menangis terisak-isak dan gubernur itu dengan terharu lalu mencium punggung tangan yang berdarah itu. “Tenanglah, kita masih hidup dan kita akan menghadapi ini bersama....“ bisiknya.

Empat belas orang pengawal itu telah mengurung mereka sambil tertawa-tawa mengejek ketika mereka tadi menggedor-gedor pintu dan tidak ada yang menjawab. Juga mereka mentertawakan gubernur itu ketika dia mencoba untuk menarik dan membuka pintu yang kokoh kuat itu. Ejekan-ejekan dilontarkan ke arah Gubernur Hok dan godaan-godaan kotor dan cabul mereka lemparkan kepada Cui Lan.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring, suara anak-anak yang masih belum pecah suaranya, bening dan halus,

“Heiiiii, jangan menghalang di depan pintu orang, aku mau lewat!”

Karena munculnya anak kecil itu begitu tiba-tiba, semua pengawal itu menjadi terkejut dan di luar kesadaran mereka, mereka itu bergerak memberi jalan kepada seorang anak laki-laki kecil yang datang dari belakang mereka. Anak ini menghampiri pintu memandang kepada Gubernur Hok dan Cui Lan, kemudian berkata lirih,

“Mari ikut dengan aku!”

Anak itu meraba sesuatu di dekat pintu dan terdengar suara berkeret keras, daun pintu besi terbuka dan cepat anak itu menarik tangan keduanya masuk ke dalam. Seperti digerakkan oleh tangan raksasa yang tidak nampak, daun pintu itu menutup kembali dengan suara keras berdetak!

Para pengawal Gubernur Ho-nan itu cepat mengejar. Mereka mendorong-dorong, menarik-narik, menggedor-gedor, namun pintu itu tidak dapat dibuka, dan juga tidak dibuka dari sebelah dalam. Biarpun empat belas orang itu telah menyatukan tenaga, namun tetap saja mereka tidak mampu membuka pintu besi itu.

Marahlah para pengejar itu. Mereka berteriak-teriak bahwa kalau dua orang itu tidak mau keluar, rumah itu akan dibakar! Komandan mereka dengan suara lantang lalu memerintahkan anak buahnya mengumpulkan kayu di sekeliling rumah itu dan setelah cukup lalu dia berteriak lagi, suaranya lantang menembus celah-celah yang ada memasuki rumah itu,

“Heiiiii! Kalian yang berada di dalam. Kalau kalian tidak cepat keluar, kalian akan terbakar hidup-hidup di dalam!”

Tentu saja Cui Lan, Gubernur Hok, dan bocah itu mendengar suara ini dari dalam dan Cui Lan yang takut kalau-kalau anak itu akan membuka pintu, segera berkata,

“Anak baik, tolonglah kami.... jangan buka pintunya, mereka itu hendak membunuh kami berdua....!”

Bocah itu memiliki sifat-sifat yang gagah. Mendengar ini, dia membusungkan dadanya yang masih kecil sambil berkata dan menepuk dada,

“Percaya padaku, aku tidak akan menyerahkan kalian kepada orang-orang jahat itu!”

Mereka yang berada di dalam mendengar suara kayu terbakar dan melihat sinar terang di luar rumah, ada asap masuk dan hawa panas mulai terasa oleh mereka. Anak itu lalu lari mengambil air dan menyiramkan di bagian yang ada sinar api membakar di luar tembok rumah.

Cui Lan dan Gubernur Hok membantunya, akan tetapi usaha mereka itu tidak ada gunanya. Air itu tidak dapat langsung menyerang api yang menyala di luar rumah tembok tebal itu dan memang api tidak dapat masuk pula, akan tetapi hawa panas mulai menyerang makin hebat ke dalam!

Rumah itu kecil saja, terbuat dari tembok tebal dan dibagi menjadi empat buah kamar. Tidak ada pintu lain kecuali pintu depan itu, dan tidak ada jendela. Yang ada hanya lubang-lubang hawa yang amat kecil di bagian atas. Tentu saja kini rumah itu mulai terasa seperti dipanggang.

Tiga orang itu mulai mandi peluh, sekujur tubuh mereka basah, juga pakaian mereka mulai basah kuyup seolah-olah mereka bertiga baru saja jatuh ke dalam air sungai atau kehujanan! Akan tetapi napas mereka mulai megap-megap. Rasa panas hampir tak tertahankan lagi.

“Bukalah.... bukalah.... kalian berdua tidak layak mati untukku...., bukalah....“

“Jangan, Taijin.... Paduka akan celaka....“

“Tidak, Cui Lan, aku akan lindungi kau sedapatku “

Akan tetapi anak itu yang tadi kelihatan berkeliaran dan tidak mendengarkan pembicaraan mereka, kini datang mendekat.

“Harap kalian jangan gugup,” katanya sambil menunjuk ke sebuah kamar. “Ini kamarku dan Ayah, ini kamar kedua orang Pamanku, masing-masing satu, dan kamar yang sudut itu adalah kamar.... Ibuku dahulu! Mari kita dobrak dan buka kamar itu!”

Daun pintu yang satu ini digembok dan dikunci, sukar sekali dibuka. Dengan tenaga seadanya, bocah itu dibantu oleh Cui Lan dan Gubernur Hok berusaha untuk membuka pintu itu, menggunakan segala alat yang ada seperti palu dan linggis untuk merusak gembok.

Mengapa bocah itu berkeras hendak membuka kamar ini? Padahal, sejak kecil ayahnya melarang dia membuka pintu itu yang selalu ditutup dan digembok? Anak ini teringat akan cerita seorang di antara kedua pamannya, yang seperti juga ayahnya adalah pemburu-pemburu yang mencari binatang di hutan-hutan untuk dijual kulit dan dagingnya.

Menurut cerita pamannya itu, ayahnya adalah seorang suami yang amat besar cemburunya. Karena cemburunya itulah maka ayahnya membuat rumah aneh seperti penjara itu dan setiap kali ayahnya pergi berburu, rumah itu ditutup dan ibunya seperti dikurung di dalam penjara.

Akhirnya ibunya tidak tahan dan setiap kali ayahnya pergi berburu, ibunya itu menggali terowongan sedikit demi sedikit, sampai bertahun-tahun lamanya sehingga akhirnya dia berhasil membuat terowongan dari kamarnya itu menembus ke dinding tebing sungai! Maka, pada suatu hari kaburlah isteri ini meninggalkan anaknya yang masih kecil.

Teringat oleh cerita inilah maka bocah itu lalu berusaha mati-matian untuk membuka daun pintu kamar ibunya itu. Akhirnya, setelah tangan mereka terasa sakit semua, gembok itu dapat dipatahkan. Cui Lan girang sekali, cepat dia mendorong pintu kamar itu dan gadis ini melangkah mundur dengan mata terbelalak karena terkejut melihat tiga orang laki-laki yang bertubuh tegap dan berpakaian kasar berdiri di belakang pintu kamar itu dengan mata terbelalak marah!

“Ayah....! Paman....!”

Bocah itu berseru dengan girang, akan tetapi begitu melihat wajah ayahnya yang beringas dan teringat bahwa dia telah melanggar pantangan ayahnya, dia menjadi ketakutan dan mundur-mundur berlindung di belakang Cui Lan!

Ayah bocah itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka bengis sekali. Dia tidak memakai baju, hanya bercelana hitam dan dadanya penuh bulu, cambang bauknya membuat wajahnya makin serem kelihatannya. Tangan kirinya memegang sebatang kapak dan tangan kanannya memegang gendewa besar.

“Keparat, kau berani membuka pintu ini? Kubunuh kau.... dan dua orang asing ini yang berani lancang memasuki rumahku!”

Pemburu kasar itu mengangkat kapaknya tinggi-tinggi dan hendak mengejar anaknya. Dia bukan hanya marah kepada anaknya yang dianggapnya telah mendatangkan bencana, rumahnya dikepung pengawal dan dibakar, juga berani membuka pintu kamar yang dirahasiakan, akan tetapi kemarahannya meluap ketika dia melihat Cui Lan yang cantik. Semenjak isterinya minggat, setiap kali melihat perempuan cantik, hati pemburu ini seperti dibakar rasanya dan dia membenci setiap wanita cantik!

“Sabar dulu, Saudara!”

Cui Lan melindungi bocah itu dan menentang si pemburu dengan berani. Dia penasaran sekali. Masa ada ayah hendak membunuh anaknya hanya karena membuka pintu kamar itu saja? Kamar itu pun hanya kamar yang kosong!

”Anak ini tidak bersalah. Dia terpaksa membuka kamar untuk menyelamatkan kami. Kalau mau bunuh, bunuhlah aku, akan tetapi aku benar-benar menyesal mengapa aku datang ke sini seperti yang dipesankan oleh Siluman Kecil.”

Mendengar ini, kapak di tangan pemburu itu terlepas ke atas lantai dan mukanya berubah pucat sekali, juga dua orang paman bocah itu kelihatan terkejut dan cepat melangkah maju.

“Kau.... kau bilang.... Siluman Kecil....?” Suara pemburu tinggi besar itu agak gemetar.

Cui Lan merasa mendapat hati. Jelas bahwa disebutnya Siluman Kecil itu membuat tiga orang itu terkejut dan ketakutan.

“Benar!” katanya lantang. “Dahulu Siluman Kecil pernah berpesan kepadaku bahwa jika aku berada dalam kesukaran, aku boleh minta bantuan para pemburu yang tinggal di rumah ini!”

“Ah, maaf.... maaf.... kami tidak tahu bahwa Siocia (Nona)....“

“Sudahlah, aku hampir tidak kuat bertahan!” Cui Lan berkata dan cepat dia menggandeng tangan Pembesar Hok. “Dan dia pun sudah tidak kuat! Tolonglah kami terhindar dari malapetaka ini.”

“Mari....!”

Ayah bocah itu berkata dan cepat dia membuka sebuah tutup di lantai kamar kecil itu. Ternyata terdapat sebuah lubang seperti sumur, sebuah terowongan dan semua orang lalu memasuki terowongan ini. Tidak terlalu panjang terowongan ini dan kiranya inilah terowongan yang dahulu dibuat oleh ibu bocah itu. Tadi, ketika pulang dari berburu melihat rumah mereka dikurung para pengawal dan dibakar dari luar, mereka terkejut sekali.

Mereka adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman, dan melihat bahwa pasukan itu adalah pasukan pengawal, mereka tidak berani sembrono. Untuk menolong puteranya yang berada di dalam rumah, pemburu itu lalu mengajak dua orang adiknya untuk memasuki rumahnya melalui terowongan buatan isterinya dahulu itu dan demikianlah, ketika mereka tiba di dalam kamar, tepat sekali Cui Lan membuka daun pintu kamar yang berhasil mereka rusak gemboknya.

Begitu melihat Cui Lan dan kakek itu, dan melihat anaknya merusak gembok daun pintu kamar itu, marahlah si pemburu dan nyaris dia membunuh mereka bertiga kalau saja Cui Lan tidak cepat menyebut nama Siluman Kecil!

Kini mereka tiba di mulut terowongan di tebing sungai. Dengan bantuan mereka, Cui Lan dan Gubernur Hok dapat meloncat ke dalam air dan karena tempat itu tidak nampak dari atas tebing, maka para pengawal yang masih tertawa-tawa di luar rumah yang mereka bakar itu, mereka dengan mudahnya dapat menyelamatkan diri.

Dengan menggunakan sebuah perahu para pemburu, mereka menjauhi tempat itu dan setelah melakukan perjalanan setengah hari keluar dan masuk hutan, akhirnya mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat di mana terdapat sebuah pondok yang dibuat oleh tiga orang pemburu itu dan yang digunakan pada waktu mereka memburu binatang.

Hampir patah-patah rasanya kaki Cui Lan dan Gubernur Hok ketika mereka akhirnya dapat melempar tubuh mereka ke atas lantai pondok yang ditilami daun-daun kering itu. Gubernur Hok saking lelahnya sudah tidak dapat bertahan lagi, langsung dia tertidur pulas!

Setelah membuat api unggun, memasak air dan nasi yang memang tersedia di situ, dibantu oleh bocah kecil, pemburu dan dua orang adiknya lalu duduk pula di atas lantai dan bertanyalah ayah bocah itu kepada Cui Lan.

“Kami tidak hendak mencampuri urusan Siocia dan Lopek ini, dan karena Siocia mengenal beliau, maka kami akan menolong sampai sekuat tenaga kami, kami ingin kalau Siocia tidak keberatan, kami ingin mengetahui mengapa Siocia dan Lopek ini dikejar-kejar para pengawal itu? Bukankah para pengawal itu adalah pengawal-pengawal dari gubernuran?”

Cui Lan adalah seorang gadis yang cerdik sekali. Dia bukan seorang pelayan biasa melainkan puteri seorang kepala kampung yang terpelajar juga. Oleh karena itu ditambah pula dengan wataknya yang memang halus dan pribadinya yang tinggi, dara ini dapat bersikap tenang dan cerdik menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga.

Dia maklum bahwa mereka masih berada di wilayah Ho-nan, dan sungguhpun bagi dirinya sendiri tidak perlu dia menyembunyikan diri, namun tidak demikian halnya dengan Gubernur Ho-pei ini. Pembesar ini harus disembunyikan keadaan dirinya, maka dia sudah cepat mengarang cerita sambil menjawab pertanyaan itu.

“Benar seperti yang kalian duga. Mereka itu adalah pengawal-pengawal di istana gubernur. Dan aku bernama Phang Cui Lan, seorang pelayan di istana Gubernur Kui, melayani isteri beliau. Akan tetapi pada suatu hari, aku akan dikawinkan oleh gubernur dengan seorang pelayan beliau. Karena sejak kecil aku sudah ditunangkan, aku tidak mau, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dengan terus terang. Maka aku lalu minggat dengan bantuan Pamanku ini yang menjadi tukang kebun di sana.”

Dia berhenti sebentar karena pada saat itu, Gubernur Hok agaknya telah sadar dan mendengarkan cerita itu.

“Kami berdua melarikan diri dan berhasil lolos dari kota, akan tetapi ketika tiba di dekat hutan tempat tinggal kalian itu, kami melihat para pengawal istana gubernuran mengejar kami. Maka kami lalu lari ke rumah kalian dan kebetulan sekali putera kalian berada di pintu dan membantu kami masuk. Selanjutnya, kalian ketahui.”

Tiga orang itu mengangguk-angguk dan ayah dari bocah itu mengangkat muka, memandang kepada Cui Lan dengan kagum.

“Ahhh, sungguh hebat engkau, Nona. Engkau adalah seorang wanita yang setia kepada tunangan. Aku kagum dan aku merasa girang telah dapat menolongmu. Kemudian, mengenai perkenalanmu dengan beliau itu...., bolehkah kami mendengarnya?”

Cui Lan merasa ragu-ragu untuk menceritakan pengalamannya dengan Siluman Kecil, apalagi karena perasaan hatinya terhadap Siluman Kecil itu akan disimpannya sebagai rahasia hidupnya dan hanya satu kali dia menceritakan rahasia itu kepada Kian Lee! Kini, ditanya oleh tiga orang kasar ini, dia menjadi ragu-ragu, akan tetapi kecerdikannya menolongnya,

“Siluman Kecil.... pendekar itu pernah menolong kami ketika kami diganggu perampok....“

“Nona adalah seorang pelayan di gubernuran, bagaimana bisa diganggu perampok?” seorang di antara dua paman bocah itu terheran-heran.

Kini Gubernur Hok yang telah sadar betul dan sejak tadi mendengarkan percakapan itu, bangkit duduk dan berkata,

“Kalian tidak tahu. Keponakanku ini baru saja menjadi pelayan di gubernuran, bahkan sejak peristiwa itulah dia menjadi pelayan. Adapun saya yang sudah lama menjadi tukang kebun di taman istana Kui-taijin, Gubernur Ho-nan.”

Dia terbatuk-batuk lalu menghirup air teh yang dihidangkan oleh bocah itu, kemudian melanjutkan,

“Ketika itu saya mendengar bahwa Nyonya Gubernur membutuhkan seorang pelayan yang boleh dipercaya. Saya lalu menawarkan keponakan saya Cui Lan ini dan karena sudah lama saya bekerja di gubernuran, penawaran saya diterima dan saya lalu pergi ke dusun untuk menjemput keponakan saya ini. Nah, dalam perjalanan kami ke kota itulah kami dihadang segerombolan perampok dan kami tentu celaka kalau tidak ditolong oleh beliau.”

Gubernur itu tentu saja tidak pernah tahu tentang “beliau” itu, akan tetapi dari percakapan tadi dia mengerti bahwa yang disebut oleh Cui Lian sebagai “Siluman Kecil” dan oleh tiga orang pemburu disebut sebagai “beliau” itu tentulah seorang pendekar atau seorang yang luar biasa yang pernah menolong Cui Lan dan yang amat ditakuti oleh tiga orang kasar itu.